Rabu, 09 November 2016

DEFINISI ENERGI SECURITY




Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mendefinisikan energy security sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Umum OPEC, HE Abdallah Salem El-Badri, pada acara Chattam House Cenference, di London tahun 2008, yang berjudul “Middle East Energy 2008 - Risk and Responsibility: The New Realities of Energy Supply.” Beliau menyatakan bahwa energy security harus bersifat timbal balik. Energy security merupakan jalan dua arah. Keamanan permintaan merupakan hal yang penting bagi produsen energi sebagaimana keamanan pasokan bagi konsumen energi. Energy security seharusnya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Bersifat universal, diterapkan bagi negara kaya atau miskin secara setara, dengan fokus pada tiga pilar pengembangan berkelanjutan dan secara khusus menyangkut pemberantasan kemiskinan.
  2. Fokus pada penyediaan pelayanan energi modern bagi semua konsumen.
  3. Diaplikasikan pada seluruh rantai pasokan (supply chain). Sisi downstream sangat krusial seperti halnya upstream.
  4. Meliputi seluruh horizon waktu yang dapat diduga. Keamanan besok (masa depan) sangat penting selayaknya keamanan hari ini.
  5. Memperkenankan pengembangan dan penyebaran teknologi-teknologi baru melalui upaya berkelanjutan, berwawasan ekonomi dan lingkungan.
  6. Harus dapat memberikan manfaat dari peningkatan dialog dan kerjasama di antara para pemangku kepentingan.

The International Energy Agency (IEA) mendefinisikan energy security sebagai: Ketersediaan energi secara fisik secara terus menerus pada harga yang sanggup dicapai, serta memberikan perhatian terhadap aspek lingkungan. (www.iea.org)
IEA menyebutkan bahwa resiko-resiko energy security dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Ketidakstabilan pasar energi yang disebabkan perubahan yang tak terduga dalam geopolitik atau faktor eksternal lainnya, atau sumber bahan bakar fosil yang terkonsentrasi.
  2. Kegagalan teknis seperti pemadaman listrik yang disebabkan gangguan pada jaringan dan pembangkit listrik.
  3. Gangguan keamanan fisik seperti terorisme, sabotase, pencurian dan pembajakan, serta bencana alam seperti gempa, badai, letusan gunung berapi, dampak perubahan iklim, dan lain-lain.
IEA menyebutkan terdapat faktor-faktor yang dapat berperan sebagai ancaman terhadap energy security, yaitu:
  1. Gangguan terhadap energy system yang disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrem atau kecelakaan.
  2. Penyeimbangan jangka pendek (short-term) terhadap suplai dan permintaan di sektor kelistrikan.
  3. Kegagalan kebijakan.
  4. Konsentrasi sumber suplai energi fosil.
Energy system terdiri dari:
  1. Fuel Supply (pasokan/suplai bahan bakar).
  2. Energy transformation (transformasi energi).
  3. Energy Consumer (konsumen energi).
Selain itu, IEA membagi energy security ke dalam dua kelompok dimensi:
  1. Long term energy security, yaitu energy security yang berhubungan dengan investasi dalam jangka waktu tertentu untuk menyuplai energi yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan.
  2. Short term energy security, fokus pada kemampuan sistem energi dalam bereaksi secara cepat terhadap perubahan tiba-tiba pada keseimbangan supply-demand (pasokan-permintaan) energi.
Dengan demikian, keamanan pasokan energi merupakan perhatian utama IEA, dan hal ini selaras juga dengan yang didefinisikan European Union (EU) tetapi dengan beberapa perhatian tambahan terhadap isu lingkungan dan ketahanan. (Xavier Labandeira and Baltasar Manzano, 2012).

World Economic Forum (WEF) mendefinisikan energy security sebagai payung yang melindungi berbagai macam elemen-elemen yang berhubungan dengan energi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan politik.

Sudut pandang terhadap energy security akan bervariasi tergantung posisi seseorang atau organisasi dalam rantai nilai energi (energy value chain). Konsumen dan industri pengguna energi menginginkan kesesuaian antara harga energi dengan permintaan, serta mengkhawatirkan gangguan terhadap suplai energi. Negara-negara penghasil minyak memandang energy security dari sisi keamanan pendapatan (revenue) dan keamanan permintaan pasar akan minyak sebagai bagian integral dalam setiap diskusi tentang energy security. Perusahaan minyak dan gas memandang akses kepada cadangan minyak dan gas, kemampuan untuk mengembangkan infrastruktur baru, dan kestabilan iklim investasi sebagai faktor-faktor yang sangat penting untuk menjamin energy security.

Negara-negara berkembang menempatkan perhatian mereka terhadap kemampuan masyarakat untuk membayar sumber daya energi pada harga yang terjangkau agar mampu menggerakkan roda perekonomian dan mengkhawatirkan keseimbangan goncangan pembayaran. Perusahaan-perusahaan pembangkit dan penyuplai listrik menempatkan perhatian kepada integritas seluruh jaringan listrik. Para pembuat kebijakan fokus kepada resiko gangguan suplai dan keamanan infrastruktur terhadap ancaman terorisme, perang, atau bencana alam. Mereka juga mempertimbangkan volume margin keamanan (jumlah kelebihan kapasitas, cadangan strategik, dan infrastruktur cadangan).

Di dalam rantai nilai energi (energy value chain), keanekaragaman harga dan suplai energi merupakan komponen yang sangat penting dalam energy security. Pada masa sebelumnya, minyak digunakan sebagai senjata sehingga kemudian timbullah perhatian bahwa gas alam dapat juga digunakan sebagai alat politik pada suatu waktu nanti. Dan ini terbukti dalam krisis Rusia dan Ukraina yang telah dipersepsikan secara umum sebagai konflik kepentingan terhadap gas alam.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Selasa, 08 November 2016

BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI (LPG/Vi-Gas)


Bahan bakar jenis LPG (Liquid Petroleum Gas) juga dapat dikategorikan sebagai bahan bakar gas, namun LPG merupakan jenis gas yang berbeda dengan gas alam. Jenis gas utama penyusun LPG adalah propana (CH3) dan butana (CH4) yang biasanya merupakan hasil sampingan kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam. Propana dan butana, biasanya keduanya dicampur dalam komposisi tertentu.

Selain dikenal sebagai bahan bakar untuk konsumsi rumah tangga, LPG dapat digunakan juga sebagai bahan bakar pada kendaraan. Nilai oktan LPG untuk kendaraan diatur lebih tinggi dibandingkan LPG untuk rumah tangga. Di Indonesia bahan bakar LPG yang digunakan untuk transportasi dikenal dengan merek Vi-Gas. Secara global penamanaanya juga bermacam-macam sesuai dengan penamaan di masing-masing Negara. Bahan bakar LPG untuk kendaraan dikenal juga sebagai AutoGas, Automotive LP Gas, GLP (Gas Liquid Petroleum), GPL (Gas Petroleum Liquid), atau LGV (Liquid Gas for Vehicle).

LPG yang digunakan pada kendaraan ini berbentuk cair. Tekanan LPG diatur pada tekanan sekitar 8-14 bar dan temperatur sekitar -40 oC. Karena LPG untuk kendaraan diatur dalam bentuk cair maka daya tampung gasnya lebih besar dibandingkan CNG pada volume tabung yang sama.

Sistem pendistribusian LPG untuk kendaraan mirip dengan sistem pendistribusian BBM. LPG yang diproduksi dari kilang minyak atau sisa fraksinasi gas alam, disimpan di terminal penyimpanan LPG. LPG yang berbentuk cair ini dikirimkan ke SPBU dengan menggunakan truk tangki LPG. Di SPBU, LPG yang diangkut truk ditransferkan ke tangki LPG di SPBU. Kendaraan berbahan bakar LPG dapat mengisi LPG di SPBU-SPBU yang memiliki pelayanan Vigas.

Kendaraan Berbahan Bakar LPG

Menurut WLPGA, jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global telah mencapai angka 24.991.465 unit pada tahun 2013. Sedangkan total konsumsi LPG untuk kendaraan secara global mencapai 25,8 juta ton. (www.auto-gas.net). Sistem mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang bekerja dengan bahan bakar liquid petroleum gas (LPG) merupakan teknologi yang telah terbukti bekerja dengan baik layaknya mesin spark ignition pada kendaraan berbahan bakar bensin. LPG sebagai bahan bakar kendaraan tidak digunakan sendiri (single fuel) tetapi selalu berada dalam sistem bi-fuel. Kendaraan berbahan bakar bensin dapat ditambah sistem converter kit agar dapat menjadi kendaraan bi-fuel. Pada sistem ini, LPG dikombinasikan dengan bensin yang bekerja secara bergantian (sequential). Pada kendaraan bi-fuel terdapat dua sistem bahan bakar yang berarti terdapat dua tangki bahan bakar yang terpisah. Satu untuk bensin dan satu untuk LPG. Sistem bi-fuel memungkinkan LPG dan bensin dapat digunakan secara bergantian melalui switching cepat baik secara manual maupun otomatis. (IEA ETSAP, 2010).

Penggunaan LPG pada kendaraan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas – GHG) hingga 15% dibandingkan pada penggunaan bahan bakar petrol. Biaya konversi kendaraan bensin menjadi kendaraan bi-fuel LPG berkisar antara EUR € 1130 (15 juta-an rupiah) hingga EUR € 2740 (40 juta-an rupiah). (IEA ETSAP, 2010).


Grafik 3. Perkembangan jumlah kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Grafik 4. Perkembangan konsumsi LPG untuk kendaraan berbahan bakar LPG secara global dari tahun 2008 hingga 2013
Sumber : www.auto-gas.net

Stasiun pengisain LPG untuk kendaraan (ViGas) di seluruh Indonesia terdapat sebanyak sekitar 21 unit SPBU yang melayani pengisian LPG (LGV filling station) per Juli 2015. Kebutuhan pasokan LPG untuk kendaraan juga kemungkinan akan bertambah seiring dengan pembagian 50.000 konverter kit LPG untuk perahu nelayan di beberapa wilayah pada tahun 2015.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Senin, 07 November 2016

Teori Asal Usul Minyak Bumi



Terdapat perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi. Secara umum teori-teori tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
  1. Teori pertama menyatakan bahwa minyak bumi berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa organisme tersebut mengendap di dasar lautan, kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu, dengan meningkatnya tekanan dan temperatur, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut dan mengubahnya menjadi minyak dan gas. Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori seperti air dalam batu karang. Minyak dan gas dapat juga bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkosentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap.
  2. Teori kedua yang cukup berkembang di antara para ilmuwan mengenai asal usul terjadinya minyak bumi adalah Teori Anorganik (Abiogenesis). Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali. Pada saat logam ini berada dalam kondisi bebas dan temperatur tinggi dan kemudian bersentuhan dengan CO2 maka terbentuklah asitilena. Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang menyatakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.

Terlepas dari perdebatan tentang teori asal usul minyak bumi, manusia tetaplah membutuhkan usaha-usaha untuk dapat memanfaatkannya yang meliputi pengeboran, pengangkatan minyak dan pengolahan (refinery). Minyak bumi biasanya diangkat ke permukaan Bumi dalam bentuk emulsi minyak-air. Selanjutnya digunakan senyawa kimia khusus yang disebut demulsifier untuk memisahkan air dan minyak. Dari suatu proses eksplorasi pada sumur minyak bumi, maka sebagian besar akan dihasilkan minyak mentah (crude oil), dan terkadang ditemukan juga kandungan gas alam di dalamnya yang disebut gas alam bawaan (associated gas).




Minggu, 06 November 2016

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


Seperti diketahui, semenjak terjadinya krisis minyak global pada awal tahun 1970-an, kesadaran masyarakat internasional mengenai energy security semakin meningkat. Akhir-akhir ini, semakin terjadi ketidakseimbangan distribusi geografis antara negara-negara sumber energi dengan negara-negara konsumen energi. Permasalahan tersebut diperparah dengan semakin berkurangnya pasokan minyak pada negara-negara yang tergantung pada minyak. (Choucri, N., 1977). Semenjak itulah, energy security semakin diintegrasikan ke dalam debat-debat teori hubungan internasional.

Energy security telah menjadi fokus bahan diskusi dalam keilmuan Hubungan Internasional berhubung terdapat beberapa isu energi seperti harga energi yang tinggi, peningkatan permintaan dan kompetisi terhadap sumber daya energi yang terkonsentrasi secara geografis, ketakutan akan kelangkaan sumber daya atau habisnya sumber daya dalam waktu dekat, serta perhatian terhadap isu-isu sosial dan efek politis dari perubahan iklim. (Vivoda, 2011).

Menurut Daniel Yergin (2006), konsep energy security meliputi dua dimensi. Dimensi pertama yaitu dimensi keindependenan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya yang berasal dari sumber daya energi domestik. Dimensi kedua yaitu dimensi interdependensi global dimana pemenuhan energi setiap negara tak lepas dari pasokan energi dunia yang berasal dari, khususnya, negara-negara pengekspor yang kaya akan sumber minyak dan gas. Melalui dua dimensi ini, nampak bahwa energy security tidak semata-mata merupakan isu domestik suatu negara tetapi meliputi isu global dimana ketiadaan pasokan energi dapat berimplikasi pada stabilitas internasional, baik itu bidang ekonomi dan perdagangan maupun politik dan sosial.

Mason Willrich dalam bukunya yang berjudul Energy and World Politics (1975), memandang keamanan energi sesuai dengan konteks dan aktor yang mengimplementasikannya, yaitu negara importir dan eksportir energi. Bagi negara pengekspor energi, keamanan energi dapat diartikan sebagai jaminan akan akses pasar serta keamanan permintaan. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan energinya, negara pengekspor dapat melakukan beberapa strategi. Langkah awal adalah dengan berusaha membuat negara importir energi menjadi sangat tergantung pada energi yang diproduksi oleh negara eksportir.

Sedangkan bagi negara importir, keamanan energi diartikan sebagai jaminan atas pasokan energi yang cukup sehingga memungkinkan berfungsinya perekonomian nasional melalui tindakan yang dapat diterima secara politik. Untuk menjamin keamanan energi, maka negara pengimpor dapat melakukan tiga strategi berdasarkan efek yang ditimbulkan.

Pertama untuk mengurangi kerugian yang dapat timbul apabila terjadi gangguan pasokan energi, negara dapat melakukan stand-by rationing plans dan stockpiling. Rationing plans merupakan penghematan konsumsi energi untuk mengatasi serta memperpanjang waktu operasional jika terjadi masalah suplai energi. Sedangkan stockpiling merupakan penumpukan cadangan (stok/penimbunan) energi yang dapat digunakan pada saat-saat darurat sehingga masalah-masalah jangka pendek mengenai ketersediaan energi dapat teratasi.
Kedua, untuk memperkuat jaminan suplai energi dari luar, negara dapat melakukan tindakan diversifikasi sumber suplai luar negeri dan meningkatkan interdependensi (ketergantungan) negara pengimpor terhadap negara pengekspor energi. Peningkatan interdependensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu investasi jangka panjang (long-term investment) dan melalui program bantuan pembangunan (development assistance). Dengan meningkatnya ketergantungan negara pengekspor kepada negara pengimpor maka negara eksportir tidak akan gegabah untuk menginterupsi suplainya ke negara importir karena negara pengekspor pada akhirnya juga memiliki ketergantungan pada negara pengimpor.

Ketiga, untuk mengurangi ketergantungan akan suplai asing, sebuah negara dapat meningkatkan suplai energi domestiknya atau melalui peningkatan self-sufficiency (swasembada energi). Akan tetapi menurut Willrich, cara ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki sumberdaya energi yang cukup besar. Oleh karena itu, Willrich membagi definisi self-sufficiency menjadi tiga, yaitu: bergantung secara penuh pada sumber daya domestik, bergantung pada sumberdaya domestik secara tidak terbatas setelah melewati suatu masa transisi, dan bergantung secara esklusif pada sumber daya domestik dengan waktu yang terbatas.
Berdasarkan tiga tindakan spesifik yang dijabarkan oleh Willrich maka dapat disimpulkan bahwa tindakan pertama dan ketiga merupakan cara untuk mengatasi kerentanan yang berasal dari dalam negeri. Negara importir dapat menerapkan strategi domestik untuk menjaga keamanan energinya dengan cara melakukan rationing, stockpiling, serta dengan cara meningkatkan self sufficiency.
Sedangkan sebagai negara importir, tentunya impor energi dilakukan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengatasi kerentanan dari luar negeri atau kerentanan suplai energi asing, negara importir dapat melakukan diversifikasi suplai dan meningkatkan interdependensi negara eksportir dengan cara memberikan bantuan pembangunan atau dengan cara investasi.

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 05 November 2016

HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR TRANSPORTASI


Gambar 1. Toyota Mirai yang dilaunching tahun 2015 mrupakan salah satu kendaraan berbahan bakar hidorgen fuel cell yang dijula secara komersial. Toyota Mirai didasarkan pada konsep kendaraan Toyota FCV.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Toyota_FCV_reveal_25_June_2014_-_by_Bertel_Schmitt_02.jpg


Aplikasi hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan merupakan fokus riset dan pengembangan fuel cell. Keuntungan yang dapat diberikan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan listrik adalah tidak adanya emisi yang dihasilkan, adanya kemungkinan produksi domestik, dan dapat memberikan efisiensi yang sangat tinggi. (www.eia.org). Bahan bakar hidrogen dapat diisikan ke Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dalam waktu berkisar antara 3-5 menit. Jarak tempuh FCEV dapat mencapai 300 – 400 mil (480 - 640 km). (Joan Ogden dkk., 2014).

Hingga sejauh ini, pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi masih akan menghadapi banyak tantangan. Tantangan-tantangan tersebut meliputi isu teknis, biaya infrastruktur dan harga kendaraan yang sangat mahal, teknologi penyimpanan yang bertekanan sangat tinggi, dan keamanan. Walaupun demikian, kenyataannya telah terdapat stasiun pengisian bahan bakar hidrogen dan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang telah berada pada tahapan komersial. Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar hidrogen telah dibangun di Amerika Serikat dan juga Jepang. Sejumlah pabrikan kendaraan juga telah memperkenalkan kendaraan hidrogen misalkan Hyundai, Toyota, Honda, dan Mercedez-Benz.

Hal ini semua patut menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam menyusun strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan yang ke depannya dapat mendukung pengembangan bahan bakar hidrogen untuk transportasi di dalam negeri. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar transportasi merupakan solusi masa depan terhadap penggunaan kendaraan yang bebas emisi dan juga sangat efisien karena dapat menawarkan daya jangkau kendaraan yang lebih jauh. Pada skala komersial hidrogen akan menjadi suatu aplikasi yang umum dalam beberapa waktu ke depan.

Terdapat sejumlah cara untuk mengirimkan hidrogen ke stasiun pengisian sehingga dapat mengisi kendaraan. Hidrogen dapat diproduksi secara lokal di pabrik besar, disimpan sebagai gas bertekanan atau sebagai gas cair cryogenic (pada Temperatur -253 oC), dan didistribusikan menggunakan truk atau pipa gas. Hidrogen juga dapat diproduksi di lokasi stasiun pengisian (bahkan di rumah dan fasilitas komersial) dengan menggunakan bahan baku gas alam, alkohol (methanol atau ethanol), atau listrik. Saat ini, teknologi pendistribusian hidrogen telah menjadi teknologi yang umum di bisnis perniagaan hidrogen dan industri kimia. Sebagian besar hidrogen industri diproduksi dan digunakan di lokasi, namun beberapa di antaranya diantarkan ke pengguna yang jaraknya relatif jauh dengan menggunakan pipa atau truk. (Joan Ogden dkk., 2014).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 500 buah mobil berbahan bakar fuel cell yang beroperasi. Sebagain besar dari kendaraan tersebut berupa bus dan mobil bermesin motor elektrik yang berbahan bakar fuel cell. Sedikit di antaranya yang memiliki sistem pembakaran hidrogen secara langsung. Kendala perkembangan jumlah kendaraan fuel cell adalah harganya yang sangat mahal dan masih langkanya fasilitas pengisian. (www.eia.org).

Di Amerika Serikat terdapat sekitar 50 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Namun hanya sekitar seperlimanya yang tersedia untuk konsumen umum, dan 40% di antaranya terletak di wilayah California. Jumlah kendaraan berbahan bakar hidrogen masih terbatas. Ada kecenderungan masyarakat enggan membeli mobil hidrogen dengan alasan jumlah stasiun pengisian hidrogen belum banyak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan juga enggan berinvestasi untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen selama populasi mobil hidrogen yang beroperasi belum banyak. Hal ini menimbulkan permasalahan “ayam dan telur”, sehingga tidak ada di antara kedua pihak, baik di sisi permintaan (demand) dan pasokan (supply), yang berinisiatif untuk memulai lebih dulu. (www.eia.org).

Pada bulan Mei 2014, California Energy Commission mengalokasikan dana sebesar 46,6 juta dolar untuk membantu pengembangan 28 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen untuk umum di California. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan kendaraan fuel cell yang bebas emisi dan ramah lingkungan kepada masyarakat. (www.eia.org).

Di California, Amerika Serikat, terdapat kebijakan mengenai mandat emisi nol (zero emission mandate), dimana hal ini ditujukan agar pabrikan kendaraan segera memperkenalkan Fuel Cell Electric Vehicles (FCEVs) ke pasar. California Fuel Cell Partnership memproyeksikan FCEVs akan terus berkembang pesat, dari yang saat ini beroperasi sekitar 100 unit menjadi 6.500 unit pada 2017 dan 18.000 unit pada 2020. Hingga sejauh ini pabrikan yang telah resmi mengeluarkan FCEV adalah Hyundai dengan merek Tucson berjenis sport utility vehicle (SUV). Honda, Toyota, dan Mecedes-Benz berencana mengikuti untuk memasarkan FCEV light duty (kerja ringan) pada 2016. (AGA, 2014).

Perkiraan komponen biaya untuk bahan baku hidrogen saat ini adalah sekitar USD $ 4 – USD $ 12 untuk memproduksi bahan bakar hidrogen yang setara dengan satu galon bensin. Semakin murahnya biaya bahan baku dan peningkatan teknologi pemprosesan dan penyimpanan dari waktu ke waktu memungkinkan hidrogen menjadi bahan bakar dengan margin keuntungan yang tinggi. Di Amerika Serikat, dispenser hidrogen diatur agar satuan pembelian bahan bakar hidrogen disertifikasi dalam satuan kilogram (Kg), dimana pada tiap 1 Kg Hidrogen ini memiliki kemiripan kesetaraan energi dengan satu galon bensin. Hal ini dilakukan agar konsumen dapat melakukan perbandingan keekonomian langsung antara bahan bakar hidrogen dan bensin. (AGA, 2014).

Secara paralel, terdapat juga komitmen penganggaran dana hingga USD $ 20 juta setiap tahun untuk pembangunan setidaknya 100 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cell station). California Environmental Protection Agency and Air Board menargetkan 51 hydrogen fuell cell station akan beroperasi pada 2016. (AGA, 2014).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia