Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Desember 2019

KEJAR DUNIA ATAU KEJAR AKHIRAT?

Ketika kita bersusah-payah mengejar dunia, ingatlah bahwa kita tidak akan pernah bisa melampaui jatah rejeki yang sudah ditetapkan oleh Allah. Namun ketika kita mengutamakan untuk mengejar akhirat, yakinlah bahwa dunia pasti akan mengikuti kita sesuai yang telah ditetapkan.

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/rasa tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat sebagai niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/rasa selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“ [ HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani ]

Rabu, 18 Desember 2019

IBU SEBAGAI MADRASAH PERTAMA BAGI ANAK

Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Wawasan dan pemahaman agama yang baik dan benar dari seorang Ibu akan menentukan ahlak dan kesolehan/kesolehaan generasi selanjutnya. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap wanita muslimah untuk menuntut ilmu agama selain ilmu-ilmu dunia. Karena itu akan jadi bekal utama dalam mendidik anak-anaknya. 

Seperti halnya generasi awal keIslaman yang dididik oleh Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam dengan ilmu agama yang kuat dan kokoh sehingga mereka menjadi generasi terbaik umat Islam. Dan kemudian akhirnya Allah Subhanallahu wa Ta'ala Meridhoi mereka dengan memberi amanat menjadi khalifah/pemimpin peradaban dunia dan juga menguasai berbagai bidang keilmuan. 

Karenanya kualitas seorang Ibu sebagai pendidik anak-anak akan menentukan kualitas generasi suatu bangsa.

🙏🙏🙏

KARUNIA KESEHATAN

Banyak orang berpikir bahwa karunia dan rezeki itu hanyalah berupa harta, jabtan yang tinggi, gaji yang besar, bisnis yang sukses, dll. Padahal rezeki dan karunia yang paling berharga bagi orang yang beriman adalah keimanan, baru kemudian keselamatan/kesehatan. 

Untuk itu, selama kita telah memiliki keimanan, tidak berbuat syirik, dan juga kita diberikan keselamatan dan kesehatan, maka banyak-banyaklah bersyukur.

Dari Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq berdiri di atas mimbar lalu menangis. Kemudian ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun pertama hijrah berdiri di atas mimbar, lalu menangis, dan bersabda: “Hendaklah kalian memohon kepada Allah ampunan dan keselamatan/kesehatan. Setelah dikaruniai keyakinan (iman), sesungguhnya seorang hamba tidak diberi karunia yang lebih baik daripada keselamatan/kesehatan.” [HR. Tirmidzi no. 3481, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albani].
Yang dimaksud dengan [الْعَافِيَةِ] “afiyah” adalah keselamatan dunia-akhirat, keselamatan dunia yaitu selamat dari penyakit dengan kata lain adalah kesehatan.

Selasa, 17 Desember 2019

JADILAH MUSLIM YANG BIASA-BIASA SAJA?

Banyak orang berkata, "Jangan jadi muslim yang kaku/fanatik/berlebih-lebihan. Jadilah muslim yang biasa-biasa saja."

Lalu jika ditanya balik, seperti apakah Islan yang biasa-biasa saja yang dimaksud tersebut. Pasti jawabannya akan beragam sesuai akal/rasio/perasaan/selera masing-masing. Padaha sebenarnya keinginan hawa nafsunya belaka.

Acuan utama standar dalam ber-Islam adalah Islamnya para Sahabat Nabi. Misal ambillah contoh salah seorang Sahabat Nabi yang paling biasa-biasa saja amalannya. Apakah kita sudah yakin bisa menyamai kualitas dan kuantitas ibadahnya. 

Atau kalau memang tidak bisa, coba turunkan standarnya. Ambil saja contoh salah satu generasi Islam salafus sholeh setelahnya (generasi tabi'in) dan generasi setelahnya lagi (generasi tabbi'ut tabi'in). Apakah yakin kita lebih berilmu dan lebih sholeh dari mereka? 

Maka dari itu, teruslah berjuang mengejar ketertinggalan amal ibadah kita yang masih jauh di bawah standar dan istiqomahlah. Jangan merasa sudah menjadi Islam yang biasa-biasa saja terus tidak mau mendalami Islam lebih jauh. Tidak mau coba memeriksa dan intropeksi apakah pemahaman dan praktek agama kita sudah sesuai dengan yang dicontohkan Nabi dan Para Sahabat serta generasi salafus sholeh.

Dalam ber-Islam janganlah mengharapkan ridho manusia. Karena banyak manusia tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Sebagian lainnya justru punya misi-misi tertentu untuk menjauhkan kita dari syariat agama. 

Mohonlah perlindungan dan berharaplah hanya kepada Allah dengan memperbanyak amal sholeh. Kita tidak pernah tahu pada amalan yang mana Allah memberikan ridho-Nya kepada kita. 🙏🙏🙏🤲🤲🤲

JANGANLAH BERJILBAB SEKEDAR MENUTUPI KEPALA

Jilbab atau hijab adalah aturan syariat Islam yang mulia. Jilbab atau hijab ini adalah untuk melindungi kaum muslimah, memuliakan mereka,  sekaligus sebagai identitas keIslaman mereka. 

Seperti diketahui seluruh tubuh wanita adalah aurat (kecuali muka dan telapak tangan). Karenanya wanita menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual kaum lelaki sehingga seluruh potensi yang mengarah kepada hal itu perlu ditutup rapat. 

Selain itu jilbab atau hijab juga digunakan sebagai pembeda antara wanita yang merdeka dengan budak (di era perbudakan masih ada). 

Serta banyak faedah-faedah lain dari jilbab dan hijab sesuai yang diinfokan dalam Al Quran dan Hadis, dan juga masih banyak lagi faedah lain yang hanyalah Allah Yang Maha Tahu.

Jilbab atau hijab, jika digunakan dengan benar atau sesuai syar'i maka akan menjadi solusi efektif dalam menutupi potensi maksiat.

Namun demikian, di era ini kita melihat banyak sekali variasi penggunaan hijab atau jilbab. Fashion wanita menjadi suatu komoditas bisnis fashion yang menjanjikan. Sampai-sampai hijab dan jilbab pun dieksploitasi sehingga bisa diarahkan sesuai tren fashion kekinian dan selera masing-masing kaum hawa.

Padahal di dalam Islam telah ditentukan seperti apa jilbab atau hijab yang sesuai syar'i. Selama ini banyak orang hanya sekedar tahu ketentuan umum jilbab atau hijab yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dengan penafsiran berdasarkan keawaman atau akal dan rasio serta selera masing-masing maka diterjemahkanlah ketentuan umum ini dalam jilbab-jilbab kekinian. 

Mereka belum mempertimbangkan bahwa sebenarnya terdapat ketentuan yang lebih spesifik mengenai jilbab atau hijab ini yakni mengenai bahannya, kelonggarannya, sampai sejauh mana menutupi tubuh, cadar dan tidak bercadar, dan lain-lain.

Jadi janganlah berjilbab hanya sekedar berjilbab tanpa mempertimbangakan ketentuan deatail syariat. Akhirnya yang ada malah sebenarnya bukan jilbab tapi jilboob. Jangan sampai upaya mencari pahala dengan berjilbab malah menjadi sia-sia atau malah menjadi sarana terbukanya pintu maksiat.

Secara sederhana, suatu jilbab atau hijab dapat dikatakan sudah memenuhi syar'i jika jilbab atau hijab itu dapat dipakai shalat. Ya, itu saja secara simpel. 

Namun apakah semua wanita muslimah siap melakukannya. Berhubung beberapa muslimah ketika diingatkan atau didakwahi mereka justru menolak. Ironis. Ya ini pada akhirnya dikembalikan kepada tingkat keimanan dan ketakwaan masing-masing. WAllahu a'lam bis Showab.

Senin, 16 Desember 2019

BERLARILAH!

Larilah sekencang mungkin dari dosa dan maksiat dan segala potensi keburukannya. Larilah menyambut hidayah dan menggapai ridho Allah Azza wa Jalla. Larilah mengejar ketertinggalan kita terhadap generasi salafus sholeh dalam hal keimanan, ketakwaan dan juga dalam kualitas dan kuantitas amal ibadah. Larilah dalam kebaikan dan amal sholeh sebelum datang Al Maut yang akan mengakhiri perjalan hidup kita seketika.  🙏🤲

Minggu, 15 Desember 2019

LARANGAN BERSENTUHAN DAN BERJABAT TANGAN DENGAN BUKAN MAHROM

Banyak kaum muslimin meremehkan kaidah larangan berjabat tangan dengan yang bukan mahrom ini. Padahal Rasulullah mencontohkan dan memerintahkan agar kaum muslimin tidak melakukannya. 

Ancaman hukuman bagi yang melanggarnya pun sangat berat kelak di akhirat. Hukumannya di akhirat yakni lebih sakit/berat daripada kepala ditusuk pasak besi.

Semoga yang mengamalkan tidak dicap terlalu kaku/berlebihan dalam beragama, kearab-araban, sumbu pendek, radikal atau ciri-ciri teroris. Karena ini adalah sunnah Nabi dan syariat Islam yang merupakan jalan keselamatan bagi orang-orang yang beriman. Sekali lagi, ini khusus bagi orang yang beriman.

Jangan sampai kita menganggap remeh salah satu sunnah Nabi dan syariat Islam yang mulia ini, dan kemudian tanpa ragu kita melanggarnya. Akhirnya berguguranlah semua pahala kita nanti di akhirat. Dan akhirnya menjadi penyebab gagalnya kita mendapat ridho Allah untuk masuk ke dalam surgaNya.
😅🙏🙏🤝🤝🤝

Sabtu, 14 Desember 2019

ROMANTISME RASULULLAH

Kalau mau jadi seorang yang romantis, belajarlah pada suri teladan terbaik manusia, yakni Rasulullah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Pacarannya setelah menikah. Kemesraan dan perhatiannya baru dicurahkan setelah menikah. Halal barokah. Jangan belajar romantisme dari Dil*n, Rom*o&Juli*t, Cass*nova, shakesp**re, dll yang mengajak pacaran sebelum menikah, berkhalwat, apalagi mengarah pada zina, apalagi sampai melakukannya. Apalagi bahkan sampai berpendapat zina itu halal dalam Islam. Naudzubillah. 🙏🙏🙏

Berikut rangkuman beberapa romantisme yang dicontohkan Rasulullah sebagaimana diambil dari referensi beberapa hadist :

1. Satu selimut bersama istri (HR. Tirmidzi 132)

2. Makan sepiring berdua, minum segelas berdua (HR. Bukhari VI/293)

3. Mencium istri sering-sering (HR. Nasa'i)

4. Mandi bersama istri (HR. Nasa'i I/202)

5. Menyikat/menyisir rambut suami (HR. Ahmad)

6. Membantu pekerjaan rumah tangga (HR. Muslim)

7. Membelai istri (HR. Ahmad)

8. Tetap romantis walau istri sedang haid (HR. Bukhari 7945)

9. Menemani istri yang sedang sakit (HR. Muslim 2770)

10. Memberikan istri hadiah (HR. Ahmad)

11. Mengajak istri ketika hendak keluar kota (HR. Bukhari dan Muslim)

12. Mendinginkan kemarahan istri dengan kemesraan (HR. Ibnu Sunni)

13. memanggil dengan kata-kata mesrah (HR. Muslim)

14. Suami Istri berjalan-jalan berduaan waktu malam (HR. Muslim 2445)

15. Tidur di pangkuan istri (HR. Bukhari)

Selasa, 10 Desember 2019

BUNGA KEHIDUPAN

Janganlah kita silau pada keindahan dunia yag dibukakan kepada kita atau orang di sekitar kita. Keindahan dunia digambarkan sebagai bunga dunia. Sebagaimana sifat bunga yang tidaklah akan mekar selamanya. Ada kalanya bunga itu mekar, adakalanya kuncup, adakalanya tidak berbunga sama sekali. Fase-fase tersebut serba sementara. Dunia ini sementara. Semua yang ada di dunia ini hanya ujian. 

Fokuslah pada apa-apa yang bisa memperbaiki atau meningkatkan amal dan kedudukan kita di sisi Allah. Fokus pada bagaimana kita bisa memperoleh kehidupan akhirat yang sebaik-sebaiknya yang kekal dan abadi. Bunga yang mekar selamanya. 

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Surat Thaha : 131)

Hadis diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk di mimbar sedangkan kami duduk di sekeliling beliau. Beliau bersabda, Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian.” (Hadis Imam Al-Bukhari no. 1465 dan Imam Muslim no. 1052)

[ Krokot/Portulaca/bunga pukul 9 🤗💐 ]

PERUT SIX PACK TERNYATA SUNNAH RASUL

Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah adalah suri teladan terbaik bagi manusia. Rasulullah terkenal sebagai pribadi yang selalu bugar, hampir tidak pernah sakit. Tentunya juga beliau memiliki postur tubuh ideal sebagai panutan umat. 

Berdasarkan informasi dari beberapa hadis diriwayatkan ternyata Rasulullah memiliki perut six pack. 

Jadi, ayo kaum muslimin yang perutnya masih perut prenagen (off side) atau gendut, berjuanglah untuk meniru Rasulullah yang memiliki six pack. 

Semoga upaya kita meniru Rasulullah terhitung sebagai ibadah. Diharapkan ini juga untuk menunjukkan bukti cinta kita kepada Beliau dengan meniru-meniru Beliau dalam segala hal yang dicontohkan dan dianjurkan Beliau, termasuk hidup sehat. Bukankah kita kalau mencintai atau ngefans sama idola kita, maka kita akan berupaya meniru-niru gaya idola kita tersebut?

Hadits dari Ummu Hani, dia menuturkan, "Saya tidak melihat bentuk perut Rasulullah kecuali saya ingat lipatan kertas-kertas yang digulung antara satu dengan yang lainnya". (HR. Ath-Thabarani).

Dalam riwayat lain, "Perutnya (Rasulullah) bagai batu-batu yang tersusun".

Sabtu, 07 Desember 2019

PERBEDAAN CARA SUKSES DUNIA ORANG BERIMAN DAN ORANG DI LUAR ISLAM

Cara kaum muslimin mencapai kesuksesan dunia berbeda dengan cara orang-orang di luar Islam. 

Kalau orang di luar Islam, mereka akan memaksimalkan upaya-upaya dunia mereka, melalui kerja keras banting tulang. Kerja, kerja, kerja, kerja tanpa henti. Selain itu juga melalui jalur pendidikan dunia yang setinggi-tingginya. Mendayagunakan secara maksimal akal dan rasio, melakukan riset-riset dan berinovasi tiada henti. Menggalakkan entrepreneurship, memaksimalkan potensi diri tanpa batas. Hingga waktu tidurnya sedikit. 

Berbeda dengan kaum muslimin yang beriman yang seolah kesehariannya sudah terbebani banyak kewajiban dan sunnah syariat. Ada syariat sholat 5 waktu, sholat-sholat sunnah, bayar zakat, infaq, sedekah, puasa ramadhan dan puasa-puasa sunnah, naik haji, dan kewajiban serta sunnah lainnya. Seolah waktu tersisa untuk mencari dunia bagi kaum muslimin beriman hanya sedikit saja.

Bahkan waktu tidur orang beriman juga banyak berkurang. Bukan karena bekerja tapi karena ibadah. Justru kalau kaidah dalan syariat Islam, tidurlah di awal waktu (setelah Isya), bangun di 1/3 malam terakhir untuk melaksanakan sholat tahajjud, di pagi hari bertebaranlah di muka bumi mencari rejeki yang halal barokah sekedarnya dengan iman dan takwa dan banyak berdzikir. Dari kaidah ini bisa diketahui bahwa sedikitnya waktu tidur kaum muslimin beriman bukan karena bekerja banting tulang tetapi karena melaksanakan sholat malam. 

Namun demikian, walau waktu tersisa bagi kaum muslimim untuk mencari dunia seolah singkat, jika Allah berkehendak, maka dunia dan segala isinya akan diberikan kepada kaum muslimin sesuai dengan yang dikehendaki Allah. 

Alhasil kaidah dan keistiqomahan kaum muslimin beriman ini telah terbukti pernah melahirkan pengusaha-pengusaha hebat nan dermawan seperti Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dll. Dan bahkan di era para Sahabat Nabi itu pun dua negeri adidaya saat itu, Romawi dan Persia, berhasil ditaklukkan. 

Jadi bagi kaum muslimin silahkan memilih cara menggapai kesuksesan dunianya. Apakah akan meniru cara-caranya orang di luar Islam atau akan kembali istiqomah melalui cara-cara Islam seperti pernah dicontohkan generasi salafus shaleh. 
🙏👍

Senin, 02 Desember 2019

ISTIQOMAH ITU BERAT, KALAU RINGAN NAMANYA ISTIRAHAT

Istiqomah itu berat. Kalau ringan namanya istirahat. Janganlah beranggapan kalau sudah komitmen ber-Islam dengan baik dan benar, berhijrah meninggalkan kemaksiatan untuk kemudian berupaya menegakkan Al Quran dan Sunnah, maka hidup akan tenang dan tentram, dijamin masuk surga. 

Tidak demikian. 

Justru ujian akan datang semakin kencang, bertubi-tubi. Ini adalah hakikat dunia yang memang diciptakan sebagai ujian bagi manusia. Dunia merupakan tempat berlelah-lelah bagi orang beriman. Tempat menanam amal-amal dan menghadapi segala ujian. 

Sedangkan tempat istirahat orang beriman adalah surga. Ini tempat penuh segala kenikmatan dimana kita akan memanen amal-amal kita selama di dunia. Hal ini hanya bisa diraih melalui amalan-amalan kita yang Diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla. 

Jadi mumpung masih di dunia, banyak-banyaklah beramal, terus perbaiki kualitas amalan, serta bersabarlah dan istiqomahlah dalam menghadapi segala ujian. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu [Muhammad/47:31]

Allâh Azza wa Jalla berfirman: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? [al-‘Ankabût/29:2]

Allâh Azza wa Jalla berfirman: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân/3 : 186]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allâh membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa [HR. at-Tirmidzi no.2398 , an-Nasâ’i di as-Sunan al-Kubrâ no. 7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadits shahîh. Ash-Shahîhah no. 143)]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh Radhiyallahu anhu : “Ya Rasûlullâh! Siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” [HR. at-Tirmidzi no. 2398, an-Nasâi no. 7482, Ibnu Mâjah no. 4523 (ash-Shahîhah no. 143)]

Sabtu, 23 November 2019

JILBOOB ATAU JILBAB SYAR'I

Semasa kuliah dulu sempat ikutan sinis melihat akhwat berjilbab besar atau bercadar. Tapi Alhamdulillah justru hal tersebut mendorong saya mempelajari agama lebih jauh dan atas berkat rahmat Allah tersingkaplah mana yang benar dan mana yang salah. Tinggal pilihan masing-masing, mau tunduk pada syariat Allah secara penuh atau tidak.

Benar. Ini adalah pilihan masing-masing. Tidak ada paksaan. Apakah seorang wanita muslim memilih mengenakan jilbab sesuai syar'i. Atau memilih mengenakan jilbab sekedarnya atau jilboob. Atau malah tidak mau mengenakan jilbab sama sekali. 

Tugas kita hanya mengingatkan dan mengajak.

Sebenarnya ini juga tanggung jawab setiap orang tua muslim. Yakni untuk mendidik anak gadisnya untuk menjadi solehah. Salah satu ukuran kesolahaan adalah komitmen dalam menjaga aurat sesuai syariah. 

Kalau menjaga aurat yang sesuai syar'i sudah bisa, insya Allah dia akan bisa menjaga yang lain. 

Jumat, 01 Juni 2018

PENANGGULANGAN PAHAM TERORISME


Akhir-akhir ini terorisme dipandang sebagai musuh no. 1 di dunia. Sayangnya, aktivitas terorisme ini terkesan selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Ini bisa dilihat dari bagaimana media-media memberitakan kasus-kasus terorisme. Termasuk juga ada kecenderungan sikap aparat yang kurang tepat dalam menyikapi ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam. Pemerintah-pemerintahan dunia juga terbawa suasana dan akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyudutkan umat Islam, misalnya pelarangan penggunaan burqa/cadar, pengawasan ketat dan kecurigaan berlebihan terhadap umat Islam, pelarangan turis Muslim, dan lain sebagainya.

Dampaknya, di satu sisi islamfobia kian tumbuh subur. Terutama di Eropa, Amerika, termasuk mungkin di negeri sendiri,Indonesia, negara berpenduduk umat Islam terbesar dunia. Islamphobia yang semakin berkembang ini memungkinkan timbulnya intimidasi psikologis dan fisik, penghakiman (judgement) masyarakat yang membabi buta terhadap umat Islam, ketidak adilan tindakan aparat penegak hukum terhadap umat Islam. Ini memberi dorongan pada sejumlah kecil pemeluk Islam yang masih minim pemahaman ke-Islamannya akhirnya terjerumus dalam pemikiran-pemikiran yang mengarah pada radikalisme. Pada tingkat radikalisme yang parah, paham terorisme pada akhirnya akan mudah menjangkiti pemikiran seorang muslim.

Perlu diingat, bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme. Terorisme didefinisikan sebagai upaya penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sementara Islam dalam mencapai tujuan dakwah, tidak mengenal upaya-upaya yang menimbulkan ketakutan apalagi kekerasan. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Ibadah jihad merupakan salah satu ibadah umat Islam sering dihubung-hubungkan dengan aktivitas terorisme. Padahal, Jihad sebenarnya merupakan salah satu aktivitas ibadah dan dakwah umat Islam yang memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang sangat ketat. Tidak bisa dilakukan serampangan. Pemahaman yang salah mengenai jihad merupakan faktor utama penyebab timbulnya terorisme yang mengatasnamakan Islam dan pada akhirnya mendorong penilaian yang salah masyarakat dunia terhadap Islam.

Aktivitas terorisme memiliki landasan yang dijadikan pembenaran dalam melakukan aksinya. Pada saat ini, yang sedang disorot dunia adalah aktivitas terorisme yang membawa-bawa nama dan ajaran Islam. Padahal kita bisa melihat sejarah kelam di masa lalu, dimana banyak juga kegiatan terorisme, genosida, peperangan yang membawa-bawa landasan-landasan lain sebagai pembenaran aktivitas kejamnya.

Bisa dikatakan bahwa terorisme adalah kesalahan pemikiran yang kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan teror. Tidak tepat jika terorisme dikaitkan dengan cara berpakaian dan berpenampilan. Misalkan seorang muslimah yang bercadar atau seorang pria muslim yang berjenggot. Tidak tepat pula jika terorisme dikaitkan dengan ajaran umat Islam atau ajaran agama lainnya. Sekali lagi, terorisme adalah kesalahan pemahaman seseorang. Untuk itu, upaya memberantas paham terorisme haruslah dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya menyadarkan pemikiran-pemikiran yang berpaham terorisme atau yang mengarah ke sana. Bukan dengan melakukan pelarangan-pelarangan hak ibadah seseorang sesuai keyakinannya.

Upaya memberantas terorisme yang menitikberatkan pada upaya yang berbau militer adalah tidak tepat. Kegiatan buru, sergap, tangkap, tembak mati di tempat, dan lain-lain tanpa ada klarifikasi yang dibuktikan secara kuat dan otentik akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Justru upaya ini akan mendorong munculnya tindakan-tindakan represif dari aparat, pemerintah, dan termasuk penghakiman prematur dari masyarakat, yang pada akhirnya mendorong paham terorisme justru semakin tumbuh subur terutama di tengah-tengah kaum/kelompok yang dizalimi, dimarjinalkan, dan terintimidasi. Pepatah lama mengatakan masyarakat seringkali secara tidak sadar menciptakan monster yang akan menghancurkan masyarakat itu sendiri.

Seharusnya, pendekatan melalui dialog dan kekeluargaan lebih diutamakan. Kelompok/badan yang menangani upaya pemberantasan terorisme haruslah berasal dari tokoh masyarakat, alim ulama, pemuka agama, dan kalangan intelektual yang dihormati di masyarakat. Setiap kali ditemukan adanya indikasi bahwa seseorang/kelompok terjangkit paham radikalisme atau terorisme maka sebaiknya dibangun dulu dialog dan diskusi baik secara terbuka ataupun tertutup. Jika upaya dialog dan diskusi tidak berhasil maka barulah upaya militer dilakukan.

Sebagai umat Islam kita harus lebih mengutamakan merujuk/mereferensi pada praktek-praktek yang dilakukan di masa Rasulullah dan Para Sahabat. Tercatat dalam sejarah, pendekatan melalui dialog seperti ini telah pernah dilakukan di era Sahabat Nabi, yakni oleh Ibnu Abbas Radiallahu Anhu, pada masa pemerintahan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas kepada orang-orang Khawarij untuk berdialog bersama mereka. Kisah dialog Ibnu Abbas ini dicatat oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis sebagai berikut:

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk memberontak kepada khalifah. Ketika itu, jumlah mereka enam ribu orang.

Semenjak Khawarij berkumpul, setiap orang yang mengunjungi Ali radhiallahu ‘anhu berkata –mengingatkannya–, “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”

Ali menjawab, “Biarkan saja, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan melakukannya.”

Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dzuhur aku menjumpai Ali radhiallahu ‘anhu. Aku (Ibnu Abbas) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dzuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.

“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”

Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma berkata, “Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”

Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku, “Selamat datang, wahai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Apa gerangan yang membawamu kemari?”

Aku berkata, “Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga dari sisi menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (yakni Ali bin Abi Thalib), kepada para sahabat-lah Alquran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Alquran daripada kalian.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan tentang kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar dan bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Alquran dan sunnah yaitu mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Alquran diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Alquran dan sunnah. Ibnu Abbas juga menegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di sisi Allah, yaitu menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–,sebagian Khawarij memberi peringatan, “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.). Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)

Ibnul Jauzi kembali melanjutkan kisah ini: Dua atau tiga orang dari mereka berkata, “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.

Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Alquran diturunkan kepada mereka, dan tidak ada seorang sahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran Alquran.”

Mereka berkata, “Kami punya tiga alasan.”

Ibnu Abbas mengatakan, “Sebutkan (tiga alasan kalian).”

“Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman,

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)

Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka.

Ibnu Abbas menanggapi, “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”

Mereka melanjutkan, “Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bertanya lagi, “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”

Kata mereka, “Ketiga, dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ada alasan selain ini?” Mereka berkata, “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”

Bantahan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma atas dangkalnya pemahaman Khawarij

Lihatlah, bagaimana Khawarij mudah memvonis kafir, dan memberontak sekalipun kepada khalifah ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah kerancuan yang sangat lemah dan menunjukkan kedangkalan mereka dalam memahami Alquran dan sunnah.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mulai menanggapi, “Ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”

Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95)

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’alaberfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)

Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka katakana, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.”

Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).

Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata lagi, “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?

Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”

Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”

Demikian tiga kerancuan pola pikir Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali radhiallahu ‘anhu. Semua kerancuan tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Alquran dan sunnah.

Minggu, 14 Januari 2018

MUNGKINKAH MEMISAHKAN AGAMA ISLAM DARI POLITIK


Bagi seorang muslim, agama adalah panduan segala aspek kehidupan, termasuk juga dalam aspek politik. Di dalam Islam telah terdapat banyak panduan-panduan yang berhubungan dengan politik, misalkan :
  1. Perintah untuk bersatu dalam tali agama Allah
  2. Panduan memilih dan taat kepada pemimpin
  3. Panduan menjaga keamanan dan ketertiban umum
  4. Kaidah dan etika menasehati pemimpin
  5. panduan menyikapi pemimpin zalim
  6. Panduan dalam memilih pejabat
  7. Panduan menyelesaikan perselisihan dengan kembali kepada Al Quran dan Sunnah
  8. Panduan al wala' wal bara'
  9. Panduan penegakan hukum yang tidak boleh tebang pilih
  10. dll

Ulama-ulama juga banyak yang mengeluarkan buku khusus yang membahas politik syar'i, misalkan :
  1. Ahkam Sulthaniyah oleh Al-Mawardi
  2. As-Siyasah Asy-Syar’iyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
  3. Ahkam Sulthaniyah oleh Abu Ya’la Al-Mushili
  4. Ath-Thuruqul Hukmiyah oleh Ibnul Qayyim
  5. dan sebagainya
Dengan demikian, umat Islam tidak mungkin memisahkan agama dengan politik. Memisahkan agama (Islam) dengan politik sama saja mendorong para politisi muslim agar tidak menjadikan panduan agama dalam kegiatan berpolitiknya. Melaksanakan dan mengaplikasikan panduan agama Islam dalam kegiatan politik adalah hak (setiap warga muslim di negara ini) dan sekaligus kewajiban (mentaati perintah Allah dan menjauhi laranganNYA) bagi setiap muslim.



Sabtu, 30 Desember 2017

MENYIKAPI NAIKNYA HARGA


Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan mengenai naiknya harga-harga keperluan sehari-hari. Naiknya harga sembako, naiknya harga BBM, naiknya harga pulsa dan paket data, naiknya harga LPG, naiknya tarif listrik, naiknya biaya/tarif tol, dan lain sebagainya. Tak jarang kita mendengar dan melihat orang-orang pada berkeluh kesah terkait kenaikan harga-harga tersebut. Keluh kesah dilakukan di semua tempat mulai di warung kopi hingga di media-media sosial. Bahkan Pemerintah dan instasi terkait pun pada akhirnya menjadi sasaran umpatan dan cacian. Lalu bagaimanakah sebaiknya kita menyikapinya?

Sebagai seorang muslim, kita haruslah mencontoh bagaimana Rasulullah dan Para Sahabat dan orang-orang sholeh terdahulu dalam menyikapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, seperti misalnya krisis ekonomi dan kenaikan harga-harga barang.

Disebutkan dalam riwayat Hadis bahwa pernah terjadi kenaikan harga di era Rasulullah. Maka Para Sahabat Nabi mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan keluhannya. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”

Mendengar keluhan para Sahabat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).

Dalam suatu kisah, sempat terjadi kenaikan harga pangan tinggi di masa silam. Masyarakat mengadukan kondisi ini kepada salah seorang ulama di masa itu. Maka kemudian ulama tersebut memberikan komentar, “Demi Allah, saya tidak peduli dengan kenaikan harga ini, sekalipun 1 biji gandum seharga 1 dinar! Kewajibanku adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang Dia perintahkan kepadaku, dan Dia akan menanggung rizkiku, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepadaku.”

Maka dari itu, sebagai masyarakat, selayaknya kita berserah diri kepada Allah atas segala peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi karena izin Allah. Harga-harga naik pun semuanya terjadi atas izin Allah. Sebagai ujian bagi kita dan juga bagi para pengambil kebijakan. Jadi tidak ada alasan untuk berkeluh kesah, apalagi mencaci maki dan mencemooh pemerintah dan instansi-instansi terkait.

Jika memang memiliki keahlian dan kemampuan sebaiknya berilah masukan dan saran secara langsung kepada Pemerintah dan instansi-intansi terkait dengan cara yang baik. Siapa tahu masukan dan saran tersebut kemudian dapat menjadi landasan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang dapat membantu pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh. Jika memang menemukan adanya aksi-aksi beberapa oknum yang mempermainkan harga dan memiliki bukti yang kuat maka cukuplah laporkan kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.

Sementara itu, jika kita termasuk orang yang diberikan kecukupan harta, maka perlu juga berkontribusi sesuai kemampuan dalam rangka meringankan beban umat dalam menghadapi kenaikan harga barang atau krisis ekonomi yang tengah terjadi. Bukan malah aji mumpung memanfaatkan situasi dan kondisi untuk memperkaya diri sendiri di tangah penderitaan orang lain.

Salah satu contohnya adalah yang pernah dipraktekkan Sahabat Rasulullah, Khalifah ke-3, Usman bin Affan. Ketika kaum Muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka dihadapkan pada masalah kesulitan air. Pada masa itu, terdapat sebuah sumur di Madinah. Tetapi sumur tersebut dimiliki seorang Yahudi yang sengaja memperdagangkan air di sumur tersebut untuk keuntungan pribadi dan memanfaatkan situasi dan kondisi kesulitan air yang terjadi.

