Rabu, 31 Desember 2025

Islam dan Lingkungan: Amanah Khalifah di Bumi yang Sering Dilupakan


Ketika isu krisis iklim, polusi, kerusakan lingkungan, bencana meteorologi & ekologi, semakin sering dibicarakan, agama kerap dianggap “tidak relevan” dengan persoalan ekologis modern. Padahal, dalam Islam, hubungan manusia dengan alam adalah bagian dari iman dan amanah spiritual, bukan sekadar urusan teknis atau kebijakan publik.

Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang bagaimana manusia hidup di bumi tanpa merusaknya.

Manusia sebagai khalifah, bukan pemilik bumi

Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah di bumi—bukan pemilik mutlak. Konsep ini menempatkan manusia sebagai pengelola (steward) yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan ciptaan Allah.

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)

Makna khalifah di sini bukan kekuasaan tanpa batas, melainkan tanggung jawab moral: menggunakan sumber daya secukupnya, mencegah kerusakan, dan memastikan keberlanjutan bagi generasi berikutnya.

Larangan merusak lingkungan dalam Al-Qur’an

Islam secara tegas mengecam perusakan lingkungan (fasād):

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)

Ayat ini sering dibaca dalam konteks moral dan sosial, tetapi relevansinya sangat kuat dengan isu lingkungan: deforestasi berlebihan, pencemaran air, eksploitasi alam tanpa kendali—semuanya termasuk bentuk fasād modern.

Nabi Muhammad ﷺ dan etika lingkungan

Dalam sirah Nabi Muhammad ﷺ, kita menemukan banyak contoh konkret kepedulian terhadap alam:

  • Nabi melarang penebangan pohon secara sembarangan, bahkan saat perang.

  • Beliau menganjurkan penanaman pohon sebagai amal jariyah:

“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau tanaman, lalu dimakan oleh manusia, burung, atau hewan, kecuali menjadi sedekah baginya.”
(HR. Sahih Bukhari & Sahih Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa konservasi lingkungan bernilai ibadah, bahkan ketika manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh penanamnya.

Konsep hima dan haram: kebijakan lingkungan dalam Islam klasik

Jauh sebelum istilah conservation area dikenal, Islam telah memiliki konsep hima dan haram:

  • Hima: kawasan lindung yang tidak boleh dieksploitasi bebas (biasanya padang rumput dan sumber air).

  • Haram: wilayah yang dilindungi secara ketat, seperti sekitar Makkah dan Madinah.

Pada masa para sahabat dan khalifah, konsep ini digunakan untuk:

  • Melindungi sumber air,

  • Mencegah overgrazing,

  • Menjaga keseimbangan ekosistem lokal.

Khalifah Umar bin Khattab bahkan dikenal tegas dalam mengatur penggunaan lahan dan air agar tidak dimonopoli segelintir orang. Termasuk juga kisah populer Sahabat Usman Bin Affan yang membeli sumur milik seorang Yahudi untuk kemudian diwakafkan untuk seluruh penduduk. Sumur tersebut dikenal dengan nama sumur Raumah. Sampai hari ini, sumur wakaf Utsman ra. itu masih mengalir. Kini, sumur Raumah dimanfaatkan Kementerian Arab Saudi untuk mengairi perkebunan dan ladang kurma yang ada di sekitarnya.

Ulama klasik dan prinsip keberlanjutan

Para ulama terdahulu juga menegaskan prinsip maslahah (kemaslahatan umum) dan larangan israf (pemborosan). Dalam konteks modern, israf tidak hanya berarti boros makanan, tetapi juga:

  • Boros energi,

  • Boros air,

  • Eksploitasi sumber daya melebihi daya dukung alam.

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

Ayat ini relevan langsung dengan pola konsumsi modern yang tidak berkelanjutan.

Lingkungan, iman, dan tanggung jawab generasi

Krisis lingkungan hari ini bukan hanya krisis teknologi, tetapi krisis etika dan spiritual. Islam memandang kerusakan alam sebagai cerminan rusaknya hubungan manusia dengan amanah yang diberikan Allah.

Melestarikan lingkungan dalam Islam bukan tren, bukan agenda politik, dan bukan isu Barat. Ia adalah:

  • Bagian dari tauhid (kesadaran ciptaan Allah),

  • Wujud tanggung jawab khalifah,

  • dan investasi pahala lintas generasi, sebagai amal jariyah yang pahalanya terus mengalir (tidak putus-putus) selama dimanfaatkan, bahkan setelah yang bersangkutan meninggal dunia.

Penutup

Jika seorang Muslim memahami ajaran agamanya secara utuh, maka menjaga lingkungan bukan pilihan tambahan, melainkan konsekuensi iman. Menanam pohon, menjaga air, mengurangi kerusakan, dan hidup selaras dengan alam—semuanya adalah bagian dari ibadah yang sering luput kita sadari.

Islam telah berbicara tentang lingkungan jauh sebelum krisis iklim menjadi isu global. Tantangannya hari ini bukan kurangnya dalil, tetapi kurangnya kesadaran dan konsistensi dalam mengamalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar barupa kritik dan saran yang membangun demi kemajuan blog saya ini. Jangan malu - malu!