Selasa, 08 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (LPG/Vi-Gas)


Bahan bakar jenis LPG (Liquid Petroleum Gas) juga dapat dikategorikan sebagai bahan bakar gas, namun LPG merupakan jenis gas yang berbeda dengan gas alam. Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam. Propana dan butana, biasanya keduanya dicampur dalam komposisi tertentu.

Selain dikenal sebagai bahan bakar untuk konsumsi rumah tangga, LPG dapat digunakan juga sebagai bahan bakar pada kendaraan. Nilai oktan LPG untuk kendaraan diatur lebih tinggi dibandingkan LPG untuk rumah tangga. Di Indonesia bahan bakar LPG yang digunakan untuk transportasi dikenal dengan merek Vi-Gas. Secara global penamanaanya juga bermacam-macam sesuai dengan penamaan di masing-masing Negara. Bahan bakar LPG untuk kendaraan dikenal juga sebagai AutoGas, Automotive LP Gas, GLP (Gas Liquid Petroleum), GPL (Gas Petroleum Liquid), atau LGV (Liquid Gas for Vehicle).

LPG yang digunakan pada kendaraan ini berbentuk cair. Tekanan LPG diatur pada tekanan sekitar 8-14 bar dan temperatur sekitar -40 oC. Karena LPG untuk kendaraan diatur dalam bentuk cair maka daya tampung gasnya lebih besar dibandingkan CNG pada volume tabung yang sama.

Sistem pendistribusian LPG untuk kendaraan mirip dengan sistem pendistribusian BBM. LPG yang diproduksi dari kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam, disimpan di terminal penyimpanan LPG. LPG yang berbentuk cair ini dikirimkan ke SPBU dengan menggunakan truk tangki LPG. Di SPBU, LPG yang diangkut truk ditransferkan ke tangki LPG di SPBU. Kendaraan berbahan bakar LPG dapat mengisi LPG di SPBU-SPBU yang memiliki pelayanan Vigas.

Kendaraan Berbahan Bakar LPG

Menurut WLPGA, jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global telah mencapai angka 24.991.465 unit pada tahun 2013. Sedangkan total konsumsi LPG untuk kendaraan secara global mencapai 25,8 juta ton. (www.auto-gas.net). Sistem mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang bekerja dengan bahan bakar liquid petroleum gas (LPG) merupakan teknologi yang telah terbukti bekerja dengan baik layaknya mesin spark ignition pada kendaraan berbahan bakar bensin. LPG sebagai bahan bakar kendaraan tidak digunakan sendiri (single fuel) tetapi selalu berada dalam sistem bi-fuel. Kendaraan berbahan bakar bensin dapat ditambah sistem converter kit agar dapat menjadi kendaraan bi-fuel. Pada sistem ini, LPG dikombinasikan dengan bensin yang bekerja secara bergantian (sequential). Pada kendaraan bi-fuel terdapat dua sistem bahan bakar yang berarti terdapat dua tangki bahan bakar yang terpisah. Satu untuk bensin dan satu untuk LPG. Sistem bi-fuel memungkinkan LPG dan bensin dapat digunakan secara bergantian melalui switching cepat baik secara manual maupun otomatis. (IEA ETSAP, 2010).

Penggunaan LPG pada kendaraan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas – GHG) hingga 15% dibandingkan pada penggunaan bahan bakar petrol. Biaya konversi kendaraan bensin menjadi kendaraan bi-fuel LPG berkisar antara EUR € 1130 (15 juta-an rupiah) hingga EUR € 2740 (40 juta-an rupiah). (IEA ETSAP, 2010).


Grafik 3. Perkembangan jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Grafik 4. Perkembangan konsumsi LPG untuk kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Stasiun pengisain LPG untuk kendaraan (ViGas) di seluruh Indonesia terdapat sebanyak sekitar 21 unit SPBU yang melayani pengisian LPG (LGV filling station) per Juli 2015. Kebutuhan pasokan LPG untuk kendaraan juga kemungkinan akan bertambah seiring dengan pembagian 50.000 konverter kit LPG untuk perahu nelayan di beberapa wilayah pada tahun 2015.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Senin, 07 November 2016

Teori Asal Usul Minyak Bumi



Terdapat perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi. Secara umum teori-teori tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
  1. Teori pertama menyatakan bahwa minyak bumi berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa organisme tersebut mengendap di dasar lautan, kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu, dengan meningkatnya tekanan dan temperatur, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut dan mengubahnya menjadi minyak dan gas. Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori seperti air dalam batu karang. Minyak dan gas dapat juga bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkosentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap.
  2. Teori kedua yang cukup berkembang di antara para ilmuwan mengenai asal usul terjadinya minyak bumi adalah Teori Anorganik (Abiogenesis). Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali. Pada saat logam ini berada dalam kondisi bebas dan temperatur tinggi dan kemudian bersentuhan dengan CO2 maka terbentuklah asitilena. Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang menyatakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.

