Senin, 29 Desember 2025

Emisi CO₂ Indonesia vs Daya Serap Alam: Apakah Masih Seimbang?


Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas dengan hutan tropis, mangrove, dan laut yang luas. Namun di tengah pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi, muncul pertanyaan penting: apakah kemampuan alam Indonesia menyerap karbon masih sebanding dengan emisi CO₂ yang kita hasilkan setiap tahun?

Berapa emisi CO₂ Indonesia per tahun?

Data terbaru menunjukkan bahwa emisi CO₂ Indonesia dari sektor energi (listrik, industri, dan transportasi) telah mencapai sekitar 650–660 juta ton CO₂ per tahun. Angka ini terus meningkat seiring naiknya konsumsi energi fosil.

Jika seluruh sektor dihitung (termasuk sektor industri proses, limbah, dan pertanian & perkebunan) total emisi gas rumah kaca Indonesia berada di kisaran ±1,2 miliar ton CO₂e per tahun (tidak termasuk sektor kehutanan dan perubahan penggunaan lahan).

Dengan kata lain, setiap tahun Indonesia melepaskan karbon ke atmosfer dalam skala ratusan juta hingga lebih dari satu miliar ton.

Seberapa luas penyerap karbon alami Indonesia?

Indonesia memiliki aset alam yang sangat besar sebagai penyerap karbon alami (carbon sink):

  • Luas hutan Indonesia: ± 95,5 juta hektare

  • Mangrove: ± 3,4 juta hektare (terluas di dunia)

  • Padang lamun: ± 660 ribu hektare

  • Terumbu karang: ± 2,3 juta hektare

  • Perkebunan kelapa sawit: ± 16,8 juta hektare

  • Lahan pertanian (luas panen padi): ± 10,2 juta hektare per tahun

Hutan, gambut, dan mangrove merupakan penyerap karbon paling efektif karena mampu menyimpan karbon dalam biomassa dan tanah selama puluhan hingga ratusan tahun.

Berapa kemampuan alam Indonesia menyerap CO₂?

Angka serapan karbon nasional tidak tunggal karena bergantung pada metode dan kondisi ekosistem. Namun beberapa indikator penting dapat dijadikan gambaran:

  • Target resmi Indonesia (FOLU Net Sink 2030):
    sektor kehutanan dan penggunaan lahan ditargetkan menjadi penyerap bersih −140 juta ton CO₂e per tahun.

  • Potensi serapan mangrove:
    diperkirakan mencapai ±170 juta ton CO₂ per tahun, meski angka ini sangat bergantung pada kondisi dan perlindungan ekosistem.

  • Padang lamun:
    berkontribusi lebih kecil secara tahunan, namun menyimpan karbon jangka panjang di sedimen laut.

  • Terumbu karang:
    penting bagi ekosistem, tetapi bukan penyerap CO₂ bersih utama secara kimia.

Apakah sebanding dengan emisi?

Jika dibandingkan secara kasar:

  • Emisi energi: ± 650 juta ton CO₂/tahun

  • Serapan bersih sektor lahan (target): −140 juta ton CO₂e/tahun

Artinya, daya serap alam Indonesia saat ini belum mampu menutup emisi dari sektor energi saja, hanya sekitar 21% saja kemampuan penyerapannya, apalagi jika seluruh sektor dihitung dan dipertimbangkan (termasuk industri proses, limbah, dan pertanian) dan juga kebakaran hutan dan lahan gambut yang rutin terjadi. Bahkan dalam skenario pengelolaan hutan terbaik, ketimpangan ini masih signifikan.

Kontroversi teknologi Carbon Capture (CCUS)

Sebagai pelengkap, teknologi Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS) sering diajukan sebagai solusi. Namun efektivitasnya masih diperdebatkan:

Pro CCUS:

  • CO₂ dapat disimpan di lapisan batuan dalam dengan caprock yang tepat.

  • Beberapa proyek menunjukkan penyimpanan relatif stabil dalam periode monitoring.

Kritik terhadap CCUS:

  • Risiko kebocoran melalui retakan geologi dan sumur lama.

  • Ketidakpastian kemampuan batuan menyimpan CO₂ hingga ratusan–ribuan tahun.

  • Biaya tinggi dan potensi menjadi alasan menunda pengurangan emisi di sumbernya.

CCUS bukan solusi ajaib, melainkan opsi terbatas untuk sektor industri yang sulit menurunkan emisi secara langsung.

Kesimpulan

Indonesia memang memiliki penyerap karbon alami yang luar biasa, tetapi laju emisi kita tumbuh lebih cepat daripada kemampuan alam untuk mengimbanginya.

Perlindungan hutan, mangrove, gambut, dan laut adalah keharusan. Bahkan jika memungkinkan menambah luasannnya (hutan) dan taman-taman hijau di perkotaan dan area industri. Namun tanpa pengurangan emisi energi dan industri, ketergantungan pada alam semata—atau pada teknologi seperti CCUS—tidak akan cukup.