Senin, 14 November 2016

Wasiat Rasulullah Kepada Ibnu Abbas


Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi yang selalu menjadi rujukan sahabat-sahabat lain dalam keilmuan. Dalam suatu riwayat hadis disebutkan bahwa beliau ketika masih kanak-kanak sempat mendapat wasiat dari Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.

بْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan suatu hari bahwa beliau berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau (Rasulullah) bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. (Sunan At Trmidzi no. 2516, Imam Ahmad bin Hambal di dalam kitab Al Musnad, dll)

Dari pesan Rasulullah kepada Ibnu Abbas ini kita bisa mempelajari beberapa hal:

Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Maksudnya adalah kita harus senantiasa menjaga diri kita agar selalu dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Jika kita bisa konsisten melakukan hal ini maka Allah akan menjaga kita. Bentuk penjagaan Allah dapat berupa terjaganya agama dan iman kita, sehingga kita akan semakin mudah dan ringan dalam beribadah kepada-Nya. Bentuk penjagaan Allah dapat juga berupa terjaganya urusan keduniaan kita misal terjaga kesehatan, tercukupinya harta, keselamatan dan kebahagiaan bersama keluarga, dan lain-lain.

Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Maksudnya adalah jika kita menjaga diri kita agar senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya maka Allah akan berada didepan kita untuk mengarahkan kita kepada kebaikan dan mencegah kita dari jalan keburukan.

Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah. Maksud kalimat ini adalah kita sebagai hamba Allah haruslah senantiasa meminta hanya kepada Allah. Kita tidak boleh meminta kepada selain Allah dan menganggap yang selain Allah itu memiliki kekuatan yang bisa mengabulkan permintaan kita.

Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Kalimat ini menunjukkan bahwa harus hanya kepada Allah sajalah manusia hendaknya meminta pertolongan. Karena pada hakekatnya hanya Allah saja yang mampu memberikan pertolongan kepada diri kita. Semua yang terjadi pada diri kita baik yang berupa kebaikan atau keburukan adalah atas izin Allah. Jadi hanya Allah sajalah yang bisa merubah kondisi kita. Sedangkan manusia hanya bisa mengusahakannya.

Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Maksud kalimat ini adalah keuntungan atau kebaikan yang kita dapatkan telah ditentukan oleh Allah. Walaupun kita telah berusaha sekuat tenaga atau orang-orang dan seluruh mahluk bersatu untuk membantu kita, tetapi jika kebaikan/keuntungan yang kita harapkan itu bukanlah takdir kita maka kita tidak akan pernah mendapatkannya.

Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Sama halnya dengan kalimat sebelumnya, jika misalkan seluruh dunia hendak mencelakai kita, namun ternyata itu bukan ketetapan yang akan terjadi kita maka sampai kapanpun mereka tidak akan mampu membahayakan kita.

Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Maksudnya adalah takdir kebaikan atau keburukan yang menimpa kita telah ditetapkan oleh Allah. Jadi tidak alasan untuk berkeluh kesah.

Minggu, 13 November 2016

TEKNOLOGI PENYIMPANAN ENERGI LISTRIK


Fasilitas penyimpanan energi merupakan salah satu cara dalam meningkatkan fleksibilitas sistem kelistrikan. Namun demikian, bagi negara-negara yang akan banyak menggunakan sumber energi terbarukan perlu memahami pilihan-pilihan teknologi penyimpanan energi listrik yang cukup bervariasi ini. Fasilitas penyimpanan energi listrik janganlah dipandang sebagai solusi tunggal dari semua permasalahan kelistrikan. Keberadaan teknologi ini harus disambut sebagai salah satu solusi untuk mendukung sektor kelistrikan yang bersih, handal, efisien, dan efektif biaya. Hal ini dalam rangka memfasilitasi penyebaran dan pengintegrasian sumber energi terbarukan pada jaringan listrik. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi pertimbangan dan rujukan bagi upaya penggunaan teknologi penyimpanan energi listrik:
  1. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 30% pada total pemanfaatan energi, yang dipadukan dengan ambisi penggunaan energi terbarukan yang lebih besar lagi.
  2. Negara-negara dengan pangsa pemanfaatan energi terbarukan (terutama energi matahari dan angin) melebihi 20%, dengan kondisi infrastruktur jaringan listrik yang terbatas.
  3. Negara-negara kepulauan, atau negara yang memiliki banyak pulau dimana sistem kelistrikannya terpencil dan tidak terhubung dengan jaringan listrik umum (off-grid).
(IRENA, 2015a).