Terlepas dari perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi, manusia tetaplah membutuhkan usaha-usaha untuk dapat memanfaatkannya yang meliputi pengeboran, pengangkatan minyak dan pengolahan (refinery). Minyak bumi biasanya diangkat ke permukaan Bumi dalam bentuk emulsi minyak-air. Selanjutnya digunakan senyawa kimia khusus yang disebut demulsifier untuk memisahkan air dan minyak. Dari suatu proses eksplorasi pada sumur minyak bumi, maka sebagian besar akan dihasilkan minyak mentah (crude oil), dan terkadang ditemukan juga kandungan gas alam di dalamnya yang disebut gas alam bawaan (associated gas).




Minggu, 06 November 2016

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


Seperti diketahui, semenjak terjadinya krisis minyak global pada awal tahun 1970-an, kesadaran masyarakat internasional mengenai energy security semakin meningkat. Akhir-akhir ini, semakin terjadi ketidakseimbangan distribusi geografis antara negara-negara sumber energi dengan negara-negara konsumen energi. Permasalahan tersebut diperparah dengan semakin berkurangnya pasokan minyak pada negara-negara yang tergantung pada minyak. (Choucri, N., 1977). Semenjak itulah, energy security semakin diintegrasikan ke dalam debat-debat teori hubungan internasional.

Energy security telah menjadi fokus bahan diskusi dalam keilmuan Hubungan Internasional berhubung terdapat beberapa isu energi seperti harga energi yang tinggi, peningkatan permintaan dan kompetisi terhadap sumber daya energi yang terkonsentrasi secara geografis, ketakutan akan kelangkaan sumber daya atau habisnya sumber daya dalam waktu dekat, serta perhatian terhadap isu-isu sosial dan efek politis dari perubahan iklim. (Vivoda, 2011).

Menurut Daniel Yergin (2006), konsep energy security meliputi dua dimensi. Dimensi pertama yaitu dimensi keindependenan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya yang berasal dari sumber daya energi domestik. Dimensi kedua yaitu dimensi interdependensi global dimana pemenuhan energi setiap negara tak lepas dari pasokan energi dunia yang berasal dari, khususnya, negara-negara pengekspor yang kaya akan sumber minyak dan gas. Melalui dua dimensi ini, nampak bahwa energy security tidak semata-mata merupakan isu domestik suatu negara tetapi meliputi isu global dimana ketiadaan pasokan energi dapat berimplikasi pada stabilitas internasional, baik itu bidang ekonomi dan perdagangan maupun politik dan sosial.

Mason Willrich dalam bukunya yang berjudul Energy and World Politics (1975), memandang keamanan energi sesuai dengan konteks dan aktor yang mengimplementasikannya, yaitu negara importir dan eksportir energi. Bagi negara pengekspor energi, keamanan energi dapat diartikan sebagai jaminan akan akses pasar serta keamanan permintaan. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan energinya, negara pengekspor dapat melakukan beberapa strategi. Langkah awal adalah dengan berusaha membuat negara importir energi menjadi sangat tergantung pada energi yang diproduksi oleh negara eksportir.

Sedangkan bagi negara importir, keamanan energi diartikan sebagai jaminan atas pasokan energi yang cukup sehingga memungkinkan berfungsinya perekonomian nasional melalui tindakan yang dapat diterima secara politik. Untuk menjamin keamanan energi, maka negara pengimpor dapat melakukan tiga strategi berdasarkan efek yang ditimbulkan.

Pertama untuk mengurangi kerugian yang dapat timbul apabila terjadi gangguan pasokan energi, negara dapat melakukan stand-by rationing plans dan stockpiling. Rationing plans merupakan penghematan konsumsi energi untuk mengatasi serta memperpanjang waktu operasional jika terjadi masalah suplai energi. Sedangkan stockpiling merupakan penumpukan cadangan (stok/penimbunan) energi yang dapat digunakan pada saat-saat darurat sehingga masalah-masalah jangka pendek mengenai ketersediaan energi dapat teratasi.
Kedua, untuk memperkuat jaminan suplai energi dari luar, negara dapat melakukan tindakan diversifikasi sumber suplai luar negeri dan meningkatkan interdependensi (ketergantungan) negara pengimpor terhadap negara pengekspor energi. Peningkatan interdependensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu investasi jangka panjang (long-term investment) dan melalui program bantuan pembangunan (development assistance). Dengan meningkatnya ketergantungan negara pengekspor kepada negara pengimpor maka negara eksportir tidak akan gegabah untuk menginterupsi suplainya ke negara importir karena negara pengekspor pada akhirnya juga memiliki ketergantungan pada negara pengimpor.

