Tampilkan postingan dengan label ENERGI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ENERGI. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (2)


Pendekatan “holistik” antara perubahan iklim dengan keamanan energi, secara narasi adalah: “Pertumbuhan penggunaan energi oleh manusia yang berasal dari bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global”. Oleh sebab itu perubahan iklim harus diakui sebagai sebuah masalah keamanan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Dengan demikian narasi holistik (menyeluruh) tadi menjadi berlanjut, yaitu bahwa perubahan iklim tidak hanya sekedar sebuah ancaman terhadap keamanan global melainkan juga sebuah “pelipat ganda” ancaman, dalam kaitannya dengan keamanan energi. Berangkat dari contoh kasus “migrasi masal pengungsi untuk berlindung dari bencana ekologi dapat mendestabilisasi wilayah-wilayah di dunia”, solusi terhadap perubahan iklim harus merupakan bagian dan paket dari strategi keamanan energi nasional dan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Jika ada ketidaknyamanan kebenaran yang terkait dengan sistem energi yang ada, hal itu disebabkan masyarakat tidak bisa menyuarakan perubahan iklim dan keamanan energi secara serentak. Sebaliknya, terlalu banyak memberikan penekanan terhadap salah satunya maka akan memperparah yang lain. Pernyataan ini tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada kebijakan maupun teknologi yang dapat menyatakan keduanya. Efisiensi, konservasi, dan pemanfaatan teknologi bersih secara umum bermanfaat untuk menurunkan emisi CO2 maupun meningkatkan keamanan energi secara serempak. (World Economic Forum, 2012).

Secara teknis, upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi perubahan iklim dapat dilakukan melalui pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, baik dengan penghematan dan konservasi energi yang ketat, serta beralih kepada sumber energi yang rendah karbon atau sumber energi non fosil. Di masa depan, saat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture & storage – CCS) semakin ekonomis, maka opsi ini juga merupakan upaya yang secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon. (World Economic Forum, 2012).

Kenyataannya, pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, dan urbanisasi, telah memicu peningkatan konsumsi energi, makanan, dan air bersih. Ketika permintaan masyarakat akan air bersih bertambah, maka sumber-sumber air bersih akan semakin langka. Karenanya akan dibutuhkan tambahan konsumsi energi untuk melakukan pemompaan, desalinasi, treatment dan distribusi air. Penarikan air tanah tahunan pada sektor energi seperti pada pertambangan, pemprosesan, pengolahan, dan pembangkitan listrik, terhitung sebanyak sekitar 15% dari pemanfatan air bersih total dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan dalam satu dekade ke depan. Sektor agrikultural bahan pangan juga tercatat mengkonsumsi sekitar 30% energi dunia dan mengkonsumsi 70% air bersih dunia. (REN21, 2015).

Ketika permintaan bahan pangan tumbuh, maka konsumsi energi dan air juga akan ikut tumbuh. Dalam rangka memutus keterkaitan yang selaras di antara ketiga komponen ini (air, pangan, dan energi) maka pemanfaatan energi terbarukan dapat mengambil peranan. Sejumlah bentuk energi terbarukan berpotensi dapat membantu mengurangi konsumsi air bersih dalam proses pembangkitan energi, misalkan dengan pemanfaatan energi matahari dan angin. (REN21, 2015).

Di sektor agrikultur bahan pangan, pemanfaatan energi terbarukan juga dapat membantu mengurangi ketergantungan harga bahan pangan terhadap harga bahan bakar fosil. Beberapa aktivitas pengolahan makanan seperti misalnya dalam proses pendinginan dan pengeringan, dan juga pendistribusian, energi terbarukan memiliki potensi untuk masuk dan mengurangi peranan energi fosil. Bahkan sampah bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi terbarukan sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian energi terbarukan dapat berperan cukup signifikan dalam peningkatan ketahanan energi, ketahanan pangan, dan sekaligus ketahanan air bersih. (REN21, 2015).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia


Kamis, 23 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (1)


Pemanfaatan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) untuk memproduksi energi merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total (WRI, 2005; dalam IEA, 2005a). Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen (IEA, 2005a).

Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Secara umum, gas rumah kaca terbentuk secara alami di lingkungan. Namun demikian, sejumlah aktivitas manusia di bidang industri telah berkontribusi menambah peningkatan produksi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan kadar gas rumah kaca ini semakin tinggi sehingga berada pada level yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan.

Uap air merupakan komponen gas rumah kaca terbesar. Namun demikian peningkatan uap air di udara dapat menjadi umpan balik positif (penyeimbang) terhadap peningkatan gas rumah kaca lain. Hal ini karena kadar uap air dapat meningkat seiring dengan peningkatan temperatur.

Berbeda halnya dengan uap air, CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua, dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

Peningkatan komposisi gas rumah kaca di atmosfer akan menyebabkan pemanasan temperatur bumi dan secara global akan menyebabkan perubahan iklim. Mencairnya es di daerah kutub, peningkatan level air laut, ditengarai menjadi indikasi telah naiknya temperatur bumi. Hal ini dinilai mengancam eksistensi manusia di masa depan. Dengan demikian, mencegah perubahan iklim tidak dapat secara sukses dilakukan tanpa melakukan perubahan secara radikal dalam cara kita memproduksi, mengolah, dan menggunakan energi. (IEA, 2007).

Dewasa ini, telah cukup populer upaya-upaya pakar lingkungan untuk menghubungkan isu perubahan iklim dengan energy security. Hal ini dinilai dapat meningkatkan perhatian politik mengenai pentingnya tindakan yang lebih serius dalam upaya mencegah perubahan iklim. Segala upaya yang mengarah kepada pengembangan sistem energi yang lebih handal juga diharapkan dapat mengurangi emisi yang dihasilkan. Sebagai contoh, semakin besar upaya-upaya efisiensi energi yang dilakukan, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan kedua program tersebut. (World Economic Forum, 2012).

Kebijakan yang ditujukan untuk energy security yang dihubungkan dengan konsentrasi sumber energi akan memberi dampak terhadap pengurangan perubahan iklim dan juga sebaliknya. Pada kedua kasus tersebut, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan secara tepat merupakan yang paling besar pengaruhnya terhadap pemilihan bahan bakar. Pada energy security, targetnya adalah untuk menjauhi sumber bahan bakar yang rentan terhadap gangguan, sedangkan pada isu perubahan iklim, targetnya adalah untuk mengurangi intensitas penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon. (IEA, 2007).

Secara teoritis, upaya untuk menghubungkan sasaran energy security dengan sasaran isu perubahan iklim dapat mendorong kemajuan yang lebih baik pada kedua sisi. Akan tetapi, dalam prakteknya, upaya menghubungkan energy security dengan perubahan iklim ini membuahkan hasil positif yang relatif kecil. Hal ini disebabkan upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan lebih dikendalikan oleh faktor kelayakan politik dibandingkan visi praktis mengenai apa yang secara realistis dapat dicapai dari kebijakan lingkungan. (World Economic Forum, 2012).

Para pembuat kebijakan cenderung untuk menentukan sasaran yang tidak dapat dicapai dalam upaya mengurangi emisi, sedangkan langkah nyata untuk mencapainya cenderung dilakukan dengan sangat lambat. Upaya-upaya yang mendorong terjadinya perubahan sistem energi yang mendukung tercapainya target perbaikan lingkungan tampak tidak dijalankan secara serius. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap program-program perbaikan lingkungan. Kurangnya kepercayaan publik, pada gilirannya, telah mengurangi minat pelaku industri untuk berinvestasi di teknologi baru yang dibutuhkan yang mendukung tercapainya target-target kebijakan lingkungan. Para pelaku industri semakin sadar bahwa sasaran kebijakan lingkungan yang dirumuskan pemerintah merupakan sasaran yang tidak akan mampu dicapai. (World Economic Forum, 2012).

Upaya perbaikan terhadap sistem kebijakan yang bermasalah seperti ini membutuhkan upaya-upaya perbaikan pada tiga bidang. Pertama, adalah menyusun sasaran yang lebih realistis. Kedua, adalah fokus pada mekanisme pasar yang dapat menumbuhkan kompetisi yang sehat dari semua teknologi energi. Ketiga, adalah merangkul dampak-dampak dari globalisasi. Kebangkitan pasar global untuk teknologi energi dan bahan bakar merupakan potensi yang besar dalam perjuangan untuk menjamin energy security, sementara di sisi lain melakukan upaya mengurangi produk emisi karbon pada pemanfaatan energi (decarbonizing). Pasar global akan mengembangkan pasokan dan mendiversifikasi sistem energi. (World Economic Forum, 2012).

To Be Continued..............

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Jumat, 11 Agustus 2017

INDUSTRI ENERGI DI ERA REVOLUSI INDUSTRI KE-4


Kini kita memasuki era revolusi industri ke-4. Fokus industri pada era ini adalah teknologi IT, Robot, Artificial Intelligence, Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR), internet of things, automation, driverless vehicle, dan sejenisnya. Semua teknologi ini terus berkembang pesat dan terus masuk dalam kehidupan sehari-hari kita, baik di tempat kerja maupun di rumah maupun di sosial masyarakat secara umum.

Tidak hanya itu saja, semakin maraknya penggunaan teknologi-teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari, semakin tergantung pula manusia pada teknologi-teknologi tersebut. Lihat saja penggunaan komputer, laptop, smartphone dengan berbagai aplikasinya seolah membuat hidup kita semakin tergantung pada teknologi-teknologi tersebut. Pabrik-pabrik manufaktur banyak yang telah melibatkan robot dalam proses manufaktur. Bayangkan saja seandainya komputer, smartphone, atau teknologi-teknologi tersebut tidak berfungsi selama beberapa waktu saja, kita tentu akan kesulitan dalam beraktivitas.

Satu hal yang perlu dipikirkan bersama bahwa semua teknologi-teknologi tersebut membutuhkan energi untuk dapat bekerja. Semakin maraknya penggunaan teknologi-teknologi tersebut, dan semakin banyak tenaga manusia manual yang digantikan oleh tenaga automation, robot, AI, dll, maka semakin banyak juga kebutuhan energi. Jadi semakin berkembangnya teknologi-teknologi revolusi industri ke-4 tersebut seharusnya juga mendorong berkembangnya industri energi untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat. 

Walau misalkan teknologi-teknologi tersebut mampu menyediakan teknologi efisiensi yang semakin baik, sehingga mengurangi konsumsi energi, namun tetap saja kebutuhan energi terutama di negara-negara berkembang akan terus meningkat seiring semakin membengkaknya populasi dunia.

Hanya saja, juga ada tuntutan umat manusia untuk memanfaatkan energi yang ramah lingkungan. Hal ini bukan berarti hanya energi terbarukan saja yang memiliki masa depan cerah di masa depan. Tentu saja dengan catatan energi terbarukan secara konsisten terus berinovasi sehingga semakin ekonomis dan semakin mampu menyediakan energi yang stabil dan kontinyu. 

Namun demikian, bisa saja energi fosil-pun semakin berbenah sehingga pemanfaatannya semakin efisien dan semakin ramah lingkungan. Misalkan semakin berkembanganya teknologi pemanfaatan emisi fosil yang dihasilkan sehingga semakin memberi nilai tambah dan semakin sesuai dengan tujuan lingkungan.

Semua jenis energi yang digunakan sebagai penyokong teknologi-teknologi revolusi industri ke empat haruslah energi yang murah dan terjangkau (affordable), selalu tersedia (available), dapat diakses dengan mudah (accessable), dapat diterima masyarakat pengguna energi (acceptable), dan berwawasan lingkungan (environmental friendly). 

Di era revolusi industri ke-4 sektor energi kemungkinan tidak lagi difokuskan sebagai komoditas penghasil revenue secara langsung, tetapi harus difokuskan penggunaannnya untuk menyokong kegiatan sektor produktif yang bernilai jual tinggi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, industri kreatif, perdagangan dan jasa, manufaktur, pelayanan publik dan lain-lain yang mendorong masyarakat lebih produktif dan kreatif. Termasuk di dalamnya untuk mendorong dan mendukung pemanfaatan dan pengembangan teknologi-teknologi revolusi industri ke-4.

Rabu, 15 Februari 2017

TREND ENERGI DI MASA DEPAN



Seperti diketahui, hingga sejauh ini terjadi beberapa tren fenomena global, baik yang berhubungan langsung maupun yang tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dunia per-energian dunia di masa depan :
  1. Harga minyak dunia yang turun drastis. Secara umum hal ini disebabkan karena produksi minyak dunia naik sementara permintaan minyak dunia menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia akhir-akhir ini ditengarai merupakan salah satu sebab perlambatan penyerapan minyak, sementara produksi terus bertambah. Belum bisa dipastikan gejala penurunan harga minyak ini akan menjadi fenomena sementara, atau akan berlangsung dalam waktu yang lama, atau justru akan bersifat fluktuatif dalam tempo cepat yang terus berulang. Hal ini berhubung banyak faktor yang mempengaruhi harga minyak, termasuk beberapa tren yang akan dijelaskan selanjutnya.
  2. Semakin ekonomisnya teknologi shale oil di Amerika Utara (USA dan Kanada) yang berpotensi menjadikan wilayah Amerika Utara bertranformasi dari sebelumnya sebagai wilayah pengimpor minyak menjadi wilayah yang berswasembada minyak bahkan juga bisa menjadi pengekspor minyak di masa depan. Berhubung saat ini shale oil ini baru bisa bersaing dengan minyak konvensional di pasar minyak global jika harga minyak konvensional di atas 60 USD/barel, maka ada upaya dari produser-produser minyak konvensional untuk mempertahankan harga minyak di bawah 60 USD/barel untuk menghambat/memperlambat perkembangan shale oil masuk ke pasar minyak global dan mempertahankan penguasaan pangsa pasar. Hal ini juga mendorong negara-negara yang selama ini menggantungkan sebagian besar devisa negaranya kepada penjualan minyak untuk mulai mengembangkan sektor-sektor penghasil devisa yang lain.
  3. Bangkitnya produser-produser minyak (konvensional) baru yang mengakibatkan terjadi perebutan pangsa pasar minyak, seperti Iran (pasca embargo), Rusia, Meksiko, dll. Tren ini menguatkan tren sebelumnya dalam mempengaruhi turunnya harga minyak karena semakin banyaknya penyedia minyak yang bersaing semakin ketat.
  4. Isu lingkungan yang didukung oleh target serta komitmen internasional terhadap penurunan emisi global. Hal ini mempengaruhi pengambil kebijakan di tiap negara untuk mengurangi pemanfaatan energi yang menghasilkan emisi besar seperti energi fosil dan mempertimbangkan penggunaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kesuksesan program ini akan tergantung dari komitmen negara-negara penghasil emisi besar dunia seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dll, dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai komitmen yang telah disepakati bersama.
  5. Isu energy security mulai menjadi pertimbangan negara-negara untuk memvariasikan jenis sumber energi yang digunakan. Perhatiannya juga untuk mengurangi penggunaan sumber energi dari luar yang rawan menjadi instrumen geopolitik dan rawan konflik, yakni minyak. Selain mevariasikan sumber pemasok minyak dari luar, negara-negara improtir minyak juga akan berupaya memvariasikan jenis energi yang digunakan.
  6. Revolusi industri ke-4. Dunia industri di era ke-4 ini akan berfokus pada pemgembangan sistem fisik cyber (cyber physical system) seperti smart robotics, artificial intelligent, internet of things, automation tingkat lanjut, driverless car, dll. Kegiatan industri ini dapat mempengaruhi pola penggunaan energi karena adanya tuntutan terhadap tambahan (peningkatan) permintaan energi karena semakin banyak tools-tools atau gadget-gadget yang bekerja dengan menggunakan energi. Ditambah lagi dengan adanya isu penggantian tenaga manusia dengan tenaga automasi dan robot pintar berbasis artificial intelligent (kecerdasan buatan) maka kebutuhan energi di masa mendatang kemungkinan akan semakin meningkat. Selain itu ada kecenderungan pada revolusi industri ke-4 ini akan lebih dipilih sumber energi yang handal, murah, dan bersih (ramah lingkungan). Dapat dikatakan semangat revolusi industri ke-4 ini cukup erat (berkolaborasi) dengan semangat isu lingkungan. Selain itu, banyak harapan bahwa kegiatan revolusi industri ke-4 juga sekaligus dapat merevolusi cara kita menggunakan energi melalui penemuan sumber energi baru maupun melalui peningkatan efisiensi yang signifikan terhadap sumber energi dan teknologi eksisting.

Proyeksi beberapa lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan British Petroleum menunjukkan bahwa peranan energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) masih akan cukup dominan dalam bauran energi dunia di masa depan, setidaknya hingga sekitar pertengahan abad ini. Pemanfaatan energi terbarukan memang akan mengalami peningkatan pesat, namun secara total masih lebih rendah dibandingkan peranan energi fosil. Penggunaan energi fosil sendiri kemungkinan akan mengalami perlambatan. Pengguna energi terbesar juga akan semakin bergeser, dari yang awalnya dikuasai oleh negara-negara industri maju, bergeser ke negara-negara ekonomi-ekonomi baru seperti China dan India

Energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin menunjukkan tren positif dari tahun ke tahun, baik dalam pertumbuhan pengembangan dan juga penurunan biaya investasi dan teknologi. Masih banyak pekerjaan rumah dalam upaya pengembangan energi terbarukan misalnya perlunya upaya peningkatan fleksibilitas energi terbarukan agar tetap mampu bekerja mensuplai energi walaupun kondisi alam sedang tidak memihak. Misalkan bagi energi surya, hambatannya adalah ketika intensitas cahaya matahari sedang rendah karena mendung atau karena musim dingin atau musim hujan. Teknologi batere diharapkan mampu mengatasi hal ini. Namun demikian, hingga sejauh ini teknologi batere yang ada masih menghadapi beberapa isu seperti isu biaya yang sangat mahal, intensitas penampungan energi yang masih rendah, dan juga isu safety.

Selama ini harga minyak yang tinggi merupakan salah satu instrumen pendorong kuat agar manusia segera beralih ke energi terbarukan. Namun setelah harga minyak turun drastis, maka faktor pendorong penggunaan energi terbarukan semakin berkurang, karena semakin lemahnya faktor pendorong di sisi keekonomian. Tinggal tersisa beberapa faktor pendorong lain seperti komitmen untuk memenuhi isu lingkungan dan energy security. Faktor-faktor lain yang bersifat sebatas komitmen tersebut mungkin tidak akan sekuat faktor ekonomi.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah budaya masyarakat dalam penggunaan energi. Perlu adanya upaya mempelajari apakah budaya penggunaan energi fosil di masyarakat dan industri yang telah dilakukan selama sekitar lebih dari 1 abad ini memang dapat diubah dengan cepat, menyongsong jenis energi baru yang menawarkan pengalaman baru. Misalnya saja di sektor transportasi, selama ini masyarakat dan industri otomotif telah terbiasa menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin atau minyak diesel. Bagaimanakah respon masyarakat dan industri ketika diperkenalkan kepada mereka jenis bahan bakar transportasi baru seperti bahan bakar gas, listrik, atau hidrogen. Apakah masyarakat dapat menerima pengalaman baru tersebut sebagai bagian dari budaya baru penggunaan energi di sektor transportasi. Atau justru ada keraguan, inkonsistensi, atau malah restriksi/penolakan karena masyarakat telah begitu terbiasa dan lebih senang menggunakan bahan bakar berbasis petroleum di sektor transportasi. Apalagi ketika harga energi alternatif tersebut masih relatif mahal dan tidak sepraktis bahan bakar petroleum.

Hal selanjutnya yang perlu kita tentukan adalah bagaimana peranan kita dalam menyikapi tren-tren di atas. Barangkali kita memiliki beberapa pilihan sikap:
  1. Sebatas sebagai pengamat. Layaknya seseorang yang menonton serial drama korea di televisi, mungkin kita dapat bersikap hanya menjadi penikmat jalannya cerita. Kita ikut bertepuk tangan ketika tokoh idola kita sukses, kita ikut merasa sedih ketika adegannya sedang mempertontonkan penderitaan. Melalui sikap ini kita sama sekali tidak bisa mempengaruhi jalannya cerita.
  2. Wait and see. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara pilihan bermain yang dipandang aman. Sambil mengamati secara cermat perkembangan dan situasi yang berkembang, kita dapat menyiapkan dan menumpuk sumber daya sebanyak-banyaknya. Ketika telah ada kejelasan tren energi akan mengarah kemana, maka "jebret", kita langsung masuk ke permainan dan langsung mengambil peranan signifikan. Namun yang menjadi masalah, belum adanya pengalaman terjun langsung dan bermain di lapangan menuntut proses adaptasi yang sangat cepat. Jika tidak mampu beradaptasi secara cepat dan segera mengambil peranan secara tepat, maka tetap saja kita akan dilibas oleh pemain lama yang lebih sarat pengalaman.
  3. Menjadi pemain. Sikap ini membutuhkan kelihaian dan kekuatan yang cukup serta komitmen dan determinasi yang tinggi dalam pergulatan energi dan teknologi global. Kita harus berani mengambil keputusan, belajar dari kegagalan dan berani bereksperimen, serta harus berjiwa ulet dan berani menghadapi tantangan dan rintangan. Dengan memilih sikap ini kita akan berpotensi menjadi pelopor dan pencetak sejarah dunia di bidang energi.

Demikian tulisan ini dibuat. Hanya sekedar kumpulan uneg-uneg. Mudah-mudahan bermanfaat.


Sabtu, 24 Desember 2016

Penurunan Pasar Domestik Minyak Jepang



Suatu hal yang menarik disimak pada grafik di atas adalah menurunnya pasar domestik minyak di Jepang. Selama ini pasar petroleum domestik Jepang dikendalikan sebagian besarnya oleh tingkat permintaan konsumsi gasoline (bensin). Namun akhir-akhir ini permintaan gasoline Jepang semakin menurun. Beberapa faktor penyebabnya adalah :
  1. Beralihnya industri-industri pengguna minyak ke gas
  2. Terdapat sejumlah pabrik dan industri yang mengalihkan kegiatan operasinya ke luar Jepang sehingga konsumsi minyak juga beralih ke pabrik-pabrik Jepang yang ada di luar negeri
  3. Semakin berkembangnya teknologi efisiensi mesin-mesin dan kendaran-kendaraan yang berbahan bakar minyak. Misalnya di sektor transportasi, kendaraan hibrid semakin berkembang dan semakin efisien dalam penggunaan bensin.
  4. Terdapat kecenderungan generasi muda Jepang yang memilih tidak memiliki mobil pribadi dan lebih memilih menggunakan kendaraan umum seperti misalnya kereta api listrik yang memang kualitas pelayanannya sangat baik dan biayanya terjangkau (menurut ukuran orang Jepang).

Sebagai akibat menurunnya aktivitas pasar domestik minyak di Jepang, industri petroleum jepang semakin mengalami tekanan dan persaingan yang ketat. Beberapa kilang pengolahan minyak ditutup dan unit-unit penyulingan minyak (crude distillation unit) dikurangi kapasitasnya mengikuti penurunan permintaan minyak dalam negeri. Hal ini ditambah dengan kondisi kilang-kilang minyak Jepang yang rata-rata merupakan kilang tua. Pengusaha-pengusaha kilang pengolahan minyak di Jepang yang semuanya adalah pengusaha swasta juga mulai merambah bisnis-bisnis baru seperti misalnya:
  1. bisnis petrokimia
  2. eksplorasi minyak bumi
  3. pembangkit listrik
  4. panel tenaga surya
  5. stasiun pengisian kendaraan berbahan bakar listrik
  6. stasiun pengisian kendaraan berbahan bakar hidrogen
  7. bioteknologi
  8. fuel cell
  9. pembangkit listrik tenaga angin
  10. solvent
  11. bahan kimia khusus
  12. LNG
  13. Suplier listrik
  14. suplier uap (steam)
  15. electric device
  16. pertambangan uranium
  17. gas to liquid
  18. batubara

Jumat, 23 Desember 2016

Problamatika Energi Nuklir Jepang


Dari sebuah kegiatan training, saya mendapatkan informasi mengenai problematika energi nuklir yang dihadapi Jepang semenjak terjadinya tragedi Fukushima pada tahun 2011. Pada tragedi Fukushima, salah satu pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang mengalami kegagalan sistem akibat gempa dan tsunami yang kemudian menyebabkan kebocoran radiasi nuklir. Hal ini kemudian ditindak lanjuti oleh Pemerintah jepang dengan menonaktifkan semua pembangkit listrik tenaga nuklirnya untuk dilakukan evaluasi ulang. Sebelum bencana Fukushima terdapat 17 sites dan 54 pembangkit listrik tenaga nuklir yang beroperasi. Namun dari hasil evaluasi terakhir hanya 3 sites dan 5 plant yang lolos penilaian dan mendapat izin beroperasi kembali.

Upaya pemerintah Jepang untuk melakukan reaktivasi pembangkit nuklir ini ternyata menghadapi kendala penolakan publik. Masyarakat menuntut agar Nuklir tidak digunakan lagi sebagai pembangkit energi di Jepang. Salah satu pertimbangannya adalah Jepang merupakan negara yang dilalui lempeng tektonik yang sangat rentan mengalami gempa. Bencana Fukushima juga menimbulkan trauma yang dalam bagi masyarakat Jepang.


Di sisi lain, pemerintah Jepang telah memiliki komitmen internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Upaya mengaktifkan kembali energi nuklir merupakan solusi untuk mencapai target lingkungan tersebut, karena nuklir merupakan sumber energi yang bebas emisi. Menghadapi hal ini pemerintah Jepang merencanakan pada tahun 2030 setidaknya 10-11% energi listrik Jepang dipasok dari nuklir. Rencana ini pun masih terus menghadapi tekanan publik.

Selama pembangkit listrik tenaga nuklir tidak beroperasi, penggunaan sumber energi listrik lain menjadi meningkat, yakni renewable energy, minyak, batubara, dan gas alam. Minyak sebagai pembangkit listrik sempat meningkat drastis penggunaannya sesaat setelah pembangkit nuklir dinon aktifkan namun kemudian kembali ke posisi awalnya. Batubara dan Gas alam meningkat pesat peranananya untuk menggantikan tenaga nuklir. Sementara energi terbarukan mengalami perkembangan yang belum sesuai harapan.

Kesemua kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar, seperti apakah pengelolaan energi Jepang di masa yang akan datang. Akankah Jepang dapat mengaktifkan kembali tenaga nuklir dengan teknologi baru yang aman dan dapat meyakinkan publik. Atau akankah Jepang dapat sepenuhnya beralih ke energi terbarukan dengan sukses dan menonaktifkan semua pembangkit nuklirnya seperti yang sedang dilakukan Jerman. Atau akankah Jepang meningkatkan peranan pembangkit batubara, gas alam, dan bahkan minyak dengan disertai strategi brilian dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi.




Minggu, 13 November 2016

TEKNOLOGI PENYIMPANAN ENERGI LISTRIK


Fasilitas penyimpanan energi merupakan salah satu cara dalam meningkatkan fleksibilitas sistem kelistrikan. Namun demikian, bagi negara-negara yang akan banyak menggunakan sumber energi terbarukan perlu memahami pilihan-pilihan teknologi penyimpanan energi listrik yang cukup bervariasi ini. Fasilitas penyimpanan energi listrik janganlah dipandang sebagai solusi tunggal dari semua permasalahan kelistrikan. Keberadaan teknologi ini harus disambut sebagai salah satu solusi untuk mendukung sektor kelistrikan yang bersih, handal, efisien, dan efektif biaya. Hal ini dalam rangka memfasilitasi penyebaran dan pengintegrasian sumber energi terbarukan pada jaringan listrik. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi pertimbangan dan rujukan bagi upaya penggunaan teknologi penyimpanan energi listrik:
  1. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 30% pada total pemanfaatan energi, yang dipadukan dengan ambisi penggunaan energi terbarukan yang lebih besar lagi.
  2. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 20%, dengan kondisi infrastruktur jaringan listrik yang terbatas.
  3. Negara-negara kepulauan, atau negara yang memiliki banyak pulau dimana sistem kelistrikannya terpencil dan tidak terhubung dengan jaringan listrik umum (off-grid).
(IRENA, 2015a).

Fasilitas penyimpanan energi listrik terdiri dari sejumlah teknologi yang berada pada tahapan pengembangan yang bervariasi. Teknologi penyimpanan energi yang paling matang adalah teknologi pumped hydropower. Teknologi ini umumnya digunakan untuk periode charge dan discharge yang lebih lama (beberapa jam). Selama lebih sari satu abad, teknologi penyimpanan energi pada sektor kelistrikan telah didominasi oleh satu jenis teknologi, yaitu penyimpanan pumped hydropower. Pumped hydropower merepresentasikan mayoritas teknologi penyimpanan energi yang digunakan saat ini yakni sekitar 99%. (IEA, 2014b; dalam IRENA, 2015a). Teknologi pumped hydropower ini merupakan teknologi yang telah terbukti baik secara teknis maupun secara keekonomian di seluruh dunia.

Sebaliknya, teknologi penyimpanan energi dengan menggunakan batere merupakan pasar baru yang sedang berkembang. Contoh teknologi penyimpanan energi lain yang sedang berkembang adalah penyimpanan energi udara yang terkompresi, rodagaya (flywheel), listrik ke gas (power to gas), dan supercapacitor. (Fuch dkk, 2012; IRENA, 2012a; dalam IRENA, 2015a).

Energi listrik dapat juga disimpan dalam bentuk panas (thermal) dengan menggunakan boiler, pompa panas (heat pump), es atau air pendingin. Penyimpanan thermal dapat diintegrasikan dengan produksi combined heat and power (CHP) dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan sumber daya energi angin. (Sorknaes dkk, 2013; dalam IRENA, 2015a). Pilihan-pilihan fasilitas penyimpanan energi thermal seringkali lebih murah daripada teknologi penyimpanan energi lain. Namun, terdapat kendala berupa sulitnya untuk mengubah kembali panas yang disimpan menjadi energi listrik. (IRENA, 2013b; dalam IRENA, 2015a). Secara khusus, energi listrik yang dikonversi menjadi media thermal digunakan pada waktu yang lain sebagai energi thermal, baik untuk pemanas ruangan, pendingin, atau untuk keperluan proses industri.

Dari perspektif teknologi, teknologi batere sangat mapan dan terdapat ratusan supplier yang menawarkan sistem batere yang handal. Namun demikian, terdapat sejumlah rintangan yang harus dipecahkan sebelum batere dapat diintegrasikan secara penuh sebagai pilihan utama di sektor kelistrikan. Rintangan ini meliputi isu kinerja dan keamanan (safety), halangan regulasi, dan penerimaan utilitas.

Pemanfaatan batere telah tersebar luas dalam menyokong pengintegrasian energi terbarukan dalam sistem kelistrikan, khususnya energi matahari (solar) dan energi angin. Kedua bentuk energi ini (angin dan matahari) dikenal sebagai variable renewable energy (VRA) karena produksi listrik dari kedua sumber energi ini cukup berfluktuasi (tidak stabil) tergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Tren yang berkembang hingga sejauh ini adalah harga batere cenderung terus turun, sedangkan kinerja teknologinya semakin meningkat. Perkembangan teknologi batere terbaru mengindikasikan batere semakin lama semakin aman (safe) dan semakin efisien. Batere sekunder atau batere yang dapat di-charge ulang, menyimpan energi listrik secara kimiawi. Terdapat jenis batere sekunder temperatur rendah (lithioum-ion, lead-acid, nickel-cadmium), temperatur tinggi (sodium nickel chloride, sodium sulphur) atau redox flow (vanadium, zinc bromine). (Fuchs dkk, 2012; dalam IRENA, 2015).

Wilayah kepulauan menyimpan potensi untuk menjadi pasar utama teknologi batere. Teknologi mungkin diutilisasi untuk membantu mengintegrasikan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembangkit listrik dari energi fosil seperti diesel dan gas, dan pada beberapa kasus juga lebih murah. Kebanyakan pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkitan listrik memiliki biaya levelisasi (levelised cost) antara USD $ 0,05 – 0,25/kWh. (IRENA, 2013c; dalam IRENA, 2015a).

Penyimpanan batere di rumah tangga memungkinkan peningkatan konsumsi listrik secara mandiri dari teknologi solar PV. Batere juga dapat membantu menghilangkan keterbatasan kapasitas jaringan listrik lokal. Hal ini diselesaikan dengan penggunaan batere untuk menyesuaikan permintaan pengguna listrik dengan produksi listrik dari energi matahari. Beberapa sistem batere untuk rumah tangga, dijual dengan harga sekitar EUR € 1000/kWh berdasar data pada akhir 2014. Sumber lain menyatakan harga batere adalah sekitar EUR € 200/kWh dan lama pengembalian modal investasi (payback time) sekitar 6 – 8 tahun untuk negara-negara Eropa (Parkinson, 2014; dalam IRENA, 2015a).

Batere dapat ditempatkan pada lokasi pusat produksi listrik dari energi angin dan matahari agar dapat memperhalus output listrik yang dibangkitkan ketika ditransferkan ke jaringan listrik. Betere juga dapat menyimpan kelebihan produksi listrik dari energi terbarukan untuk digunakan pada waktu yang lain. Proses ini, sesuai digunakan pada periode-periode dimana permintaan listrik sedang tinggi.

Dukungan pemerintah telah menjadi kunci pendorong untuk pelaksanaan proyek demonstrasi batere di seluruh dunia. Hal ini juga telah membangun landasan yang produktif pada pengetahuan operasional, data, dan partisipasi aktif industri. Amerika Serikat, China, Jepang, dan Jerman merupakan pemimpin penggunaan batere. Negara-negara lain, termasuk Itali dan Korea Selatan, mengikuti cukup dekat di belakang. Telah jelas bahwa meningkatnya penggunaan variable renewable energy (VRA), seperti energi angin dan matahari, merupakan pendorong utama penggunaan batere secara masif dalam rangka peningkatan fleksibilitas sistem kelistrikan, memaksimalkan sumber daya energi terbarukan, dan mengembangkan teknologi alternatif. Kebijakan regulasi pada sejumlah negara telah mengenali keuntungan penggunaan aset-aset bahan bakar non fosil pada kestabilan jaringan listrik.

Sebelumnya, teknologi batere yang paling banyak mendominasi pasar adalah batere sodium-sulphur yang diproduksi oleh NGK Insulator di Jepang. Teknologi ini telah tergantikan dengan teknologi lithium-ion karena adanya keuntungan dari sisi biaya, kinerja, dan keamanan (safety) dibandingkan jenis batere lain. Pergantian ini didukung oleh insentif pemerintah dan pengaruh dari sektor lain. Untuk wilayah kepulauan, siklus kehidupan, kondisi ambien (khususnya temperatur), kebutuhan infrastruktur instalasi dan perawatan merupakan kriteria untuk pemilihan batere. Untuk solar PV rumah tangga, isu biaya, lahan yang dibutuhkan, keamanan, perawatan, dan jaminan akan menjadi faktor-faktor yang signifikan.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 12 November 2016

JARINGAN LISTRIK PINTAR (SMART GRID)


Pertumbuhan dan ekspansi pemanfaatan energi terbarukan pada jaringan yang tersentralisasi dan yang terdesentralisasi membutuhkan pendekatan baru yang efektif terhadap manajemen jaringan listrik, yaitu melalui penggunaan secara menyeluruh sistem jaringan listrik pintar (smart grid) dan teknologinya. Sistem jaringan listrik yang ada sekarang telah banyak yang menggunakan elemen-elemen yang bekerja secara pintar, tetapi hal ini kebanyakan digunakan hanya sebatas pada kegiatan penyeimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand) listrik. Sistem jaringan listrik pintar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam setiap aspek pembangkitan, pendistribusian dan konsumi listrik untuk meminimalkan dampak lingkungan, meningkatkan pasar, meningkatkan kehandalan dan pelayanan, serta mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. (EPRI, 2013; dalam IRENA, 2013).

Teknologi ini dapat diimplementasikan pada semua tingkatan, baik pada teknologi pembangkitan listrik hingga ke aplikasi konsumen. Sebagai hasilnya, smart grid dapat memainkan peranan krusial dalam transisi menuju energi masa depan yang berkelanjutan melalui beberapa cara : memfasilitasi integrasi sumber energi terbarukan (variable renewable energy) ke jaringan listrik dengan lancar, mendukung produksi listrik yang terdesentralisasi, menciptakan model bisnis baru melalui peningkatan arus informasi, keterlibatan konsumen, dan peningkatan sistem kontrol, dan menyediakan fleksibilitas di sisi permintaan (demand). (IRENA, 2013).

Energi terbarukan tingkat rendah dengan pangsa kapasitas yang masuk ke jaringan tidak melebihi 15%, umumnya layak dioperasikan tanpa menggunakan teknologi smart grid. Pada pemanfaatan energi terbarukan tingkat menengah, biasanya 15% - 30%, teknologi smart grid akan semakin dibutuhkan. Pada penetrasi kapasitas energi terbarukan melebihi 30% (tinggi) akan sangat membutuhkan teknologi smart grid untuk menjamin kehandalan operasional jaringan listrik. (IRENA, 2013).

Berdasarkan studi yang dilakukan di Timur Tengah dan Afrika Utara, diketahui bahwa investasi pengembangan smart grid dapat menghemat USD $ 300 juta hingga USD $ 1 miliar setiap tahun yang membantu kesadaran wilayah tersebut mengenai potensi pemanfaatan energi matahari yang mereka miliki. (Northeast Group, 2012, dalam IRENA, 2013). Studi di Amerika Serikat menemukan bahwa potensi investasi pada teknologi berkelanjutan termasuk smart grid dan energi terbarukan memiliki net present value (NPV) sebesar USD $ 20 miliar hingga USD $ 25 miliar berdasarkan keuntungan pemanfaatan teknologi tersebut. (Rudden and Rudden, 2012; dalam IRENA, 2013).

Kebanyakan proyek smart grid khususnya yang mendukung energi terbarukan, juga memberikan keuntungan sosial ekonomi tidak hanya bagi pemanfaatan sistem utilitas, tetapi juga bagi pelanggan dan komunitas lokal dan global. Keuntungan yang lebih luas ini termasuk pencapaian keuntungan ekonomi dari kehandalan sistem yang tinggi, peningkatan kesehatan publik karena pengurangan emisi, dan pencapaian jangka panjang di sisi lingkungan dan ekonomi dari listrik rendah karbon. (McGregor, 2012; dalam IRENA, 2013).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Jumat, 11 November 2016

CO-FIRING BATUBARA DENGAN BIOMASSA


Salah satu teknik untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik batubara adalah dengan penambahan/modifikasi PLTU batubara menjadi sistem co-firing. Co-firing merupakan kegiatan pembakaran biomassa bersama-sama dengan bahan bakar fosil pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara atau gas. (ETSAMP E01, E02, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Saat ini terdapat sekitar 230 pabrik pembangkit listrik dan pabrik pembangkit combined heat & power (CHP) yang menggunakan sistem co-firing. Kebanyakan pabrik tersebut ada di Amerika Serikat dan Eropa bagian utara. Kapasitas masing-masing berkisar antara 50-700 MWe.

Terdapat 3 kelompok teknologi co-firing yakni : 1) direct co-firing, dimana digunakan ketel uap (boiler) tunggal dengan sistem pembakar (burner) umum atau (burner) terpisah. Teknologi ini merupakan yang paling murah dan paling banyak digunakan; 2) indirect co-firing, dimana sebuah gasifier mengubah biomassa padat menjadi fase gas; 3) parallel co-firing, dimana boiler yang terpisah digunakan untuk biomassa, kemudian uap air panas (steam) yang dihasilkan digabungkan dengan steam dari boiler konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil.

Secara umum, efisiensi listrik dari sistem co-firing biomassa dengan batubara cukup bervariasi mulai dari 35% – 44%. (ETSAP, 2010b; IEA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Sampai sejauh ini biasanya biomassa dicampurkan dalam sistem co-firing sebanyak sekitar 5% sampai 10%. Semakin tinggi komposisi biomassa berarti semakin rendah gas rumah kaca (green house gas – GHG) yang dihasilkan. Diperkirakan, dengan pemanfaatan sistem co-firing 1-10% biomassa pada setiap pembangkit listrik batubara di seluruh dunia akan dapat mengurangi emisi CO2 sebanyak 45 – 450 juta ton per tahun pada tahun 2035.

Biaya investasi untuk memodifikasi (retrofit) sebuah pembangkit listrik batubara menjadi sistem co-firing dengan biomassa adalah sekitar USD $ 430 – 500/kW untuk pabrik yang bahan bakunya dalam satu lokasi (co-feed plant), USD $ 760-900/kW untuk pabrik yang bahan bakunya terpisah (separate feed plant), dan USD $ 3.000 – 4.000/kW untuk sistem indirect co-firing.

Biaya operasi dan pemeliharaan dapat dikatakan mirip dengan pembangkit listrik batubara yakni sebesar USD $ 5-10/MWh karena co-firing akan meningkatkan biaya penanganan bahan bakar tetapi mengurangi biaya de-sulphurisation dan pembuangan abu pembakaran. (Mott McDonald 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Biaya operasi dan pemeliharaan umumnya adalah sekitar 2,5% – 3,5% dari biaya modal untuk sistem direct co-firing (IRENA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013) dan sekitar 5% untuk indirect co-firing (ECN 2012b, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Biaya bahan bakar biomassa tergantung pada jenis, volume yang diperdagangkan, dan lokasi geografis. Biaya butiran biomassa (biomassa pellet) yang diperdagangkan secara global adalah sekitar Eur € 12/MWh, lebih tinggi daripada harga batubara. Studi IRENA terbaru menyajikan data mengenai harga biomassa yang tersedia secara lokal di Amerika Serikat, Eropa, Brasil, dan India. Harga biomassa ampas tebu di Brasil dan India adalah sekitar USD $ 0-11/MWh. Harga sampah agrikultural di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara USD $ 6-22/MWh. Proses pembuatan pellet biomassa merupakan cara untuk meningkatkan secara signifikan nilai panas (heat value) per volume biomassa. Selama 4 tahun terakhir harga biomassa pellet industri mengalami fluktuasi antara Euro € 24-30/MWh dimana harga ini sekitar Euro € 12/MWh lebih tinggi dibandingkan harga batubara. (Hawkins Wright, 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Dengan mempertimbangkan harga batubara dan biomassa, co-firing secara umum lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik batubara murni atau CHP batubara. Untuk meningkatkan keekonomian sistem co-firing beberapa cara dapat diterapkan di antaranya adalah pemberian insentif terhadap konversi pembangkit listrik biasa menjadi pembangkit dengan sistem CHP yang lebih efisien, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, dukungan pemerintah pada penyediaan biomassa dan infrastruktur, serta mendedikasikan pendanaan terhadap riset dan pengembangan sistem co-firing. Pemerintah juga dapat menetapkan mandat penggunaan biomassa dengan sistem co-firing pada semua pembangkit listrik batubara, baik yang sedang beroperasi maupun yang akan dibangun. (IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Kamis, 10 November 2016

SEJARAH ENERGY SECURITY DUNIA




Yergin (2006) menyebutkan bahwa cikal bakal konsep energy security dimulai pada perang dunia pertama. Ketika itu, Angkatan Laut Kerajaan Inggris memutuskan untuk mengubah bahan bakar kapal perang mereka yang awalnya batubara (mesin uap) menjadi bahan bakar minyak bumi.

Pada masa itu muncul pertanyaan besar terhadap kebijakan tersebut. Mengapa Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang awalnya menggunakan bahan bakar batubara yang bersumber dari wilayah Wales yang dinilai lebih aman harus berganti ke bahan bakar minyak yang sumbernya terletak di daerah timur tengah yang tidak cukup meyakinkan keamanan dan keberlanjutan pasokannya.