Fasilitas penyimpanan energi listrik terdiri dari sejumlah teknologi yang berada pada tahapan pengembangan yang bervariasi. Teknologi penyimpanan energi yang paling matang adalah teknologi pumped hydropower. Teknologi ini umumnya digunakan untuk periode charge dan discharge yang lebih lama (beberapa jam). Selama lebih sari satu abad, teknologi penyimpanan energi pada sektor kelistrikan telah didominasi oleh satu jenis teknologi, yaitu penyimpanan pumped hydropower. Pumped hydropower merepresentasikan mayoritas teknologi penyimpanan energi yang digunakan saat ini yakni sekitar 99%. (IEA, 2014b; dalam IRENA, 2015a). Teknologi pumped hydropower ini merupakan teknologi yang telah terbukti baik secara teknis maupun secara keekonomian di seluruh dunia.

Sebaliknya, teknologi penyimpanan energi dengan menggunakan batere merupakan pasar baru yang sedang berkembang. Contoh teknologi penyimpanan energi lain yang sedang berkembang adalah penyimpanan energi udara yang terkompresi, rodagaya (flywheel), listrik ke gas (power to gas), dan supercapacitor. (Fuch dkk, 2012; IRENA, 2012a; dalam IRENA, 2015a).

Energi listrik dapat juga disimpan dalam bentuk panas (thermal) dengan menggunakan boiler, pompa panas (heat pump), es atau air pendingin. Penyimpanan thermal dapat diintegrasikan dengan produksi combined heat and power (CHP) dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan sumber daya energi angin. (Sorknaes dkk, 2013; dalam IRENA, 2015a). Pilihan-pilihan fasilitas penyimpanan energi thermal seringkali lebih murah daripada teknologi penyimpanan energi lain. Namun, terdapat kendala berupa sulitnya untuk mengubah kembali panas yang disimpan menjadi energi listrik. (IRENA, 2013b; dalam IRENA, 2015a). Secara khusus, energi listrik yang dikonversi menjadi media thermal digunakan pada waktu yang lain sebagai energi thermal, baik untuk pemanas ruangan, pendingin, atau untuk keperluan proses industri.

Dari perspektif teknologi, teknologi batere sangat mapan dan terdapat ratusan supplier yang menawarkan sistem batere yang handal. Namun demikian, terdapat sejumlah rintangan yang harus dipecahkan sebelum batere dapat diintegrasikan secara penuh sebagai pilihan utama di sektor kelistrikan. Rintangan ini meliputi isu kinerja dan keamanan (safety), halangan regulasi, dan penerimaan utilitas.

Pemanfaatan batere telah tersebar luas dalam menyokong pengintegrasian energi terbarukan dalam sistem kelistrikan, khususnya energi matahari (solar) dan energi angin. Kedua bentuk energi ini (angin dan matahari) dikenal sebagai variable renewable energy (VRA) karena produksi listrik dari kedua sumber energi ini cukup berfluktuasi (tidak stabil) tergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Tren yang berkembang hingga sejauh ini adalah harga batere cenderung terus turun, sedangkan kinerja teknologinya semakin meningkat. Perkembangan teknologi batere terbaru mengindikasikan batere semakin lama semakin aman (safe) dan semakin efisien. Batere sekunder atau batere yang dapat di-charge ulang, menyimpan energi listrik secara kimiawi. Terdapat jenis batere sekunder temperatur rendah (lithioum-ion, lead-acid, nickel-cadmium), temperatur tinggi (sodium nickel chloride, sodium sulphur) atau redox flow (vanadium, zinc bromine). (Fuchs dkk, 2012; dalam IRENA, 2015).

Wilayah kepulauan menyimpan potensi untuk menjadi pasar utama teknologi batere. Teknologi mungkin diutilisasi untuk membantu mengintegrasikan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembangkit listrik dari energi fosil seperti diesel dan gas, dan pada beberapa kasus juga lebih murah. Kebanyakan pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkitan listrik memiliki biaya levelisasi (levelised cost) antara USD $ 0,05 – 0,25/kWh. (IRENA, 2013c; dalam IRENA, 2015a).