Ketiga, untuk mengurangi ketergantungan akan suplai asing, sebuah negara dapat meningkatkan suplai energi domestiknya atau melalui peningkatan self-sufficiency (swasembada energi). Akan tetapi menurut Willrich, cara ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki sumberdaya energi yang cukup besar. Oleh karena itu, Willrich membagi definisi self-sufficiency menjadi tiga, yaitu: bergantung secara penuh pada sumber daya domestik, bergantung pada sumberdaya domestik secara tidak terbatas setelah melewati suatu masa transisi, dan bergantung secara esklusif pada sumber daya domestik dengan waktu yang terbatas.
Berdasarkan tiga tindakan spesifik yang dijabarkan oleh Willrich maka dapat disimpulkan bahwa tindakan pertama dan ketiga merupakan cara untuk mengatasi kerentanan yang berasal dari dalam negeri. Negara importir dapat menerapkan strategi domestik untuk menjaga keamanan energinya dengan cara melakukan rationing, stockpiling, serta dengan cara meningkatkan self sufficiency.
Sedangkan sebagai negara importir, tentunya impor energi dilakukan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengatasi kerentanan dari luar negeri atau kerentanan suplai energi asing, negara importir dapat melakukan diversifikasi suplai dan meningkatkan interdependensi negara eksportir dengan cara memberikan bantuan pembangunan atau dengan cara investasi.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 05 November 2016

HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR TRANSPORTASI


Gambar 1. Toyota Mirai yang dilaunching tahun 2015 mrupakan salah satu kendaraan berbahan bakar hidorgen fuel cell yang dijula secara komersial. Toyota Mirai didasarkan pada konsep kendaraan Toyota FCV.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Toyota_FCV_reveal_25_June_2014_-_by_Bertel_Schmitt_02.jpg


Aplikasi hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan merupakan fokus riset dan pengembangan fuel cell. Keuntungan yang dapat diberikan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan listrik adalah tidak adanya emisi yang dihasilkan, adanya kemungkinan produksi domestik, dan dapat memberikan efisiensi yang sangat tinggi. (www.eia.org). Bahan bakar hidrogen dapat diisikan ke Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dalam waktu berkisar antara 3-5 menit. Jarak tempuh FCEV dapat mencapai 300 – 400 mil (480 - 640 km). (Joan Ogden dkk., 2014).

Hingga sejauh ini, pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi masih akan menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan tersebut meliputi isu teknis, biaya infrastruktur dan harga kendaraan yang sangat mahal, teknologi penyimpanan yang bertekanan sangat tinggi, dan keamanan. Walaupun demikian, kenyataannya telah terdapat stasiun pengisian bahan bakar hidrogen dan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang telah berada pada tahapan komersial. Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar hidrogen telah dibangun di Amerika Serikat dan juga Jepang. Sejumlah pabrikan kendaraan juga telah memperkenalkan kendaraan hidrogen misalkan Hyundai, Toyota, Honda, dan Mercedez-Benz.

Hal ini semua patut menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam menyusun strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan yang ke depannya dapat mendukung pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi di dalam negeri. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar transportasi merupakan solusi masa depan terhadap penggunaan kendaraan yang bebas emisi dan juga sangat efisien karena dapat menawarkan daya jangkau kendaraan yang lebih jauh. Pada skala komersial hidrogen akan menjadi suatu aplikasi yang umum dalam beberapa waktu ke depan.