Rasulullah SAW kemudian menyampaikan harapan agar ada salah seorang sahabat yang membeli sumur tersebut untuk meringankan beban kaum Muhajirin yang sedang menderita karena harta benda mereka ditinggalkan di kota Mekkah saat hijrah. Usman bin Affan bergegas pergi ke rumah orang Yahudi tersebut untuk membeli sumur tersebut. Akhirnya terjadi kesepakatan bahwa sumur tersebut dibeli separuh oleh Usman, maksudnya satu hari sumur itu menjadi hak orang Yahudi itu, dan keesokan harinya adalah hak Usman bin Affan, dan terus bergantian.

Pada giliran hak pakai Usman bin Affan, beliau memberikan gratis pemanfaatan air dari sumur tersebut kepada kaum muslimin. kaum Muslimin pun bergegas mengambil air yang cukup banyak untuk kebutuhan dua hari. Sedangkan pada hari berikutnya ketika sumur tersebut menjadi hak si Yahudi, tidak ada orang yang membeli air dari sumurnya. Hal ini menyebabkan si Yahudi merasa rugi. Akhirnya si Yahudi tersebut menjual separuh hak penggunaan sumurnya kepada Usman dan sepenuhnya menjadi milik Usman. Sumur itu mengalirkan air yang melimpah bagi kaum Muslimin dengan gratis. Sumur Ustman ini masih bisa dijumpai di wilayah Madinah hingga saat ini.

Bentuk kedermawanan lain Usman bin Affan, pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., kaum Muslimin dilanda paceklik yang dahsyat. Serombongan kafilah dari Syam milik Usman bin Affan yang terdiri dari seribu unta yang mengangkat gandum, minyak dan kismis tiba di Madinah. Tak lama kemudian para pedagang (tengkulak) datang menemui Usman dengan maksud ingin membeli barang-barang tersebut.

Terjadi tawar-menawar hingga para pedagang itu bersedia menaikkan tawarannya empat sampai lima kali lipat. Akan tetapi Usman bin Affan tetap menolak dengan alasan sudah ada penawar yang akan menawar lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut. Akhirnya para pedagang (tengkulak) semuanya menyerah, lalu berkata kepada Usman, "Hai Usman, di Madinah ini tidak ada pedagang selain kami, dan tidak ada yang mendahului kami dalam penawaran, siapa orang yang berani menawar lebih tinggi dari kami..?"

Usman menjawab, "Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat, apakah kalian mau memberi lebih dari itu..?"

Mendengar itu, mereka menyerah dan tidak mencoba menawar lagi. Labih kagetnya lagi, Usman menyampaikan bahwa seluruh yang dibawa kafilah itu dia sedekahkan untuk para fakir miskin dari kaum Muslimin. Dia memberikan semua hasil dagangan dari Negeri Syam tersebut secara gratis.

Itulah sebagian contoh dari kedermawanan Usman bin Affan r.a. dalam meringankan beban masyarakat saat terjadinya krisis.

Karenanya, berkontribusilah sesuai kemampuan dalam upaya meringankan beban masyarakat. Kalaupun merasa belum ada kemampuan untuk berkontribusi, maka setidaknya tidak menebar cacian dan umpatan kepada pemerintah dan instansi-instansi yang ditengarai berperan dalam kenaikan harga.

Minggu, 29 Oktober 2017

MENGAPA NYINYIR PADA WANITA BERJILBAB DAN BERCADAR


Jika selama ini banyak orang tidak masalah dengan mbak perawat/dokter/guru/karyawati/siswi yang mengenakan rok (bahkan rok mini) dan pakaian ketat, seharusnya mereka juga tidak akan mempermasalahkan wanita yang berjilbab, berjilbab lebar dan bahkan yang bercadar.

Kemungkinan pertama, mereka yang berkeberatan terhadap jilbab, jilbab lebar dan bahkan jilbab bercadar adalah orang-orang yang pikirannya senang mesum, sehingga terhalangilah kemesumannya tersebut oleh pakaian serba tertutup yang dikenakan seorang wanita muslimah. Kemungkinan kedua, karena mereka sedang terjangkit virus islamphobia. Pokoknya mereka akan selalu berpikiran negatif atau berprasangka buruk terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Termasuk cara berpakaiannya. Kemungkinan lainnya adalah karena kurang pahamnya mereka terhadap syariat berjilbab/berhijab bagi wanita muslimah termasuk detail-detail syarat dan ketentuan berlakunya. Sehingga ketika mereka menemui suatu praktek yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan, mereka langsung menolak dan menutup diri serta tidak berupaya terbuka pada doalog dan diskusi untuk memahami.

Padahal Fashion berjilbab dan bercadar untuk wanita sempat nge-trend di era Nabi Muhammad, para Sahabat, dan generasi-generasi setelahnya sampai ke-khalifa'an Islam terakhir, Turki Ustmani. Ini bukanlah upaya mengekang kebebasan kaum wanita seperti diserukan para pendukung feminisme. Akan tetapi, ini adalah upaya seorang wanita muslimah yang beriman dan bertakwa untuk menjalankan perintah agama. Sekaligus, ini adalah hak setiap wanita untuk mengenakan apa yang ingin mereka kenakan sesuai keyakinan agamanya. Fashion Islami serba tertutup ini adalah untuk memuliakan wanita muslimah dan melindunginya dari pandangan/gangguan laki-laki buaya dan berbagai bentuk eksploitasi wanita.

Coba kita bandingkan dengan fashion wanita zaman sekarang yang tampak semakin terbuka dan semakin bebas (tapi laki-laki suka 😝). Sebenarnya ini menunjukkan bahwa trend fashion terbuka ini semakin mengarah kembali ke fashion era jahiliyah. Justru inilah yang menandakan kemunduran peradaban umat manusia. Manusia beradab akan senantiasa menutupi tubuhnya secara layak.

Maka dari itu, hal ini perlu dicermati dan direnungi bersama. Mengapa seorang wanita yang hendak menutup auratnya justru dinyinyirin, diprasangkai buruk, dianggap berlebihan dan bahkan dilarang. Sementara itu, wanita-wanita lainnya yang membuka auratnya dengan alasan berkesenian dan kebebasan berekspresi justru dipuja-puji dan dibayar mahal. Tanya kenapa?

Sabtu, 28 Oktober 2017

MENGAPA NEGERI MUSLIM KALAH MAJU DENGAN NEGERI NON MUSLIM


Sering orang bertanya kenapa kini negeri-negeri muslim kalah maju dengan negeri-negeri kafir/non muslim di semua bidang. Baik di bidang ilmu pengetahuan & teknologi, politik, ekonomi, sosial & budaya, pertahanan & keamanan, dll. Jawabannya yang saya tahu ada dua.

Pertama, karena istidraj terhadap negeri-negeri non muslim tersebut sehingga mereka cenderung semakin tenggelam dalam urusan dunia dan semakin jauh dari hidayah Islam. Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada seseorang/kaum padahal seseorang/kaum tersebut jauh dari petunjuk-Nya, dimana hal ini sebenarnya merupakan penundaan azab bagi mereka. Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah (QS. Al-An’am : 44) yang artinya, “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad, no. 17349, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

Kedua, Umat Islam mengalami kemunduran karena kini kaum muslimin belum menerapkan Al Quran dan Sunnah secara kaffah (total) seperti di era terdahulu. Kaum muslimin kemudian lebih memilih untuk mengikuti/meniru jalannya orang-orang non muslim yang dianggap lebih modern dan lebih keren serta secara bersamaan cenderung meninggalkan syariat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan diangkatlah kedigdayaan dan keberkahan dari negeri-negeri kaum muslimin oleh Allah Azza Wa Jalla.

Bagi Umat Islam yang benar-benar beriman, maka mereka akan percaya bahwa umat Islam dapat mencapai kejayaannya kembali cukup dengan bermodalkan Iman yang benar kepada Allah yakni yang sesuai pedoman sunnah Nabi dan sunnah khulafaur Rasyidin. Karena kalau iman sudah benar dan berjaya di tubuh kaum muslimin maka hal ini secara otomatis akan menarik kejayaan di bidang-bidang lain seperti kejayaan di bidang sains, teknologi, ekonomi, militer, politik, sosial, budaya, dll. Dan ini sudah terbukti pada masyarakat Arab di era Nabi dan Para Sahabat dimana dengan kondisi masyarakat arab di masa itu yang terbelakang di bidang sains, teknologi, politik, militer, dll dibandingkan peradaban Romawi dan Persia, namun mereka dengan semangat iman dan Islam ternyata bisa menjadi peradaban unggulan hingga ribuan tahun berikutnya, mengungguli peradaban super power saat itu yakni Romawi dan Persia.

Insya Allah kalau mayoritas umat Islam sudah kembali berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah sesuai pemahaman dan prakteknya generasi salafus saleh, semakin semangat beramar makruf nahi mungkar, maka akan dihadirkan kembali ditengah kaum muslimin, ilmuan-ilmuan muslim yang berpartner dengan para ulama dan pemimpin-pemimpin yang soleh dalam membangun peradaban Islam yang unggul dan Rahmatan Lil Alamin. Termasuk juga hadirnya sistem yang mendukung ilmuan-ilmuan muslim tersebut berkembang dan berkontribusi maksimal. Sesuai dengan janji Allah : 

“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa (kepada Allah) sesungguhnya Kami (Allah) bukakan kepada mereka (pintu-pintu) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjakan.” [Qs. Al-A’raf: 96]

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS Âli ‘Imrân, 3: 110]

Seandainya umat Islam kembali secara kaffah kepada Al Quran dan Hadis sesuai Standar Pemahaman dan Prakteknya generasi Salafus Sholeh (generasi awal ke-Islaman : Para Shabat Nabi, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in) maka niscaya tidak akan ada perdebatan dan keributan yang tidak perlu dalam pembahasan syariat-syariat Agama Islam yang sudah sempurna seiring berakhirnya era kenabian, sehingga waktu, tenaga dan pikiran umat Islam bisa difokuskan untuk membangun peradaban dunia. 

Namun sayangnya sebagian umat Islam justru menggunakan standar-standar selain standar salafus shaleh dalam memahami syariat agamanya sendiri. Ada yang lebih memilih mengedepankan menggunakan Standar akal, Standar rasio, Standar perasaan, Standar Selera, Standar Ormas, atau malah pakai Standar-Standar kaum di luar Islam. Padahal para Salafus Sholehlah yang paling memahami intepretasi Al Quran dan Hadis karena mereka hidup di era awal ke-Islaman yang dibawa Nabi Muhammad dan telah banyak kitab yang mereka tinggalkan untuk generasi selanjutnya. Ulama-ulama berikutnya hingga saat ini pun sebenarnya masih banyak yang berpegang teguh Al Quran dan Sunnah sesuai pada standar pemahaman & praktek salafus saleh. Walaupun dalam kenyataannya bagi sejumlah kaum muslimin, ulama-ulama tersebut sering dijadikan sasaran fitnah oleh mereka yang tidak suka.  

Jadi seharusnya tidak perlu lagi aqidah-aqidah, praktek-praktek, dan pokok-pokok dalam agama Islam diotak-atik, dimodifikasi, dikreasikan baru, atau justru diakal-akalin dimana hal ini akan menimbulkan polemik berkepanjangan di internal umat Islam. Tinggal laksanakan saja sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi salafus sholeh, dan apa yang tidak dicontohkan jangan dikerjakan. Jika menemukan ada perselisihan pendapat ambil mana yang telah menjadi kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama dan yang paling kuat referensi dalilnya. Mungkin tinggal pembahasan permasalahan-permasalahan kontemporer saja yang akan terus berlangsung. 

Apabila demikian adanya, maka semua potensi tenaga, akal dan rasio, dan waktu berharga umat Islam akan dapat banyak difokuskan untuk pengembangan keilmuan dunia seperti sains & teknologi, politik, ekonomi, sosial & budaya, pertahanan & keamanan global, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Bukan malah justru seperti selama ini dimana energi umat Islam banyak dihabiskan dalam debat kusir tak berujung, perselisihan, perpecahan, mengenai masalah-masalah syariat Islam yang sebenarnya telah jelas tuntunannya, yakni sesuai Al Quran dan Sunnah sesuai Standar Pemahaman dan Prakteknya generasi Salafus Sholeh.

Minggu, 22 Oktober 2017

PRIBUMI


Pribumi adalah kata yang akhir-akhir ini cukup meramaikan perbincangan di tengah-tengah masyarakat tanah air. Pribumi berarti penghuni asli yang mendiami suatu wilayah tertentu yang biasanya memiliki kesamaan ciri fisik, karakter dan bahasa. Kita mengenal suku aborigin adalah penghuni asli benua Australia. Suku Indian adalah penghuni asli benua Amerika. Termasuk di Indonesia, kita mengenal berbagai suku yang mendiami wilayah Nusantara.

Wacana yang akhir-akhir ini mengemuka adalah perlunya mengutamakan pengembangan kaum pribumi daripada kaum non pribumi. Hal ini didasarkan adanya fenomena semakin pudarnya pengaruh kaum pribumi dibandingkan pengaruh kaum non pribumi. Padahal kaum pribumi ini adalah penduduk asli wilayah tersebut.