Penyimpanan batere di rumah tangga memungkinkan peningkatan konsumsi listrik secara mandiri dari teknologi solar PV. Batere juga dapat membantu menghilangkan keterbatasan kapasitas jaringan listrik lokal. Hal ini diselesaikan dengan penggunaan batere untuk menyesuaikan permintaan pengguna listrik dengan produksi listrik dari energi matahari. Beberapa sistem batere untuk rumah tangga, dijual dengan harga sekitar EUR € 1000/kWh berdasar data pada akhir 2014. Sumber lain menyatakan harga batere adalah sekitar EUR € 200/kWh dan lama pengembalian modal investasi (payback time) sekitar 6 – 8 tahun untuk negara-negara Eropa (Parkinson, 2014; dalam IRENA, 2015a).

Batere dapat ditempatkan pada lokasi pusat produksi listrik dari energi angin dan matahari agar dapat memperhalus output listrik yang dibangkitkan ketika ditransferkan ke jaringan listrik. Betere juga dapat menyimpan kelebihan produksi listrik dari energi terbarukan untuk digunakan pada waktu yang lain. Proses ini, sesuai digunakan pada periode-periode dimana permintaan listrik sedang tinggi.

Dukungan pemerintah telah menjadi kunci pendorong untuk pelaksanaan proyek demonstrasi batere di seluruh dunia. Hal ini juga telah membangun landasan yang produktif pada pengetahuan operasional, data, dan partisipasi aktif industri. Amerika Serikat, China, Jepang, dan Jerman merupakan pemimpin penggunaan batere. Negara-negara lain, termasuk Itali dan Korea Selatan, mengikuti cukup dekat di belakang. Telah jelas bahwa meningkatnya penggunaan variable renewable energy (VRA), seperti energi angin dan matahari, merupakan pendorong utama penggunaan batere secara masif dalam rangka peningkatan fleksibilitas sistem kelistrikan, memaksimalkan sumber daya energi terbarukan, dan mengembangkan teknologi alternatif. Kebijakan regulasi pada sejumlah negara telah mengenali keuntungan penggunaan aset-aset bahan bakar non fosil pada kestabilan jaringan listrik.

Sebelumnya, teknologi batere yang paling banyak mendominasi pasar adalah batere sodium-sulphur yang diproduksi oleh NGK Insulator di Jepang. Teknologi ini telah tergantikan dengan teknologi lithium-ion karena adanya keuntungan dari sisi biaya, kinerja, dan keamanan (safety) dibandingkan jenis batere lain. Pergantian ini didukung oleh insentif pemerintah dan pengaruh dari sektor lain. Untuk wilayah kepulauan, siklus kehidupan, kondisi ambien (khususnya temperatur), kebutuhan infrastruktur instalasi dan perawatan merupakan kriteria untuk pemilihan batere. Untuk solar PV rumah tangga, isu biaya, lahan yang dibutuhkan, keamanan, perawatan, dan jaminan akan menjadi faktor-faktor yang signifikan.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 12 November 2016

JARINGAN LISTRIK PINTAR (SMART GRID)


Pertumbuhan dan ekspansi pemanfaatan energi terbarukan pada jaringan yang tersentralisasi dan yang terdesentralisasi membutuhkan pendekatan baru yang efektif terhadap manajemen jaringan listrik, yaitu melalui penggunaan secara menyeluruh sistem jaringan listrik pintar (smart grid) dan teknologinya. Sistem jaringan listrik yang ada sekarang telah banyak yang menggunakan elemen-elemen yang bekerja secara pintar, tetapi hal ini kebanyakan digunakan hanya sebatas pada kegiatan penyeimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand) listrik. Sistem jaringan listrik pintar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam setiap aspek pembangkitan, pendistribusian dan konsumi listrik untuk meminimalkan dampak lingkungan, meningkatkan pasar, meningkatkan kehandalan dan pelayanan, serta mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. (EPRI, 2013; dalam IRENA, 2013).