Churcill yang saat itu menjabat sebagai Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Inggris menjawab kritik-kritik tersebut. Dia mengatakan bahwa keamanan dan kepastian pasokan minyak terletak pada seberapa bervariasinya sumber pasokan minyak yang digunakan. Semakin bervariasi sumber pasokan minyak bumi yang digunakan, maka akan semakin aman dan handal kapal perang angkatan laut kerajaan Inggris.

Pada awal abad 20, terjadi peperangan-peperangan besar yakni perang dunia ke-1 dan perang dunia ke-2. Salah satu motif peperangan dan ekspansi wilayah kekuasaan pada masa ini adalah dalam rangka penguasaan sumber-sumber minyak bumi. Hal ini dapat dipahami karena bahan bakar berbasis minyak bumi merupakan elemen penting penggerak peralatan perang.

Kita dapat melihat beberapa peperangan yang memperebutkan sumber minyak seperti di Indonesia, Timur Tengah, Kaukasus dan Rumania selama perang dunia ke-2. Deklarasi perang Jepang terhadap Amerika Serikat melalui penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour juga dilatar belakangi upaya pengamanan Jepang terhadap suplai minyak ke negerinya. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pentingnya suplai minyak bagi kegiatan militer selama perang dunia ke-2.

Pasca perang dunia ke-2, peranan minyak bumi justru semakin penting di tengah-tengah masyarakat dunia. Pada awalnya BBM jenis kerosin (minyak tanah) merupakan sumber energi populer terutama untuk digunakan sebagai bahan penerangan/lampu. Setelah itu, mesin bensin ditemukan, sehingga BBM jenis bensin semakin populer. Peranan bensin semakin besar di sektor transportasi dan industri. Pemanfaatan listrik untuk penerangan juga semakin populer.

Sistem tenaga uap yang memanfaatkan batubara mulai tergantikan dengan sistem tenaga minyak bumi. Mesin penggerak berbahan bakar bensin dan minyak diesel semakin populer dimana semakin masifnya perkembangan sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak bumi (BBM).

Kebutuhan akan bahan bakar minyak bumi semakin meningkat. Permintaan terus meningkat terutama untuk perkapalan, indutri, dan pemakaian pribadi. Hasil olahan minyak lainnya juga dimanfaatkan secara masif, seperti pelumas, parafin dan lilin.

Negara-negara terus menggenjot kegiatan perekonomiannya dan seiring dengan itu permintaan dan kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. Baik untuk sektor transportasi, industri makanan dan minuman, kesehatan, manufaktur, pembangkit tenaga listrik dan pemanas ruangan. Pada waktu bersamaan, banyak negara industri yang tidak mampu memproduksi minyak bumi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada akhirnya kebijakan untuk mengimpor minyak dari negara-negara penghasil minyak dilakukan.

Negara-negara penghasil minyak mendapatkan pendapatan yang semakin besar dari semakin meningkatnya kebutuhan akan energi yang berbasiskan bahan bakar minyak. Pada tahun 1960 dibentuklah Organization of the Petreloum Exporting Countries (OPEC) yang anggotanya terdiri dari negara-negara pengekspor minyak terbesar. Kegiatan impor dan ekspor minyak kemudian semakin intens seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin lama, negara-negara penghasil minyak tersebut semakin tergantung pada pendapatan yang didapatkan dari penjualan minyak. Sementara itu, negara-negara konsumen minyak semakin tergantung terhadap pasokan minyak dari negara-negara OPEC yang secara geografis cukup terpusat di wilayah Timur Tengah.

Sistem ini terus berlanjut hingga pada tahun 1973 dimana terjadi pergolakan geopolitik dunia. Negara-negara Timur Tengah penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC menghentikan suplai minyak ke Amerika Serikat dan juga kepada sejumlah negara lain. Hal ini sebagai bentuk protes terhadap Amerika Serikat dan sekutunya yang mendukung agresi Israel di Timur Tengah. Hasilnya, harga minyak dunia saat itu menjadi naik empat kali lipat yang memicu krisis ekonomi global dan menunjukkan betapa lemahnya tatanan sistem suplai minyak global.

Konsekuensi dari peristiwa ini adalah penempatan energy security, khususnya keamanan pasokan minyak, sebagai bagian penting dari kebijakan energi pada banyak negara industri. (LaCasse and Plourde, 1995). Yergin (2006) menyebutkan bahwa krisis minyak pada tahun 1970-an telah melahirkan konsep modern mengenai energy security.

Seiring berjalannya waktu, dewasa ini, fokus energy security telah berkembang lebih jauh lagi. Cakupannya bukan hanya minyak bumi, tetapi juga gas alam, batubara, nuklir, energi terbarukan, dan listrik. Batubara masih mendominasi sebagai bahan bakar pembangkit listrik dunia. Peranan energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) dinilai masih cukup signifikan secara global dibandingkan energi non fosil. Karenannya fokus energy security masih belum beranjak pada energi fosil, terutama minyak bumi.

Bentuk ancaman terhadap keberlangsungan sistem energi juga semakin luas. Bukan hanya mempertimbangkan isu-isu keamanan pasokan, tetapi juga mencakup perlindungan infrastruktur dari bencana alam, serangan terorisme dan konflik, dan juga kemungkinan serangan cyber. Dampak bencana badai Katrina dan Rita pada suplai minyak dan gas bumi di Teluk Meksiko tahun 2005 serta tragedi Fukushima di Jepang tahun 2011 merupakan contoh bentuk ancaman serius faktor alam terhadap energy security.

Namun demikian, bencana alam di Teluk Meksiko berhasil menunjukkan betapa bermanfaatnya sistem stok energi (minyak bumi) darurat yang dibentuk negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) dalam menanggulangi gangguan suplai energi di Teluk Meksiko. Pelepasan stok energi darurat ini adalah yang kedua kalinya dilakukan dalam otorisasi IEA. Pelepasan stok darurat ini terbukti mampu menjamin kestabilan ekonomi secara global pada saat terjadi gangguan pasokan di suatu wilayah.

Melambungnya kembali harga minyak pada 2007 – 2008 sekali lagi semakin meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebijakan energy security. Sebaliknya penurunan signifikan dan drastis harga minyak pada tahun 2014 menimbulkan permasalahan di sisi yang lain, yakni berkurangnya minat investasi di sisi produksi dimana hal ini berarti berkurangnya pendapatan produser minyak termasuk juga berdampak terhadap lesunya aktivitas industri-industri pendukung dan juga industri-industri energi alternatif.

Bagi negara-negara konsumen minyak, turunnya harga minyak berarti keuntungan, karena dapat memperoleh minyak dengan harga rendah. Namun harga minyak yang terlalu rendah juga membuat konsumen semakin konsumtif terhadap minyak, dan di sisi lain, investasi di bidang energi terbarukan menjadi semakin tidak layak dan tidak menarik. Cita-cita masyarakat dunia untuk bergerak ke energi non fosil yang ramah lingkungan dan mencegah pemanasan global akan semakin jauh.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Rabu, 09 November 2016

DEFINISI ENERGI SECURITY




Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mendefinisikan energy security sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Umum OPEC, HE Abdallah Salem El-Badri, pada acara Chattam House Cenference, di London tahun 2008, yang berjudul “Middle East Energy 2008 - Risk and Responsibility: The New Realities of Energy Supply.” Beliau menyatakan bahwa energy security harus bersifat timbal balik. Energy security merupakan jalan dua arah. Keamanan permintaan merupakan hal yang penting bagi produsen energi sebagaimana keamanan pasokan bagi konsumen energi. Energy security seharusnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Bersifat universal, diterapkan bagi negara kaya atau miskin secara setara, dengan fokus pada tiga pilar pengembangan berkelanjutan dan secara khusus menyangkut pemberantasan kemiskinan.
  2. Fokus pada penyediaan pelayanan energi modern bagi semua konsumen.
  3. Diaplikasikan pada seluruh rantai pasokan (supply chain). Sisi downstream sangat krusial seperti halnya upstream.
  4. Meliputi seluruh horizon waktu yang dapat diduga. Keamanan besok (masa depan) sangat penting selayaknya keamanan hari ini.
  5. Memperkenankan pengembangan dan penyebaran teknologi-teknologi baru melalui upaya berkelanjutan, berwawasan ekonomi dan lingkungan.
  6. Harus dapat memberikan manfaat dari peningkatan dialog dan kerjasama di antara para pemangku kepentingan.

The International Energy Agency (IEA) mendefinisikan energy security sebagai: Ketersediaan energi secara fisik secara terus menerus pada harga yang sanggup dicapai, serta memberikan perhatian terhadap aspek lingkungan. (www.iea.org)
IEA menyebutkan bahwa resiko-resiko energy security dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Ketidakstabilan pasar energi yang disebabkan perubahan yang tak terduga dalam geopolitik atau faktor eksternal lainnya, atau sumber bahan bakar fosil yang terkonsentrasi.
  2. Kegagalan teknis seperti pemadaman listrik yang disebabkan gangguan pada jaringan dan pembangkit listrik.
  3. Gangguan keamanan fisik seperti terorisme, sabotase, pencurian dan pembajakan, serta bencana alam seperti gempa, badai, letusan gunung berapi, dampak perubahan iklim, dan lain-lain.
IEA menyebutkan terdapat faktor-faktor yang dapat berperan sebagai ancaman terhadap energy security, yaitu:
  1. Gangguan terhadap energy system yang disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem atau kecelakaan.
  2. Penyeimbangan jangka pendek (short-term) terhadap suplai dan permintaan di sektor kelistrikan.
  3. Kegagalan kebijakan.
  4. Konsentrasi sumber suplai energi fosil.
Energy system terdiri dari:
  1. Fuel Supply (pasokan/suplai bahan bakar).
  2. Energy transformation (transformasi energi).
  3. Energy Consumer (konsumen energi).
Selain itu, IEA membagi energy security ke dalam dua kelompok dimensi:
  1. Long term energy security, yaitu energy security yang berhubungan dengan investasi dalam jangka waktu tertentu untuk menyuplai energi yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan.
  2. Short term energy security, fokus pada kemampuan sistem energi dalam bereaksi secara cepat terhadap perubahan tiba-tiba pada keseimbangan supply-demand (pasokan-permintaan) energi.
Dengan demikian, keamanan pasokan energi merupakan perhatian utama IEA, dan hal ini selaras juga dengan yang didefinisikan European Union (EU) tetapi dengan beberapa perhatian tambahan terhadap isu lingkungan dan ketahanan. (Xavier Labandeira and Baltasar Manzano, 2012).

World Economic Forum (WEF) mendefinisikan energy security sebagai payung yang melindungi berbagai macam elemen-elemen yang berhubungan dengan energi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan politik.

Sudut pandang terhadap energy security akan bervariasi tergantung posisi seseorang atau organisasi dalam rantai nilai energi (energy value chain). Konsumen dan industri pengguna energi menginginkan kesesuaian antara harga energi dengan permintaan, serta mengkhawatirkan gangguan terhadap suplai energi. Negara-negara penghasil minyak memandang energy security dari sisi keamanan pendapatan (revenue) dan keamanan permintaan pasar akan minyak sebagai bagian integral dalam setiap diskusi tentang energy security. Perusahaan minyak dan gas memandang akses kepada cadangan minyak dan gas, kemampuan untuk mengembangkan infrastruktur baru, dan kestabilan iklim investasi sebagai faktor-faktor yang sangat penting untuk menjamin energy security.

Negara-negara berkembang menempatkan perhatian mereka terhadap kemampuan masyarakat untuk membayar sumber daya energi pada harga yang terjangkau agar mampu menggerakkan roda perekonomian dan mengkhawatirkan keseimbangan goncangan pembayaran. Perusahaan-perusahaan pembangkit dan penyuplai listrik menempatkan perhatian kepada integritas seluruh jaringan listrik. Para pembuat kebijakan fokus kepada resiko gangguan suplai dan keamanan infrastruktur terhadap ancaman terorisme, perang, atau bencana alam. Mereka juga mempertimbangkan volume margin keamanan (jumlah kelebihan kapasitas, cadangan strategik, dan infrastruktur cadangan).

Di dalam rantai nilai energi (energy value chain), keanekaragaman harga dan suplai energi merupakan komponen yang sangat penting dalam energy security. Pada masa sebelumnya, minyak digunakan sebagai senjata sehingga kemudian timbullah perhatian bahwa gas alam dapat juga digunakan sebagai alat politik pada suatu waktu nanti. Dan ini terbukti dalam krisis Rusia dan Ukraina yang telah dipersepsikan secara umum sebagai konflik kepentingan terhadap gas alam.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Selasa, 08 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (LPG/Vi-Gas)


Bahan bakar jenis LPG (Liquid Petroleum Gas) juga dapat dikategorikan sebagai bahan bakar gas, namun LPG merupakan jenis gas yang berbeda dengan gas alam. Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam. Propana dan butana, biasanya keduanya dicampur dalam komposisi tertentu.

Selain dikenal sebagai bahan bakar untuk konsumsi rumah tangga, LPG dapat digunakan juga sebagai bahan bakar pada kendaraan. Nilai oktan LPG untuk kendaraan diatur lebih tinggi dibandingkan LPG untuk rumah tangga. Di Indonesia bahan bakar LPG yang digunakan untuk transportasi dikenal dengan merek Vi-Gas. Secara global penamanaanya juga bermacam-macam sesuai dengan penamaan di masing-masing Negara. Bahan bakar LPG untuk kendaraan dikenal juga sebagai AutoGas, Automotive LP Gas, GLP (Gas Liquid Petroleum), GPL (Gas Petroleum Liquid), atau LGV (Liquid Gas for Vehicle).

LPG yang digunakan pada kendaraan ini berbentuk cair. Tekanan LPG diatur pada tekanan sekitar 8-14 bar dan temperatur sekitar -40 oC. Karena LPG untuk kendaraan diatur dalam bentuk cair maka daya tampung gasnya lebih besar dibandingkan CNG pada volume tabung yang sama.

Sistem pendistribusian LPG untuk kendaraan mirip dengan sistem pendistribusian BBM. LPG yang diproduksi dari kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam, disimpan di terminal penyimpanan LPG. LPG yang berbentuk cair ini dikirimkan ke SPBU dengan menggunakan truk tangki LPG. Di SPBU, LPG yang diangkut truk ditransferkan ke tangki LPG di SPBU. Kendaraan berbahan bakar LPG dapat mengisi LPG di SPBU-SPBU yang memiliki pelayanan Vigas.

Kendaraan Berbahan Bakar LPG

Menurut WLPGA, jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global telah mencapai angka 24.991.465 unit pada tahun 2013. Sedangkan total konsumsi LPG untuk kendaraan secara global mencapai 25,8 juta ton. (www.auto-gas.net). Sistem mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang bekerja dengan bahan bakar liquid petroleum gas (LPG) merupakan teknologi yang telah terbukti bekerja dengan baik layaknya mesin spark ignition pada kendaraan berbahan bakar bensin. LPG sebagai bahan bakar kendaraan tidak digunakan sendiri (single fuel) tetapi selalu berada dalam sistem bi-fuel. Kendaraan berbahan bakar bensin dapat ditambah sistem converter kit agar dapat menjadi kendaraan bi-fuel. Pada sistem ini, LPG dikombinasikan dengan bensin yang bekerja secara bergantian (sequential). Pada kendaraan bi-fuel terdapat dua sistem bahan bakar yang berarti terdapat dua tangki bahan bakar yang terpisah. Satu untuk bensin dan satu untuk LPG. Sistem bi-fuel memungkinkan LPG dan bensin dapat digunakan secara bergantian melalui switching cepat baik secara manual maupun otomatis. (IEA ETSAP, 2010).

Penggunaan LPG pada kendaraan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas – GHG) hingga 15% dibandingkan pada penggunaan bahan bakar petrol. Biaya konversi kendaraan bensin menjadi kendaraan bi-fuel LPG berkisar antara EUR € 1130 (15 juta-an rupiah) hingga EUR € 2740 (40 juta-an rupiah). (IEA ETSAP, 2010).


Grafik 3. Perkembangan jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Grafik 4. Perkembangan konsumsi LPG untuk kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Stasiun pengisain LPG untuk kendaraan (ViGas) di seluruh Indonesia terdapat sebanyak sekitar 21 unit SPBU yang melayani pengisian LPG (LGV filling station) per Juli 2015. Kebutuhan pasokan LPG untuk kendaraan juga kemungkinan akan bertambah seiring dengan pembagian 50.000 konverter kit LPG untuk perahu nelayan di beberapa wilayah pada tahun 2015.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Senin, 07 November 2016

Teori Asal Usul Minyak Bumi



Terdapat perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi. Secara umum teori-teori tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
  1. Teori pertama menyatakan bahwa minyak bumi berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa organisme tersebut mengendap di dasar lautan, kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu, dengan meningkatnya tekanan dan temperatur, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut dan mengubahnya menjadi minyak dan gas. Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori seperti air dalam batu karang. Minyak dan gas dapat juga bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkosentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap.
  2. Teori kedua yang cukup berkembang di antara para ilmuwan mengenai asal usul terjadinya minyak bumi adalah Teori Anorganik (Abiogenesis). Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali. Pada saat logam ini berada dalam kondisi bebas dan temperatur tinggi dan kemudian bersentuhan dengan CO2 maka terbentuklah asitilena. Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang menyatakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.

Terlepas dari perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi, manusia tetaplah membutuhkan usaha-usaha untuk dapat memanfaatkannya yang meliputi pengeboran, pengangkatan minyak dan pengolahan (refinery). Minyak bumi biasanya diangkat ke permukaan Bumi dalam bentuk emulsi minyak-air. Selanjutnya digunakan senyawa kimia khusus yang disebut demulsifier untuk memisahkan air dan minyak. Dari suatu proses eksplorasi pada sumur minyak bumi, maka sebagian besar akan dihasilkan minyak mentah (crude oil), dan terkadang ditemukan juga kandungan gas alam di dalamnya yang disebut gas alam bawaan (associated gas).




Minggu, 06 November 2016

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


Seperti diketahui, semenjak terjadinya krisis minyak global pada awal tahun 1970-an, kesadaran masyarakat internasional mengenai energy security semakin meningkat. Akhir-akhir ini, semakin terjadi ketidakseimbangan distribusi geografis antara negara-negara sumber energi dengan negara-negara konsumen energi. Permasalahan tersebut diperparah dengan semakin berkurangnya pasokan minyak pada negara-negara yang tergantung pada minyak. (Choucri, N., 1977). Semenjak itulah, energy security semakin diintegrasikan ke dalam debat-debat teori hubungan internasional.

Energy security telah menjadi fokus bahan diskusi dalam keilmuan Hubungan Internasional berhubung terdapat beberapa isu energi seperti harga energi yang tinggi, peningkatan permintaan dan kompetisi terhadap sumber daya energi yang terkonsentrasi secara geografis, ketakutan akan kelangkaan sumber daya atau habisnya sumber daya dalam waktu dekat, serta perhatian terhadap isu-isu sosial dan efek politis dari perubahan iklim. (Vivoda, 2011).

Menurut Daniel Yergin (2006), konsep energy security meliputi dua dimensi. Dimensi pertama yaitu dimensi keindependenan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya yang berasal dari sumber daya energi domestik. Dimensi kedua yaitu dimensi interdependensi global dimana pemenuhan energi setiap negara tak lepas dari pasokan energi dunia yang berasal dari, khususnya, negara-negara pengekspor yang kaya akan sumber minyak dan gas. Melalui dua dimensi ini, nampak bahwa energy security tidak semata-mata merupakan isu domestik suatu negara tetapi meliputi isu global dimana ketiadaan pasokan energi dapat berimplikasi pada stabilitas internasional, baik itu bidang ekonomi dan perdagangan maupun politik dan sosial.

Mason Willrich dalam bukunya yang berjudul Energy and World Politics (1975), memandang keamanan energi sesuai dengan konteks dan aktor yang mengimplementasikannya, yaitu negara importir dan eksportir energi. Bagi negara pengekspor energi, keamanan energi dapat diartikan sebagai jaminan akan akses pasar serta keamanan permintaan. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan energinya, negara pengekspor dapat melakukan beberapa strategi. Langkah awal adalah dengan berusaha membuat negara importir energi menjadi sangat tergantung pada energi yang diproduksi oleh negara eksportir.

Sedangkan bagi negara importir, keamanan energi diartikan sebagai jaminan atas pasokan energi yang cukup sehingga memungkinkan berfungsinya perekonomian nasional melalui tindakan yang dapat diterima secara politik. Untuk menjamin keamanan energi, maka negara pengimpor dapat melakukan tiga strategi berdasarkan efek yang ditimbulkan.

Pertama untuk mengurangi kerugian yang dapat timbul apabila terjadi gangguan pasokan energi, negara dapat melakukan stand-by rationing plans dan stockpiling. Rationing plans merupakan penghematan konsumsi energi untuk mengatasi serta memperpanjang waktu operasional jika terjadi masalah suplai energi. Sedangkan stockpiling merupakan penumpukan cadangan (stok/penimbunan) energi yang dapat digunakan pada saat-saat darurat sehingga masalah-masalah jangka pendek mengenai ketersediaan energi dapat teratasi.
Kedua, untuk memperkuat jaminan suplai energi dari luar, negara dapat melakukan tindakan diversifikasi sumber suplai luar negeri dan meningkatkan interdependensi (ketergantungan) negara pengimpor terhadap negara pengekspor energi. Peningkatan interdependensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu investasi jangka panjang (long-term investment) dan melalui program bantuan pembangunan (development assistance). Dengan meningkatnya ketergantungan negara pengekspor kepada negara pengimpor maka negara eksportir tidak akan gegabah untuk menginterupsi suplainya ke negara importir karena negara pengekspor pada akhirnya juga memiliki ketergantungan pada negara pengimpor.

Ketiga, untuk mengurangi ketergantungan akan suplai asing, sebuah negara dapat meningkatkan suplai energi domestiknya atau melalui peningkatan self-sufficiency (swasembada energi). Akan tetapi menurut Willrich, cara ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki sumberdaya energi yang cukup besar. Oleh karena itu, Willrich membagi definisi self-sufficiency menjadi tiga, yaitu: bergantung secara penuh pada sumber daya domestik, bergantung pada sumberdaya domestik secara tidak terbatas setelah melewati suatu masa transisi, dan bergantung secara esklusif pada sumber daya domestik dengan waktu yang terbatas.
Berdasarkan tiga tindakan spesifik yang dijabarkan oleh Willrich maka dapat disimpulkan bahwa tindakan pertama dan ketiga merupakan cara untuk mengatasi kerentanan yang berasal dari dalam negeri. Negara importir dapat menerapkan strategi domestik untuk menjaga keamanan energinya dengan cara melakukan rationing, stockpiling, serta dengan cara meningkatkan self sufficiency.
Sedangkan sebagai negara importir, tentunya impor energi dilakukan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengatasi kerentanan dari luar negeri atau kerentanan suplai energi asing, negara importir dapat melakukan diversifikasi suplai dan meningkatkan interdependensi negara eksportir dengan cara memberikan bantuan pembangunan atau dengan cara investasi.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 05 November 2016

HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR TRANSPORTASI


Gambar 1. Toyota Mirai yang dilaunching tahun 2015 mrupakan salah satu kendaraan berbahan bakar hidorgen fuel cell yang dijula secara komersial. Toyota Mirai didasarkan pada konsep kendaraan Toyota FCV.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Toyota_FCV_reveal_25_June_2014_-_by_Bertel_Schmitt_02.jpg


Aplikasi hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan merupakan fokus riset dan pengembangan fuel cell. Keuntungan yang dapat diberikan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan listrik adalah tidak adanya emisi yang dihasilkan, adanya kemungkinan produksi domestik, dan dapat memberikan efisiensi yang sangat tinggi. (www.eia.org). Bahan bakar hidrogen dapat diisikan ke Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dalam waktu berkisar antara 3-5 menit. Jarak tempuh FCEV dapat mencapai 300 – 400 mil (480 - 640 km). (Joan Ogden dkk., 2014).

Hingga sejauh ini, pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi masih akan menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan tersebut meliputi isu teknis, biaya infrastruktur dan harga kendaraan yang sangat mahal, teknologi penyimpanan yang bertekanan sangat tinggi, dan keamanan. Walaupun demikian, kenyataannya telah terdapat stasiun pengisian bahan bakar hidrogen dan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang telah berada pada tahapan komersial. Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar hidrogen telah dibangun di Amerika Serikat dan juga Jepang. Sejumlah pabrikan kendaraan juga telah memperkenalkan kendaraan hidrogen misalkan Hyundai, Toyota, Honda, dan Mercedez-Benz.

Hal ini semua patut menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam menyusun strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan yang ke depannya dapat mendukung pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi di dalam negeri. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar transportasi merupakan solusi masa depan terhadap penggunaan kendaraan yang bebas emisi dan juga sangat efisien karena dapat menawarkan daya jangkau kendaraan yang lebih jauh. Pada skala komersial hidrogen akan menjadi suatu aplikasi yang umum dalam beberapa waktu ke depan.

Terdapat sejumlah cara untuk mengirimkan hidrogen ke stasiun pengisian sehingga dapat mengisi kendaraan. Hidrogen dapat diproduksi secara lokal di pabrik besar, disimpan sebagai gas bertekanan atau sebagai gas cair cryogenic (pada Temperatur -253 oC), dan didistribusikan menggunakan truk atau pipa gas. Hidrogen juga dapat diproduksi di lokasi stasiun pengisian (bahkan di rumah dan fasilitas komersial) dengan menggunakan bahan baku gas alam, alkohol (methanol atau ethanol), atau listrik. Saat ini, teknologi pendistribusian hidrogen telah menjadi teknologi yang umum di bisnis perniagaan hidrogen dan industri kimia. Sebagian besar hidrogen industri diproduksi dan digunakan di lokasi, namun beberapa di antaranya diantarkan ke pengguna yang jaraknya relatif jauh dengan menggunakan pipa atau truk. (Joan Ogden dkk., 2014).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 500 buah mobil berbahan bakar fuel cell yang beroperasi. Sebagain besar dari kendaraan tersebut berupa bus dan mobil bermesin motor elektrik yang berbahan bakar fuel cell. Sedikit di antaranya yang memiliki sistem pembakaran hidrogen secara langsung. Kendala perkembangan jumlah kendaraan fuel cell adalah harganya yang sangat mahal dan masih langkanya fasilitas pengisian. (www.eia.org).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 50 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Namun hanya sekitar seperlimanya yang tersedia untuk konsumen umum, dan 40% di antaranya terletak di wilayah California. Jumlah kendaraan berbahan bakar hidrogen masih terbatas. Ada kecenderungan masyarakat enggan membeli mobil hidrogen dengan alasan jumlah stasiun pengisian hidrogen belum banyak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan juga enggan berinvestasi untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen selama populasi mobil hidrogen yang beroperasi belum banyak. Hal ini menimbulkan permasalahan “ayam dan telur”, sehingga tidak ada di antara kedua pihak, baik di sisi permintaan (demand) dan pasokan (supply), yang berinisiatif untuk memulai lebih dulu. (www.eia.org).

Pada bulan Mei 2014, California Energy Commission mengalokasikan dana sebesar 46,6 juta dolar untuk membantu pengembangan 28 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen untuk umum di California. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan kendaraan fuel cell yang bebas emisi dan ramah lingkungan kepada masyarakat. (www.eia.org).

Di California, Amerika Serikat, terdapat kebijakan mengenai mandat emisi nol (zero emission mandate), dimana hal ini ditujukan agar pabrikan kendaraan segera memperkenalkan Fuel Cell Electric Vehicles (FCEVs) ke pasar. California Fuel Cell Partnership memproyeksikan FCEVs akan terus berkembang pesat, dari yang saat ini beroperasi sekitar 100 unit menjadi 6.500 unit pada 2017 dan 18.000 unit pada 2020. Hingga sejauh ini pabrikan yang telah resmi mengeluarkan FCEV adalah Hyundai dengan merek Tucson berjenis sport utility vehicle (SUV). Honda, Toyota, dan Mecedes-Benz berencana mengikuti untuk memasarkan FCEV light duty (kerja ringan) pada 2016. (AGA, 2014).

Perkiraan komponen biaya untuk bahan baku hidrogen saat ini adalah sekitar USD $ 4 – USD $ 12 untuk memproduksi bahan bakar hidrogen yang setara dengan satu galon bensin. Semakin murahnya biaya bahan baku dan peningkatan teknologi pemprosesan dan penyimpanan dari waktu ke waktu memungkinkan hidrogen menjadi bahan bakar dengan margin keuntungan yang tinggi. Di Amerika Serikat, dispenser hidrogen diatur agar satuan pembelian bahan bakar hidrogen disertifikasi dalam satuan kilogram (Kg), dimana pada tiap 1 Kg Hidrogen ini memiliki kemiripan kesetaraan energi dengan satu galon bensin. Hal ini dilakukan agar konsumen dapat melakukan perbandingan keekonomian langsung antara bahan bakar hidrogen dan bensin. (AGA, 2014).

Secara paralel, terdapat juga komitmen penganggaran dana hingga USD $ 20 juta setiap tahun untuk pembangunan setidaknya 100 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cell station). California Environmental Protection Agency and Air Board menargetkan 51 hydrogen fuell cell station akan beroperasi pada 2016. (AGA, 2014).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Kamis, 03 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (CNG & LNG)

Dalam terminologi ini, yang dimaksud bahan bakar gas untuk kendaraan adalah bahan bakar yang berupa gas alam (natural gas) dan juga gas sampingan pengolahan minyak/petroleum atau disebut sebagai LPG (Liquid Petroleum Gas). Namun di antara keduanya terdapat perbedaan dari sisi komposisi pembentuk gasnya. Kandungan utama gas alam adalah gas metana atau methane (CH4). Sedangkan Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam.

CNG dan LNG

Terdapat dua pilihan teknologi yang tersedia yang berhubungan dengan cara penyimpanan dan pendistribusian gas alam (natural gas) dan juga untuk aplikasi sebagai bahan bakar kendaraan.
  1. Teknologi pertama, gas dikompresi hingga mencapai tekanan kurang lebih 200 bar dan diisikan kepada tabung-tabung pada kendaraan yang mampu mengakomodir tekanan gas yang tinggi. Teknologi ini disebut Compressed Natural Gas atau dikenal sebagai CNG.
  2. Teknologi kedua, gas alam dicairkan pada temperatur cryogenic atau dingin ekstrem (-160oC) kemudian diisikan ke tabung/tangki cryogenic yang ada pada kendaraan. Teknologi ini disebut sebagai liquefied natural gas (LNG).

LNG diproduksi di pabrik LNG (LNG plant). Dalam proses pencairan gas alam menjadi LNG, dibutuhkan proses pengurangan kandungan gas-gas pengotor pada gas alam agar gas alam dapat dicairkan dengan aman dan lancar. Sedangkan CNG diproduksi di CNG plant. Gas pipa dialirkan ke kompresor untuk ditekan hingga mencapai tekanan tertentu dan kemudian gas disimpan di tabung bertekanan tinggi. CNG juga dapat diproduksi dari gas alam yang berasal dari regasifikasi LNG. Pembangunan stasiun pengisian LNG untuk kendaraan akan relatif jauh lebih mahal dibandingkan biaya pembangunan stasiun pengisian CNG (CNG station/SPBG). Selain proses pencairan yang mahal, proses penyimpanan LNG di stasiun pengisian juga mahal karena membutuhkan tangki cryogenic, tangki khusus yang dapat menahan temperatur LNG yang -165oC.

Rantai pasokan (supply chain) stasiun pengisian LNG dan CNG pada dasarnya hampir sama. Sistem pendistribusian CNG memiliki beberapa pilihan metode. Ini dapat dilihat dari jenis CNG station atau SPBG. Bisa berupa CNG online station, mother and daughter station, mobile refueling unit, dan ecostation.
  1. CNG online station. Pada CNG jenis pertama ini gas alam disalurkan melalui pipa menuju SPBG. Di SPBG gas dikompresi hingga tekanan mencapai 200 – 250 bar dan kemudian diisikan ke kendaraan pengguna CNG melalui dispenser CNG.
  2. Mother and daughter station. Sistem SPBG jenis kedua terdiri dari Mother Station dan Daughter Station. Mother station sama seperti SPBG jenis pertama (online station). Gas alam dialirkan melalui pipa ke mother station dan di dilakukan pengkompresian gas menjadi CNG. CNG yang diproduksi oleh mother station kemudian diisikan ke truk trailer / kontainer CNG yang kemudian truk tersebut mengantarkan CNG ke daughter station. Truk kontainer CNG mentransfer CNG yang dimuatnya ke daugther station, lalu daughter station mengisikan CNG ke kendaraan pengguna akhir CNG.
  3. Mobile refueling unit (MRU). SPBG jenis ini dapat disebut juga SPBG yang dapat bergerak (portable). MRU bentuknya berupa kontainer yang di dalamnya berisi peralatan-peralatan pemprosesan dan pengisian CNG yang di antaranya terdiri dari dryer dan filter, kompresor, tabung CNG, dan dispenser. Kontainer CNG ini dapat ditarik oleh truk untuk diantarkan ke lokasi yang diinginkan yakni ke pengguna CNG secara langsung.
  4. Hybrid station, Co-Location atau Ecostation. Biasanya merupakan penyebutan bagi SPBG yang terintegrasi (dalam satu lokasi) dengan stasiun pengisian bahan bakar lain seperti SPBU bensin dan diesel. SPBG pada ecostation dapat berupa CNG online station, daughter station, atau MRU.

Sedangkan untuk sistem pengisian bahan bakar LNG akan dibutuhkan pasokan LNG dari kilang LNG (pabrik pencairan gas alam). LNG yang dihasilkan oleh kilang LNG dapat dikirimkan ke stasiun pengisian bahan bakar LNG (LNG refueling station) terdekat melalui pipa penyalur LNG untuk langsung melakukan pengisian pada kendaraan. LNG yang dihasilkan kilang LNG juga dapat dikirimkan ke LNG refueling station yang jaraknya cukup jauh dari kilang LNG, baik dengan menggunakan truk kontainer LNG, kapal kontainer LNG, kereta api kontainer LNG, atau paduan dari ketiga moda transportasi tersebut.

LNG refueling station juga dapat berperan sebagai LCNG station, yang merupakan perpaduan LNG refueling station dan CNG refueling station. LCNG station dapat melakukan pengisian LNG dan CNG. LNG yang disimpan pada LCNG station, diregasifikasi dengan menggunakan vaporizer dan kemudian diatur tekanannya sehingga memenuhi tekanan CNG, lalu melalui dispenser, CNG diisikan ke kendaraan CNG.

Kendaraan Berbahan Bakar CNG dan LNG

Teknologi penerapan BBG pada kendaraan, baik LNG dan CNG, secara umum adalah sama, yang membedakan adalah cara penyimpanan gas pada kendaraan. Kendaraan yang menggunakan bahan bakar CNG, akan menggunakan tabung bertekanan tinggi untuk menyimpan CNG. Pada kendaraan yang menggunakan LNG akan menggunakan tanki cryogenic untuk menyimpan LNG yang memiliki temperatur dingin ekstrem.

Penerapan BBG pada kendaraan memiliki beberapa pilihan teknologi, dapat berupa sistem bi-fuel, dual fuel atau melalui modifikasi mesin. Untuk mesin berbahan bakar bensin umumnya teknologi yang dipakai adalah sistem bi-fuel. Perangkat converter kit bi-fuel dipasang pada kendaraan. Dengan adanya sistem bi-fuel pada kendaraan, bensin dan gas dapat digunakan secara bergantian (sequential) yang dapat saling dipertukarkan penggunaannya dengan cepat melalui proses switching, baik secara manual maupun secara otomatis.

Untuk kendaraan bermesin diesel, aplikasi BBG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mengkonversi sistem bahan bakar menjadi sistem dual fuel atau dengan cara modifikasi mesin diesel menjadi mesin yang menggunakan bahan bakar gas secara penuh (100%). Pada sistem dual fuel, dilakukan pemasangan converter kit gas sehingga minyak diesel dan gas dapat digunakan secara bersama (dicampur) di ruang bakar. Sedangkan pada teknologi modifikasi mesin, mesin diesel dibongkar dan dimodifkasi agar dapat menggunakan bahan bakar gas secara penuh sehingga tidak dapat lagi menggunakan bahan bakar minyak diesel.

Pada teknologi CNG, gas disimpan di tabung silinder bertekanan sekitar 200 bar. Ketika CNG hendak digunakan dan dikrimkan ke mesin, maka tekanannya diturunkan sehinggga sesuai yang dibutuhkan oleh sistem mesin.

Pada teknologi LNG, gas dalam bentuk cair dengan temperatur sekitar -160oC disimpan di tanki cryogenic pada kendaraan, semacam termos yang dapat menjaga temperatur LNG agar tetap dingin selama mungkin dan tidak menguap. Ketika LNG hendak digunakan dan dialirkan ke ruang mesin, maka LNG dialirkan melalui vaporizer terlebih dahulu agar fasenya yang cair berubah menjadi gas dan kemudian diatur tekanannya agar sesuai dengan sistem mesin.

Berdasarkan pengalaman, biaya peralatan dan pemasangan converter kit kendaraan pribadi berbahan bakar bensin menjadi sistem bi-fuel CNG berkisar antara 15 – 25 juta rupiah. Sedangkan untuk konversi truk berbahan bakar diesel menjadi sistem dual fuel CNG berkisar antara 100 – 200 juta rupiah. Biaya untuk memodifikasi truk/bis bermesin diesel menjadi mesin pengguna BBG secara penuh, berdasarkan informasi, biayanya sekitar 200 juta rupiah.

Pada teknologi LNG, biaya peralatan dan pemasangan converter kit cenderung lebih mahal dibandingkan teknologi CNG karena harga tangki cryogenic yang sangat mahal. Biaya konversi 1 unit Bus menjadi berbahan bakar LNG system dual fuel mencapai hampir USD $ 30.000. Berdasarkan pengalaman lainnya, biaya konversi truk menjadi sistem dual fuel LNG mencapai 500 juta rupiah. Harga 1 unit truk berbahan bakar LNG (dedicated fuel) keluaran pabrik mencapai 1,3 Miliar Rupiah.

Secara global, bahan bakar LNG dan CNG telah banyak digunakan. NGV Global (dalam http://www.iangv.org/) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 16,7 juta kendaraan berbahan bakar gas yang beroperasi di dunia. Angka ini termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat. Sedangkan menurut NGVA Europe, pada tahun 2013, jumlah NGV dunia (tidak termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat) yang beroperasi telah mencapai 17.730.733 unit. Sedangkan CNG Station, L-CNG Station, dan LNG station yang beroperasi mencapai 24.036 unit. Negara pengguna NGV terbesar adalah Iran (18,61% dari total jumlah NGV dunia), Pakistan (15,74%) dan Argentina (12,66%). Sedangkan negara-negara yang memiliki jumlah pangsa penggunaan NGV terbesar terhadap total kendaraan di negaranya adalah Pakistan (79,67% terhadap jumlah total kendaraan), Bangladesh (62,12%), dan Armenia (55,45%).

Grafik 1. Jumlah total kendaraan berbahan bakar gas (natural gas vehicle) secara global sejak tahun 1991 – 2012
Sumber : http://www.iangv.org/

CH-‐IV International (2009, dalam ECE, 2015) menyebutkan bahwa untuk transportasi LNG di darat dengan menggunakan truk tanker (bukan sebagai bahan bakar kendaraan) tercatat telah terjadi 23 insiden dan kecelakaan semenjak 1971 di Amerika Serikat dan Eropa. Enam insiden di antaranya melibatkan kecelakaan dengan kendaraan lain. Sepuluh insiden terjadi karena truk terguling dimana kebanyakan tanpa terjadi hilangnya muatan. Dari insiden-insiden ini hanya 2 insiden yang berujung pada kebakaran. Hanya satu insiden (dari dua) yang menyebabkan kematian pengemudi akibat kebakaran LNG.

Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa penggunaan LNG dan CNG pada kendaraan merupakan aplikasi yang sudah cukup lama dilakukan, dan bukan suatu kegiatan baru. Teknologinya sudah mapan. Panduan-panduan dan standard-standard internasional telah banyak diterbitkan sebagai bahan acuan penggunaan CNG dan LNG yang efektif, efisien dan aman. Karenanya pemanfaatan CNG dan LNG sebagai bahan bakar altenatif minyak bensin dan solar merupakan solusi yang patut dipertimbangkan.

Segmentasi penggunaan LNG dan CNG pada jenis kendaraan tertentu juga telah banyak dikaji. Terdapat pula sejumlah best practice yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah seperti yang disusun oleh tim West Port (2013).

Gambar 1. Segmentasi pengguna LNG dan CNG untuk transportasi
Sumber : West Port, 2013.

Gambar 2. Pertimbangan pemilihan bahan bakar CNG atau LNG pada kendaraan jarak menengah dan medium duty
Sumber : West Port, 2013.

Grafik 2. Rasio densitas bensin (gasoline), LNG dan CNG dibandingkan diesel (solar)
Sumber : US Energy Infromation Administration

Penggunaan LNG pada kendaraan dapat menawarkan daya tampung gas yang lebih besar dibandingkan CNG. Gas dalam bentuk cair dapat dimuat lebih banyak dibandingkan dalam bentuk gas pada volume tangki yang sama. Pada LNG, gas dapat dimampatkan hingga 600 kali sedangkan pada CNG hanya dapat dimampatkan sekitar 140 hingga 250 kali. Hal ini menyebabkan kendaraan yang menggunakan LNG akan dapat menempuh perjalanan yang lebih jauh dibandingkan CNG pada ukuran volume tabung penyimpanan bahan bakar gas yang sama.

Hingga sejauh ini upaya pembangunan SPBG (CNG Station dan LNG station) di banyak wilayah Indonesia terus dilakukan. Bahkan penggunaan bahan bakar LNG untuk kendaraan telah mulai diuji coba pada kendaran pertambangan di Kalimantan Timur. Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2015 direncanakan akan dibangun 22 SPBG (CNG station) baru dimana nantinya total SPBG yang sudah dibangun di seluruh Indonesia akan mencapai 47 SPBG, sedangkan yang beroperasi hingga saat ini ada sekitar 28 SPBG. Dari jumlah itu pun tidak semuanya beroperasi dengan kapasitas penuh. Banyak SPBG juga tidak dapat beroperasi karena berbagai kendala. Salah satunya terkait perizinan seperti izin kepala daerah dan izin lingkungan. Selain itu, beberapa SPBG juga mendapatkan penolakan dari warga sehingga belum bisa beroperasi. Kendala teknis yang sering dihadapi misalkan belum banyaknya jaringan pipa gas yang tersedia dan penggunaan sistem mother and daughter station sistem yang membutuhkan biaya investasi dan operasi yang lebih mahal sehingga harga jual CNG lebih mahal dari CNG di online station. Nilai harga jual CNG yang diatur Pemerintah juga terlalu rendah sehingga mengurangi minat pebisnis. Namun jika harga terlalu mahal maka minat konsumen akan berkurang.


LNG station yang tersedia sampai sejauh ini adalah stasiun pengisian LNG di kilang LNG Bontang. Dari kilang LNG fueling station ini, LNG dari kilang Bontang dikirimkan melalui truk kontainer LNG ke sejumlah konsumen. Beberapa konsumen di antaranya adalah sejumlah pertambangan batubara di Kalimantan Timur. LNG digunakan sebagai bahan bakar sejumlah truk tambang. Sebelumnya truk tambang telah dikonversi menjadi berbahan bakar LNG-Diesel Dual Fuel sebagai pilot project (uji coba).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia