Saling Berbagi Pengetahuan, Pemikiran dan Cerita Terkait Agama, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Kesehatan, Lingkungan, Energi, Bisnis, Manajemen, Sosial, Budaya, Sejarah, Dll
Kamis, 19 Desember 2019
KEJAR DUNIA ATAU KEJAR AKHIRAT?
Rabu, 18 Desember 2019
IBU SEBAGAI MADRASAH PERTAMA BAGI ANAK
KARUNIA KESEHATAN
Selasa, 17 Desember 2019
JADILAH MUSLIM YANG BIASA-BIASA SAJA?
JANGANLAH BERJILBAB SEKEDAR MENUTUPI KEPALA
Senin, 16 Desember 2019
BERLARILAH!
Minggu, 15 Desember 2019
LARANGAN BERSENTUHAN DAN BERJABAT TANGAN DENGAN BUKAN MAHROM
Sabtu, 14 Desember 2019
ROMANTISME RASULULLAH
1. Satu selimut bersama istri (HR. Tirmidzi 132)
2. Makan sepiring berdua, minum segelas berdua (HR. Bukhari VI/293)
3. Mencium istri sering-sering (HR. Nasa'i)
4. Mandi bersama istri (HR. Nasa'i I/202)
5. Menyikat/menyisir rambut suami (HR. Ahmad)
6. Membantu pekerjaan rumah tangga (HR. Muslim)
7. Membelai istri (HR. Ahmad)
8. Tetap romantis walau istri sedang haid (HR. Bukhari 7945)
9. Menemani istri yang sedang sakit (HR. Muslim 2770)
10. Memberikan istri hadiah (HR. Ahmad)
11. Mengajak istri ketika hendak keluar kota (HR. Bukhari dan Muslim)
12. Mendinginkan kemarahan istri dengan kemesraan (HR. Ibnu Sunni)
13. memanggil dengan kata-kata mesrah (HR. Muslim)
14. Suami Istri berjalan-jalan berduaan waktu malam (HR. Muslim 2445)
15. Tidur di pangkuan istri (HR. Bukhari)
Selasa, 10 Desember 2019
BUNGA KEHIDUPAN
PERUT SIX PACK TERNYATA SUNNAH RASUL
Sabtu, 07 Desember 2019
PERBEDAAN CARA SUKSES DUNIA ORANG BERIMAN DAN ORANG DI LUAR ISLAM
Senin, 02 Desember 2019
ISTIQOMAH ITU BERAT, KALAU RINGAN NAMANYA ISTIRAHAT
Sabtu, 23 November 2019
JILBOOB ATAU JILBAB SYAR'I
Jumat, 01 Juni 2018
PENANGGULANGAN PAHAM TERORISME
Akhir-akhir ini terorisme dipandang sebagai musuh no. 1 di dunia. Sayangnya, aktivitas terorisme ini terkesan selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Ini bisa dilihat dari bagaimana media-media memberitakan kasus-kasus terorisme. Termasuk juga ada kecenderungan sikap aparat yang kurang tepat dalam menyikapi ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam. Pemerintah-pemerintahan dunia juga terbawa suasana dan akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyudutkan umat Islam, misalnya pelarangan penggunaan burqa/cadar, pengawasan ketat dan kecurigaan berlebihan terhadap umat Islam, pelarangan turis Muslim, dan lain sebagainya.
Dampaknya, di satu sisi islamfobia kian tumbuh subur. Terutama di Eropa, Amerika, termasuk mungkin di negeri sendiri,Indonesia, negara berpenduduk umat Islam terbesar dunia. Islamphobia yang semakin berkembang ini memungkinkan timbulnya intimidasi psikologis dan fisik, penghakiman (judgement) masyarakat yang membabi buta terhadap umat Islam, ketidak adilan tindakan aparat penegak hukum terhadap umat Islam. Ini memberi dorongan pada sejumlah kecil pemeluk Islam yang masih minim pemahaman ke-Islamannya akhirnya terjerumus dalam pemikiran-pemikiran yang mengarah pada radikalisme. Pada tingkat radikalisme yang parah, paham terorisme pada akhirnya akan mudah menjangkiti pemikiran seorang muslim.
Perlu diingat, bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme. Terorisme didefinisikan sebagai upaya penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sementara Islam dalam mencapai tujuan dakwah, tidak mengenal upaya-upaya yang menimbulkan ketakutan apalagi kekerasan. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Ibadah jihad merupakan salah satu ibadah umat Islam sering dihubung-hubungkan dengan aktivitas terorisme. Padahal, Jihad sebenarnya merupakan salah satu aktivitas ibadah dan dakwah umat Islam yang memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang sangat ketat. Tidak bisa dilakukan serampangan. Pemahaman yang salah mengenai jihad merupakan faktor utama penyebab timbulnya terorisme yang mengatasnamakan Islam dan pada akhirnya mendorong penilaian yang salah masyarakat dunia terhadap Islam.
Aktivitas terorisme memiliki landasan yang dijadikan pembenaran dalam melakukan aksinya. Pada saat ini, yang sedang disorot dunia adalah aktivitas terorisme yang membawa-bawa nama dan ajaran Islam. Padahal kita bisa melihat sejarah kelam di masa lalu, dimana banyak juga kegiatan terorisme, genosida, peperangan yang membawa-bawa landasan-landasan lain sebagai pembenaran aktivitas kejamnya.
Bisa dikatakan bahwa terorisme adalah kesalahan pemikiran yang kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan teror. Tidak tepat jika terorisme dikaitkan dengan cara berpakaian dan berpenampilan. Misalkan seorang muslimah yang bercadar atau seorang pria muslim yang berjenggot. Tidak tepat pula jika terorisme dikaitkan dengan ajaran umat Islam atau ajaran agama lainnya. Sekali lagi, terorisme adalah kesalahan pemahaman seseorang. Untuk itu, upaya memberantas paham terorisme haruslah dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya menyadarkan pemikiran-pemikiran yang berpaham terorisme atau yang mengarah ke sana. Bukan dengan melakukan pelarangan-pelarangan hak ibadah seseorang sesuai keyakinannya.
Upaya memberantas terorisme yang menitikberatkan pada upaya yang berbau militer adalah tidak tepat. Kegiatan buru, sergap, tangkap, tembak mati di tempat, dan lain-lain tanpa ada klarifikasi yang dibuktikan secara kuat dan otentik akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Justru upaya ini akan mendorong munculnya tindakan-tindakan represif dari aparat, pemerintah, dan termasuk penghakiman prematur dari masyarakat, yang pada akhirnya mendorong paham terorisme justru semakin tumbuh subur terutama di tengah-tengah kaum/kelompok yang dizalimi, dimarjinalkan, dan terintimidasi. Pepatah lama mengatakan masyarakat seringkali secara tidak sadar menciptakan monster yang akan menghancurkan masyarakat itu sendiri.
Seharusnya, pendekatan melalui dialog dan kekeluargaan lebih diutamakan. Kelompok/badan yang menangani upaya pemberantasan terorisme haruslah berasal dari tokoh masyarakat, alim ulama, pemuka agama, dan kalangan intelektual yang dihormati di masyarakat. Setiap kali ditemukan adanya indikasi bahwa seseorang/kelompok terjangkit paham radikalisme atau terorisme maka sebaiknya dibangun dulu dialog dan diskusi baik secara terbuka ataupun tertutup. Jika upaya dialog dan diskusi tidak berhasil maka barulah upaya militer dilakukan.
Sebagai umat Islam kita harus lebih mengutamakan merujuk/mereferensi pada praktek-praktek yang dilakukan di masa Rasulullah dan Para Sahabat. Tercatat dalam sejarah, pendekatan melalui dialog seperti ini telah pernah dilakukan di era Sahabat Nabi, yakni oleh Ibnu Abbas Radiallahu Anhu, pada masa pemerintahan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas kepada orang-orang Khawarij untuk berdialog bersama mereka. Kisah dialog Ibnu Abbas ini dicatat oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis sebagai berikut:
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk memberontak kepada khalifah. Ketika itu, jumlah mereka enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, setiap orang yang mengunjungi Ali radhiallahu ‘anhu berkata –mengingatkannya–, “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Ali menjawab, “Biarkan saja, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dzuhur aku menjumpai Ali radhiallahu ‘anhu. Aku (Ibnu Abbas) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dzuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma berkata, “Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku, “Selamat datang, wahai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata, “Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga dari sisi menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (yakni Ali bin Abi Thalib), kepada para sahabat-lah Alquran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Alquran daripada kalian.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan tentang kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar dan bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Alquran dan sunnah yaitu mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Alquran diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Alquran dan sunnah. Ibnu Abbas juga menegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di sisi Allah, yaitu menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–,sebagian Khawarij memberi peringatan, “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.). Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Ibnul Jauzi kembali melanjutkan kisah ini: Dua atau tiga orang dari mereka berkata, “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Alquran diturunkan kepada mereka, dan tidak ada seorang sahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran Alquran.”
Mereka berkata, “Kami punya tiga alasan.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
“Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman,
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka.
Ibnu Abbas menanggapi, “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka melanjutkan, “Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bertanya lagi, “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Kata mereka, “Ketiga, dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ada alasan selain ini?” Mereka berkata, “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Bantahan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma atas dangkalnya pemahaman Khawarij
Lihatlah, bagaimana Khawarij mudah memvonis kafir, dan memberontak sekalipun kepada khalifah ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah kerancuan yang sangat lemah dan menunjukkan kedangkalan mereka dalam memahami Alquran dan sunnah.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mulai menanggapi, “Ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’alaberfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakana, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata lagi, “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Demikian tiga kerancuan pola pikir Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali radhiallahu ‘anhu. Semua kerancuan tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Alquran dan sunnah.
Minggu, 14 Januari 2018
MUNGKINKAH MEMISAHKAN AGAMA ISLAM DARI POLITIK
Bagi seorang muslim, agama adalah panduan segala aspek kehidupan, termasuk juga dalam aspek politik. Di dalam Islam telah terdapat banyak panduan-panduan yang berhubungan dengan politik, misalkan :
- Perintah untuk bersatu dalam tali agama Allah
- Panduan memilih dan taat kepada pemimpin
- Panduan menjaga keamanan dan ketertiban umum
- Kaidah dan etika menasehati pemimpin
- panduan menyikapi pemimpin zalim
- Panduan dalam memilih pejabat
- Panduan menyelesaikan perselisihan dengan kembali kepada Al Quran dan Sunnah
- Panduan al wala' wal bara'
- Panduan penegakan hukum yang tidak boleh tebang pilih
- dll
Ulama-ulama juga banyak yang mengeluarkan buku khusus yang membahas politik syar'i, misalkan :
- Ahkam Sulthaniyah oleh Al-Mawardi
- As-Siyasah Asy-Syar’iyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Ahkam Sulthaniyah oleh Abu Ya’la Al-Mushili
- Ath-Thuruqul Hukmiyah oleh Ibnul Qayyim
- dan sebagainya
Sabtu, 30 Desember 2017
MENYIKAPI NAIKNYA HARGA
Seringkali kita mendengar keluhan-keluhan mengenai naiknya harga-harga keperluan sehari-hari. Naiknya harga sembako, naiknya harga BBM, naiknya harga pulsa dan paket data, naiknya harga LPG, naiknya tarif listrik, naiknya biaya/tarif tol, dan lain sebagainya. Tak jarang kita mendengar dan melihat orang-orang pada berkeluh kesah terkait kenaikan harga-harga tersebut. Keluh kesah dilakukan di semua tempat mulai di warung kopi hingga di media-media sosial. Bahkan Pemerintah dan instasi terkait pun pada akhirnya menjadi sasaran umpatan dan cacian. Lalu bagaimanakah sebaiknya kita menyikapinya?
Sebagai seorang muslim, kita haruslah mencontoh bagaimana Rasulullah dan Para Sahabat dan orang-orang sholeh terdahulu dalam menyikapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, seperti misalnya krisis ekonomi dan kenaikan harga-harga barang.
Disebutkan dalam riwayat Hadis bahwa pernah terjadi kenaikan harga di era Rasulullah. Maka Para Sahabat Nabi mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan keluhannya. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”
Mendengar keluhan para Sahabat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam suatu kisah, sempat terjadi kenaikan harga pangan tinggi di masa silam. Masyarakat mengadukan kondisi ini kepada salah seorang ulama di masa itu. Maka kemudian ulama tersebut memberikan komentar, “Demi Allah, saya tidak peduli dengan kenaikan harga ini, sekalipun 1 biji gandum seharga 1 dinar! Kewajibanku adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang Dia perintahkan kepadaku, dan Dia akan menanggung rizkiku, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepadaku.”
Maka dari itu, sebagai masyarakat, selayaknya kita berserah diri kepada Allah atas segala peristiwa yang terjadi. Semuanya terjadi karena izin Allah. Harga-harga naik pun semuanya terjadi atas izin Allah. Sebagai ujian bagi kita dan juga bagi para pengambil kebijakan. Jadi tidak ada alasan untuk berkeluh kesah, apalagi mencaci maki dan mencemooh pemerintah dan instansi-instansi terkait.
Jika memang memiliki keahlian dan kemampuan sebaiknya berilah masukan dan saran secara langsung kepada Pemerintah dan instansi-intansi terkait dengan cara yang baik. Siapa tahu masukan dan saran tersebut kemudian dapat menjadi landasan pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang dapat membantu pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh. Jika memang menemukan adanya aksi-aksi beberapa oknum yang mempermainkan harga dan memiliki bukti yang kuat maka cukuplah laporkan kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.
Sementara itu, jika kita termasuk orang yang diberikan kecukupan harta, maka perlu juga berkontribusi sesuai kemampuan dalam rangka meringankan beban umat dalam menghadapi kenaikan harga barang atau krisis ekonomi yang tengah terjadi. Bukan malah aji mumpung memanfaatkan situasi dan kondisi untuk memperkaya diri sendiri di tangah penderitaan orang lain.
Salah satu contohnya adalah yang pernah dipraktekkan Sahabat Rasulullah, Khalifah ke-3, Usman bin Affan. Ketika kaum Muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka dihadapkan pada masalah kesulitan air. Pada masa itu, terdapat sebuah sumur di Madinah. Tetapi sumur tersebut dimiliki seorang Yahudi yang sengaja memperdagangkan air di sumur tersebut untuk keuntungan pribadi dan memanfaatkan situasi dan kondisi kesulitan air yang terjadi.
Rasulullah SAW kemudian menyampaikan harapan agar ada salah seorang sahabat yang membeli sumur tersebut untuk meringankan beban kaum Muhajirin yang sedang menderita karena harta benda mereka ditinggalkan di kota Mekkah saat hijrah. Usman bin Affan bergegas pergi ke rumah orang Yahudi tersebut untuk membeli sumur tersebut. Akhirnya terjadi kesepakatan bahwa sumur tersebut dibeli separuh oleh Usman, maksudnya satu hari sumur itu menjadi hak orang Yahudi itu, dan keesokan harinya adalah hak Usman bin Affan, dan terus bergantian.
Pada giliran hak pakai Usman bin Affan, beliau memberikan gratis pemanfaatan air dari sumur tersebut kepada kaum muslimin. kaum Muslimin pun bergegas mengambil air yang cukup banyak untuk kebutuhan dua hari. Sedangkan pada hari berikutnya ketika sumur tersebut menjadi hak si Yahudi, tidak ada orang yang membeli air dari sumurnya. Hal ini menyebabkan si Yahudi merasa rugi. Akhirnya si Yahudi tersebut menjual separuh hak penggunaan sumurnya kepada Usman dan sepenuhnya menjadi milik Usman. Sumur itu mengalirkan air yang melimpah bagi kaum Muslimin dengan gratis. Sumur Ustman ini masih bisa dijumpai di wilayah Madinah hingga saat ini.
Bentuk kedermawanan lain Usman bin Affan, pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., kaum Muslimin dilanda paceklik yang dahsyat. Serombongan kafilah dari Syam milik Usman bin Affan yang terdiri dari seribu unta yang mengangkat gandum, minyak dan kismis tiba di Madinah. Tak lama kemudian para pedagang (tengkulak) datang menemui Usman dengan maksud ingin membeli barang-barang tersebut.
Terjadi tawar-menawar hingga para pedagang itu bersedia menaikkan tawarannya empat sampai lima kali lipat. Akan tetapi Usman bin Affan tetap menolak dengan alasan sudah ada penawar yang akan menawar lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut. Akhirnya para pedagang (tengkulak) semuanya menyerah, lalu berkata kepada Usman, "Hai Usman, di Madinah ini tidak ada pedagang selain kami, dan tidak ada yang mendahului kami dalam penawaran, siapa orang yang berani menawar lebih tinggi dari kami..?"
Usman menjawab, "Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat, apakah kalian mau memberi lebih dari itu..?"
Mendengar itu, mereka menyerah dan tidak mencoba menawar lagi. Labih kagetnya lagi, Usman menyampaikan bahwa seluruh yang dibawa kafilah itu dia sedekahkan untuk para fakir miskin dari kaum Muslimin. Dia memberikan semua hasil dagangan dari Negeri Syam tersebut secara gratis.
Itulah sebagian contoh dari kedermawanan Usman bin Affan r.a. dalam meringankan beban masyarakat saat terjadinya krisis.
Karenanya, berkontribusilah sesuai kemampuan dalam upaya meringankan beban masyarakat. Kalaupun merasa belum ada kemampuan untuk berkontribusi, maka setidaknya tidak menebar cacian dan umpatan kepada pemerintah dan instansi-instansi yang ditengarai berperan dalam kenaikan harga.
Minggu, 29 Oktober 2017
MENGAPA NYINYIR PADA WANITA BERJILBAB DAN BERCADAR
Jika selama ini banyak orang tidak masalah dengan mbak perawat/dokter/guru/karyawati/siswi yang mengenakan rok (bahkan rok mini) dan pakaian ketat, seharusnya mereka juga tidak akan mempermasalahkan wanita yang berjilbab, berjilbab lebar dan bahkan yang bercadar.
Kemungkinan pertama, mereka yang berkeberatan terhadap jilbab, jilbab lebar dan bahkan jilbab bercadar adalah orang-orang yang pikirannya senang mesum, sehingga terhalangilah kemesumannya tersebut oleh pakaian serba tertutup yang dikenakan seorang wanita muslimah. Kemungkinan kedua, karena mereka sedang terjangkit virus islamphobia. Pokoknya mereka akan selalu berpikiran negatif atau berprasangka buruk terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Termasuk cara berpakaiannya. Kemungkinan lainnya adalah karena kurang pahamnya mereka terhadap syariat berjilbab/berhijab bagi wanita muslimah termasuk detail-detail syarat dan ketentuan berlakunya. Sehingga ketika mereka menemui suatu praktek yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan, mereka langsung menolak dan menutup diri serta tidak berupaya terbuka pada doalog dan diskusi untuk memahami.
Padahal Fashion berjilbab dan bercadar untuk wanita sempat nge-trend di era Nabi Muhammad, para Sahabat, dan generasi-generasi setelahnya sampai ke-khalifa'an Islam terakhir, Turki Ustmani. Ini bukanlah upaya mengekang kebebasan kaum wanita seperti diserukan para pendukung feminisme. Akan tetapi, ini adalah upaya seorang wanita muslimah yang beriman dan bertakwa untuk menjalankan perintah agama. Sekaligus, ini adalah hak setiap wanita untuk mengenakan apa yang ingin mereka kenakan sesuai keyakinan agamanya. Fashion Islami serba tertutup ini adalah untuk memuliakan wanita muslimah dan melindunginya dari pandangan/gangguan laki-laki buaya dan berbagai bentuk eksploitasi wanita.
Coba kita bandingkan dengan fashion wanita zaman sekarang yang tampak semakin terbuka dan semakin bebas (tapi laki-laki suka 😝). Sebenarnya ini menunjukkan bahwa trend fashion terbuka ini semakin mengarah kembali ke fashion era jahiliyah. Justru inilah yang menandakan kemunduran peradaban umat manusia. Manusia beradab akan senantiasa menutupi tubuhnya secara layak.
Maka dari itu, hal ini perlu dicermati dan direnungi bersama. Mengapa seorang wanita yang hendak menutup auratnya justru dinyinyirin, diprasangkai buruk, dianggap berlebihan dan bahkan dilarang. Sementara itu, wanita-wanita lainnya yang membuka auratnya dengan alasan berkesenian dan kebebasan berekspresi justru dipuja-puji dan dibayar mahal. Tanya kenapa?
Sabtu, 28 Oktober 2017
MENGAPA NEGERI MUSLIM KALAH MAJU DENGAN NEGERI NON MUSLIM
Sering orang bertanya kenapa kini negeri-negeri muslim kalah maju dengan negeri-negeri kafir/non muslim di semua bidang. Baik di bidang ilmu pengetahuan & teknologi, politik, ekonomi, sosial & budaya, pertahanan & keamanan, dll. Jawabannya yang saya tahu ada dua.
Pertama, karena istidraj terhadap negeri-negeri non muslim tersebut sehingga mereka cenderung semakin tenggelam dalam urusan dunia dan semakin jauh dari hidayah Islam. Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada seseorang/kaum padahal seseorang/kaum tersebut jauh dari petunjuk-Nya, dimana hal ini sebenarnya merupakan penundaan azab bagi mereka. Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah (QS. Al-An’am : 44) yang artinya, “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad, no. 17349, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).
Kedua, Umat Islam mengalami kemunduran karena kini kaum muslimin belum menerapkan Al Quran dan Sunnah secara kaffah (total) seperti di era terdahulu. Kaum muslimin kemudian lebih memilih untuk mengikuti/meniru jalannya orang-orang non muslim yang dianggap lebih modern dan lebih keren serta secara bersamaan cenderung meninggalkan syariat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan diangkatlah kedigdayaan dan keberkahan dari negeri-negeri kaum muslimin oleh Allah Azza Wa Jalla.
Minggu, 22 Oktober 2017
PRIBUMI
Pribumi adalah kata yang akhir-akhir ini cukup meramaikan perbincangan di tengah-tengah masyarakat tanah air. Pribumi berarti penghuni asli yang mendiami suatu wilayah tertentu yang biasanya memiliki kesamaan ciri fisik, karakter dan bahasa. Kita mengenal suku aborigin adalah penghuni asli benua Australia. Suku Indian adalah penghuni asli benua Amerika. Termasuk di Indonesia, kita mengenal berbagai suku yang mendiami wilayah Nusantara.
Wacana yang akhir-akhir ini mengemuka adalah perlunya mengutamakan pengembangan kaum pribumi daripada kaum non pribumi. Hal ini didasarkan adanya fenomena semakin pudarnya pengaruh kaum pribumi dibandingkan pengaruh kaum non pribumi. Padahal kaum pribumi ini adalah penduduk asli wilayah tersebut.
Degradasi pengaruh kaum pribumi di wilayahnya sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor/peristiwa. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, dapat diakibatkan karena adanya aktivitas kolonialisme/penjajahan. Bangsa penjajah akan sesegera mungkin menggusur peranan kaum pribumi demi menguasai kekayaan alam dan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah yang dihuni kaum pribumi.
Kedua, adanya kecenderungan semangat untuk survive dan eksis yang tinggi dari kaum non pribumi. Kaum non pribumi/imigran/pendatang cenderung memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Sebagai pendatang di suatu negeri mereka memiliki semangat untuk survive. Mereka cenderung ulet, pekerja keras, kreatif, berani mengambil resiko, serta cenderung kompak dengan sesama pendatang karena ada rasa senasib sepenanggungan. Hal inilah yang tak jarang mengantarkan para pendatang/imigran/non pribumi kepada kesuksesan di tempat perantauan/hijrah, terutama dalam bidang ekonomi.
Ketiga, karena adanya kecenderungan karakter penduduk asli/pribumi yang biasanya kurang memiliki kecakapan dalam memanfaatkan peluang dan mengelola potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Penduduk asli pribumi cenderung telah merasa nyaman dengan kondisi yang sudah ada, kurang dapat merangkul perubahan, dan seringkali berpecah belah antar sesama mereka.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini semakin mencuatlah isu perlunya kebijakan-kebijakan proteksi dan pengembangan aktivitas kaum pribumi agar kaum pribumi ini memiliki pengaruh yang kuat di segala bidang di wilayahnya sendiri. Istilahnya, menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.
Hal tersebut adalah hal yang wajar dilakukan di negeri-negeri lain. Misalnya Donald Trump dalam kampanyenya ketika mencalonkan diri menjadi presiden USA, mengangkat isu perlunya membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru di Amerika bagi penduduk USA. Bahkan secara ekstrem sempat disebutkan bahwa Donald Trump akan membangun tembok raksasa di perbatasan USA dan Meksiko untuk mencegah gelombang deras imigran yang masuk ke USA.
Hal sejenis juga dilakukan oleh Inggris ketika memutuskan keluar dari Uni Eropa. Peristiwa ini disebut sebagai Brexit yang berarti British Exit. Salah satu hal yang melatar belakangi Inggris keluar dari Uni Eropa adalah pengaruh imigran yang dinilai semakin mengancam eksistensi penduduk asli Inggris.
China pada sekitar tahun 2015 juga sempat melakukan pengetatan aturan bagi perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China. Hal ini bahkan sempat membuat sejumlah perusahaan asing angkat kaki dari China dan mengalihkan investasi ke negara-negara Asia Tenggara. Uni Eropa juga sempat melakukan perubahan aturan proteksi perdagangan (trade remedy) yang bermaksud melindungi perdagangan di internal Uni Eropa dari serbuan produk-produk dari luar Uni Eropa yang harganya murah.
Dalam prakteknya, kita bisa mempelajari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah dalam mengelola isu kesukuan dan pribumi-non pribumi ini. Di era Rasulullah kita mengenal ada kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Kaum Muhajirin adalah penduduk Mekkah muslim yang hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah karena penindasan kaum kafir/non muslim kepada mereka selama di Mekkah.
Kaum Anshor adalah penduduk asli kota Madinah. Kaum Anshor terdiri dari dua suku besar yakni suku Aus dan Khazraj. Sebelum Rasulullah hadir, kedua suku ini selalu terlibat perselisihan dan perang.
Di Madinah juga terdapat beberapa kelompok kaum Yahudi yang hijrah ke Madinah sejak lama karena menunggu nubuwat kenabian bahwa akan hadir Nabi terahir mereka di Madinah. Namun ketika hadir Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam yang ternyata adalah keturunan dari Nabi Ismail, bukan Nabi Ishaq, mereka kemudian tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.
Melalui kepemimpinan Nabi Muhammad di Medinah, Kaum Aus dan Khazraj dipersatukan dan kemudian disebut kaum Anshor. Kaum Anshor dipersaudarakan dengan Kaum Muhajirin dengan semangat persaudaraan Islam. Mereka bersama-sama bahu-membahu membangun kota Madinah dan berjihad bersama. Selain itu dibuat juga perjanjian bersama dengan suku-suku Yahudi untuk bersama-sama menjaga kota Madinah jika terjadi serangan. Walau pada akhirnya beberapa suku Yahudi berkhianat dan berujung pada pengusiran mereka dari wilayah Madinah. Namun kepada beberapa suku Yahudi yang tetap berkomitmen terhadap perjanjian, Rasulullah pun senantiasa bersikap adil dan memberikan apresiasi-apresiasi dan perlindungan.
Jumat, 11 Agustus 2017
MENGAKU BERJIHAD TAPI TIDAK SESUAI DENGAN KAIDAH JIHAD DALAM SYARIAT
Adapun beberapa kaidah dan syarat berjihad diantaranya :
- Jihad harus dilandasai oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
- Jihad tersebut harus dimaksudkan semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah dan agar agama ini hanyalah milik Allah.
- Jihad haruslah diiringi dengan ilmu dan pemahaman agama yang baik.
- Jihad hendaknya dilakukan dengan penuh rahmat/kasih sayang dan lemah lembut karena jihad tidaklah disyariatkan untuk menyiksa jiwa atau menyakiti orang lain.
- Jihad haruslah dipenuhi dengan keadilan dan jauh dari kedzoliman.
- Jihad (tholab/menyerang ,-pent) haruslah bersama imam kaum muslimin atau dengan seizinnya baik pemimpin/imam tersebut orang yang baik ataupun fasik.
- Jihad di jalan Allah disesuaikan dengan keadaan kaum muslimin, sudah kuatkah atau masih lemah ?
- Jihad haruslah dapat mewujudkan kemaslahatan dan tidak mengakibatkan kemadhorotan yang lebih besar.
- Didasarkan pada pondasi Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai tolak ukur dalam segala keadaan dan hal tersebut mencakup empat perkara : Aqidah yang benar, Niat yang ikhlas, Kejujuran dalam bertawakkal, dan Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber : https://almanhaj.or.id/1888-kaidah-kaidah-dalam-berjihad.html)
- Mendapat izin dan ridho orang tua.