Teknologi ini dapat diimplementasikan pada semua tingkatan, baik pada teknologi pembangkitan listrik hingga ke aplikasi konsumen. Sebagai hasilnya, smart grid dapat memainkan peranan krusial dalam transisi menuju energi masa depan yang berkelanjutan melalui beberapa cara : memfasilitasi integrasi sumber energi terbarukan (variable renewable energy) ke jaringan listrik dengan lancar, mendukung produksi listrik yang terdesentralisasi, menciptakan model bisnis baru melalui peningkatan arus informasi, keterlibatan konsumen, dan peningkatan sistem kontrol, dan menyediakan fleksibilitas di sisi permintaan (demand). (IRENA, 2013).

Energi terbarukan tingkat rendah dengan pangsa kapasitas yang masuk ke jaringan tidak melebihi 15%, umumnya layak dioperasikan tanpa menggunakan teknologi smart grid. Pada pemanfaatan energi terbarukan tingkat menengah, biasanya 15% - 30%, teknologi smart grid akan semakin dibutuhkan. Pada penetrasi kapasitas energi terbarukan melebihi 30% (tinggi) akan sangat membutuhkan teknologi smart grid untuk menjamin kehandalan operasional jaringan listrik. (IRENA, 2013).

Berdasarkan studi yang dilakukan di Timur Tengah dan Afrika Utara, diketahui bahwa investasi pengembangan smart grid dapat menghemat USD $ 300 juta hingga USD $ 1 miliar setiap tahun yang membantu kesadaran wilayah tersebut mengenai potensi pemanfaatan energi matahari yang mereka miliki. (Northeast Group, 2012, dalam IRENA, 2013). Studi di Amerika Serikat menemukan bahwa potensi investasi pada teknologi berkelanjutan termasuk smart grid dan energi terbarukan memiliki net present value (NPV) sebesar USD $ 20 miliar hingga USD $ 25 miliar berdasarkan keuntungan pemanfaatan teknologi tersebut. (Rudden and Rudden, 2012; dalam IRENA, 2013).

Kebanyakan proyek smart grid khususnya yang mendukung energi terbarukan, juga memberikan keuntungan sosial ekonomi tidak hanya bagi pemanfaatan sistem utilitas, tetapi juga bagi pelanggan dan komunitas lokal dan global. Keuntungan yang lebih luas ini termasuk pencapaian keuntungan ekonomi dari kehandalan sistem yang tinggi, peningkatan kesehatan publik karena pengurangan emisi, dan pencapaian jangka panjang di sisi lingkungan dan ekonomi dari listrik rendah karbon. (McGregor, 2012; dalam IRENA, 2013).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Jumat, 11 November 2016

CO-FIRING BATUBARA DENGAN BIOMASSA


Salah satu teknik untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik batubara adalah dengan penambahan/modifikasi PLTU batubara menjadi sistem co-firing. Co-firing merupakan kegiatan pembakaran biomassa bersama-sama dengan bahan bakar fosil pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara atau gas. (ETSAMP E01, E02, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Saat ini terdapat sekitar 230 pabrik pembangkit listrik dan pabrik pembangkit combined heat & power (CHP) yang menggunakan sistem co-firing. Kebanyakan pabrik tersebut ada di Amerika Serikat dan Eropa bagian utara. Kapasitas masing-masing berkisar antara 50-700 MWe.

Terdapat 3 kelompok teknologi co-firing yakni : 1) direct co-firing, dimana digunakan ketel uap (boiler) tunggal dengan sistem pembakar (burner) umum atau (burner) terpisah. Teknologi ini merupakan yang paling murah dan paling banyak digunakan; 2) indirect co-firing, dimana sebuah gasifier mengubah biomassa padat menjadi fase gas; 3) parallel co-firing, dimana boiler yang terpisah digunakan untuk biomassa, kemudian uap air panas (steam) yang dihasilkan digabungkan dengan steam dari boiler konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil.

