Rabu, 23 September 2009

MUNCULNYA GOLONGAN - GOLONGAN DAN GERAKAN - GERAKAN ISLAM


Dewasa ini kita melihat mulai bermunculannya gerakan – gerakan dan golongan – golongan yang mengusung bendera keislaman dan mendakwahkan prinsip – prinsip ajarannya masing – masing. Beberapa diantaranya ternyata membawa ajaran yang menyesatkan karena tidak sesuai dengan prinsip – prinsip dasar ajaran islam sehingga MUI mengklaimnya sebagai aliran sesat dan membawa kasus tersebut ke meja hijau sesuai dengan tata cara peradilan di negeri ini. Beberapa yang lainnya masih bebas mendakwahkan ajarannya yang menyesatkan karena masih dilindungi oleh suatu kekuasaan asing. Yang tidak termasuk ke dalam golongan sesat tersebut, yaitu sebagian besar lainnya masih bisa hidup berdampingan secara damai.

Namun dalam prakteknya, ternyata dalam beberapa hal kita bisa melihat bahwa gerakan – gerakan tersebut mulai menimbulkan pemikiran – pemikiran fanatisme golongan. Hal inilah yang sebenarnya juga perlu dihindari, selain tetap waspada terhadap tumbuhnya aliran – aliran sesat yang ingin merusak nilai – nilai keislaman yang murni yang sesuai dengan Al Quran dan Al Hadis seperti yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.

Ketika kekhilafahan tidak ada seperti yang terjadi di zaman sekarang, umat islam akan cenderung menuju perpecahan seperti yang memang diinginkan oleh mereka yang memusuhi islam. Ketika kehilafahan telah meuncul kembali seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT., maka adalah kewajiban setiap umat muslim yang hidup pada zaman itu untuk mengucapkan sumpah setia atau berbai’at kepadanya demi tegaknya persatauan dan kesatuan umat islam.

"Maka apabila engkau melihat adanya khalifah, menyatulah padanya, meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka menghindar." (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi', lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 36).

Nabi Muhammad SAW. menegaskan, bahwa wajibnya bai'at adalah kepada khalifah, jika ada atau terwujud, meskipun khalifah melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji seperti memukul, dll. Thabrani mengatakan bahwa yang dimaksud menghindar ialah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan /firqah-firqah), dan tidak mengikuti seorang pun dalam firqah yang ada. (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal.37). Dengan kata lain, apabila khalifah atau kekhalifahan sedang vakum, maka kewajiban bai'atpun tidak ada. Juga, sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

Barang siapa mati tanpa bai'at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyah." (HR. Muslim).

Yang dimaksud bai'at disini ialah bai'at kepada khalifah, yaitu jika masih ada di muka bumi. Dan Ketahuilah bahwa sekarang ini, kaum Muslimin atau dunia Islam tidak mempunyai Khalifah yang memimpinnya. Maka hendaklah setiap Muslim menjauh dari firqah-firqah yang menyesatkan. Dalam hal ini Imam Bukhari telah menyusun satu bab khusus yang berjudul "Bagaimana perintah syari'at jika jama'ah tidak ada?"

Ibnu Hajar berkata bahwa yang dimaksud di sini ialah apa yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dalam kondisi perpecahan diantara umat Islam, dan mereka belum bersatu di bawah pemerintahan seorang khalifah.

Kemudian Imam Bukhari menukilkan hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Yaman r.a. dimana beliau pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: "Maka, bagaimana jika mereka, kaum Muslimin tidak memiliki Jama'ah dan tidak memiliki Imam? Rasulullah SAW menjawab: "Maka tinggalkanlah olehmu semua golongan yang ada, meskipun engkau terpaksa makan akar pohon, sehingga engkau menjumpai kematian dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu."

Maksud hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, yaitu apabila khalifah tidak ada, maka menghindar. Hanya ada tambahan dalam hadits ini yaitu "meskipun engkau terpaksa makan akar pohon? dst."

Menurut Baidhawi, kata-kata tersebut merupakan kinayah atau kiasan dari kondisi beratnya menanggung sakit. Selanjutnya Baidhawi berkata:

"Makna hadits ini ialah apabila di bumi tidak ada khalifah, maka wajib bagimu menghindar dari berbagai golongan dan bersabar untuk menanggung beratnya zaman." (Wallahu A'lam). (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 36).

Demikian itulah pemahaman yang berdasarkan argumentasi dan hujah yang jelas dan dapat dipercaya.

“Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah Sallahu ’Alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya agama Islam datang dalam keadaan asing, dan suatu saat akan kembali menjadi asing, maka keberuntungan (surga) akan diperoleh oleh orang-orang yang asing.’” (HR. Muslim)

Mengenai Hadis di atas, Imam Ar Rafi’i berkata: “Agama Islam pertama kali dikatakan asing karena agama Islam sangat menyelisihi tradisi masyarakat kala itu, berupa kesyirikan, dan berbagai perbuatan jahiliyyah. Dan Islam akan kembali asing, dikarenakan kerusakan yang menimpa masyarakat, dan munculnya berbagai fitnah, dan karena mereka mencampakkan jauh-jauh segala konsekwensi keimanan yang benar.” (At Tadwin fi Akhbar Al Qazwin, oleh Imam Ar Rafi’i, 1/139-140).

Diriwayatkan dari Abu Najih Al 'lrbadh ibn Sariyah RA., dimana beliau berkata: Rasulullah SAW telah menasihati kami suatu nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Hal itu seolah-olah merupakan nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal. Kami berkata: “Ya Rasulullah! Maka berikanlah kami wasiat!”. Baginda bersabda: Aku mewasiatkan kamu supaya bertaqwa kepada Allah SWT, supaya mendengar dan taat, sekalipun kamu diperintah oleh seorang hamba. Sesungguhnya, barangsiapa di kalangan kamu yang masih hidup nanti, niscaya dia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa'ur Rasyidin yang mendapat hidayat. Gigitlah ia dengan kuat (yaitu berpegang teguhlah kamu dengan sunnah-sunnah tersebut) dan berwaspadalah kamu dari melakukan perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu dalam neraka. (Hadis riwayat Abu Dawud dan Al Tirmizi. Al Tirmizi berkata ini hadis sahih).

Walau demikian, kaum muslimin tidak perlu berkecil hati, tidak perlu ragu dan bimbang, apalagi menggadaikan prinsip dan aqidahnya, sebab Allah SWT. telah berjanji akan menjaga agama ini, dan senantiasa akan membangkitkan dari ummat Islam orang-orang yang akan berjuang menghidupkan kembali kemurnian syari’at Islam yang telah ditinggalkan oleh manusia dan membersihkan segala penyelewengan yang dilekatkan kepadanya. Orang – orang terpilih ini nantinya yang akan kembali meluruskan agama islam ini setelah generasi – generasi yang rusak mencoba membengkokkannya.

“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Rasulullah Sallahu ’Alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah akan senantiasa mengutus (membangkitkan) untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang-orang yang akan memperbaharui agama mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani)

Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya bukan karena adanya jaminan dari Allah yang akan senantiasa menjaga agama-Nya, dan janji Allah Ta’ala akan membangkitkan orang-orang yang akan memperbaharui rambu-rambu agama-Nya dan menghidupkan kembali syari’at-syari’at yang telah ditinggalkan oleh para penjaja kebatilan, dan menyegarkan segala yang telah dijadikan layu oleh orang-orang bodoh, niscaya tonggak-tonggak agama Islam akan tergoyahkan, dan menjadi rapuh bangunannya. Akan tetapi Allah Maha Memiliki karunia atas alam semesta.” (Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim 3/79).

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesungguhnya Allah akan senantiasa membangkitkan untuk ummat ini pada setiap penghujung seratus tahun (setiap abad) orang-orang yang akan mengajari mereka as sunnah, dan menepis segala kedustaan atas Nabi Muhammad SAW., kemudian kami perhatikan, ternyata pada penghujung abad pertama ada Umar bin Abdul Aziz, dan pada penghujung abad kedua ada Imam As Syafi’i.” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/46).

“Dari hadits dan beberapa penjelasan ulama’ diatas, dapat dipahami bahwa seorang mujaddid (pembaharu) tidaklah mungkin kecuali seorang ulama’ yang menguasai ilmu agama, disamping itu ulama’ tersebut cita-cita dan tekadnya siang dan malam ialah menghidupkan as sunnah, mengajarkannya, dan membela orang-orang yang mengamalkannya. Sebagaimana ia juga berjuang untuk menghapuskan praktek-praktek bid’ah, dan hal yang diada-adakan, serta memerangi para pelakunya, baik dengan lisan, tulisan, pendidikan atau dengan lainnya. Dan orang yang tidak memiliki kriteria demikian ini tidak dapat dikatakan sebagai seorang mujaddid (pembaharu), walaupun ia berilmu luas, dikenal oleh setiap orang, dan sebagai tempat mereka bertanya.” (‘Aunul Ma’bud, oleh Syamsu Al Haq Al ‘Azhim Abadi, 11/263).

Inilah pembaharuan yang ada dalam agama Islam, yaitu pembaharuan dalam wujud menghidupkan kembali ajaran syari’at yang telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan memerangi penyelewengan yang telah merajalela. Dan sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, bahwa mujaddid (pembaharu) abad pertama ialah khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan pada abad kedua adalah Imam As Syafi’i, rahimahumallah. Sejarah telah membuktikan bahwa yang dilakukan oleh kedua orang ini adalah menghidupkan sunnah, memerangi bid’ah, dan mengembalikan metode berfikir masyarakat dalam beragama kepada metode yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada sahabatnya, yaitu tidak fanatik terhadap golongan, dan hanya Al Qur’an dan As Sunnah yang menjadi tolok ukur kebenaran.

Sumber : beberapa diambil dari tulisan Ustadz Muhammad Arifin Badri