Degradasi pengaruh kaum pribumi di wilayahnya sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor/peristiwa. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, dapat diakibatkan karena adanya aktivitas kolonialisme/penjajahan. Bangsa penjajah akan sesegera mungkin menggusur peranan kaum pribumi demi menguasai kekayaan alam dan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah yang dihuni kaum pribumi.
Kedua, adanya kecenderungan semangat untuk survive dan eksis yang tinggi dari kaum non pribumi. Kaum non pribumi/imigran/pendatang cenderung memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Sebagai pendatang di suatu negeri mereka memiliki semangat untuk survive. Mereka cenderung ulet, pekerja keras, kreatif, berani mengambil resiko, serta cenderung kompak dengan sesama pendatang karena ada rasa senasib sepenanggungan. Hal inilah yang tak jarang mengantarkan para pendatang/imigran/non pribumi kepada kesuksesan di tempat perantauan/hijrah, terutama dalam bidang ekonomi.
Ketiga, karena adanya kecenderungan karakter penduduk asli/pribumi yang biasanya kurang memiliki kecakapan dalam memanfaatkan peluang dan mengelola potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Penduduk asli pribumi cenderung telah merasa nyaman dengan kondisi yang sudah ada, kurang dapat merangkul perubahan, dan seringkali berpecah belah antar sesama mereka.

Oleh karena itu, akhir-akhir ini semakin mencuatlah isu perlunya kebijakan-kebijakan proteksi dan pengembangan aktivitas kaum pribumi agar kaum pribumi ini memiliki pengaruh yang kuat di segala bidang di wilayahnya sendiri. Istilahnya, menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.

Hal tersebut adalah hal yang wajar dilakukan di negeri-negeri lain. Misalnya Donald Trump dalam kampanyenya ketika mencalonkan diri menjadi presiden USA, mengangkat isu perlunya membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru di Amerika bagi penduduk USA. Bahkan secara ekstrem sempat disebutkan bahwa Donald Trump akan membangun tembok raksasa di perbatasan USA dan Meksiko untuk mencegah gelombang deras imigran yang masuk ke USA.

Hal sejenis juga dilakukan oleh Inggris ketika memutuskan keluar dari Uni Eropa. Peristiwa ini disebut sebagai Brexit yang berarti British Exit. Salah satu hal yang melatar belakangi Inggris keluar dari Uni Eropa adalah pengaruh imigran yang dinilai semakin mengancam eksistensi penduduk asli Inggris.

China pada sekitar tahun 2015 juga sempat melakukan pengetatan aturan bagi perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China. Hal ini bahkan sempat membuat sejumlah perusahaan asing angkat kaki dari China dan mengalihkan investasi ke negara-negara Asia Tenggara. Uni Eropa juga sempat melakukan perubahan aturan proteksi perdagangan (trade remedy) yang bermaksud melindungi perdagangan di internal Uni Eropa dari serbuan produk-produk dari luar Uni Eropa yang harganya murah.

Dalam prakteknya, kita bisa mempelajari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah dalam mengelola isu kesukuan dan pribumi-non pribumi ini. Di era Rasulullah kita mengenal ada kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Kaum Muhajirin adalah penduduk Mekkah muslim yang hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah karena penindasan kaum kafir/non muslim kepada mereka selama di Mekkah.

Kaum Anshor adalah penduduk asli kota Madinah. Kaum Anshor terdiri dari dua suku besar yakni suku Aus dan Khazraj. Sebelum Rasulullah hadir, kedua suku ini selalu terlibat perselisihan dan perang.

Di Madinah juga terdapat beberapa kelompok kaum Yahudi yang hijrah ke Madinah sejak lama karena menunggu nubuwat kenabian bahwa akan hadir Nabi terahir mereka di Madinah. Namun ketika hadir Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam yang ternyata adalah keturunan dari Nabi Ismail, bukan Nabi Ishaq, mereka kemudian tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.

Melalui kepemimpinan Nabi Muhammad di Medinah, Kaum Aus dan Khazraj dipersatukan dan kemudian disebut kaum Anshor. Kaum Anshor dipersaudarakan dengan Kaum Muhajirin dengan semangat persaudaraan Islam. Mereka bersama-sama bahu-membahu membangun kota Madinah dan berjihad bersama. Selain itu dibuat juga perjanjian bersama dengan suku-suku Yahudi untuk bersama-sama menjaga kota Madinah jika terjadi serangan. Walau pada akhirnya beberapa suku Yahudi berkhianat dan berujung pada pengusiran mereka dari wilayah Madinah. Namun kepada beberapa suku Yahudi yang tetap berkomitmen terhadap perjanjian, Rasulullah pun senantiasa bersikap adil dan memberikan apresiasi-apresiasi dan perlindungan.

Jumat, 11 Agustus 2017

MENGAKU BERJIHAD TAPI TIDAK SESUAI DENGAN KAIDAH JIHAD DALAM SYARIAT


Seperti halnya sholat dan haji, ibadah jihad juga ada kaidah-kaidahnya. Jika kaidah-kaidah ini tidak dilaksanakan maka "upaya yang dianggap jihad" tersebut tidak bisa dikatakan "jihad" karena tidak sesuai dengan kaidah-kidah jihad dalam syariat Islam. 

Sama seperti orang sholat tapi gerakannnya atau jumlah rakaatnya tidak sesuai kaidah yang ditetapkan syariat, maka usaha orang tersebut tidak bisa dikatakan sah sholat. Sama juga misal ada orang hendak haji tapi hajinya bukan ke mekkah dan dilakukan tidak di tanggal-tanggal yang ditetapkan pada bulan haji, maka orang tersebut juga tidak bisa dikatakan sedang berhaji. 

Kalau ada orang-orang nekat melakukan pengrusakan/teror/pengeboman dan menganggap dirinya berjihad padahal yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jihad, maka kemungkinan besar dia tidak tahu atau belum paham kaidah-kaidah jihad yang benar. Atau bisa juga ada orang-orang jahat yang memanfaatkan orang-orang yang belum paham kaidah-kaidah jihad ini untuk mendukung kepentingan terselubung mereka.

Adapun beberapa kaidah dan syarat berjihad diantaranya :
  1. Jihad harus dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  2. Jihad tersebut harus dimaksudkan semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah.
  3. Jihad haruslah diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik.
  4. Jihad hendaknya dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain.
  5. Jihad haruslah dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman.
  6. Jihad (tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik.
  7. Jihad di jalan Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah ?
  8. Jihad haruslah dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih besar.
  9. Didasarkan pada pondasi Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara : Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  10. (Sumber : https://almanhaj.or.id/1888-kaidah-kaidah-dalam-berjihad.html)
  11. Mendapat izin dan ridho orang tua.