Secara umum, efisiensi listrik dari sistem co-firing biomassa dengan batubara cukup bervariasi mulai dari 35% – 44%. (ETSAP, 2010b; IEA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Sampai sejauh ini biasanya biomassa dicampurkan dalam sistem co-firing sebanyak sekitar 5% sampai 10%. Semakin tinggi komposisi biomassa berarti semakin rendah gas rumah kaca (green house gas – GHG) yang dihasilkan. Diperkirakan, dengan pemanfaatan sistem co-firing 1-10% biomassa pada setiap pembangkit listrik batubara di seluruh dunia akan dapat mengurangi emisi CO2 sebanyak 45 – 450 juta ton per tahun pada tahun 2035.

Biaya investasi untuk memodifikasi (retrofit) sebuah pembangkit listrik batubara menjadi sistem co-firing dengan biomassa adalah sekitar USD $ 430 – 500/kW untuk pabrik yang bahan bakunya dalam satu lokasi (co-feed plant), USD $ 760-900/kW untuk pabrik yang bahan bakunya terpisah (separate feed plant), dan USD $ 3.000 – 4.000/kW untuk sistem indirect co-firing.

Biaya operasi dan pemeliharaan dapat dikatakan mirip dengan pembangkit listrik batubara yakni sebesar USD $ 5-10/MWh karena co-firing akan meningkatkan biaya penanganan bahan bakar tetapi mengurangi biaya de-sulphurisation dan pembuangan abu pembakaran. (Mott McDonald 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Biaya operasi dan pemeliharaan umumnya adalah sekitar 2,5% – 3,5% dari biaya modal untuk sistem direct co-firing (IRENA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013) dan sekitar 5% untuk indirect co-firing (ECN 2012b, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Biaya bahan bakar biomassa tergantung pada jenis, volume yang diperdagangkan, dan lokasi geografis. Biaya butiran biomassa (biomassa pellet) yang diperdagangkan secara global adalah sekitar Eur € 12/MWh, lebih tinggi daripada harga batubara. Studi IRENA terbaru menyajikan data mengenai harga biomassa yang tersedia secara lokal di Amerika Serikat, Eropa, Brasil, dan India. Harga biomassa ampas tebu di Brasil dan India adalah sekitar USD $ 0-11/MWh. Harga sampah agrikultural di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara USD $ 6-22/MWh. Proses pembuatan pellet biomassa merupakan cara untuk meningkatkan secara signifikan nilai panas (heat value) per volume biomassa. Selama 4 tahun terakhir harga biomassa pellet industri mengalami fluktuasi antara Euro € 24-30/MWh dimana harga ini sekitar Euro € 12/MWh lebih tinggi dibandingkan harga batubara. (Hawkins Wright, 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Dengan mempertimbangkan harga batubara dan biomassa, co-firing secara umum lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik batubara murni atau CHP batubara. Untuk meningkatkan keekonomian sistem co-firing beberapa cara dapat diterapkan di antaranya adalah pemberian insentif terhadap konversi pembangkit listrik biasa menjadi pembangkit dengan sistem CHP yang lebih efisien, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, dukungan pemerintah pada penyediaan biomassa dan infrastruktur, serta mendedikasikan pendanaan terhadap riset dan pengembangan sistem co-firing. Pemerintah juga dapat menetapkan mandat penggunaan biomassa dengan sistem co-firing pada semua pembangkit listrik batubara, baik yang sedang beroperasi maupun yang akan dibangun. (IEA-ETSAP dan IRENA 2013).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Kamis, 10 November 2016

SEJARAH ENERGY SECURITY DUNIA




Yergin (2006) menyebutkan bahwa cikal bakal konsep energy security dimulai pada perang dunia pertama. Ketika itu, Angkatan Laut Kerajaan Inggris memutuskan untuk mengubah bahan bakar kapal perang mereka yang awalnya batubara (mesin uap) menjadi bahan bakar minyak bumi.

Pada masa itu muncul pertanyaan besar terhadap kebijakan tersebut. Mengapa Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang awalnya menggunakan bahan bakar batubara yang bersumber dari wilayah Wales yang dinilai lebih aman harus berganti ke bahan bakar minyak yang sumbernya terletak di daerah timur tengah yang tidak cukup meyakinkan keamanan dan keberlanjutan pasokannya.

Churcill yang saat itu menjabat sebagai Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Inggris menjawab kritik-kritik tersebut. Dia mengatakan bahwa keamanan dan kepastian pasokan minyak terletak pada seberapa bervariasinya sumber pasokan minyak yang digunakan. Semakin bervariasi sumber pasokan minyak bumi yang digunakan, maka akan semakin aman dan handal kapal perang angkatan laut kerajaan Inggris.

Pada awal abad 20, terjadi peperangan-peperangan besar yakni perang dunia ke-1 dan perang dunia ke-2. Salah satu motif peperangan dan ekspansi wilayah kekuasaan pada masa ini adalah dalam rangka penguasaan sumber-sumber minyak bumi. Hal ini dapat dipahami karena bahan bakar berbasis minyak bumi merupakan elemen penting penggerak peralatan perang.

Kita dapat melihat beberapa peperangan yang memperebutkan sumber minyak seperti di Indonesia, Timur Tengah, Kaukasus dan Rumania selama perang dunia ke-2. Deklarasi perang Jepang terhadap Amerika Serikat melalui penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour juga dilatar belakangi upaya pengamanan Jepang terhadap suplai minyak ke negerinya. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pentingnya suplai minyak bagi kegiatan militer selama perang dunia ke-2.

Pasca perang dunia ke-2, peranan minyak bumi justru semakin penting di tengah-tengah masyarakat dunia. Pada awalnya BBM jenis kerosin (minyak tanah) merupakan sumber energi populer terutama untuk digunakan sebagai bahan penerangan/lampu. Setelah itu, mesin bensin ditemukan, sehingga BBM jenis bensin semakin populer. Peranan bensin semakin besar di sektor transportasi dan industri. Pemanfaatan listrik untuk penerangan juga semakin populer.

Sistem tenaga uap yang memanfaatkan batubara mulai tergantikan dengan sistem tenaga minyak bumi. Mesin penggerak berbahan bakar bensin dan minyak diesel semakin populer dimana semakin masifnya perkembangan sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak bumi (BBM).

Kebutuhan akan bahan bakar minyak bumi semakin meningkat. Permintaan terus meningkat terutama untuk perkapalan, indutri, dan pemakaian pribadi. Hasil olahan minyak lainnya juga dimanfaatkan secara masif, seperti pelumas, parafin dan lilin.

Negara-negara terus menggenjot kegiatan perekonomiannya dan seiring dengan itu permintaan dan kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. Baik untuk sektor transportasi, industri makanan dan minuman, kesehatan, manufaktur, pembangkit tenaga listrik dan pemanas ruangan. Pada waktu bersamaan, banyak negara industri yang tidak mampu memproduksi minyak bumi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada akhirnya kebijakan untuk mengimpor minyak dari negara-negara penghasil minyak dilakukan.

Negara-negara penghasil minyak mendapatkan pendapatan yang semakin besar dari semakin meningkatnya kebutuhan akan energi yang berbasiskan bahan bakar minyak. Pada tahun 1960 dibentuklah Organization of the Petreloum Exporting Countries (OPEC) yang anggotanya terdiri dari negara-negara pengekspor minyak terbesar. Kegiatan impor dan ekspor minyak kemudian semakin intens seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin lama, negara-negara penghasil minyak tersebut semakin tergantung pada pendapatan yang didapatkan dari penjualan minyak. Sementara itu, negara-negara konsumen minyak semakin tergantung terhadap pasokan minyak dari negara-negara OPEC yang secara geografis cukup terpusat di wilayah Timur Tengah.

Sistem ini terus berlanjut hingga pada tahun 1973 dimana terjadi pergolakan geopolitik dunia. Negara-negara Timur Tengah penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC menghentikan suplai minyak ke Amerika Serikat dan juga kepada sejumlah negara lain. Hal ini sebagai bentuk protes terhadap Amerika Serikat dan sekutunya yang mendukung agresi Israel di Timur Tengah. Hasilnya, harga minyak dunia saat itu menjadi naik empat kali lipat yang memicu krisis ekonomi global dan menunjukkan betapa lemahnya tatanan sistem suplai minyak global.

Konsekuensi dari peristiwa ini adalah penempatan energy security, khususnya keamanan pasokan minyak, sebagai bagian penting dari kebijakan energi pada banyak negara industri. (LaCasse and Plourde, 1995). Yergin (2006) menyebutkan bahwa krisis minyak pada tahun 1970-an telah melahirkan konsep modern mengenai energy security.

Seiring berjalannya waktu, dewasa ini, fokus energy security telah berkembang lebih jauh lagi. Cakupannya bukan hanya minyak bumi, tetapi juga gas alam, batubara, nuklir, energi terbarukan, dan listrik. Batubara masih mendominasi sebagai bahan bakar pembangkit listrik dunia. Peranan energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) dinilai masih cukup signifikan secara global dibandingkan energi non fosil. Karenannya fokus energy security masih belum beranjak pada energi fosil, terutama minyak bumi.

Bentuk ancaman terhadap keberlangsungan sistem energi juga semakin luas. Bukan hanya mempertimbangkan isu-isu keamanan pasokan, tetapi juga mencakup perlindungan infrastruktur dari bencana alam, serangan terorisme dan konflik, dan juga kemungkinan serangan cyber. Dampak bencana badai Katrina dan Rita pada suplai minyak dan gas bumi di Teluk Meksiko tahun 2005 serta tragedi Fukushima di Jepang tahun 2011 merupakan contoh bentuk ancaman serius faktor alam terhadap energy security.

Namun demikian, bencana alam di Teluk Meksiko berhasil menunjukkan betapa bermanfaatnya sistem stok energi (minyak bumi) darurat yang dibentuk negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) dalam menanggulangi gangguan suplai energi di Teluk Meksiko. Pelepasan stok energi darurat ini adalah yang kedua kalinya dilakukan dalam otorisasi IEA. Pelepasan stok darurat ini terbukti mampu menjamin kestabilan ekonomi secara global pada saat terjadi gangguan pasokan di suatu wilayah.

Melambungnya kembali harga minyak pada 2007 – 2008 sekali lagi semakin meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebijakan energy security. Sebaliknya penurunan signifikan dan drastis harga minyak pada tahun 2014 menimbulkan permasalahan di sisi yang lain, yakni berkurangnya minat investasi di sisi produksi dimana hal ini berarti berkurangnya pendapatan produser minyak termasuk juga berdampak terhadap lesunya aktivitas industri-industri pendukung dan juga industri-industri energi alternatif.

Bagi negara-negara konsumen minyak, turunnya harga minyak berarti keuntungan, karena dapat memperoleh minyak dengan harga rendah. Namun harga minyak yang terlalu rendah juga membuat konsumen semakin konsumtif terhadap minyak, dan di sisi lain, investasi di bidang energi terbarukan menjadi semakin tidak layak dan tidak menarik. Cita-cita masyarakat dunia untuk bergerak ke energi non fosil yang ramah lingkungan dan mencegah pemanasan global akan semakin jauh.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Rabu, 09 November 2016

DEFINISI ENERGI SECURITY




Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mendefinisikan energy security sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Umum OPEC, HE Abdallah Salem El-Badri, pada acara Chattam House Cenference, di London tahun 2008, yang berjudul “Middle East Energy 2008 - Risk and Responsibility: The New Realities of Energy Supply.” Beliau menyatakan bahwa energy security harus bersifat timbal balik. Energy security merupakan jalan dua arah. Keamanan permintaan merupakan hal yang penting bagi produsen energi sebagaimana keamanan pasokan bagi konsumen energi. Energy security seharusnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Bersifat universal, diterapkan bagi negara kaya atau miskin secara setara, dengan fokus pada tiga pilar pengembangan berkelanjutan dan secara khusus menyangkut pemberantasan kemiskinan.
  2. Fokus pada penyediaan pelayanan energi modern bagi semua konsumen.
  3. Diaplikasikan pada seluruh rantai pasokan (supply chain). Sisi downstream sangat krusial seperti halnya upstream.
  4. Meliputi seluruh horizon waktu yang dapat diduga. Keamanan besok (masa depan) sangat penting selayaknya keamanan hari ini.
  5. Memperkenankan pengembangan dan penyebaran teknologi-teknologi baru melalui upaya berkelanjutan, berwawasan ekonomi dan lingkungan.
  6. Harus dapat memberikan manfaat dari peningkatan dialog dan kerjasama di antara para pemangku kepentingan.

The International Energy Agency (IEA) mendefinisikan energy security sebagai: Ketersediaan energi secara fisik secara terus menerus pada harga yang sanggup dicapai, serta memberikan perhatian terhadap aspek lingkungan. (www.iea.org)
IEA menyebutkan bahwa resiko-resiko energy security dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Ketidakstabilan pasar energi yang disebabkan perubahan yang tak terduga dalam geopolitik atau faktor eksternal lainnya, atau sumber bahan bakar fosil yang terkonsentrasi.
  2. Kegagalan teknis seperti pemadaman listrik yang disebabkan gangguan pada jaringan dan pembangkit listrik.
  3. Gangguan keamanan fisik seperti terorisme, sabotase, pencurian dan pembajakan, serta bencana alam seperti gempa, badai, letusan gunung berapi, dampak perubahan iklim, dan lain-lain.
IEA menyebutkan terdapat faktor-faktor yang dapat berperan sebagai ancaman terhadap energy security, yaitu:
  1. Gangguan terhadap energy system yang disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem atau kecelakaan.
  2. Penyeimbangan jangka pendek (short-term) terhadap suplai dan permintaan di sektor kelistrikan.
  3. Kegagalan kebijakan.
  4. Konsentrasi sumber suplai energi fosil.
Energy system terdiri dari:
  1. Fuel Supply (pasokan/suplai bahan bakar).
  2. Energy transformation (transformasi energi).
  3. Energy Consumer (konsumen energi).
Selain itu, IEA membagi energy security ke dalam dua kelompok dimensi:
  1. Long term energy security, yaitu energy security yang berhubungan dengan investasi dalam jangka waktu tertentu untuk menyuplai energi yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan.
  2. Short term energy security, fokus pada kemampuan sistem energi dalam bereaksi secara cepat terhadap perubahan tiba-tiba pada keseimbangan supply-demand (pasokan-permintaan) energi.
Dengan demikian, keamanan pasokan energi merupakan perhatian utama IEA, dan hal ini selaras juga dengan yang didefinisikan European Union (EU) tetapi dengan beberapa perhatian tambahan terhadap isu lingkungan dan ketahanan. (Xavier Labandeira and Baltasar Manzano, 2012).

World Economic Forum (WEF) mendefinisikan energy security sebagai payung yang melindungi berbagai macam elemen-elemen yang berhubungan dengan energi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan politik.

Sudut pandang terhadap energy security akan bervariasi tergantung posisi seseorang atau organisasi dalam rantai nilai energi (energy value chain). Konsumen dan industri pengguna energi menginginkan kesesuaian antara harga energi dengan permintaan, serta mengkhawatirkan gangguan terhadap suplai energi. Negara-negara penghasil minyak memandang energy security dari sisi keamanan pendapatan (revenue) dan keamanan permintaan pasar akan minyak sebagai bagian integral dalam setiap diskusi tentang energy security. Perusahaan minyak dan gas memandang akses kepada cadangan minyak dan gas, kemampuan untuk mengembangkan infrastruktur baru, dan kestabilan iklim investasi sebagai faktor-faktor yang sangat penting untuk menjamin energy security.

Negara-negara berkembang menempatkan perhatian mereka terhadap kemampuan masyarakat untuk membayar sumber daya energi pada harga yang terjangkau agar mampu menggerakkan roda perekonomian dan mengkhawatirkan keseimbangan goncangan pembayaran. Perusahaan-perusahaan pembangkit dan penyuplai listrik menempatkan perhatian kepada integritas seluruh jaringan listrik. Para pembuat kebijakan fokus kepada resiko gangguan suplai dan keamanan infrastruktur terhadap ancaman terorisme, perang, atau bencana alam. Mereka juga mempertimbangkan volume margin keamanan (jumlah kelebihan kapasitas, cadangan strategik, dan infrastruktur cadangan).

Di dalam rantai nilai energi (energy value chain), keanekaragaman harga dan suplai energi merupakan komponen yang sangat penting dalam energy security. Pada masa sebelumnya, minyak digunakan sebagai senjata sehingga kemudian timbullah perhatian bahwa gas alam dapat juga digunakan sebagai alat politik pada suatu waktu nanti. Dan ini terbukti dalam krisis Rusia dan Ukraina yang telah dipersepsikan secara umum sebagai konflik kepentingan terhadap gas alam.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia