Tampilkan postingan dengan label SCIENCE AND TECHNOLOGY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SCIENCE AND TECHNOLOGY. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Desember 2019

BUKU MEMBANGUN ENERGY SECURITY INDONESIA

Boleh kakak, diborong bukunya. Judulnya "Membangun Energy Security Indonesia" karya saya sendiri. ☺️☺️.  Last stock. Tersedia sekitar 120 eks. Murah, 80 ribu aja, 500-an halaman. Selain buat dibaca untuk menambah pengetahuan tentang pentingnya energi, bukunya bisa juga buat ganjal pintu/lemari/meja. Bisa dibuat bantal. Bisa juga buat nimpukin mas/mbak jahat pemberi harapan palsu. Xixixi. 😅🙈🙏🙏

Yang berminat bisa langsung japri atau bisa kunjungi lapak saya :
 https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/kedokteran/2ap7434-jual-membangun-energy-security-indonesia?utm_source=apps

Judul : Membangun Energy Security Indonesia
Penulis : Alek Kurniawan Apriyanto
Penerbit : Pustaka Muda, Jakarta, 2015
ISBN 978-602-6850-02-7
Jumlah Halaman : 500

Testimoni : Satya Widya Yudha, Novian Moezahar Thaib, S. Herry Putranto, Muhammad Sarmuji, Achsanul Qosasi, Dr. Agung Purniawan, Dr. Abu Bakar Eby Hara, Dr. Ir. Mawardi, ME

Daftar Isi :
1. Pendahuluan
2. Sejarah Energy Security Dunia
3. Definisi Energy Security
4. Hubungan Energy Security Dengan Bidang Lain
5. Cara Mengukur Energy Security
6. Karakteristik Setiap Sumber Energi
7. Overview Kondisi Energi Dunia
8. Proyeksi Energi Dunia
9. Kondisi Pengelolaan Energi Dunia
10. Proyeksi Energi Dunia
11. Penilaian Lembaga-Lembaga Internasional Terhadap Pengelolaan Energi Indonesia
12. Catatan Sejarah Pengelolaan Energi di Indonesia
13. Kebijakan-Kebijakan Terkait Energi
14. Tantangan Kemanan Energi Nasional
15. Energi Alternatif Untuk BBM
16. Memacu Infrastruktur Gas
17. Memaksimalkan Pemanfaatan Batubara
18. Inisiasi PLTN
19. Menyambut Energi Terbarukan
20. Cadangan Penyangga Energi Nasional
21. Belajar Dari China
22. Parameter Kuantitatif Dalam Kebijakan Energi Indonesia
23. Penutup

Senin, 28 Januari 2019

MENGUPLOAD PENGETAHUAN KE OTAK


Jika anda pernah menonton film The Matrix, anda mungkin masih ingat adegan ketika Neo (Keanu Reeves) diberikan pengetahuan dan keterampilan beladiri secara instan melalui teknologi transfer data langsung ke otak. Dalam sekejap Neo langsung bisa mahir karate dan bermacam-macam ilmu beladiri lainnya di dunia matrix. INi di dunia fiksi ilmiah.

Di dunia nyata, peneliti-peneliti di HRL Laboratories yang berbasis di California, Amerika Serikat mengklaim telah berhasil mengembangkan sistem yakni simulator yang dapat memasukkan informasi secara langsung ke otak manusia.

Simulator ini dapat secara instan mengajarkan manusia keterampilan-keterampilan baru dalam waktu singkat.

Diketahui bahwa keterampilan manusia yang berasal dari kemampuan otak manusia seperti memori dan kemampuan berbicara, masing-masing diatur oleh daerah khusus yang spesifik di otak. Sistem yang sedang dikembangkan Dr Matthew Phillips dan tim HRL Laboratories; ini dapat langsung menarget bagian spesifik pada otak, melakukan perubahan-perubahan, sehingga manusia dapat secara instan memiliki pengetahuan dan keterampilan baru.

Sistem ini dapat membantu manusia mempercepat proses belajar dan memiliki keterampilan baru dalam waktu singkat. Misalnya belajar mengendarai kendaraan, persiapan ujian, dan mungkin belajar bahasa baru.

Dimasa depan, aktivitas belajar nampaknya akan semakin mudah layaknya mendownload apps-apps baru di ponsel pintar yang kita miliki.

Sabtu, 03 Februari 2018

BIG DATA MANAGEMENT


Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, data-data digital semakin menggantikan data-data konvensional. Lebih jauh lagi, perkembangan peragkat-perangkat elektronik, aplikasi-aplikasi dan internet juga semakin menambah kecepatan terciptanya data-data digital. Dipadukan dengan teknologi storage data yang juga berkembang pesat. Belum lagi hadirnya aplikasi-aplikasi media sosial dan search engine yang juga meng-generate data-data digital dalam jumlah besar setiap menitnya. Hal ini semua menjadi sebuah fenomena baru di bidang teknologi yang sekaligus juga menjadi salah satu pertanda umat manusia telah memasuki era revolusi industri ke-4.

Data-data digital tercipta sangat cepat dan disimpan secara masif. Dalam data-data digital ini tersimpan informasi yang sebenarnya mungkin sangat bermanfaat dan dibutuhkan bagi manusia, organisasi, atau bagi negara. Namun karena begitu masifnya dan cepatnya data-data yang masuk dan kita tidak memiliki kemampuan me-manage data-data tersebut dengan baik, maka bisa saja kita akhirnya tak mendapatkan manfaat apapun.

Data-data bisa saja tersimpan dalam suatu sumber tapi bisa juga tersimpan dalam banyak sumber data. Data-data ada yang sifatnya telah terstruktur dengan baik, ada juga yang semi-structured dan unstructured. Data-data ada yang telah tervalidasi ada juga yang belum tervalidasi. Kualitas data dan juga formatnya beragam. Dan bahkan mungkin ada juga data-data yang masih berupa data konvensional berbasis kertas atau sample/spesimen. Beberapa pakar menggambarkan karakteristik data sebagai 5V yakni Volume (kuantitas data yang digenerate dan disimpan), Variety (tipe dan sifat data), Velocity (kecepatan data digenerated dan diproses), Variability (seberapa konsisten data), Veracity (kualitas data).

Oleh karena itu bermunculanlah berbagai teknologi dengan istilah dan konsep beragam yang bertujuan mengolah data-data dalam jumlah besar dan cepat tersebut. Ada yang disebut sebagai datawarehousing, big data, relational database management system (RDBMS), data mining, machine learning, dan sebagainya. Banyak provider teknologi digital menawarkan jasa teknologi untuk mengolah data-data. Tahapannya meliputi capturing data (pemrolehan data), data storage (penyimpanan data), data analysis (analisis), search (pencarian), sharing, transfer, visualization, querying, updating and information privacy.

Mungkin dalam beberapa saat lagi kita bisa melihat kemampuan me-manage data-data digital akan dijadikan suatu indikator dalam mengukur keunggulan suatu organisasi, perusahaan atau suatu negara. Bahkan seseorang mungkin akan juga akan dinilai dari seberapa banyak data yang masuk padanya dan di-generate-nya setiap hari. Beberapa contoh parameter pengukuran misalkan berapa zettabyte yang di-generated setiap hari oleh suatu organisasi, perusahaan atau suatu negara. Seberapa akurat hasil pengolahan datanya dalam membantu penyusunan strategi dan pengambilan keputusan.

Kamis, 18 Januari 2018

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PENGUASAAN IPTEK DAN KUALITAS SDM


Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan salah satu modal utama dalam membangun sistem perekonomian yang kuat yang menjamin kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Di sisi lain, penguasaan IPTEK tidak lepas dari tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang dimiliki suatu negara. Karenanya, upaya menumbuh-kembangkan kedua hal tersebut dalam suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting untuk membangun pondasi yang kokoh yang menjamin kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan.

Agus Nurrohim (2012) menyebutkan bahwa telah terjadi proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy). Pada era Knowledge Based Economy, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan penguasaan IPTEK sebagai faktor primer penguasaan ekonomi. Termasuk juga di dalam penguasaan IPTEK ini tentunya keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan handal.
Peranan penguasaan IPTEK dan keberadaan SDM yang handal menggantikan peranan modal, lahan dan energi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa. Melalui penguasaan IPTEK dan SDM yang unggul, suatu negara akan mampu meningkatkan produktivitas perekonomian dan daya saingnya di kancah dunia.

Salah satu indikator kemampuan penguasaan IPTEK suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar perbandingan angka ekspor dan impor sektor industri. Untuk Indonesia, nilai ekspor antara tahun 1996 sampai 2009 didominasi oleh produk-produk yang kandungan teknologinya rendah. Sementara impor Indonesia didominasi oleh produk industri, tambang, dan produk industri makanan dengan kandungan teknologi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memperoleh manfaat dan nilai tambah yang maksimal melalui pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya.

Investasi industri untuk penelitian dan pengembangan teknologi masih sangat terbatas, sehingga kemampuan industri dalam menghasilkan teknologi masih rendah. Di samping itu, beberapa industri besar dan industri yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai ketergantungan yang besar pada teknologi yang berasal dari industri induknya atau dari negara asing. Akibatnya ketergantungan semakin besar pada negara asing penghasil teknologi dan kurangnya pemanfaatan teknologi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri. Ketergantungan industri pada teknologi impor antara lain disebabkan oleh lemahnya lembaga penelitian dan pengembangan nasional dalam menyediakan teknologi yang siap pakai. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas penelitian dan pengembangan yang disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan, sumber daya, dan jaringan IPTEK.

Termasuk di sektor energi, ketahanan IPTEK bidang energi Indonesia masih rendah. Penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas saat ini masih belum memadai dimana masih banyak tergantung pada teknologi impor dan juga sumber daya asing. Akibatnya, Indonesia belum dapat dipandang sebagai negara yang memiliki ketahanan energi tinggi dan berdaulat energi, walaupun sumber daya energi yang dimiliki sangat melimpah. Bahkan mungkin sebenarnya SDM Indonesia di bidang energi sudah sangat kompeten. Namun karena kurangnya insentif dalam negeri banyak tenaga-tenaga profesional Indonesia yang lebih memilih bekerja di luar negeri.
Fakta yang ada hampir semua kontraktor-kontraktor migas menggunakan teknologi asing. Perusahaan-perusahaan migas bahkan masih banyak yang menggunakan tenaga ahli asing dan konsultan asing. Kandungan lokal (local content) industri migas dalam negeri juga masih rendah, baik untuk barang dan jasa. (Agus Nurrohim, 2012).

Rabu, 15 Februari 2017

TREND ENERGI DI MASA DEPAN



Seperti diketahui, hingga sejauh ini terjadi beberapa tren fenomena global, baik yang berhubungan langsung maupun yang tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dunia per-energian dunia di masa depan :
  1. Harga minyak dunia yang turun drastis. Secara umum hal ini disebabkan karena produksi minyak dunia naik sementara permintaan minyak dunia menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia akhir-akhir ini ditengarai merupakan salah satu sebab perlambatan penyerapan minyak, sementara produksi terus bertambah. Belum bisa dipastikan gejala penurunan harga minyak ini akan menjadi fenomena sementara, atau akan berlangsung dalam waktu yang lama, atau justru akan bersifat fluktuatif dalam tempo cepat yang terus berulang. Hal ini berhubung banyak faktor yang mempengaruhi harga minyak, termasuk beberapa tren yang akan dijelaskan selanjutnya.
  2. Semakin ekonomisnya teknologi shale oil di Amerika Utara (USA dan Kanada) yang berpotensi menjadikan wilayah Amerika Utara bertranformasi dari sebelumnya sebagai wilayah pengimpor minyak menjadi wilayah yang berswasembada minyak bahkan juga bisa menjadi pengekspor minyak di masa depan. Berhubung saat ini shale oil ini baru bisa bersaing dengan minyak konvensional di pasar minyak global jika harga minyak konvensional di atas 60 USD/barel, maka ada upaya dari produser-produser minyak konvensional untuk mempertahankan harga minyak di bawah 60 USD/barel untuk menghambat/memperlambat perkembangan shale oil masuk ke pasar minyak global dan mempertahankan penguasaan pangsa pasar. Hal ini juga mendorong negara-negara yang selama ini menggantungkan sebagian besar devisa negaranya kepada penjualan minyak untuk mulai mengembangkan sektor-sektor penghasil devisa yang lain.
  3. Bangkitnya produser-produser minyak (konvensional) baru yang mengakibatkan terjadi perebutan pangsa pasar minyak, seperti Iran (pasca embargo), Rusia, Meksiko, dll. Tren ini menguatkan tren sebelumnya dalam mempengaruhi turunnya harga minyak karena semakin banyaknya penyedia minyak yang bersaing semakin ketat.
  4. Isu lingkungan yang didukung oleh target serta komitmen internasional terhadap penurunan emisi global. Hal ini mempengaruhi pengambil kebijakan di tiap negara untuk mengurangi pemanfaatan energi yang menghasilkan emisi besar seperti energi fosil dan mempertimbangkan penggunaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kesuksesan program ini akan tergantung dari komitmen negara-negara penghasil emisi besar dunia seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dll, dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai komitmen yang telah disepakati bersama.
  5. Isu energy security mulai menjadi pertimbangan negara-negara untuk memvariasikan jenis sumber energi yang digunakan. Perhatiannya juga untuk mengurangi penggunaan sumber energi dari luar yang rawan menjadi instrumen geopolitik dan rawan konflik, yakni minyak. Selain mevariasikan sumber pemasok minyak dari luar, negara-negara improtir minyak juga akan berupaya memvariasikan jenis energi yang digunakan.
  6. Revolusi industri ke-4. Dunia industri di era ke-4 ini akan berfokus pada pemgembangan sistem fisik cyber (cyber physical system) seperti smart robotics, artificial intelligent, internet of things, automation tingkat lanjut, driverless car, dll. Kegiatan industri ini dapat mempengaruhi pola penggunaan energi karena adanya tuntutan terhadap tambahan (peningkatan) permintaan energi karena semakin banyak tools-tools atau gadget-gadget yang bekerja dengan menggunakan energi. Ditambah lagi dengan adanya isu penggantian tenaga manusia dengan tenaga automasi dan robot pintar berbasis artificial intelligent (kecerdasan buatan) maka kebutuhan energi di masa mendatang kemungkinan akan semakin meningkat. Selain itu ada kecenderungan pada revolusi industri ke-4 ini akan lebih dipilih sumber energi yang handal, murah, dan bersih (ramah lingkungan). Dapat dikatakan semangat revolusi industri ke-4 ini cukup erat (berkolaborasi) dengan semangat isu lingkungan. Selain itu, banyak harapan bahwa kegiatan revolusi industri ke-4 juga sekaligus dapat merevolusi cara kita menggunakan energi melalui penemuan sumber energi baru maupun melalui peningkatan efisiensi yang signifikan terhadap sumber energi dan teknologi eksisting.

Proyeksi beberapa lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan British Petroleum menunjukkan bahwa peranan energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) masih akan cukup dominan dalam bauran energi dunia di masa depan, setidaknya hingga sekitar pertengahan abad ini. Pemanfaatan energi terbarukan memang akan mengalami peningkatan pesat, namun secara total masih lebih rendah dibandingkan peranan energi fosil. Penggunaan energi fosil sendiri kemungkinan akan mengalami perlambatan. Pengguna energi terbesar juga akan semakin bergeser, dari yang awalnya dikuasai oleh negara-negara industri maju, bergeser ke negara-negara ekonomi-ekonomi baru seperti China dan India

Energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin menunjukkan tren positif dari tahun ke tahun, baik dalam pertumbuhan pengembangan dan juga penurunan biaya investasi dan teknologi. Masih banyak pekerjaan rumah dalam upaya pengembangan energi terbarukan misalnya perlunya upaya peningkatan fleksibilitas energi terbarukan agar tetap mampu bekerja mensuplai energi walaupun kondisi alam sedang tidak memihak. Misalkan bagi energi surya, hambatannya adalah ketika intensitas cahaya matahari sedang rendah karena mendung atau karena musim dingin atau musim hujan. Teknologi batere diharapkan mampu mengatasi hal ini. Namun demikian, hingga sejauh ini teknologi batere yang ada masih menghadapi beberapa isu seperti isu biaya yang sangat mahal, intensitas penampungan energi yang masih rendah, dan juga isu safety.

Selama ini harga minyak yang tinggi merupakan salah satu instrumen pendorong kuat agar manusia segera beralih ke energi terbarukan. Namun setelah harga minyak turun drastis, maka faktor pendorong penggunaan energi terbarukan semakin berkurang, karena semakin lemahnya faktor pendorong di sisi keekonomian. Tinggal tersisa beberapa faktor pendorong lain seperti komitmen untuk memenuhi isu lingkungan dan energy security. Faktor-faktor lain yang bersifat sebatas komitmen tersebut mungkin tidak akan sekuat faktor ekonomi.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah budaya masyarakat dalam penggunaan energi. Perlu adanya upaya mempelajari apakah budaya penggunaan energi fosil di masyarakat dan industri yang telah dilakukan selama sekitar lebih dari 1 abad ini memang dapat diubah dengan cepat, menyongsong jenis energi baru yang menawarkan pengalaman baru. Misalnya saja di sektor transportasi, selama ini masyarakat dan industri otomotif telah terbiasa menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin atau minyak diesel. Bagaimanakah respon masyarakat dan industri ketika diperkenalkan kepada mereka jenis bahan bakar transportasi baru seperti bahan bakar gas, listrik, atau hidrogen. Apakah masyarakat dapat menerima pengalaman baru tersebut sebagai bagian dari budaya baru penggunaan energi di sektor transportasi. Atau justru ada keraguan, inkonsistensi, atau malah restriksi/penolakan karena masyarakat telah begitu terbiasa dan lebih senang menggunakan bahan bakar berbasis petroleum di sektor transportasi. Apalagi ketika harga energi alternatif tersebut masih relatif mahal dan tidak sepraktis bahan bakar petroleum.

Hal selanjutnya yang perlu kita tentukan adalah bagaimana peranan kita dalam menyikapi tren-tren di atas. Barangkali kita memiliki beberapa pilihan sikap:
  1. Sebatas sebagai pengamat. Layaknya seseorang yang menonton serial drama korea di televisi, mungkin kita dapat bersikap hanya menjadi penikmat jalannya cerita. Kita ikut bertepuk tangan ketika tokoh idola kita sukses, kita ikut merasa sedih ketika adegannya sedang mempertontonkan penderitaan. Melalui sikap ini kita sama sekali tidak bisa mempengaruhi jalannya cerita.
  2. Wait and see. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara pilihan bermain yang dipandang aman. Sambil mengamati secara cermat perkembangan dan situasi yang berkembang, kita dapat menyiapkan dan menumpuk sumber daya sebanyak-banyaknya. Ketika telah ada kejelasan tren energi akan mengarah kemana, maka "jebret", kita langsung masuk ke permainan dan langsung mengambil peranan signifikan. Namun yang menjadi masalah, belum adanya pengalaman terjun langsung dan bermain di lapangan menuntut proses adaptasi yang sangat cepat. Jika tidak mampu beradaptasi secara cepat dan segera mengambil peranan secara tepat, maka tetap saja kita akan dilibas oleh pemain lama yang lebih sarat pengalaman.
  3. Menjadi pemain. Sikap ini membutuhkan kelihaian dan kekuatan yang cukup serta komitmen dan determinasi yang tinggi dalam pergulatan energi dan teknologi global. Kita harus berani mengambil keputusan, belajar dari kegagalan dan berani bereksperimen, serta harus berjiwa ulet dan berani menghadapi tantangan dan rintangan. Dengan memilih sikap ini kita akan berpotensi menjadi pelopor dan pencetak sejarah dunia di bidang energi.

Demikian tulisan ini dibuat. Hanya sekedar kumpulan uneg-uneg. Mudah-mudahan bermanfaat.


Minggu, 13 November 2016

TEKNOLOGI PENYIMPANAN ENERGI LISTRIK


Fasilitas penyimpanan energi merupakan salah satu cara dalam meningkatkan fleksibilitas sistem kelistrikan. Namun demikian, bagi negara-negara yang akan banyak menggunakan sumber energi terbarukan perlu memahami pilihan-pilihan teknologi penyimpanan energi listrik yang cukup bervariasi ini. Fasilitas penyimpanan energi listrik janganlah dipandang sebagai solusi tunggal dari semua permasalahan kelistrikan. Keberadaan teknologi ini harus disambut sebagai salah satu solusi untuk mendukung sektor kelistrikan yang bersih, handal, efisien, dan efektif biaya. Hal ini dalam rangka memfasilitasi penyebaran dan pengintegrasian sumber energi terbarukan pada jaringan listrik. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi pertimbangan dan rujukan bagi upaya penggunaan teknologi penyimpanan energi listrik:
  1. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 30% pada total pemanfaatan energi, yang dipadukan dengan ambisi penggunaan energi terbarukan yang lebih besar lagi.
  2. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 20%, dengan kondisi infrastruktur jaringan listrik yang terbatas.
  3. Negara-negara kepulauan, atau negara yang memiliki banyak pulau dimana sistem kelistrikannya terpencil dan tidak terhubung dengan jaringan listrik umum (off-grid).
(IRENA, 2015a).

Fasilitas penyimpanan energi listrik terdiri dari sejumlah teknologi yang berada pada tahapan pengembangan yang bervariasi. Teknologi penyimpanan energi yang paling matang adalah teknologi pumped hydropower. Teknologi ini umumnya digunakan untuk periode charge dan discharge yang lebih lama (beberapa jam). Selama lebih sari satu abad, teknologi penyimpanan energi pada sektor kelistrikan telah didominasi oleh satu jenis teknologi, yaitu penyimpanan pumped hydropower. Pumped hydropower merepresentasikan mayoritas teknologi penyimpanan energi yang digunakan saat ini yakni sekitar 99%. (IEA, 2014b; dalam IRENA, 2015a). Teknologi pumped hydropower ini merupakan teknologi yang telah terbukti baik secara teknis maupun secara keekonomian di seluruh dunia.

Sebaliknya, teknologi penyimpanan energi dengan menggunakan batere merupakan pasar baru yang sedang berkembang. Contoh teknologi penyimpanan energi lain yang sedang berkembang adalah penyimpanan energi udara yang terkompresi, rodagaya (flywheel), listrik ke gas (power to gas), dan supercapacitor. (Fuch dkk, 2012; IRENA, 2012a; dalam IRENA, 2015a).

Energi listrik dapat juga disimpan dalam bentuk panas (thermal) dengan menggunakan boiler, pompa panas (heat pump), es atau air pendingin. Penyimpanan thermal dapat diintegrasikan dengan produksi combined heat and power (CHP) dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan sumber daya energi angin. (Sorknaes dkk, 2013; dalam IRENA, 2015a). Pilihan-pilihan fasilitas penyimpanan energi thermal seringkali lebih murah daripada teknologi penyimpanan energi lain. Namun, terdapat kendala berupa sulitnya untuk mengubah kembali panas yang disimpan menjadi energi listrik. (IRENA, 2013b; dalam IRENA, 2015a). Secara khusus, energi listrik yang dikonversi menjadi media thermal digunakan pada waktu yang lain sebagai energi thermal, baik untuk pemanas ruangan, pendingin, atau untuk keperluan proses industri.

Dari perspektif teknologi, teknologi batere sangat mapan dan terdapat ratusan supplier yang menawarkan sistem batere yang handal. Namun demikian, terdapat sejumlah rintangan yang harus dipecahkan sebelum batere dapat diintegrasikan secara penuh sebagai pilihan utama di sektor kelistrikan. Rintangan ini meliputi isu kinerja dan keamanan (safety), halangan regulasi, dan penerimaan utilitas.

Pemanfaatan batere telah tersebar luas dalam menyokong pengintegrasian energi terbarukan dalam sistem kelistrikan, khususnya energi matahari (solar) dan energi angin. Kedua bentuk energi ini (angin dan matahari) dikenal sebagai variable renewable energy (VRA) karena produksi listrik dari kedua sumber energi ini cukup berfluktuasi (tidak stabil) tergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Tren yang berkembang hingga sejauh ini adalah harga batere cenderung terus turun, sedangkan kinerja teknologinya semakin meningkat. Perkembangan teknologi batere terbaru mengindikasikan batere semakin lama semakin aman (safe) dan semakin efisien. Batere sekunder atau batere yang dapat di-charge ulang, menyimpan energi listrik secara kimiawi. Terdapat jenis batere sekunder temperatur rendah (lithioum-ion, lead-acid, nickel-cadmium), temperatur tinggi (sodium nickel chloride, sodium sulphur) atau redox flow (vanadium, zinc bromine). (Fuchs dkk, 2012; dalam IRENA, 2015).

Wilayah kepulauan menyimpan potensi untuk menjadi pasar utama teknologi batere. Teknologi mungkin diutilisasi untuk membantu mengintegrasikan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembangkit listrik dari energi fosil seperti diesel dan gas, dan pada beberapa kasus juga lebih murah. Kebanyakan pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkitan listrik memiliki biaya levelisasi (levelised cost) antara USD $ 0,05 – 0,25/kWh. (IRENA, 2013c; dalam IRENA, 2015a).

Penyimpanan batere di rumah tangga memungkinkan peningkatan konsumsi listrik secara mandiri dari teknologi solar PV. Batere juga dapat membantu menghilangkan keterbatasan kapasitas jaringan listrik lokal. Hal ini diselesaikan dengan penggunaan batere untuk menyesuaikan permintaan pengguna listrik dengan produksi listrik dari energi matahari. Beberapa sistem batere untuk rumah tangga, dijual dengan harga sekitar EUR € 1000/kWh berdasar data pada akhir 2014. Sumber lain menyatakan harga batere adalah sekitar EUR € 200/kWh dan lama pengembalian modal investasi (payback time) sekitar 6 – 8 tahun untuk negara-negara Eropa (Parkinson, 2014; dalam IRENA, 2015a).

Batere dapat ditempatkan pada lokasi pusat produksi listrik dari energi angin dan matahari agar dapat memperhalus output listrik yang dibangkitkan ketika ditransferkan ke jaringan listrik. Betere juga dapat menyimpan kelebihan produksi listrik dari energi terbarukan untuk digunakan pada waktu yang lain. Proses ini, sesuai digunakan pada periode-periode dimana permintaan listrik sedang tinggi.

Dukungan pemerintah telah menjadi kunci pendorong untuk pelaksanaan proyek demonstrasi batere di seluruh dunia. Hal ini juga telah membangun landasan yang produktif pada pengetahuan operasional, data, dan partisipasi aktif industri. Amerika Serikat, China, Jepang, dan Jerman merupakan pemimpin penggunaan batere. Negara-negara lain, termasuk Itali dan Korea Selatan, mengikuti cukup dekat di belakang. Telah jelas bahwa meningkatnya penggunaan variable renewable energy (VRA), seperti energi angin dan matahari, merupakan pendorong utama penggunaan batere secara masif dalam rangka peningkatan fleksibilitas sistem kelistrikan, memaksimalkan sumber daya energi terbarukan, dan mengembangkan teknologi alternatif. Kebijakan regulasi pada sejumlah negara telah mengenali keuntungan penggunaan aset-aset bahan bakar non fosil pada kestabilan jaringan listrik.

Sebelumnya, teknologi batere yang paling banyak mendominasi pasar adalah batere sodium-sulphur yang diproduksi oleh NGK Insulator di Jepang. Teknologi ini telah tergantikan dengan teknologi lithium-ion karena adanya keuntungan dari sisi biaya, kinerja, dan keamanan (safety) dibandingkan jenis batere lain. Pergantian ini didukung oleh insentif pemerintah dan pengaruh dari sektor lain. Untuk wilayah kepulauan, siklus kehidupan, kondisi ambien (khususnya temperatur), kebutuhan infrastruktur instalasi dan perawatan merupakan kriteria untuk pemilihan batere. Untuk solar PV rumah tangga, isu biaya, lahan yang dibutuhkan, keamanan, perawatan, dan jaminan akan menjadi faktor-faktor yang signifikan.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 12 November 2016

JARINGAN LISTRIK PINTAR (SMART GRID)


Pertumbuhan dan ekspansi pemanfaatan energi terbarukan pada jaringan yang tersentralisasi dan yang terdesentralisasi membutuhkan pendekatan baru yang efektif terhadap manajemen jaringan listrik, yaitu melalui penggunaan secara menyeluruh sistem jaringan listrik pintar (smart grid) dan teknologinya. Sistem jaringan listrik yang ada sekarang telah banyak yang menggunakan elemen-elemen yang bekerja secara pintar, tetapi hal ini kebanyakan digunakan hanya sebatas pada kegiatan penyeimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand) listrik. Sistem jaringan listrik pintar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam setiap aspek pembangkitan, pendistribusian dan konsumi listrik untuk meminimalkan dampak lingkungan, meningkatkan pasar, meningkatkan kehandalan dan pelayanan, serta mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. (EPRI, 2013; dalam IRENA, 2013).

Teknologi ini dapat diimplementasikan pada semua tingkatan, baik pada teknologi pembangkitan listrik hingga ke aplikasi konsumen. Sebagai hasilnya, smart grid dapat memainkan peranan krusial dalam transisi menuju energi masa depan yang berkelanjutan melalui beberapa cara : memfasilitasi integrasi sumber energi terbarukan (variable renewable energy) ke jaringan listrik dengan lancar, mendukung produksi listrik yang terdesentralisasi, menciptakan model bisnis baru melalui peningkatan arus informasi, keterlibatan konsumen, dan peningkatan sistem kontrol, dan menyediakan fleksibilitas di sisi permintaan (demand). (IRENA, 2013).

Energi terbarukan tingkat rendah dengan pangsa kapasitas yang masuk ke jaringan tidak melebihi 15%, umumnya layak dioperasikan tanpa menggunakan teknologi smart grid. Pada pemanfaatan energi terbarukan tingkat menengah, biasanya 15% - 30%, teknologi smart grid akan semakin dibutuhkan. Pada penetrasi kapasitas energi terbarukan melebihi 30% (tinggi) akan sangat membutuhkan teknologi smart grid untuk menjamin kehandalan operasional jaringan listrik. (IRENA, 2013).

Berdasarkan studi yang dilakukan di Timur Tengah dan Afrika Utara, diketahui bahwa investasi pengembangan smart grid dapat menghemat USD $ 300 juta hingga USD $ 1 miliar setiap tahun yang membantu kesadaran wilayah tersebut mengenai potensi pemanfaatan energi matahari yang mereka miliki. (Northeast Group, 2012, dalam IRENA, 2013). Studi di Amerika Serikat menemukan bahwa potensi investasi pada teknologi berkelanjutan termasuk smart grid dan energi terbarukan memiliki net present value (NPV) sebesar USD $ 20 miliar hingga USD $ 25 miliar berdasarkan keuntungan pemanfaatan teknologi tersebut. (Rudden and Rudden, 2012; dalam IRENA, 2013).

Kebanyakan proyek smart grid khususnya yang mendukung energi terbarukan, juga memberikan keuntungan sosial ekonomi tidak hanya bagi pemanfaatan sistem utilitas, tetapi juga bagi pelanggan dan komunitas lokal dan global. Keuntungan yang lebih luas ini termasuk pencapaian keuntungan ekonomi dari kehandalan sistem yang tinggi, peningkatan kesehatan publik karena pengurangan emisi, dan pencapaian jangka panjang di sisi lingkungan dan ekonomi dari listrik rendah karbon. (McGregor, 2012; dalam IRENA, 2013).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Selasa, 08 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (LPG/Vi-Gas)


Bahan bakar jenis LPG (Liquid Petroleum Gas) juga dapat dikategorikan sebagai bahan bakar gas, namun LPG merupakan jenis gas yang berbeda dengan gas alam. Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam. Propana dan butana, biasanya keduanya dicampur dalam komposisi tertentu.

Selain dikenal sebagai bahan bakar untuk konsumsi rumah tangga, LPG dapat digunakan juga sebagai bahan bakar pada kendaraan. Nilai oktan LPG untuk kendaraan diatur lebih tinggi dibandingkan LPG untuk rumah tangga. Di Indonesia bahan bakar LPG yang digunakan untuk transportasi dikenal dengan merek Vi-Gas. Secara global penamanaanya juga bermacam-macam sesuai dengan penamaan di masing-masing Negara. Bahan bakar LPG untuk kendaraan dikenal juga sebagai AutoGas, Automotive LP Gas, GLP (Gas Liquid Petroleum), GPL (Gas Petroleum Liquid), atau LGV (Liquid Gas for Vehicle).

LPG yang digunakan pada kendaraan ini berbentuk cair. Tekanan LPG diatur pada tekanan sekitar 8-14 bar dan temperatur sekitar -40 oC. Karena LPG untuk kendaraan diatur dalam bentuk cair maka daya tampung gasnya lebih besar dibandingkan CNG pada volume tabung yang sama.

Sistem pendistribusian LPG untuk kendaraan mirip dengan sistem pendistribusian BBM. LPG yang diproduksi dari kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam, disimpan di terminal penyimpanan LPG. LPG yang berbentuk cair ini dikirimkan ke SPBU dengan menggunakan truk tangki LPG. Di SPBU, LPG yang diangkut truk ditransferkan ke tangki LPG di SPBU. Kendaraan berbahan bakar LPG dapat mengisi LPG di SPBU-SPBU yang memiliki pelayanan Vigas.

Kendaraan Berbahan Bakar LPG

Menurut WLPGA, jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global telah mencapai angka 24.991.465 unit pada tahun 2013. Sedangkan total konsumsi LPG untuk kendaraan secara global mencapai 25,8 juta ton. (www.auto-gas.net). Sistem mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang bekerja dengan bahan bakar liquid petroleum gas (LPG) merupakan teknologi yang telah terbukti bekerja dengan baik layaknya mesin spark ignition pada kendaraan berbahan bakar bensin. LPG sebagai bahan bakar kendaraan tidak digunakan sendiri (single fuel) tetapi selalu berada dalam sistem bi-fuel. Kendaraan berbahan bakar bensin dapat ditambah sistem converter kit agar dapat menjadi kendaraan bi-fuel. Pada sistem ini, LPG dikombinasikan dengan bensin yang bekerja secara bergantian (sequential). Pada kendaraan bi-fuel terdapat dua sistem bahan bakar yang berarti terdapat dua tangki bahan bakar yang terpisah. Satu untuk bensin dan satu untuk LPG. Sistem bi-fuel memungkinkan LPG dan bensin dapat digunakan secara bergantian melalui switching cepat baik secara manual maupun otomatis. (IEA ETSAP, 2010).

Penggunaan LPG pada kendaraan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas – GHG) hingga 15% dibandingkan pada penggunaan bahan bakar petrol. Biaya konversi kendaraan bensin menjadi kendaraan bi-fuel LPG berkisar antara EUR € 1130 (15 juta-an rupiah) hingga EUR € 2740 (40 juta-an rupiah). (IEA ETSAP, 2010).


Grafik 3. Perkembangan jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Grafik 4. Perkembangan konsumsi LPG untuk kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Stasiun pengisain LPG untuk kendaraan (ViGas) di seluruh Indonesia terdapat sebanyak sekitar 21 unit SPBU yang melayani pengisian LPG (LGV filling station) per Juli 2015. Kebutuhan pasokan LPG untuk kendaraan juga kemungkinan akan bertambah seiring dengan pembagian 50.000 konverter kit LPG untuk perahu nelayan di beberapa wilayah pada tahun 2015.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 05 November 2016

HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR TRANSPORTASI


Gambar 1. Toyota Mirai yang dilaunching tahun 2015 mrupakan salah satu kendaraan berbahan bakar hidorgen fuel cell yang dijula secara komersial. Toyota Mirai didasarkan pada konsep kendaraan Toyota FCV.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Toyota_FCV_reveal_25_June_2014_-_by_Bertel_Schmitt_02.jpg


Aplikasi hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan merupakan fokus riset dan pengembangan fuel cell. Keuntungan yang dapat diberikan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan listrik adalah tidak adanya emisi yang dihasilkan, adanya kemungkinan produksi domestik, dan dapat memberikan efisiensi yang sangat tinggi. (www.eia.org). Bahan bakar hidrogen dapat diisikan ke Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dalam waktu berkisar antara 3-5 menit. Jarak tempuh FCEV dapat mencapai 300 – 400 mil (480 - 640 km). (Joan Ogden dkk., 2014).

Hingga sejauh ini, pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi masih akan menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan tersebut meliputi isu teknis, biaya infrastruktur dan harga kendaraan yang sangat mahal, teknologi penyimpanan yang bertekanan sangat tinggi, dan keamanan. Walaupun demikian, kenyataannya telah terdapat stasiun pengisian bahan bakar hidrogen dan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang telah berada pada tahapan komersial. Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar hidrogen telah dibangun di Amerika Serikat dan juga Jepang. Sejumlah pabrikan kendaraan juga telah memperkenalkan kendaraan hidrogen misalkan Hyundai, Toyota, Honda, dan Mercedez-Benz.

Hal ini semua patut menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam menyusun strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan yang ke depannya dapat mendukung pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi di dalam negeri. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar transportasi merupakan solusi masa depan terhadap penggunaan kendaraan yang bebas emisi dan juga sangat efisien karena dapat menawarkan daya jangkau kendaraan yang lebih jauh. Pada skala komersial hidrogen akan menjadi suatu aplikasi yang umum dalam beberapa waktu ke depan.

Terdapat sejumlah cara untuk mengirimkan hidrogen ke stasiun pengisian sehingga dapat mengisi kendaraan. Hidrogen dapat diproduksi secara lokal di pabrik besar, disimpan sebagai gas bertekanan atau sebagai gas cair cryogenic (pada Temperatur -253 oC), dan didistribusikan menggunakan truk atau pipa gas. Hidrogen juga dapat diproduksi di lokasi stasiun pengisian (bahkan di rumah dan fasilitas komersial) dengan menggunakan bahan baku gas alam, alkohol (methanol atau ethanol), atau listrik. Saat ini, teknologi pendistribusian hidrogen telah menjadi teknologi yang umum di bisnis perniagaan hidrogen dan industri kimia. Sebagian besar hidrogen industri diproduksi dan digunakan di lokasi, namun beberapa di antaranya diantarkan ke pengguna yang jaraknya relatif jauh dengan menggunakan pipa atau truk. (Joan Ogden dkk., 2014).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 500 buah mobil berbahan bakar fuel cell yang beroperasi. Sebagain besar dari kendaraan tersebut berupa bus dan mobil bermesin motor elektrik yang berbahan bakar fuel cell. Sedikit di antaranya yang memiliki sistem pembakaran hidrogen secara langsung. Kendala perkembangan jumlah kendaraan fuel cell adalah harganya yang sangat mahal dan masih langkanya fasilitas pengisian. (www.eia.org).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 50 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Namun hanya sekitar seperlimanya yang tersedia untuk konsumen umum, dan 40% di antaranya terletak di wilayah California. Jumlah kendaraan berbahan bakar hidrogen masih terbatas. Ada kecenderungan masyarakat enggan membeli mobil hidrogen dengan alasan jumlah stasiun pengisian hidrogen belum banyak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan juga enggan berinvestasi untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen selama populasi mobil hidrogen yang beroperasi belum banyak. Hal ini menimbulkan permasalahan “ayam dan telur”, sehingga tidak ada di antara kedua pihak, baik di sisi permintaan (demand) dan pasokan (supply), yang berinisiatif untuk memulai lebih dulu. (www.eia.org).

Pada bulan Mei 2014, California Energy Commission mengalokasikan dana sebesar 46,6 juta dolar untuk membantu pengembangan 28 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen untuk umum di California. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan kendaraan fuel cell yang bebas emisi dan ramah lingkungan kepada masyarakat. (www.eia.org).

Di California, Amerika Serikat, terdapat kebijakan mengenai mandat emisi nol (zero emission mandate), dimana hal ini ditujukan agar pabrikan kendaraan segera memperkenalkan Fuel Cell Electric Vehicles (FCEVs) ke pasar. California Fuel Cell Partnership memproyeksikan FCEVs akan terus berkembang pesat, dari yang saat ini beroperasi sekitar 100 unit menjadi 6.500 unit pada 2017 dan 18.000 unit pada 2020. Hingga sejauh ini pabrikan yang telah resmi mengeluarkan FCEV adalah Hyundai dengan merek Tucson berjenis sport utility vehicle (SUV). Honda, Toyota, dan Mecedes-Benz berencana mengikuti untuk memasarkan FCEV light duty (kerja ringan) pada 2016. (AGA, 2014).

Perkiraan komponen biaya untuk bahan baku hidrogen saat ini adalah sekitar USD $ 4 – USD $ 12 untuk memproduksi bahan bakar hidrogen yang setara dengan satu galon bensin. Semakin murahnya biaya bahan baku dan peningkatan teknologi pemprosesan dan penyimpanan dari waktu ke waktu memungkinkan hidrogen menjadi bahan bakar dengan margin keuntungan yang tinggi. Di Amerika Serikat, dispenser hidrogen diatur agar satuan pembelian bahan bakar hidrogen disertifikasi dalam satuan kilogram (Kg), dimana pada tiap 1 Kg Hidrogen ini memiliki kemiripan kesetaraan energi dengan satu galon bensin. Hal ini dilakukan agar konsumen dapat melakukan perbandingan keekonomian langsung antara bahan bakar hidrogen dan bensin. (AGA, 2014).

Secara paralel, terdapat juga komitmen penganggaran dana hingga USD $ 20 juta setiap tahun untuk pembangunan setidaknya 100 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cell station). California Environmental Protection Agency and Air Board menargetkan 51 hydrogen fuell cell station akan beroperasi pada 2016. (AGA, 2014).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Kamis, 03 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (CNG & LNG)

Dalam terminologi ini, yang dimaksud bahan bakar gas untuk kendaraan adalah bahan bakar yang berupa gas alam (natural gas) dan juga gas sampingan pengolahan minyak/petroleum atau disebut sebagai LPG (Liquid Petroleum Gas). Namun di antara keduanya terdapat perbedaan dari sisi komposisi pembentuk gasnya. Kandungan utama gas alam adalah gas metana atau methane (CH4). Sedangkan Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam.

CNG dan LNG

Terdapat dua pilihan teknologi yang tersedia yang berhubungan dengan cara penyimpanan dan pendistribusian gas alam (natural gas) dan juga untuk aplikasi sebagai bahan bakar kendaraan.
  1. Teknologi pertama, gas dikompresi hingga mencapai tekanan kurang lebih 200 bar dan diisikan kepada tabung-tabung pada kendaraan yang mampu mengakomodir tekanan gas yang tinggi. Teknologi ini disebut Compressed Natural Gas atau dikenal sebagai CNG.
  2. Teknologi kedua, gas alam dicairkan pada temperatur cryogenic atau dingin ekstrem (-160oC) kemudian diisikan ke tabung/tangki cryogenic yang ada pada kendaraan. Teknologi ini disebut sebagai liquefied natural gas (LNG).

LNG diproduksi di pabrik LNG (LNG plant). Dalam proses pencairan gas alam menjadi LNG, dibutuhkan proses pengurangan kandungan gas-gas pengotor pada gas alam agar gas alam dapat dicairkan dengan aman dan lancar. Sedangkan CNG diproduksi di CNG plant. Gas pipa dialirkan ke kompresor untuk ditekan hingga mencapai tekanan tertentu dan kemudian gas disimpan di tabung bertekanan tinggi. CNG juga dapat diproduksi dari gas alam yang berasal dari regasifikasi LNG. Pembangunan stasiun pengisian LNG untuk kendaraan akan relatif jauh lebih mahal dibandingkan biaya pembangunan stasiun pengisian CNG (CNG station/SPBG). Selain proses pencairan yang mahal, proses penyimpanan LNG di stasiun pengisian juga mahal karena membutuhkan tangki cryogenic, tangki khusus yang dapat menahan temperatur LNG yang -165oC.

Rantai pasokan (supply chain) stasiun pengisian LNG dan CNG pada dasarnya hampir sama. Sistem pendistribusian CNG memiliki beberapa pilihan metode. Ini dapat dilihat dari jenis CNG station atau SPBG. Bisa berupa CNG online station, mother and daughter station, mobile refueling unit, dan ecostation.
  1. CNG online station. Pada CNG jenis pertama ini gas alam disalurkan melalui pipa menuju SPBG. Di SPBG gas dikompresi hingga tekanan mencapai 200 – 250 bar dan kemudian diisikan ke kendaraan pengguna CNG melalui dispenser CNG.
  2. Mother and daughter station. Sistem SPBG jenis kedua terdiri dari Mother Station dan Daughter Station. Mother station sama seperti SPBG jenis pertama (online station). Gas alam dialirkan melalui pipa ke mother station dan di dilakukan pengkompresian gas menjadi CNG. CNG yang diproduksi oleh mother station kemudian diisikan ke truk trailer / kontainer CNG yang kemudian truk tersebut mengantarkan CNG ke daughter station. Truk kontainer CNG mentransfer CNG yang dimuatnya ke daugther station, lalu daughter station mengisikan CNG ke kendaraan pengguna akhir CNG.
  3. Mobile refueling unit (MRU). SPBG jenis ini dapat disebut juga SPBG yang dapat bergerak (portable). MRU bentuknya berupa kontainer yang di dalamnya berisi peralatan-peralatan pemprosesan dan pengisian CNG yang di antaranya terdiri dari dryer dan filter, kompresor, tabung CNG, dan dispenser. Kontainer CNG ini dapat ditarik oleh truk untuk diantarkan ke lokasi yang diinginkan yakni ke pengguna CNG secara langsung.
  4. Hybrid station, Co-Location atau Ecostation. Biasanya merupakan penyebutan bagi SPBG yang terintegrasi (dalam satu lokasi) dengan stasiun pengisian bahan bakar lain seperti SPBU bensin dan diesel. SPBG pada ecostation dapat berupa CNG online station, daughter station, atau MRU.

Sedangkan untuk sistem pengisian bahan bakar LNG akan dibutuhkan pasokan LNG dari kilang LNG (pabrik pencairan gas alam). LNG yang dihasilkan oleh kilang LNG dapat dikirimkan ke stasiun pengisian bahan bakar LNG (LNG refueling station) terdekat melalui pipa penyalur LNG untuk langsung melakukan pengisian pada kendaraan. LNG yang dihasilkan kilang LNG juga dapat dikirimkan ke LNG refueling station yang jaraknya cukup jauh dari kilang LNG, baik dengan menggunakan truk kontainer LNG, kapal kontainer LNG, kereta api kontainer LNG, atau paduan dari ketiga moda transportasi tersebut.

LNG refueling station juga dapat berperan sebagai LCNG station, yang merupakan perpaduan LNG refueling station dan CNG refueling station. LCNG station dapat melakukan pengisian LNG dan CNG. LNG yang disimpan pada LCNG station, diregasifikasi dengan menggunakan vaporizer dan kemudian diatur tekanannya sehingga memenuhi tekanan CNG, lalu melalui dispenser, CNG diisikan ke kendaraan CNG.

Kendaraan Berbahan Bakar CNG dan LNG

Teknologi penerapan BBG pada kendaraan, baik LNG dan CNG, secara umum adalah sama, yang membedakan adalah cara penyimpanan gas pada kendaraan. Kendaraan yang menggunakan bahan bakar CNG, akan menggunakan tabung bertekanan tinggi untuk menyimpan CNG. Pada kendaraan yang menggunakan LNG akan menggunakan tanki cryogenic untuk menyimpan LNG yang memiliki temperatur dingin ekstrem.

Penerapan BBG pada kendaraan memiliki beberapa pilihan teknologi, dapat berupa sistem bi-fuel, dual fuel atau melalui modifikasi mesin. Untuk mesin berbahan bakar bensin umumnya teknologi yang dipakai adalah sistem bi-fuel. Perangkat converter kit bi-fuel dipasang pada kendaraan. Dengan adanya sistem bi-fuel pada kendaraan, bensin dan gas dapat digunakan secara bergantian (sequential) yang dapat saling dipertukarkan penggunaannya dengan cepat melalui proses switching, baik secara manual maupun secara otomatis.

Untuk kendaraan bermesin diesel, aplikasi BBG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mengkonversi sistem bahan bakar menjadi sistem dual fuel atau dengan cara modifikasi mesin diesel menjadi mesin yang menggunakan bahan bakar gas secara penuh (100%). Pada sistem dual fuel, dilakukan pemasangan converter kit gas sehingga minyak diesel dan gas dapat digunakan secara bersama (dicampur) di ruang bakar. Sedangkan pada teknologi modifikasi mesin, mesin diesel dibongkar dan dimodifkasi agar dapat menggunakan bahan bakar gas secara penuh sehingga tidak dapat lagi menggunakan bahan bakar minyak diesel.

Pada teknologi CNG, gas disimpan di tabung silinder bertekanan sekitar 200 bar. Ketika CNG hendak digunakan dan dikrimkan ke mesin, maka tekanannya diturunkan sehinggga sesuai yang dibutuhkan oleh sistem mesin.

Pada teknologi LNG, gas dalam bentuk cair dengan temperatur sekitar -160oC disimpan di tanki cryogenic pada kendaraan, semacam termos yang dapat menjaga temperatur LNG agar tetap dingin selama mungkin dan tidak menguap. Ketika LNG hendak digunakan dan dialirkan ke ruang mesin, maka LNG dialirkan melalui vaporizer terlebih dahulu agar fasenya yang cair berubah menjadi gas dan kemudian diatur tekanannya agar sesuai dengan sistem mesin.

Berdasarkan pengalaman, biaya peralatan dan pemasangan converter kit kendaraan pribadi berbahan bakar bensin menjadi sistem bi-fuel CNG berkisar antara 15 – 25 juta rupiah. Sedangkan untuk konversi truk berbahan bakar diesel menjadi sistem dual fuel CNG berkisar antara 100 – 200 juta rupiah. Biaya untuk memodifikasi truk/bis bermesin diesel menjadi mesin pengguna BBG secara penuh, berdasarkan informasi, biayanya sekitar 200 juta rupiah.

Pada teknologi LNG, biaya peralatan dan pemasangan converter kit cenderung lebih mahal dibandingkan teknologi CNG karena harga tangki cryogenic yang sangat mahal. Biaya konversi 1 unit Bus menjadi berbahan bakar LNG system dual fuel mencapai hampir USD $ 30.000. Berdasarkan pengalaman lainnya, biaya konversi truk menjadi sistem dual fuel LNG mencapai 500 juta rupiah. Harga 1 unit truk berbahan bakar LNG (dedicated fuel) keluaran pabrik mencapai 1,3 Miliar Rupiah.

Secara global, bahan bakar LNG dan CNG telah banyak digunakan. NGV Global (dalam http://www.iangv.org/) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 16,7 juta kendaraan berbahan bakar gas yang beroperasi di dunia. Angka ini termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat. Sedangkan menurut NGVA Europe, pada tahun 2013, jumlah NGV dunia (tidak termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat) yang beroperasi telah mencapai 17.730.733 unit. Sedangkan CNG Station, L-CNG Station, dan LNG station yang beroperasi mencapai 24.036 unit. Negara pengguna NGV terbesar adalah Iran (18,61% dari total jumlah NGV dunia), Pakistan (15,74%) dan Argentina (12,66%). Sedangkan negara-negara yang memiliki jumlah pangsa penggunaan NGV terbesar terhadap total kendaraan di negaranya adalah Pakistan (79,67% terhadap jumlah total kendaraan), Bangladesh (62,12%), dan Armenia (55,45%).

Grafik 1. Jumlah total kendaraan berbahan bakar gas (natural gas vehicle) secara global sejak tahun 1991 – 2012
Sumber : http://www.iangv.org/

CH-‐IV International (2009, dalam ECE, 2015) menyebutkan bahwa untuk transportasi LNG di darat dengan menggunakan truk tanker (bukan sebagai bahan bakar kendaraan) tercatat telah terjadi 23 insiden dan kecelakaan semenjak 1971 di Amerika Serikat dan Eropa. Enam insiden di antaranya melibatkan kecelakaan dengan kendaraan lain. Sepuluh insiden terjadi karena truk terguling dimana kebanyakan tanpa terjadi hilangnya muatan. Dari insiden-insiden ini hanya 2 insiden yang berujung pada kebakaran. Hanya satu insiden (dari dua) yang menyebabkan kematian pengemudi akibat kebakaran LNG.

Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa penggunaan LNG dan CNG pada kendaraan merupakan aplikasi yang sudah cukup lama dilakukan, dan bukan suatu kegiatan baru. Teknologinya sudah mapan. Panduan-panduan dan standard-standard internasional telah banyak diterbitkan sebagai bahan acuan penggunaan CNG dan LNG yang efektif, efisien dan aman. Karenanya pemanfaatan CNG dan LNG sebagai bahan bakar altenatif minyak bensin dan solar merupakan solusi yang patut dipertimbangkan.

Segmentasi penggunaan LNG dan CNG pada jenis kendaraan tertentu juga telah banyak dikaji. Terdapat pula sejumlah best practice yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah seperti yang disusun oleh tim West Port (2013).

Gambar 1. Segmentasi pengguna LNG dan CNG untuk transportasi
Sumber : West Port, 2013.

Gambar 2. Pertimbangan pemilihan bahan bakar CNG atau LNG pada kendaraan jarak menengah dan medium duty
Sumber : West Port, 2013.

Grafik 2. Rasio densitas bensin (gasoline), LNG dan CNG dibandingkan diesel (solar)
Sumber : US Energy Infromation Administration

Penggunaan LNG pada kendaraan dapat menawarkan daya tampung gas yang lebih besar dibandingkan CNG. Gas dalam bentuk cair dapat dimuat lebih banyak dibandingkan dalam bentuk gas pada volume tangki yang sama. Pada LNG, gas dapat dimampatkan hingga 600 kali sedangkan pada CNG hanya dapat dimampatkan sekitar 140 hingga 250 kali. Hal ini menyebabkan kendaraan yang menggunakan LNG akan dapat menempuh perjalanan yang lebih jauh dibandingkan CNG pada ukuran volume tabung penyimpanan bahan bakar gas yang sama.

Hingga sejauh ini upaya pembangunan SPBG (CNG Station dan LNG station) di banyak wilayah Indonesia terus dilakukan. Bahkan penggunaan bahan bakar LNG untuk kendaraan telah mulai diuji coba pada kendaran pertambangan di Kalimantan Timur. Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2015 direncanakan akan dibangun 22 SPBG (CNG station) baru dimana nantinya total SPBG yang sudah dibangun di seluruh Indonesia akan mencapai 47 SPBG, sedangkan yang beroperasi hingga saat ini ada sekitar 28 SPBG. Dari jumlah itu pun tidak semuanya beroperasi dengan kapasitas penuh. Banyak SPBG juga tidak dapat beroperasi karena berbagai kendala. Salah satunya terkait perizinan seperti izin kepala daerah dan izin lingkungan. Selain itu, beberapa SPBG juga mendapatkan penolakan dari warga sehingga belum bisa beroperasi. Kendala teknis yang sering dihadapi misalkan belum banyaknya jaringan pipa gas yang tersedia dan penggunaan sistem mother and daughter station sistem yang membutuhkan biaya investasi dan operasi yang lebih mahal sehingga harga jual CNG lebih mahal dari CNG di online station. Nilai harga jual CNG yang diatur Pemerintah juga terlalu rendah sehingga mengurangi minat pebisnis. Namun jika harga terlalu mahal maka minat konsumen akan berkurang.


LNG station yang tersedia sampai sejauh ini adalah stasiun pengisian LNG di kilang LNG Bontang. Dari kilang LNG fueling station ini, LNG dari kilang Bontang dikirimkan melalui truk kontainer LNG ke sejumlah konsumen. Beberapa konsumen di antaranya adalah sejumlah pertambangan batubara di Kalimantan Timur. LNG digunakan sebagai bahan bakar sejumlah truk tambang. Sebelumnya truk tambang telah dikonversi menjadi berbahan bakar LNG-Diesel Dual Fuel sebagai pilot project (uji coba).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Rabu, 02 November 2016

HIDROGEN, ENERGI ALTERNATIF YANG SANGAT POTENSIAL UNTUK DIKEMBANGKAN

Gambar 1. Skema pemanfaatan hydrogen fuel cell
Sumber: The National Energy Education Project dalam www.eia.org

Hidrogen (H2) merupakan elemen teringan. Pada temperatur dan tekanan normal, hidrogen berada dalam bentuk gas. Hidrogen dapat terkondensasi menjadi cair pada temperatur -253° Celsius (-423° F). Hidrogen merupakan elemen paling sederhana. Satu atom hidrogen hanya memiliki satu proton. Hidrogen juga merupakan gas yang paling banyak ditemukan di alam semesta. Bintang-bintang seperti matahari mengandung hidrogen yang bertindak sebagai komponen utama.

Matahari pada dasarnya merupakan bola hidrogen dan helium raksasa. Pada inti matahari, atom-atom hidrogen digabungkan untuk membentuk atom helium. Proses ini disebut sebagai reaksi fusi yang kemudian menghasilkan energi sinar matahari. Energi matahari merupakan energi penopang kehidupan. Energi ini memberi kita cahaya dan membantu tumbuhan untuk tumbuh. Energi matahari ini disimpan sebagai energi kimia pada bahan bakar fosil. Sebagian besar energi yang kita gunakan saat ini sebenarnya berasal dari energi matahari.

Gas hidrogen lebih ringan dari udara sehingga akan cepat naik ke angkasa dan keluar dari atmosfer bumi. Inilah penyebab mengapa H2 tidak ditemukan sebagai gas di bumi. Gas hidrogen hanya ditemukan dalam bentuk senyawa dengan elemen lainnya. Hidrogen dikombinasikan dengan oksigen, membentuk air (H2O). Hidrogen dikombinasikan dengan karbon, membentuk bermacam-macam senyawa seperti methane (CH4), batubara, dan minyak bumi. Hidrogen dapat ditemukan pada semua benda yang tumbuh. Hidrogen sebagai senyawa juga ditemukan melimpah pada lapisan kerak bumi. Hidrogen memiliki kandungan energi terbesar dibandingkan bahan bakar lain dari sisi beratnya (tiga kali lebih besar dari bensin) tetapi memiliki kandungan energi terkecil dari sisi volume (sekitar 4 kali lebih kecil dari bensin).

Hidrogen merupakan sarana pembawa energi seperti halnya listrik. Hidrogen harus diproduksi dari substansi lain. Hidrogen yang ada di bumi tidak berada dalam bentuk yang siap digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar hidrogen dapat diproduksi dari sumber bahan bakar fosil dan energi terbarukan. Produksi hidrogen dari energi terbarukan merupakan proses yang relatif mahal.

Kini, hidrogen masih belum banyak digunakan secara luas. Akan tetapi hidrogen memiliki potensi besar di masa mendatang. Hidrogen dapat diproduksi dari berbagai macam sumber seperti air, bahan bakar fosil, atau biomassa. Hidrogen biasanya juga merupakan produk sampingan dari banyak proses kimia.

Karena hidrogen tidak eksis di permukaan bumi sebagai gas, hidrogen harus diekstraksi dari senyawanya dengan elemen lain. Atom hidrogen dapat dipisahkan dari molekul air, biomassa atau gas alam.

Terdapat dua metode yang umum digunakan untuk memproduksi hidrogen, yakni steam reforming dan electrolysis (pemecahan molekul air / water splitting). (www.eia.org).

Steam reforming (pembentukan uap) merupakan metode yang banyak digunakan dan juga paling murah untuk memproduksi hidrogen. Pada proses ini gas alam diuraikan dengan menggunakan uap panas (steam) yang dipadukan katalis dan kemudian dihasilkan gas yang kaya kandungan hidrogen. (AGA, 2014). Metode ini digunakan di industri untuk memisahkan atom hidrogen dari karbon pada senyawa methane (CH4). Proses steam reforming menghasilkan emisi carbon dioksida (CO2).

Electrolysis merupakan proses yang memisahkan hidrogen dari air dengan menggunakan arus listrik. Proses ini dapat digunakan pada skala kecil dan juga besar. Electrolysis tidak menghasilkan emisi. Produknya adalah hidrogen dan oksigen. Namun demikian, jika listrik yang digunakan pada proses ini berasal dari pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil, maka akan terdapat produk emisi dan karbon dioksida sebagai produk sampingan. Untuk itu, listrik yang digunakan dalam proses ini seharusnya dari sumber energi terbarukan seperti energi angin dan matahari.

Selain kedua metode di atas, para peneliti di dunia sedang mengembangkan metode-metode lainnya. Beberapa di antara metode yang sedang dikembangkan adalah penggunaan mikroba yang menggunakan cahaya untuk menghasilkan hidrogen, mengkonversi biomassa menjadi cairan dan kemudian memisahkan hidrogen yang dikandungnya, menggunakan teknologi energi matahari untuk memisahkan hidrogen dari molekul air. (www.eia.org).

Hingga sejauh ini hidrogen digunakan pada beberapa aplikasi. Di Amerika Serikat, hidrogen banyak digunakan di sektor industri. Misalnya untuk pengolahan minyak, pengolahan logam, produksi pupuk, dan pemprosesan makanan. National Aeronautics and Space Administration (NASA) merupakan pengguna hidrogen terbesar sebagai bahan bakar roket. Penggunaan hidrogen cair sebagai bahan bakar untuk pertama kalinya telah dilakukan pada tahun 1950-an. Bahan bakar hydrogen fuel cell digunakan untuk mensuplai tenaga listrik pada sistem kelistrikan pesawat ruang angkasa. (www.eia.org).

Di Amerika Serikat, gas alam merupakan bahan baku dari 95% bahan bakar hidrogen yang diproduksi. Jumlah total hidrogen yang diproduksi Amerika Serikat adalah sekitar 9 juta ton per tahun. Sebagian besar hidrogen ini digunakan untuk keperluan industri dan kilang minyak. Sembilan juta ton hidrogen ini cukup untuk mengisi sekitar 35 juta kendaraan berbahan bakar hidrogen (FCEV). (Joan Ogden dkk., 2014).

Hydrogen fuel cell memproduksi listrik dengan menggabungkan atom hidrogen dan atom oksigen. Penggabungan ini menghasilkan arus listrik. Hydrogen fuel cell sangat efisien, tetapi sangat mahal untuk dibuat. Terdapat banyak tipe fuel cell yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Fuel cell skala kecil telah dikembangkan untuk menyuplai listrik pada laptop, handphone, dan aplikasi militer. Fuel cell skala besar dapat menjadi sumber energi darurat pada gedung-gedung dan juga di daerah terpencil yang belum memiliki jaringan listrik. (www.eia.org).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Selasa, 01 November 2016

TANTANGAN PENGELOLAAN ENERGI DI MASA DEPAN




Ternyata tidak terasa telah lebih dari satu abad manusia memasuki era industri. Era industri ini ditandai dengan konsumsi energi yang semakin masif untuk menyokong aktivitas industrialisasi di segala segmen kehidupan. Dan kini era industrialisasi berkembang lebih jauh lagi dengan dimulainya era teknologi informasi. Di era teknologi informasi ini, aktivitas manusia semakin tergantung kepada pasokan energi. Tanpa energi, peralatan-peralatan berbasis teknologi informasi tidak akan dapat beroperasi. Hal ini mengancam aktivitas keseharian manusia yang telah semakin tergantung pada teknologi informasi. Dengan demikian, tuntutan terhadap pasokan energi yang berkelanjutan dan stabil menjadi suatu hal yang semakin mendesak.

Dalam ruang lingkup secara global, dapat dikatakan bahwa di era ini tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak memerlukan energi. Energi telah semakin menjadi elemen yang sangat penting dalam menentukan derajat hubungan antar negara, baik secara strategis maupun ekonomis. Upaya pemenuhan energi yang terjadi selama ini yang dilakukan antar negara semakin cenderung untuk menganut prinsip saling ketergantungan. Hal ini menjadi ciri khas proses globalisasi ekonomi.

Tingkat hubungan antar negara di bidang energi dapat diukur dengan tingkat ketergantungannya dengan negara lain. Tingkat ketergantungan yang dimaksud dapat berupa ketergantungan yang simetris (setara) ataupun asimetris (tidak setara). Di sisi lain, dalam konteks isu global, keamanan energi tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling berhubungan dengan isu global lain seperti isu lingkungan (perubahan iklim global), pengembangan dan penguasaan teknologi, isu geopolitik, ekonomi, sosial, sumber daya manusia, dan lain-lain.

Energi merupakan motor penggerak bagi kegiatan industri dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keduanya sangat krusial bagi kekuatan nasional. Tidak hanya itu, energi juga merupakan penggerak bagi segala kegiatan di semua sektor. Mulai dari rumah tangga, perdagangan, transportasi, industri, hingga ke sistem komunikasi dan informasi. Tanpa keberadaan energi yang cukup maka masing-masing sektor ini bisa terancam pertumbuhan dan perkembangannya. Ancaman terhadap pertumbuhan salah satu sektor berarti ancaman terhadap kekuatan nasional secara keseluruhan.

Krisis minyak tahun 1973 telah meningkatkan kesadaran global mengenai pentingnya isu keamanan energi (energy security). Pada saat itu, negara-negara OPEC melakukan penghentian pasokan minyak ke Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya yang dianggap berperan dalam agresi Israel di Palestina. Hal ini cukup memberikan dampak signifikan saat itu, terutama bagi negara-negara importir minyak besar seperti Amerika Serikat. Embargo pasokan minyak mengakibatkan naiknya harga minyak secara signifikan dan melumpuhkan kegiatan perekonomian global.

Semenjak saat itu, energy security menjadi isu global yang semakin penting. Negara-negara, kelompok-kelompok negara, serta institusi-institusi internasional semakin intens melakukan kajian-kajian dalam rangka melakukan perbaikan dan peningkatan terhadap kinerja sistem energy security. Upayanya meliputi cakupan yang luas, baik pada level lokal atau domestik, maupun dalam level regional, dan bahkan internasional.

Aktvitas pengelolaan dan pemanfaatan energi tidak semata-mata hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas manusia. Pemanfaatan energi seharusnya juga dikelola secara bijak sehingga energi dapat terus memberikan manfaat dalam jangka panjang dan berkelanjutan serta memberikan dampak positif bagi lingkungan. Hal ini menjadi penting berhubung sejumlah sumber “energi tak terbarukan” dapat habis dipakai karena jumlahnya di alam yang terbatas. Sedangkan sumber “energi terbarukan” yang dapat terus beregenerasi secara alami, ternyata belum mampu menggantikan secara penuh peranan “energi tak terbarukan” dari kelompok energi fosil yang telah mendominasi penggunaan energi selama lebih dari satu abad. Karena itu muncullah kaidah keamanan energi atau ketahanan energi (energy security/energy resilience) dimana menjadi suatu isu yang perlu diperhatikan dalam setiap pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber energi.

Akhir-akhir ini, energy security semakin luas cakupan diskusinya. Bukan hanya berdiskusi mengenai minyak bumi, tetapi juga gas alam, batubara, kelistrikan, nuklir, serta energi baru dan terbarukan. Cakupan lintas sektoral energy security juga semakin luas, dimana energy security kini menjadi elemen yang saling terintegrasi dengan elemen-elemen lainnya seperti stabilitas geo politik, pertumbuhan ekonomi, ketahanan lingkungan dan perubahan iklim, sumber daya manusia, serta inovasi dan teknologi.

Hingga sejauh ini, minyak bumi diproyeksikan masih akan menjadi sumber energi utama dunia selama beberapa dekade ke depan. Karenanya seringkali fokus evaluasi energy security adalah pada pengamanan pasokan minyak dan peningkatan produksi domestik serta pada upaya mengurangi ketergantungan terhadap minyak impor. Sementara itu, energi fosil lainnya seperti batubara dan gas alam juga masih akan memegang peranan sangat penting dalam bauran energi dunia dalam beberapa waktu ke depan. Walaupun demikian, dalam pembahasan energy security, peranan batubara dan gas alam belum sekrusial peranan minyak bumi. Hal ini disebabkan pada minyak bumi telah tercipta pasar yang terintegrasi secara global, sedangkan pada gas alam dan batubara masih belum terbentuk pasar yang terintegrasi secara global.

Dapat dikatakan, selama hampir setengah abad semenjak krisis minyak 1973, masyarakat dunia masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil (minyak, batubara, dan gas alam). Untuk itu, energi terbarukan perlu mendapat perhatian serius dalam rangka menjamin keamanan pasokan energi dunia di masa mendatang. Begitu pula halnya dengan pemanfaatan energi nuklir, perlu mendapat ketegasan dari setiap pemerintahan di dunia mengenai pentingnya penggunaan nuklir demi jaminan pasokan listrik yang murah, handal, serta bebas emisi. Kenyataannya teknologi nuklir juga terus berkembang dan semakin menjamin keamanan dan kehandalan serta semakin mampu bersinergi dengan lingkungan sekitar.

Upaya-upaya untuk melangkah ke penggunaan energi non fosil ini merupakan langkah strategis untuk menghindari krisis energi. Hal ini juga berarti upaya untuk menjaga stablitas keamanan global dan mencegah terjadinya konflik dan peperangan yang dilatarbelakangi pengamanan produksi dan pasokan energi primer, khususnya minyak.

Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Internasional yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Sampai sejauh ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Dunia. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang demikian tinggi, jika tidak diimbangi dengan kemampuan memenuhi kebutuhan energi yang cukup maka akan mengakibatkan permasalahan yang serius.

Dalam upaya pengelolaan energinya ini, Indonesia menghadapi beberapa tantangan:
  1. Semakin turunnya produksi minyak dalam negeri sedangkan di sisi lain permintaan dan konsumsi energi semakin meningkat seiring dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang semakin tinggi.
  2. Kilang minyak yang dimiliki telah tua dan semakin tidak efisien. Kapasitas pengolahan minyak dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mendorong Indonesia untuk semakin tergantung pada minyak impor.
  3. Belum termanfaatkannya sumber-sumber energi alternatif di dalam negeri secara maksimal, misalnya gas alam, nuklir, batubara, dan energi baru dan terbarukan. Masing-masing energi alternatif ini memiliki tantangan-tantangan tersendiri dalam upaya pengimplementasiannya.
  4. Sulitnya upaya pendistribusian energi ke seluruh wilayah Indonesia yang sedemikian luas dan terpisah-pisah dalam bentuk negara kepulauan dimana membutuhkan sejumlah infrastruktur pendukung yang biaya investasinya tidak sedikit.
  5. Lemahnya sektor birokrasi dan implementasi kebijakan dalam mendorong pertumbuhan infrastruktur sektor energi.
  6. Subsidi sejumlah bahan bakar seperti BBM, LPG, dan listrik dimana menjadi beban negara yang masih sulit untuk dihapuskan sehubungan dengan nilai politis yang tinggi.
  7. Regulasi mengenai insentif sektor kelistrikan dipandang belum mampu menarik minat investor.
  8. Adanya sejumlah target-target kebijakan sektor energi dan lingkungan yang tinggi yang harus dica[ai dalam periode yang relatif singkat sehingga dibutuhkan upaya nyata yang signifikan dan konsisten dalam upaya mencapainya.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentu saja tidak hanya dibutuhkan ide-ide dan wacana yang cerdas, namun juga akan dibutuhkan implementasi nyata yang konsisten. Kebijakan-kebijakan yang disusun secara bagus tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi dengan pelaksanaannya secara koheren dan konsisten. Selain itu, perlu selalu dibuka ruang untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Hal ini dalam upaya terus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan pasar energi yang dinamis.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Senin, 31 Oktober 2016

PEMANFAATAN ENERGI DI MASA LAMPAU


Pada awal peradaban manusia, dimana aktivitas manusia masih sederhana, energi yang paling banyak dimanfaatkan adalah yang secara alami mudah didapatkan di alam tanpa melalui proses yang rumit. Misalnya untuk pemanasan dan pengeringan, manusia lebih banyak memanfaatkan sumber panas alami matahari. Selain itu, dalam proses aktivitas rumah tangga (misalkan memasak) digunakan api dari pembakaran kayu bakar. Api juga digunakan sebagai cara untuk memproduksi keramik tradisional.


Ketika manusia memasuki era logam, api juga digunakan dalam proses industri sederhana seperti pembuatan peralatan-peralatan dan senjata-senjata dari bahan logam. Selain berasal dari pembakaran kayu bakar, sumber pembangkitan api dapat juga berasal dari jerami dan bahkan kotoran hewan ternak yang dikeringkan.


Di sektor transportasi, digunakan tenaga hewan seperti kuda, keledai, unta, bahkan gajah. Tenaga angin dimanfaatkan melalui teknologi layar, kemudian digunakan sebagai penggerak perahu dan kapal. Arah angin yang bersifat musiman menjadi sangat penting dalam penentuan kegiatan transportasi laut. Sedangkan transportasi udara, di masa lalu, masih menjadi mitos-mitos.


Di masa lalu, sektor pertanian dan industri sederhana masih banyak menggunakan tenaga manusia. Dalam beberapa kegiatan, tenaga hewan juga digunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan manusia. Misalnya dalam menggerakkan alat penggiling (mill), menimba air dari sumur dan membajak sawah dan ladang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi sederhana lainnya yang memanfaatkan potensi alami arus air sungai dan aliran angin (kincir air dan angin).


Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Minggu, 30 Oktober 2016

ENERGI TERBARUKAN


Konsep energi terbarukan mulai dikenal luas pada tahun 1970-an. Konsep ini diperkenalkan secara masif sebagai upaya untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar nuklir dan fosil. Krisis minyak yang terjadi tahun 1970-an telah memicu upaya-upaya aktif untuk menggenjot pertumbuhan pemanfaatan energi terbarukan secara global.

Definisi paling umum energi terbarukan adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Karakteristik energi terbarukan berbeda dengan energi fosil dan nuklir yang keberadaan bahan bakunya di alam terbatas sehingga sewaktu-waktu bisa habis. Energi terbarukan bersumber dari potensi-potensi alami yang terkandung di alam misalkan air, kelautan, matahari, dan angin. Energi terbarukan juga dapat memanfaatkan bahan baku alam yang dapat beregenerasi secara alami dan berkelanjutan seperti bahan nabati dan hewani.

Hingga sejauh ini dapat dikatakan bahwa upaya peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan cukup sulit dan lambat. Bahkan ketika terdapat dukungan publik yang kuat sekalipun. Hal ini tidak lepas dari keterbatasan-keterbatasan alami yang dimiliki energi terbarukan. Jika keamanan energi dan pengurangan emisi diupayakan untuk dicapai melalui peningkatan peranan energi terbarukan, misalnya tenaga angin, maka sistem kelistrikan yang ada
harus disesuaikan dengan karakteristik pasokan listrik energi terbarukan yang bersifat intermittent dan cenderung tidak stabil. Hal ini merupakan sifat alami beberapa energi terbarukan yang sangat tergantung pada kondisi alam.

Oleh karena itu, pemanfaatan energi terbarukan akan membutuhkan grid (jaringan) listrik yang lebih besar dan fleksibel. Di sisi lain, penggunaan secara luas teknologi penyimpanan listrik (power storage) mungkin masih belum cukup efisien secara keekonomian karena relatif mahal.

Negara - negara yang telah masif penggunaan energi terbarukannya masih belum melakukan transformasi sistem kelistrikan secara penuh. Salah satunya Denmark dimana pada tahun 2009, sebanyak 27% listrik disuplai dari sumber energi terbarukan, mayoritas tenaga angin. Jerman juga cukup agresif dalam utilisasi energi terbarukan, dimana khususnya setiap hari Sabtu pada musim panas, 50% pasokan listrik berasal dari tenaga matahari. Sedangkan pada hari lainnya ketika paparan sinar matahari cukup kecil dan permintaan listrik besar, peranan tenaga matahari cukup kecil. Pemerintah Jerman merencanakan untuk menutup fasilitas pembangkit tenaga nuklir sebagai respon terhadap bencana Fukushima, Jepang, dan penolakan publik. Jerman dalam beberapa waktu ke depan akan semakin tergantung kepada energi terbarukan. Pada kenyataannya, pola jangka pendek proyek kelistrikan yang disusun Jerman adalah peningkatan ketergantungan terhadap batubara yang sebenarnya merupakan tulang punggung energi Jerman di era tradisional. (WEF, 2012).

Sumber-sumber dan teknologi-teknologi energi terbarukan dapat dikatakan cukup bervariasi secara luas. Secara umum, beberapa energi terbarukan digunakan dalam pembangkitan listrik, sedangkan yang lainnya dimanfaatkan untuk menghasilkan panas yang digunakan untuk pemanasan ruangan atau industri serta beberapa lainnya digunakan untuk bahan bakar sektor transportasi.

Teknologi energi terbarukan yang digunakan untuk membangkitkan listrik cukup fleksibel dalam skala dan jenis penggunaan. Sumber-sumber energi terbarukan ini dapat dieksploitasi secara lokal, digunakan baik untuk memusatkan atau menyebarkan pembangkitan energi listrik. Sumber energi terbarukan ini terdapat secara alami di alam. Keamanan pasokan energi terbarukan lebih bersifat spesifik kedaerahan karena tergantung pada potensi lokal. Masing-masing sumber energi terbarukan memiliki karakteristik produksi listrik dengan output volume yang bervariasi dan dinamis. Walaupun hal tersebut selama ini dianggap sebagai suatu permasalahan, sebenarnya karakteristik ouput listrik seperti ini dapat diarahkan pada kehandalan dan keamanan pasokan listrik.

Caranya adalah dengan menyesuaikan kondisi pasokan energi terbarukan yang unik ini dengan karakteristik permintaan yang juga memiliki pola-pola tertentu. Biasanya konsumsi listrik akan meningkat pada malam hari, dan rendah pada dini hari. Upaya penyesuaian pasokan dengan kondisi permintaan, secara khusus akan mempertimbangkan waktu-waktu dimana output energi listrik teknologi energi terbarukan akan sangat tinggi. Prediksi-prediksi terhadap output pembangkitan listrik harus dilakukan seakurat mungkin dengan memperhatikan kondisi alam. Selain itu, diperlukan juga pengaturan sistem kelistrikan yang cermat agar mampu mengakomodir sumber energi yang berbeda-beda guna membentuk suatu sistem pasokan listrik yang paling optimal dalam menyesuaikan dengan karakteristik permintaan yang memiliki polapola khusus.

Sistem energi terbarukan diposisikan sebagai alternatif guna mengurangi resiko akibat adanya gangguan pasokan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar. Energi terbarukan secara luas cukup tersebar di banyak lokasi dan dapat menjadi pilihan alternatif untuk membangkitkan listrik, menghasilkan panas dan memproduksi bahan bakar kendaraan. Sebagai tambahan, penggunaan energi terbarukan dapat mengurangi secara signifikan emisi green house gas (GHG) atau gas rumah kaca dan keuntungan-keuntungan bawaan lainnya.

Penggunaan energi terbarukan tidaklah bebas dari resiko. Bentuk pasokan sangat bervariasi akibat ketersediaan di alam yang cukup bervariasi dari sisi bentuk potensinya. Pada gilirannya hal ini menyebabkan adanya resiko. Jika terjadi kegagalan pasokan dari salah satu bentuk energi terbarukan dalam suatu sistem, hal ini akan dapat mempengaruhi kehandalan pasokan energi secara keseluruhan. Selain itu, biaya-biaya pemanfaatan energi terbarukan relatif lebih tinggi dibandingkan pasokan energi konvensional.

Dewasa ini, terdapat trend dimana harga energi terbarukan cenderung turun. Apabila trend ini terus berlangsung maka dalam beberapa waktu ke depan energi terbarukan akan semakin kompetitif dengan energi fosil. Contohnya adalah kecenderungan pertumbuhan pemanfaatan energi tenaga angin dan matahari yang tumbuh hingga mencapai sekitar 20% dalam sepuluh tahun terakhir.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Selasa, 05 Agustus 2014

EKSTRAKSI SILICA (SiO2) DARI ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKU PENGUAT KOMPOSIT BERMATRIKS ALUMUNIUM (AMCs) UNTUK APLIKASI BAHAN KOMPONEN OTOMOTIF

Berikut adalah studi yang pernah saya lakukan bersama teman-teman ketika masih kuliah. Studinya mengenai penelitian terhadap sekam padi. Semoga bisa bermanfaat bagi Anda semua.

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya.

Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/).

Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya.

Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs.

Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur.

Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991).

Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit. Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada partikel komposit. Fraksi volume penguat SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.

I.2 Perumusan Masalah


Permasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
  2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
  3. Bagaimana pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.

I.3 Tujuan Program

Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Mengkaji pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
  2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
  3. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.

I.4 Luaran yang Diharapkan

Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.

I.5 Kegunaan Program

Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan solusi upaya peningkatan nilai fungsi serta nilai jual sekam padi yang selama ini kurang mampu dimanfaatkan secara maksimal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan taraf hidup petani.
  2. Memberikan bahan masukan dalam upaya pengembangan industri otomotif dalam negeri yang bertujuan meningkatkan kemampuan memproduksi komponen otomotif dan suku cadang secara mandiri.
  3. Dapat dijadikan referensi atau acuan pembuatan komposit bermatriks alumunium (Al) dengan penguat silika (SiO2) yang dapat diaplikasikan dalam bidang otomotif dengan metode metalurgi serbuk misalnya pada pembuatan automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
  4. Dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian – penelitian selanjutnya yang sejenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)

Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).

Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:


Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).

II.1 Metode Pembuatan MMCs

MMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.

Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu.

Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.


Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.


Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah.

Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994).

MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.

II.2 Sekam Padi Dan Silika

Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.


Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 – 80,2 persen.

Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat (Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).


Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2.

Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.


II.3 Penelitian Tentang AMCs Berpenguat SiO2

Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi :
4Al + 3SiO2 → 2Al2O3 + 3Si

Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks.

Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.


Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut.

Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.


Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.

III. METODE PENELITIAN

III.1 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.

III.1.1. Ekstraksi SiO2 Dari Sekam Padi

Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
  1. Pencucian, dilakukann dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran.
  2. Pengeringan, dilakukan di bawah sinar matahari
  3. Penimbangan, dilakukan untuk membagi sampel sekam padi menjadi dua bagian sama besar yaitu sampel A, B dan C dimana harus memenuhi berat sekam padi yang akan diproses yaitu masing – masing dengan berat 250 gram. Dengan asumsi persentase berat sekam yang hilang selama proses sebesar 80 persen, maka nantinya akan didapatkan abu sekam dari masing – masing sampel sebanyak 50 gram.
  4. Pengarangan dan Pengabuan, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan dimana masing – masing sampel dikenai variabel temperatur pengabuan seperti disajikan pada Tabel 3.1 berikut.

  5. Pemurnian, dilakukan setelah didapatkan abu sekam untuk memisahkan zat – zat pengotor dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksida – oksida logam dan non logam dari dalam abu sekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, lalu pada campuran ditambahkan 200 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 625 ml akuades dan 40 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 15 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci lima kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 oC selama 1 jam hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 oC selama 2 jam hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih.
  6. Pengujian XRD dan Gravimetri, ditujukan untuk identifikasi apakah fase SiO2 telah terbentuk dan jenis SiO2 apa yang terbentuk, kristalin atau amorf, serta zat pngotor apa yang terkandung. Selain itu juga dilakukan perhitungan kuantitas kandungan SiO2 dalam abu sekam tersebut dengan menggunakan analisa gravimetri.
  7. Penggerusan dan Pengayakan, dilakukan pada endapan silika pada sampel A, B dan C dimana masing – masing dihaluskan secara mekanik dengan menggunakan mortar lalu diayak hingga didapatkan partikel SiO2 dengan ukuran lebih besar dari 200 mesh.

III.1.2. Penentuan Banyaknya Spesimen Yang Akan Dibuat

Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.

III.1.3. Penentuan Dimensi Komposit Yang Akan Dibuat

Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.

III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen

Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.

Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.

III.1.5. Pencampuran Material Matriks Dan Penguatnya (Mixing)

Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit.

III.1.6. Kompaksi

Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit.

III.1.7. Sintering

Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam.

III.1.8. Pengujian Tekan dan SEM

Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk.

III.1.9. Pengukuran Densitas Setelah Sinter dan Fraksi Porositas

Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2.

Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.


Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.

Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:

Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.

III.2 Variabel Penelitian

Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.

III.3. Flow Chart Penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.

Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.

Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.

Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.



Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak.

Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.


IV.1 Karakteristik Silika Yang Dihasilkan

Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam.

IV.1.1 Analisa Kualitatif

Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan.

Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.


Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit.

V.1.2 Analisa Kuantitatif

Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.1. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.


Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.

V.2 Karakteristik Ikatan Antar Muka Partikel Alumunium Dan Silika

Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.




Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur co-continuous AlSi/Al2O3 terbentuk.

V.3 Karakteristik Mekanik Komposit

Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik kekuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.4 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.5 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.


Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.


Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar. Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi, namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter.

Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
  1. Variasi temperatur pengabuan sekam dalam furnace sebesar 600oC, 750oC dan 900oC ternyata mampu menghasilkan produk silika dengan struktur kristal yang sebagian amorf dan sebagian lagi kristalin dengan persentase kandungan silika paling tinggi didapatkan dengan perlakuan temperatur pengabuan 750oC yaitu sebesar 91 persen.
  2. Dari pengujian SEM diketahui bahwa antara partikel alumunium dan silika terbentuk ikatan antar muka
  3. Untuk karakteristik kekuatan tekan diketahui bahwa yang paling baik adalah spesimen dengan temperatur pengabuan silika sebesar 900oC dan fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen.
VI. 2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
  1. Beberapa perhitungan, pengamatan dan pengujian perlu dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendetail hasil percobaan ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya yang diberikan kurang mendukung. Untuk itu pada penelitian selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah dari hasil penelitian ini yaitu perbandingan jumlah silika kristalin dan amorf yang dihasilkan dalam abu sekam, karakteristik thermal, perilaku korosi, serta karakteristik mekanik yang meliputi karakteristik impak, kekerasan dan abrasivitas komposit.
  2. Penelitian pendukung sebaiknya dilakukan dengan variasi perlakuan yang lain dimana nantinya dapat dijadikan sebagai pendukung dari penelitian ini mengingat penelitian ini merupakan penelitian awalan dari penelitian besar yang masih memiliki banyak varibel yang perlu diteliti untuk bisa mengetahui variabel – variable terbaik yang dapat dijadikan sebagai refrensi dalam produksi komponen otomotif berbasis komposit alumunium – silika.
  3. Mengingat potensi pemanfaatan dari silika yang luas dimana tidak hanya seperti yang ditujukan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan penguat dari komposit bermatriks alumunium, tetapi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kaca, dan bahan baku peralatan – peralatan elektronik, maka perlu diadakan suatu sistem industrialisasi ekstraksi silika dari sekam padi, agar nantinya dapat menambah stok silika dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
  • _________, 1998. ASM Handbook Vol. 7, Powder Metal Technologies and Aplications. ASM International
  • Chawla, K. K. 1987. Composite Material: Science and Engineering. London Paris Tokyo : Springer-Verlag New York Berlin Heidelberg.
  • Fogagnolo, J.B., 2004. Aluminium Matrix Composites Reinforced with Si3N4, AIN and ZrB2, Produced by conventional powder Metallurgy and Mechanical Alloying. Avenide de la Universid, 30-28911
  • Froyen, L., dan Verlinden, B., 1994. Aluminium Matrix Composites Materials. Talat 1402. Belgium : European Aluminium Associations (EAA)
  • Gregolin, E. N., 2002. Alumunium Matrix Composites Reinforced With Co – Continuous Interlaced Phases Alumunium – Alumina Needles. Materials Research, vol.5, no.3 São Carlos July/Sept. 2002
  • Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf Dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu dasar Vol. 3, No. 2, 2002 : 98 – 103
  • Hirschhorn. Joel. S., 1976. Introduction to Powder Metallurgy. New Jersey : American Powder Metallurgy Institute.
  • Hwang, C.L. and Wu, D.S., 1989. Properties of Cement Paste Containing Rice Husk Ash. ACI Third International Conference Proceedings, pg. 738.
  • Jones, R. M. 1975. Mechanics Of Composite Material. Washington, DC : Scripta Book Company
  • Kang Suk – Joong., 2005. Sintering : Densifikation, Grain Growth and Microstructures. Elseviere - Butterworth. Heinemenn
  • Mantell, C. L., 1958. Engineering Material Handbook. New York : McGraw – Hill Book Company.
  • Mittal, D. 1997. Silica From Ash, A Valuable Produst From Waste Material. Resonance, July
  • Nursuhud, D., dan Basuki, T. (1989). Suatu Studi Kemungkinan Pemakaian Bahan Bakar Sekam Padi untuk Pusat Listrik Tenaga Uap Sistem Gasifikasi. Laporan Penelitian Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri. Surabaya : Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
  • Pakpahan, A. 2006. Padi Lebih Bernilai dari Emas. Suara Pembaharuan, 20 November 2006.
  • PM2 Industry, 2001. Vision And Technology Roadmap, Powder Metallurgy And Particulate Materials. Metal Powder Industries Federation (MPIF), September, 2001.
    Schumacher C.,1991, SAE Technology, paper No.892495
  • Workshop Roadmap Industri Komponen Otomotif. 13 Oktober 2004. dalam http://www.bppt.go.id/. dikunjungi : 8 September 2007 pukul 07.15 WIB

TIM PENELITI
  1. Alek Kurniawan Apriyanto
  2. Moch. Zaenal Arifin
  3. Huda Istikha Lubis
  4. Rahmatillah Isra