Minggu, 03 Desember 2017

AKSELERATOR TEKNOLOGI


Setelah sebelumnya telah mempelajari beberapa bagian dari buku "Good to Great" karya Jim Collins yakni : "Kepemimpinan Level 5", "Siapa Dulu Baru Apa", "Menghadapi Fakta Keras", "Konsep Landak", dan "Kultur Disiplin" maka kini kita akan mempelajari : "Akselerator Teknologi".

Perusahaan "Bagus ke Hebat" berpikir secara berbeda tentang teknologi dan perubahan teknologi. Perusahaan-perusahaan "Bagus ke Hebat" menghindari tren teknologi dan ikut-ikutan. Namun demikian, mereka seringkali menjadi perintis dalam aplikasi teknologi yang dipilih secara cermat, yang sesuai kebutuhan dan diyakini secara nyata mampu mengakselerasi pertumbuhan bisnis.

Pertanyaan yang seringkali diajukan oleh perusahaan "Bagus ke Hebat" adalah : "Apakah teknologi ini sesuai secara langsung dengan konsep landak yang dianut?". Jika jawabannya "Ya" maka perusahaan akan mengambil langkah untuk menjadi perintis dalam penerapan teknologi tersebut. Jika "Tidak", maka Perusahaan dapat sekedar bersama-sama yang lain menerapkan teknologi tersebut atau dapat mengabaikannya sama sekali.

Perusahaan "Bagus ke Hebat" menggunakan teknologi sebagai akselerator momentum, bukan pencipta momentum. Tidak ada perusahaan "bagus ke hebat" yang memulai transformasi mereka dengan teknologi rintisan. Akan tetapi, mereka semua menjadi perintis dalam penerapan teknologi ketika mereka sudah memahami secara mendalam bagaimana teknologi itu cocok dengan ketiga lingkaran konsep landak.

Ketika perusahaan pembanding mencoba menggunakan teknologi yang sama persis dengan teknologi yang dirintis & digunakan oleh perusahaan "Bagus ke Hebat", perusahan pembanding tersebut akan tetap gagal membuahkan hasil yang mendekati sama dengan perusahaan "Bagus ke Hebat". Kegagalan perusahaan mencapai hasil hebat dan lestari bukan disebabkan karena kegagalan teknologi tetapi disebabkan kegagalan manajemen. Teknologi hanya bisa menjadi akselerator dari kegagalan atau keberhasilan perusahaan. Bukan penyebabnya. Sekali lagi perlu diingat, teknologi tidak pernah menjadi sebab utama bagi kejayaan atau kemunduran suatu perusahaan. Seringnya teknologi justru tidak masuk dalam lima faktor teratas agenda transformasi perusahan hebat.

Bagaimana perusahaan merespon pada perubahan teknologi dapat menjadi salah satu indikator untuk menilai apakah suatu perusahaan memiliki dorongan batin akan kejayaan atau sudah cukup puas dengan kondisi sedang-sedang saja. Perusahaan hebat meresppon perubahan teknologi dengan kecermatan dan kreativitas, didorong oleh hasrat untuk mengubah potensi laten menjadi hasil. Perusahaan pembanding bereaksi dan bergerak maju mundur terhadap perubahan teknologi, dimotivasi oleh rasa takut tertinggal.

Pengaturan momentum kapan saatnya perusahan "merangkak", "berjalan", dan "berlari", dapat menjadi pendekatan efektif dalam menyikapi dan menghadapi setiap perubahan teknologi yang cepat dan radikal. Saat perusahaan hebat dihadapkan pada perubahan teknologi yang cepat dan radikal, perusahaan tersebut akan memperlambat langkahnya hinggga seperti "merangkak". Perusahaan mengambil jedah sejenak, berpikir, mempelajari secara cermat dan mendalam kesesuaian penggunaan teknologi itu dengan nilai-nilai dalam tiga lingkaran konsep landaknya.

Ketika diputuskan bahwa teknologi itu sesuai, maka perusahaan akan mulai menggunakan teknologi tersebut secara perlahan. Perusahan hebat tersebut mulai "berjalan" dengan penuh kehati-hatian dalam merancang sistem pengimplementasian teknologi tersebut, mencobanya secara internal, dan terus mengevaluasi kinerjanya. Seringkali perusahaan bagus ke hebat awalnya terkesan lambat dalam merespon perubahan teknologi.

Selanjutnya, saat perusahaan hebat benar-benar mengetahui secara nyata bahwa dengan implementasi teknologi baru tersebut mereka dapat berakselerasi menuju kejayaan, maka mereka segera "berlari" dengan cepat mengimplementasikan teknologi tersebut secara masif. Pada akhirnya mereka menjadi yang terdepan dan meninggalkan para pesaingnya di belakang.

Sabtu, 02 Desember 2017

KULTUR DISIPLIN


Setelah sebelumnya telah mempelajari beberapa bagian dari buku "Good to Great" karya Jim Collins yakni : "Kepemimpinan Level 5", "Siapa Dulu Baru Apa", "Menghadapi Fakta Keras", dan "Konsep Landak", maka kini kita akan mempelajari : "Kultur Disiplin"

Hasil hebat yang lestari yang mampu dicapai oleh suatu perusahaan tergantung pada bagaimana perusahaan tersebut membangun suatu kebudayaan (culture) yang penuh dengan orang-orang berdisiplin mandiri yang mengambil langkah penuh disiplin dan secara fanatik bertindak konsisten mematuhi 3 lingkaran konsep landak.

Seiring suatu perusahaan berkembang dan menjadi kian kompleks, perusahaan pun mulai tersandung kesuksesannya sendiri. Terlalu banyak orang baru, terlalu banyak pelanggan baru, terlalu banyak pesanan baru, terlalu banyak produk baru. Apa yang tadinya menyenangkan kini berubah menjadi bola liar yang tak terorganisir. Kurangnya perencanaan, kurangnya sistem, kurangnya pembukuan/pencatatan, kurangnya batasan rekrutmen, menciptakan gesekan-gesekan yang semakin lama semakin tak terkendali.

Sebagai respon, biasanya diambillah langkah untuk menyewa manajemen profesional, konsultan ternama, dan eksekutif terkenal. Selanjutnya proses birokrasi rumit, prosedur, daftar periksa, dan semua alur kerja kompleks mulai tumbuh pesat seperti ilalang.

Lambat laun, lingkungan kerja yang tadinya egaliter berubah menjadi hierarki. Rantai komando yang panjang mulai muncul. Bermunculan juga kelas eksekutif dengan tunjangan istimewa. Segmentasi "Kami" dan "Mereka" bermunculan dan menggantikan "Kita". Manajemen eksekutif mencoba terus membenahi kekusutan sistem kerja perusahaan. Namun langkah-langkah yang mereka ambil seringkali membunuh semangat kewirausahaan. Keajaiban kreatif mulai pudar. Anggota-anggota paling inovatif dalam perusahaan mulai hengkang karena muak dengan pembengkakan birokratis dan hierarki. Perusahaan yang dulunya menyenangkan akhirnya berubah menjadi perusahaan-perusahaan besar pada umumnya, yang mulai menuju penghancuran dirinya sendiri. Siklus kematian kewirausahaan ini akan senantiassa terjadi pada suatu perusahaan jika tidak ada upaya untuk mempertahankan kultur yang tepat yang sesuai dengan tiga lingkaran konsep landak.

Kultur birokratis di suatu perusahaan biasanya muncul untuk mengkompensasi ketidakbecusan (inkompentensi) dan kurangnya disiplin. Hal ini terjadi karena perusahaan memiliki orang-orang yang keliru dalam "bus" semenjak awal. Jika perusahaan memiliki orang-orang yang tepat di dalam "Bus" dan mendepak orang-orang yang tidak tepat dari dalam "Bus" maka perusahaan tidak memerlukan sistem birokrasi rumit yang cenderung melemahkan semangat kreativitas dan kewirausahaan.

Suatu kultur yang disiplin akan selalu melibatkan dualitas. Di satu sisi, kultur memerlukan orang-orang yang mematuhi satu sistem secara konsisten. Di sisi lain, kultur memberikan orang-orang kebebasan dan tanggung jawab yang cukup dalam kerangka kerja sistem. Kultur disiplin bukan sekedar soal tindakan. Ini dimulai dari adanya "orang-orang disiplin" yang bergulat dengan "pemikiran penuh disiplin" dan kemudian mengambil "tindakan penuh disiplin". Dalam pembentukan kultur disiplin, "daftar hal yang harus berhenti dilakukan" lebih penting dibandingkan daftar "hal yang harus dilakukan".

Semakin disiplin suatu perusahaan untuk tetap berada di dalam tiga lingkaran konsep landak, dengan konsistensi yang nyaris religius, maka perusahaan tersebut semakin memiliki peluang untuk terus bertahan dan tumbuh. Jika suatu perusahaan terus konsisten berada dalam tiga lingkaran konsep landaknya, maka konsep "peluang sekali seumur hidup" tidak lagi relevan. Perusahaan "bagus ke hebat" akan memiliki banyak peluang seumur hidupnya.

Perusahaan "Bagus ke Hebat" pada titik terbaiknya selalu mengikuti mantra sederhana : "Segala sesuatu yang tidak cocok dengan konsep landak yang mereka anut, maka tidak akan dilakukan". Perusahaan tidak akan meluncurkan bisnis-bisnis yang tidak terkait. Perusahaan tidak akan membuat akuisisi-akuisisi yang tidak terkait. Perusahaan tidak akan melakukan joint venture yang tidak terkait. Jika semua hal itu tidak cocok, maka perusahaan tidak akan melakukannya, tidak perduli para kritikus akan terus menakut-nakuti dengan teori dan prediksi.

Hal ini terjadi karena adanya keteguhan keyakinan suatu perusahaan dalam menerapkan tiga lingkaran konsep landak yang telah mereka sepakati sejak awal perumusan. Suatu bentuk disiplin paling penting bagi hasil lestari adalah kepatuhan fanatik pada konsep landak dan kesediaan untuk mengabaikan peluang-peluang yang berada di luar ketiga lingkaran konsep landak.

Perusahaan "bagus ke hebat" membangun sistem konsisten dengan batasan-batasan jelas, tapi mereka juga memberi kebebasan dan tanggung jawab di dalam kerangka kerja sistem tersebut. Mereka mempekerjakan orang-orang tepat yang berdisiplin pribadi tinggi, orang-orang yang tidak perlu dikelola. Kemudian perusahaan tersebut mengelola sistem, bukan mengelola orang.

Perusahaan bagus ke hebat tampak membosankan dan kaku jika dilihat dari luar. Padahal jika ditelaah lebih dalam, perusahaan tersebut penuh dengan orang-orang yang menunjukkan ketekunan ekstrem dan intensitas mengagumkan. Mereka melakukan disiplin ketat ala atlet.

Salah satu tindakan disiplin dapat dilihat dari kegiatan proses penganggaran kegiatan. Proses kegiatan penganggaran perusahaan "bagus ke hebat" bukanlah berpedoman untuk memutuskan berapa alokasi anggaran yang akan didapatkan setiap kegiatan perusahaan. Keputusan alokasi angaran kegiatan dilakukan dengan berpedoman pada konsep landak. Dengan berdisiplin pada konsep landak, maka dapat diputuskan secara tepat dan akurat mana kagiatan-kegiatan yang cocok/sesuai dengan konsep landak dan harus didanai penuh. Dan mana yang seyogianya tidak didanai sama sekali.

Kultur disiplin dapat menjadi kacau jika perusahaan dipimpin oleh seorang tiran yang selalu melakukan tindakan pendisiplinan sepihak. Sistem disiplin ala tiran mengandalkan kekuatan figur/ketokohan sang pemimpin. Kultur disiplin yang dibentuk oleh seorang pemimpin tiran bersifat disfungsional. Hal ini merupakan konsep berbeda dengan konsep kedisiplinan dari suatu perusahaan "bagus ke hebat" yang bersifat fungsional. Para CEO yang melakukan pendisiplinan melalui kekuatan keras kepribadian biasanya hanya mampu membawa perusahaan menjadi perusahaaan hebat sesaat. Kehebatan yang dicapai ini tidak akan mampu bertahan lama / membawa hasil yang lestari. Ketika CEO tersebut tidak lagi menjabat atau ketika CEO tidak lagi mengontrol kedisiplinan perusahaan dalam tiga lingkaran konsep landak, biasanya perusahaan akan langsung jatuh terpuruk.

Selasa, 28 November 2017

KONSEP LANDAK (KESEDERHANAAN DALAM 3 LINGKARAN)


Melanjutkan pembahasan buku Good to Great karya Jim Collins, dimana sebelumnya kita telah membahas "Kepemimpinan Level 5", "Siapa Dulu Baru Apa", dan "Menghadapi Fakta Keras", sekarang kita akan membahas mengenai "Konsep Landak".

Penggunaan analogi Landak terilhami dari sebuah esai berjudul "The hedgehog and the fox" (si Landak dan si Rubah). Rubah digambarkan sebagai hewan yang cerdas, tahu banyak hal, ahli strategi. Rubah mengejar banyak tujuan dan melihat dunia yang akan dihadapinya dengan segala kompleksitasnya. Namun, rubah tidak bisa mengintegrasikan pemikiran mereka ke dalam satu konsep umum atau visi yang padu.

Sebaliknya, Landak memang tidak secerdas dan setangkas rubah, namun memiliki pemikiran sederhana. Walau landak terlihat sebagai hewan membosankan, ia mampu menyederhanakan dunia yang kompleks ke dalam satu ide, satu prinsip dasar, atau konsep dasar yang kemudian menjadi tuntunannya melakukan segala sesuatu.

Dalam kisahnya, rubah selalu berupaya menyerang landak. Ia menggunakan dan mencoba segala cara dan muslihat untuk bisa mewujudkan keinginannya. Sebaliknya landak selalu berpikir sederhana. Setiap kali rubah hendak menyerang dengan berbagai variasi serangan dan muslihat, maka landak hanya tinggal menggulung dirinya dan menegangkan duri-duri di tubuhnya ke segela arah seperti bola berduri. Pada akhirnya si rubah yang hendak menerkam landak, ketika melihat pertahanan itu, ia akan membatalkan serangan, dan mundur kembali ke hutan, mencoba kembali merencanakan strategi serangan baru. Setiap hari, versi lain peperangan landak dan rubah terjadi. Meskipun kecerdasan rubah lebih tinggi, sang landak selalu menang, walau hanya menggunakan cara yang itu-itu saja, yakni menggulung dirinya dan mengandalkan pertahanan duri-duri di tubuhnya.

Melangkah dari perusahaan bagus ke hebat menuntut perusahaan untuk melampaui kutukan kompetensi. Walaupun suatu perusahan telah meyakini bahwa ia memiliki bisnis inti yang dibanggakan dan telah digelutinya selama bertahun-tahun, bukan berarti perusahaan tersebut dapat menjadi yang terbaik di bidang bisnis tersebut. Jika perusahaan tersebut tidak bisa menjadi yang terbaik di bisnis intinya tersebut, maka bisnis inti tersebut jelas tidak bisa mengantarkan perusahaan tersebut menjadi perusahaan hebat. Oleh karena itu, bisnis inti perusahaan tersebut harus diganti dengana suatu konsep sederhana yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang 3 lingkaran yang saling beririsan, disebut sebagai konsep Landak, kesederhanaan dalam 3 lingkaran :



Perusahaan "Bagus ke Hebat" berfokus pada kegiatan-kegiatan yang memantik gairah mereka. Gagasannya di sini adalah bukan merangsang gairah, tapi menemukan apa yang membuat perusahaan bergairah.

Pemahaman "terbaik di dunia" adalah standar yang jauh lebuh ketat dibandingkan kompetinsi inti. Suatu Perusahaan mungkin memiliki kompetensi tapi tidak mesti memiliki kemampuan untuk benar-benar menjadi yang terbaik di dunia berdasarkan kompetensi tersebut. DI sisi lain, mungkin ada kegiatan-kegiatan di mana Perusahaan sebenarnya bisa menjadi yang terbaik di dunia, hanya saja Perusahaan belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan saat ini.

Kuncinya adalah suatu perusahaan bisa memahami di mana organisasi/perusahaan tersebut bisa menjadi yang terbaik di dunia. Hal ini sama pentingnya dengan memahmi di mana organisasi/perusahaan tidak bisa menjadi yang terbaik di dunia. Dan yang penting, bukan dimana organisasi/perusahaan "ingin" menjadi yang terbaik di dunia.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang pendorong mesin ekonomi Perusahaan, perusahaan "bagus ke hebat" mencari satu denominator (misal laba/X, atau dalam sektor sosial, arus kas per X, dll) yang memiliki dampak terbesar. Perusahaan "Bagus ke Hebat" memiliki pengetahuan mendalam mengenai bagaimana cara paling efektif menciptakan profitabilitas dan arus kas matang yang lestari.

Konsep landak bukanlah tujuan, strategi, atau niatan. Konsep Landak adalah pemahaman. Dibutuhkan rata-rata 4 tahun bagi suatu perusahaan untuk menemukan konsep landak mereka. Perusahaan-perusahaan yang mampu berubah dari "bagus" ke "hebat" mematok tujuan dan strategi mereka berdasarkan pemahaman. Berkebalikan dengan itu perusahaan pembanding (perusahaan yang gagal menjadi hebat) mematok tujuan dan strategi mereka berdasarkan kesombongan.

Upaya mendapatkan dan menerepkan kosep landak merupakan proses berulang (siklus). Dewan (Council) bisa menjadi berguna. Dewan terdiri dari sekumpulan orang yang tepat yang berpartisipasi dalam dialog dan debat yang dituntun oleh pertanyaan-pertanyaan untuk merumuskan konsep tiga lingkaran terbaik, dan membahas mengenai isu-isu penting dan keputusan-keputusan yang dihadapi organisasi.

Perusahaan-perusahaan "bagus ke hebat" berperilaku seperti landak. Sederhana, membosankan, yang hanya tahu satu hal besar dan terus bertahan dengan itu. Perusahaan yang tidak bisa menjadi hebat berperilaku seperti rubah. Mahluk tangkas dan cerdas yang tahu banyak hal tapi tidak memiliki konsistensi.

Perusahaan "Bagus ke Hebat" tidak perlu berada di bidang industri yang hebat untuk menciptakan hasil yang hebat. Tak peduli betapa pun buruknya kondisi industri/bisnis yang sedang terjadi dan melanda dunia, perusahaan "bagus ke hebat" selalu dapat menemukan jalan bagaimana cara menciptakan imbal hasil ekonomi yang benar-benar unggul.

Sabtu, 25 November 2017

PERILAKU KONSUMEN MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ENERGI MASA DEPAN


Telah berlalu sekitar 1 abad sejak umat manusia mengeksploitasi sumber-sumber energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) secara masif. Penemuan mesin uap mendorong penggunaan batu bara secara besar-besaran. Hal ini mendorong revolusi industri. Terjadi urbanisasi dari desa ke kota. Tak lama kemudian, setelah kendaraan berbahan bakar minyak (bensin dan diesel) dapat diproduksi secara massal dan semakin ekonomis, maka eksploitasi terhadap sumber-sumber minyak bumi semakin gencar. Gas bumi/alam baru termanfaatkan belakangan dalam jumlah besar, seiring dengan perkembangan teknologi pemprosesan dan transportasi gas alam yang semakin canggih dan ekonomis.

Selanjutnya, di era kini, mulai muncul isu-isu terkait lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini CO2, ditengarai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Indikator-indikator yang biasanya diangkat adalah kualitas udara yang semakin menurun di perkotaan dan daerah industri, mencairnya es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan air laut, terbentuknya lubang pada lapisan ozon, bencana alam yang semakin sering terjadi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, penggunaan energi fosil dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian lingkungan di masa depan.

Isu-isu tersebut memberi dorongan untuk beralih ke energi terbarukan. Maka teknologi energi terbarukan diperkenalkan, walau harganya masih relatif jauh lebih tinggi dari energi fosil. Pemerintah-pemerintah dunia semakin marak berpartisipasi dalam program-program berkenaan dengan perlindungan lingkungan. Perusahaan-perusahaan migas didorong untuk semakin menurunkan tingkat emisinya dan semakin efisien. Manufaktur-manufaktur kendaraan dan mesin didorong untuk mengeluarkan varian kendaraan dan alat yang menggunakan energi non fosil. Proyek-proyek energi terbarukan diberi insentif-insentif untuk semakin menarik minat investor.

Walaupun demikian, dalam praktek dan kenyataannya, upaya-upaya beralih ke penggunaan energi terbarukan ini dinilai masih sangat lambat. Mahalnya biaya teknologi energi terbarukan dan kurangnya fleksibilitas (karena sangat tergantung pada kondisi alam dan mahalnya investasi untuk penyimapan energi) seringkali menjadi alasan keengganan perubahan perilaku di sisi pengusaha energi dan manufaktur dan termasuk juga para pengambil kebijakan. Pada akhirnya, target-target kebijakan lingkungan dan komitmen-komitmen lingkungan tidak mampu tercapai dan terkesan hanya menjadi komoditas politik belaka.

Namun berbeda halnya pada sektor end user (pengguna akhir) energi. Kita bisa melihat akhir-akhir ini semakin banyak muncul tokoh-tokoh futuris yang menyuarakan perubahan. Mereka memperkenalkan teknologi-teknologi masa depan yang terlihat keren, membuat hidup semakin praktis, dengan harga semakin terjangkau. Seolah membuat nyata teknologi-teknologi yang selama ini hanya ada di kisah science fiction (fiksi ilmiah). Mereka terus berinovasi tiada henti. Di satu sisi membuat orang-orang tercengang. Di sisi lain membuat deg-degan para pelaku industri & bisnis eksisting karena adanya kemungkinan perubahan radikal dalam proses bisnis eksisiting sebagai akibat masuknya teknologi-teknologi baru yang mereka perkenalkan.

Ada kendaraan listrik, kendaraan tanpa pengemudi, robot, kecerdasan buatan (artificial intelligence), virtual & augmented reality, internet of things, cloud & big data, dll. Pengenalan teknologi-teknologi tersebut menuntut semua aktivitas manusia untuk berubah mengikuti tren teknologi yang digandrungi masyarakat.

Tenaga-tenaga manusia/manual ssuatu saat mungkin dapat digantikan oleh tenaga robot dan artificial intelligence. Tuntutan proses produksi agar semakin efisien akan menyebabkan perusahaan dan pabrik semakin gencar memanfaatkan teknologi-teknologi canggih dan otomatisasi. Hal ini mendorong pengurangan peranan dan jumlah tenaga manusia yang dipekerjakan. Akan tetapi ruang-ruang lapangan kerja baru mungkin juga dapat tercipta dan secara perlahan memaksa masyarakat masa depan beralih ke bidang-bidang pekerjaan baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya.

Perkembangan teknologi-teknologi baru tersebut, sangat memungkinkan mendorong terjadinya perubahan perilaku konsumen (end user). Dan perubahan prilaku konsumen inilah yang nantinya mendorong secara masif para produsen dan pelaku bisnis untuk mengikuti dan menyesuaikan kebutuhan konsumen dengan paradigma baru tersebut. Contohnya saja pada pengenalan smartphone layar sentuh. Para produsen awalnya belum ada yang berani mengeluarkan produk smartphone dengan layar sentuh. Namun ketika ada salah satu produsen mengeluarkan produk handphone layar sentuh dan sukses di pasaran, maka kemudian hampir semua produsen smartphone langsung mengeluarkan produk-produk smarphone layar sentuh.

Sementara itu, dalam komunitas konsumen energi, juga sangat memungkinkan mengalami perubahan. Mungkin saja, konsumen di masa depan akan lebih memilih penggunaan kendaraan listrik untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil, karena dianggap lebih keren, lebih murah, lebih sehat, tidak berisik, lebih murah ongkos perawatan, dan pertimbangan lainnya. Ibu rumah tangga juga mungkin akan lebih memilih kompor listrik ketika kompor listrik harganya lebih murah, dan biaya bulanannya lebih murah, dan mungkin juga dianggap lebih keren dari kompor gas LPG, lebih prestisius. Industri pengguna energi mungkin saja juga akan lebih banyak menggunakan alat-alat canggih yang menggunakan teknologi komputer cerdas. Misalkan sistem otomatisasi pabrik, robot, artificial intelligent, 3D printer, dan lain-lain. Hal ini karena tuntutan pasar yang memaksa mereka untuk beroperasi secara lebih praktis, efisien, aman (safe), memenuhi regulasi lingkungan, dan alasan lainnya. Bisa saja dorongan perubahan perilaku konsumen bukan lagi disebabkan oleh faktor harga yang lebih murah. Konsumen masa depan bisa saja bersedia membayar lebih mahal demi memenuhi tuntutan paradigma masyarakat baru. Semuanya serba memungkinkan terjadi di masa depan.

Perubahan-perubahan yang dipacu penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut memang tidak menentu. Banyak prediksi, proyeksi, dan spekulasi. Namun satu hal yang kemungkinan pasti, bahwa penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut mengindikasikan kebutuhan energi listrik yang semakin besar di masa depan. Teknologi-teknologi masa depan semakin tergantung pada energi listrik untuk dapat beroperasi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah darimanakah umat manusia di masa depan menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar, stabil, dan murah. Seperti diketahui bersama, energi listrik harus dihasilkan/dibangkitkan dari sumber energi lain. Bisa dari energi fosil (minyak bumi, batubara, dan gas alam), bisa juga dari energi terbarukan, dan bisa dari energi baru (misal nuklir).

Konsumen energi yang semakin tergantung pada teknologi-teknologi bertenaga listrik tersebut, akan sangat berperan dalam pola penggunaan energi di masa depan. Tentu saja hal ini juga akan mendorong inovasi-inovasi teknologi pembangkitan energi listrik secara cepat. Teknologi batere bisa semakin murah dan canggih dan lifetime (umur pakai) lebih panjang. Teknologi energi terbarukan bisa saja semakin ekonomis dan fleksibel dan terintegrasi dengan teknologi penyimpanan energi yang murah dan canggih serta terhubung secara lancar dengan jaringan listrik pintar. Teknologi energi nuklir mungkin saja semakin aman dan murah. Dan mungkin juga, teknologi pembangkit listrik dari energi fosil juga akan ikut berbenah dan semakin mampu memenuhi tuntutan kebijakan lingkungan, semakin efisien dan semakin murah.

Semua sumber energi tersebut, baik energi fosil, energi terbarukan, dan energi baru, akan berkompetisi semakin ketat. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan energi di end user yang semakin banyak dimanjakan teknologi-teknologi baru yang semakin tergantung pada tenaga listrik. Perilaku konsumen dalam menyikapi kehadiran teknologi-teknologi baru tersebut akan mempengaruhi pola penggunaan energi di masa depan.