Terdapat sejumlah cara untuk mengirimkan hidrogen ke stasiun pengisian sehingga dapat mengisi kendaraan. Hidrogen dapat diproduksi secara lokal di pabrik besar, disimpan sebagai gas bertekanan atau sebagai gas cair cryogenic (pada Temperatur -253 oC), dan didistribusikan menggunakan truk atau pipa gas. Hidrogen juga dapat diproduksi di lokasi stasiun pengisian (bahkan di rumah dan fasilitas komersial) dengan menggunakan bahan baku gas alam, alkohol (methanol atau ethanol), atau listrik. Saat ini, teknologi pendistribusian hidrogen telah menjadi teknologi yang umum di bisnis perniagaan hidrogen dan industri kimia. Sebagian besar hidrogen industri diproduksi dan digunakan di lokasi, namun beberapa di antaranya diantarkan ke pengguna yang jaraknya relatif jauh dengan menggunakan pipa atau truk. (Joan Ogden dkk., 2014).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 500 buah mobil berbahan bakar fuel cell yang beroperasi. Sebagain besar dari kendaraan tersebut berupa bus dan mobil bermesin motor elektrik yang berbahan bakar fuel cell. Sedikit di antaranya yang memiliki sistem pembakaran hidrogen secara langsung. Kendala perkembangan jumlah kendaraan fuel cell adalah harganya yang sangat mahal dan masih langkanya fasilitas pengisian. (www.eia.org).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 50 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Namun hanya sekitar seperlimanya yang tersedia untuk konsumen umum, dan 40% di antaranya terletak di wilayah California. Jumlah kendaraan berbahan bakar hidrogen masih terbatas. Ada kecenderungan masyarakat enggan membeli mobil hidrogen dengan alasan jumlah stasiun pengisian hidrogen belum banyak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan juga enggan berinvestasi untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen selama populasi mobil hidrogen yang beroperasi belum banyak. Hal ini menimbulkan permasalahan “ayam dan telur”, sehingga tidak ada di antara kedua pihak, baik di sisi permintaan (demand) dan pasokan (supply), yang berinisiatif untuk memulai lebih dulu. (www.eia.org).

Pada bulan Mei 2014, California Energy Commission mengalokasikan dana sebesar 46,6 juta dolar untuk membantu pengembangan 28 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen untuk umum di California. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan kendaraan fuel cell yang bebas emisi dan ramah lingkungan kepada masyarakat. (www.eia.org).

Di California, Amerika Serikat, terdapat kebijakan mengenai mandat emisi nol (zero emission mandate), dimana hal ini ditujukan agar pabrikan kendaraan segera memperkenalkan Fuel Cell Electric Vehicles (FCEVs) ke pasar. California Fuel Cell Partnership memproyeksikan FCEVs akan terus berkembang pesat, dari yang saat ini beroperasi sekitar 100 unit menjadi 6.500 unit pada 2017 dan 18.000 unit pada 2020. Hingga sejauh ini pabrikan yang telah resmi mengeluarkan FCEV adalah Hyundai dengan merek Tucson berjenis sport utility vehicle (SUV). Honda, Toyota, dan Mecedes-Benz berencana mengikuti untuk memasarkan FCEV light duty (kerja ringan) pada 2016. (AGA, 2014).

Perkiraan komponen biaya untuk bahan baku hidrogen saat ini adalah sekitar USD $ 4 – USD $ 12 untuk memproduksi bahan bakar hidrogen yang setara dengan satu galon bensin. Semakin murahnya biaya bahan baku dan peningkatan teknologi pemprosesan dan penyimpanan dari waktu ke waktu memungkinkan hidrogen menjadi bahan bakar dengan margin keuntungan yang tinggi. Di Amerika Serikat, dispenser hidrogen diatur agar satuan pembelian bahan bakar hidrogen disertifikasi dalam satuan kilogram (Kg), dimana pada tiap 1 Kg Hidrogen ini memiliki kemiripan kesetaraan energi dengan satu galon bensin. Hal ini dilakukan agar konsumen dapat melakukan perbandingan keekonomian langsung antara bahan bakar hidrogen dan bensin. (AGA, 2014).

Secara paralel, terdapat juga komitmen penganggaran dana hingga USD $ 20 juta setiap tahun untuk pembangunan setidaknya 100 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cell station). California Environmental Protection Agency and Air Board menargetkan 51 hydrogen fuell cell station akan beroperasi pada 2016. (AGA, 2014).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Jumat, 04 November 2016

KEPEMIMPINAN LEVEL 5


Di dalam buku Good to Great karya Jim Collins disebutkan bahwa salah satu faktor penting yang dapat merubah suatu perusahaan yang bagus menjadi perusahaan yang hebat adalah adanya Kepemimpinan Level 5. 

Jim collins meyakini bahwa temuannya mengenai kepemimpinan level 5 ini merupakan temuan empiris bukan temuan ideologis. Dari sebanyak 1.435 perusahaan yang muncul di Fortune 500, Jim Collins dan timnya menyeleksi perusahaan-perusahaan tersebut sehingga tersisa hanya 11 perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini memiliki kesamaan yaitu mampu membuat lompatan kemajuan yang signifikan dari yang awalnya baik menjadi hebat dan mempertahankan kondisi ini selama setidaknya 15 tahun. Kesebelas perusahaan tersebut memiliki kepemimpinan level 5 di posisi-posisi kunci perusahaan termasuk CEO selama periode transisi penting. 

Yang dimaksud Level 5 adalah hierarki lima tingkat kepemimpinan eksekutif. Level 5 merupakan kualitas kepemimpinan tertinggi. Secara sederhana karakteristik kepemimpinan level 5 adalah campuran paradoksal antara kerendahan hati dan tekad profesional. Para pemimpin yang tergolong pemimpin level 5 memiliki sifat ambisius layaknya sifat pemimpin secara umum, namun ambisi mereka ini pertama-tama ditujukan untuk perusahaan, bukan diri sendiri.

Pemimpin level 5 memiliki sifat rendah hati yang memikat, tidak menonjolkan diri dan biasa-biasa saja. 

Pemimpin Level 5 juga memiliki sikap yang membuka jalan bagi penerusnya untuk meraih kesuksesan yang lebih besar lagi di generasi-generasi berikutnya. 

Hal ini berkebalikan dengan pemimpin level 4 yang cenderung bersifat egosentris. Pemimpin level 4 sama sekali tidak memperhatikan penyiapan penerus mereka sehingga selepas masa kepemimpinan mereka, perusahaan cenderung menuju kegagalan. Mereka cenderung berupaya membangun keagungan diri sendiri dan tidak menyisakannya untuk generasi berikutnya. Pemimpin level 4 cenderung bersikap seperti selebritis, senang menerima pujian atas kesuksesan yang dicapai perusahaan, dan selalu melihat keluar dari diri mereka untuk menyalahkan faktor lain atas hasil yang mengecewakan.

Pemimpin level 5 memiliki semangat dan tekad kuat untuk memberikan hasil yang lestari bagi perusahaan. Mereka akan melakukan apapun yang diperlukan agar bisa membuat pencapaian perusahaan menjadi luar biasa, tak perduli betapa besar atau sulit keputusan yang harus diambil.

Pemimpin level 5 juga menunjukkan ketekunan ala pekerja lapangan, dan tidak banyak pamer aksi. 

Ketika perusahaan mencapai kesuksesannya maka para pemimpin level 5 menisbatkan kesuksesan tersebut kepada selain diri mereka, misal kepada tim atau kepada keberuntungan dan nasib baik. Namun ketika kondisi perusahaan menjadi buruk maka mereka bercermin pada diri sendiri dan lalu menyalahkan diri sendiri dan mengambil tanggung jawab penuh atas kegagalan tersebut. 

Salah satu tren paling merusak dalam sejarah masa kini adalah adanya kecenderungan untuk memilih pemimpin selebritis yang mempesona dan menyingkirkan pemimpin level 5 potensial.

Jim Collins meyakini bahwa ada dua kategori manusia. Kategori pertama adalah orang-orang yang sampai kapanpun tidak akan mampu menundukkan sikap egoistis mereka di bawah kepentingan yang lebih besar. Artinya kelompom ini tidak akan mampu menjadi pemimpin level 5. Kategori kedua adalah orang-orang yang memiliki potensi berevolusi ke Level 5. 

Dengan mengetahui karakteristik kepemimpinan level 5 ini, diharapkan kita bisa mengembangkan diri kita menjadi pemimpin level 5. Hal ini patut dicoba. Selanjutnya, untuk bisa membuat sebuah perusahaan bagus menjadi hebat, terdapat beberapa hal lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemimpin level 5 yakni : siapa dulu baru apa, menghadapi fakta keras, konsep landak, kultur disiplin, akselerator teknologi. 

Hal-hal lanjutan ini akan kita bahas di artikel-artikel berikutnya. 


Kamis, 03 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (CNG & LNG)

Dalam terminologi ini, yang dimaksud bahan bakar gas untuk kendaraan adalah bahan bakar yang berupa gas alam (natural gas) dan juga gas sampingan pengolahan minyak/petroleum atau disebut sebagai LPG (Liquid Petroleum Gas). Namun di antara keduanya terdapat perbedaan dari sisi komposisi pembentuk gasnya. Kandungan utama gas alam adalah gas metana atau methane (CH4). Sedangkan Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam.

CNG dan LNG

Terdapat dua pilihan teknologi yang tersedia yang berhubungan dengan cara penyimpanan dan pendistribusian gas alam (natural gas) dan juga untuk aplikasi sebagai bahan bakar kendaraan.
  1. Teknologi pertama, gas dikompresi hingga mencapai tekanan kurang lebih 200 bar dan diisikan kepada tabung-tabung pada kendaraan yang mampu mengakomodir tekanan gas yang tinggi. Teknologi ini disebut Compressed Natural Gas atau dikenal sebagai CNG.
  2. Teknologi kedua, gas alam dicairkan pada temperatur cryogenic atau dingin ekstrem (-160oC) kemudian diisikan ke tabung/tangki cryogenic yang ada pada kendaraan. Teknologi ini disebut sebagai liquefied natural gas (LNG).

LNG diproduksi di pabrik LNG (LNG plant). Dalam proses pencairan gas alam menjadi LNG, dibutuhkan proses pengurangan kandungan gas-gas pengotor pada gas alam agar gas alam dapat dicairkan dengan aman dan lancar. Sedangkan CNG diproduksi di CNG plant. Gas pipa dialirkan ke kompresor untuk ditekan hingga mencapai tekanan tertentu dan kemudian gas disimpan di tabung bertekanan tinggi. CNG juga dapat diproduksi dari gas alam yang berasal dari regasifikasi LNG. Pembangunan stasiun pengisian LNG untuk kendaraan akan relatif jauh lebih mahal dibandingkan biaya pembangunan stasiun pengisian CNG (CNG station/SPBG). Selain proses pencairan yang mahal, proses penyimpanan LNG di stasiun pengisian juga mahal karena membutuhkan tangki cryogenic, tangki khusus yang dapat menahan temperatur LNG yang -165oC.

Rantai pasokan (supply chain) stasiun pengisian LNG dan CNG pada dasarnya hampir sama. Sistem pendistribusian CNG memiliki beberapa pilihan metode. Ini dapat dilihat dari jenis CNG station atau SPBG. Bisa berupa CNG online station, mother and daughter station, mobile refueling unit, dan ecostation.
  1. CNG online station. Pada CNG jenis pertama ini gas alam disalurkan melalui pipa menuju SPBG. Di SPBG gas dikompresi hingga tekanan mencapai 200 – 250 bar dan kemudian diisikan ke kendaraan pengguna CNG melalui dispenser CNG.
  2. Mother and daughter station. Sistem SPBG jenis kedua terdiri dari Mother Station dan Daughter Station. Mother station sama seperti SPBG jenis pertama (online station). Gas alam dialirkan melalui pipa ke mother station dan di dilakukan pengkompresian gas menjadi CNG. CNG yang diproduksi oleh mother station kemudian diisikan ke truk trailer / kontainer CNG yang kemudian truk tersebut mengantarkan CNG ke daughter station. Truk kontainer CNG mentransfer CNG yang dimuatnya ke daugther station, lalu daughter station mengisikan CNG ke kendaraan pengguna akhir CNG.
  3. Mobile refueling unit (MRU). SPBG jenis ini dapat disebut juga SPBG yang dapat bergerak (portable). MRU bentuknya berupa kontainer yang di dalamnya berisi peralatan-peralatan pemprosesan dan pengisian CNG yang di antaranya terdiri dari dryer dan filter, kompresor, tabung CNG, dan dispenser. Kontainer CNG ini dapat ditarik oleh truk untuk diantarkan ke lokasi yang diinginkan yakni ke pengguna CNG secara langsung.
  4. Hybrid station, Co-Location atau Ecostation. Biasanya merupakan penyebutan bagi SPBG yang terintegrasi (dalam satu lokasi) dengan stasiun pengisian bahan bakar lain seperti SPBU bensin dan diesel. SPBG pada ecostation dapat berupa CNG online station, daughter station, atau MRU.

Sedangkan untuk sistem pengisian bahan bakar LNG akan dibutuhkan pasokan LNG dari kilang LNG (pabrik pencairan gas alam). LNG yang dihasilkan oleh kilang LNG dapat dikirimkan ke stasiun pengisian bahan bakar LNG (LNG refueling station) terdekat melalui pipa penyalur LNG untuk langsung melakukan pengisian pada kendaraan. LNG yang dihasilkan kilang LNG juga dapat dikirimkan ke LNG refueling station yang jaraknya cukup jauh dari kilang LNG, baik dengan menggunakan truk kontainer LNG, kapal kontainer LNG, kereta api kontainer LNG, atau paduan dari ketiga moda transportasi tersebut.

LNG refueling station juga dapat berperan sebagai LCNG station, yang merupakan perpaduan LNG refueling station dan CNG refueling station. LCNG station dapat melakukan pengisian LNG dan CNG. LNG yang disimpan pada LCNG station, diregasifikasi dengan menggunakan vaporizer dan kemudian diatur tekanannya sehingga memenuhi tekanan CNG, lalu melalui dispenser, CNG diisikan ke kendaraan CNG.

Kendaraan Berbahan Bakar CNG dan LNG

Teknologi penerapan BBG pada kendaraan, baik LNG dan CNG, secara umum adalah sama, yang membedakan adalah cara penyimpanan gas pada kendaraan. Kendaraan yang menggunakan bahan bakar CNG, akan menggunakan tabung bertekanan tinggi untuk menyimpan CNG. Pada kendaraan yang menggunakan LNG akan menggunakan tanki cryogenic untuk menyimpan LNG yang memiliki temperatur dingin ekstrem.

Penerapan BBG pada kendaraan memiliki beberapa pilihan teknologi, dapat berupa sistem bi-fuel, dual fuel atau melalui modifikasi mesin. Untuk mesin berbahan bakar bensin umumnya teknologi yang dipakai adalah sistem bi-fuel. Perangkat converter kit bi-fuel dipasang pada kendaraan. Dengan adanya sistem bi-fuel pada kendaraan, bensin dan gas dapat digunakan secara bergantian (sequential) yang dapat saling dipertukarkan penggunaannya dengan cepat melalui proses switching, baik secara manual maupun secara otomatis.

Untuk kendaraan bermesin diesel, aplikasi BBG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mengkonversi sistem bahan bakar menjadi sistem dual fuel atau dengan cara modifikasi mesin diesel menjadi mesin yang menggunakan bahan bakar gas secara penuh (100%). Pada sistem dual fuel, dilakukan pemasangan converter kit gas sehingga minyak diesel dan gas dapat digunakan secara bersama (dicampur) di ruang bakar. Sedangkan pada teknologi modifikasi mesin, mesin diesel dibongkar dan dimodifkasi agar dapat menggunakan bahan bakar gas secara penuh sehingga tidak dapat lagi menggunakan bahan bakar minyak diesel.

Pada teknologi CNG, gas disimpan di tabung silinder bertekanan sekitar 200 bar. Ketika CNG hendak digunakan dan dikrimkan ke mesin, maka tekanannya diturunkan sehinggga sesuai yang dibutuhkan oleh sistem mesin.

Pada teknologi LNG, gas dalam bentuk cair dengan temperatur sekitar -160oC disimpan di tanki cryogenic pada kendaraan, semacam termos yang dapat menjaga temperatur LNG agar tetap dingin selama mungkin dan tidak menguap. Ketika LNG hendak digunakan dan dialirkan ke ruang mesin, maka LNG dialirkan melalui vaporizer terlebih dahulu agar fasenya yang cair berubah menjadi gas dan kemudian diatur tekanannya agar sesuai dengan sistem mesin.

Berdasarkan pengalaman, biaya peralatan dan pemasangan converter kit kendaraan pribadi berbahan bakar bensin menjadi sistem bi-fuel CNG berkisar antara 15 – 25 juta rupiah. Sedangkan untuk konversi truk berbahan bakar diesel menjadi sistem dual fuel CNG berkisar antara 100 – 200 juta rupiah. Biaya untuk memodifikasi truk/bis bermesin diesel menjadi mesin pengguna BBG secara penuh, berdasarkan informasi, biayanya sekitar 200 juta rupiah.

Pada teknologi LNG, biaya peralatan dan pemasangan converter kit cenderung lebih mahal dibandingkan teknologi CNG karena harga tangki cryogenic yang sangat mahal. Biaya konversi 1 unit Bus menjadi berbahan bakar LNG system dual fuel mencapai hampir USD $ 30.000. Berdasarkan pengalaman lainnya, biaya konversi truk menjadi sistem dual fuel LNG mencapai 500 juta rupiah. Harga 1 unit truk berbahan bakar LNG (dedicated fuel) keluaran pabrik mencapai 1,3 Miliar Rupiah.

Secara global, bahan bakar LNG dan CNG telah banyak digunakan. NGV Global (dalam http://www.iangv.org/) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 16,7 juta kendaraan berbahan bakar gas yang beroperasi di dunia. Angka ini termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat. Sedangkan menurut NGVA Europe, pada tahun 2013, jumlah NGV dunia (tidak termasuk kereta api, kapal laut, dan pesawat) yang beroperasi telah mencapai 17.730.733 unit. Sedangkan CNG Station, L-CNG Station, dan LNG station yang beroperasi mencapai 24.036 unit. Negara pengguna NGV terbesar adalah Iran (18,61% dari total jumlah NGV dunia), Pakistan (15,74%) dan Argentina (12,66%). Sedangkan negara-negara yang memiliki jumlah pangsa penggunaan NGV terbesar terhadap total kendaraan di negaranya adalah Pakistan (79,67% terhadap jumlah total kendaraan), Bangladesh (62,12%), dan Armenia (55,45%).

Grafik 1. Jumlah total kendaraan berbahan bakar gas (natural gas vehicle) secara global sejak tahun 1991 – 2012
Sumber : http://www.iangv.org/

CH-‐IV International (2009, dalam ECE, 2015) menyebutkan bahwa untuk transportasi LNG di darat dengan menggunakan truk tanker (bukan sebagai bahan bakar kendaraan) tercatat telah terjadi 23 insiden dan kecelakaan semenjak 1971 di Amerika Serikat dan Eropa. Enam insiden di antaranya melibatkan kecelakaan dengan kendaraan lain. Sepuluh insiden terjadi karena truk terguling dimana kebanyakan tanpa terjadi hilangnya muatan. Dari insiden-insiden ini hanya 2 insiden yang berujung pada kebakaran. Hanya satu insiden (dari dua) yang menyebabkan kematian pengemudi akibat kebakaran LNG.

Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa penggunaan LNG dan CNG pada kendaraan merupakan aplikasi yang sudah cukup lama dilakukan, dan bukan suatu kegiatan baru. Teknologinya sudah mapan. Panduan-panduan dan standard-standard internasional telah banyak diterbitkan sebagai bahan acuan penggunaan CNG dan LNG yang efektif, efisien dan aman. Karenanya pemanfaatan CNG dan LNG sebagai bahan bakar altenatif minyak bensin dan solar merupakan solusi yang patut dipertimbangkan.

Segmentasi penggunaan LNG dan CNG pada jenis kendaraan tertentu juga telah banyak dikaji. Terdapat pula sejumlah best practice yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah seperti yang disusun oleh tim West Port (2013).

Gambar 1. Segmentasi pengguna LNG dan CNG untuk transportasi
Sumber : West Port, 2013.

Gambar 2. Pertimbangan pemilihan bahan bakar CNG atau LNG pada kendaraan jarak menengah dan medium duty
Sumber : West Port, 2013.

Grafik 2. Rasio densitas bensin (gasoline), LNG dan CNG dibandingkan diesel (solar)
Sumber : US Energy Infromation Administration

Penggunaan LNG pada kendaraan dapat menawarkan daya tampung gas yang lebih besar dibandingkan CNG. Gas dalam bentuk cair dapat dimuat lebih banyak dibandingkan dalam bentuk gas pada volume tangki yang sama. Pada LNG, gas dapat dimampatkan hingga 600 kali sedangkan pada CNG hanya dapat dimampatkan sekitar 140 hingga 250 kali. Hal ini menyebabkan kendaraan yang menggunakan LNG akan dapat menempuh perjalanan yang lebih jauh dibandingkan CNG pada ukuran volume tabung penyimpanan bahan bakar gas yang sama.

Hingga sejauh ini upaya pembangunan SPBG (CNG Station dan LNG station) di banyak wilayah Indonesia terus dilakukan. Bahkan penggunaan bahan bakar LNG untuk kendaraan telah mulai diuji coba pada kendaran pertambangan di Kalimantan Timur. Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2015 direncanakan akan dibangun 22 SPBG (CNG station) baru dimana nantinya total SPBG yang sudah dibangun di seluruh Indonesia akan mencapai 47 SPBG, sedangkan yang beroperasi hingga saat ini ada sekitar 28 SPBG. Dari jumlah itu pun tidak semuanya beroperasi dengan kapasitas penuh. Banyak SPBG juga tidak dapat beroperasi karena berbagai kendala. Salah satunya terkait perizinan seperti izin kepala daerah dan izin lingkungan. Selain itu, beberapa SPBG juga mendapatkan penolakan dari warga sehingga belum bisa beroperasi. Kendala teknis yang sering dihadapi misalkan belum banyaknya jaringan pipa gas yang tersedia dan penggunaan sistem mother and daughter station sistem yang membutuhkan biaya investasi dan operasi yang lebih mahal sehingga harga jual CNG lebih mahal dari CNG di online station. Nilai harga jual CNG yang diatur Pemerintah juga terlalu rendah sehingga mengurangi minat pebisnis. Namun jika harga terlalu mahal maka minat konsumen akan berkurang.


LNG station yang tersedia sampai sejauh ini adalah stasiun pengisian LNG di kilang LNG Bontang. Dari kilang LNG fueling station ini, LNG dari kilang Bontang dikirimkan melalui truk kontainer LNG ke sejumlah konsumen. Beberapa konsumen di antaranya adalah sejumlah pertambangan batubara di Kalimantan Timur. LNG digunakan sebagai bahan bakar sejumlah truk tambang. Sebelumnya truk tambang telah dikonversi menjadi berbahan bakar LNG-Diesel Dual Fuel sebagai pilot project (uji coba).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia