Jumat, 24 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (2)


Pendekatan “holistik” antara perubahan iklim dengan keamanan energi, secara narasi adalah: “Pertumbuhan penggunaan energi oleh manusia yang berasal dari bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global”. Oleh sebab itu perubahan iklim harus diakui sebagai sebuah masalah keamanan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Dengan demikian narasi holistik (menyeluruh) tadi menjadi berlanjut, yaitu bahwa perubahan iklim tidak hanya sekedar sebuah ancaman terhadap keamanan global melainkan juga sebuah “pelipat ganda” ancaman, dalam kaitannya dengan keamanan energi. Berangkat dari contoh kasus “migrasi masal pengungsi untuk berlindung dari bencana ekologi dapat mendestabilisasi wilayah-wilayah di dunia”, solusi terhadap perubahan iklim harus merupakan bagian dan paket dari strategi keamanan energi nasional dan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Jika ada ketidaknyamanan kebenaran yang terkait dengan sistem energi yang ada, hal itu disebabkan masyarakat tidak bisa menyuarakan perubahan iklim dan keamanan energi secara serentak. Sebaliknya, terlalu banyak memberikan penekanan terhadap salah satunya maka akan memperparah yang lain. Pernyataan ini tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada kebijakan maupun teknologi yang dapat menyatakan keduanya. Efisiensi, konservasi, dan pemanfaatan teknologi bersih secara umum bermanfaat untuk menurunkan emisi CO2 maupun meningkatkan keamanan energi secara serempak. (World Economic Forum, 2012).

Secara teknis, upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi perubahan iklim dapat dilakukan melalui pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, baik dengan penghematan dan konservasi energi yang ketat, serta beralih kepada sumber energi yang rendah karbon atau sumber energi non fosil. Di masa depan, saat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture & storage – CCS) semakin ekonomis, maka opsi ini juga merupakan upaya yang secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon. (World Economic Forum, 2012).

Kenyataannya, pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, dan urbanisasi, telah memicu peningkatan konsumsi energi, makanan, dan air bersih. Ketika permintaan masyarakat akan air bersih bertambah, maka sumber-sumber air bersih akan semakin langka. Karenanya akan dibutuhkan tambahan konsumsi energi untuk melakukan pemompaan, desalinasi, treatment dan distribusi air. Penarikan air tanah tahunan pada sektor energi seperti pada pertambangan, pemprosesan, pengolahan, dan pembangkitan listrik, terhitung sebanyak sekitar 15% dari pemanfatan air bersih total dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan dalam satu dekade ke depan. Sektor agrikultural bahan pangan juga tercatat mengkonsumsi sekitar 30% energi dunia dan mengkonsumsi 70% air bersih dunia. (REN21, 2015).

Ketika permintaan bahan pangan tumbuh, maka konsumsi energi dan air juga akan ikut tumbuh. Dalam rangka memutus keterkaitan yang selaras di antara ketiga komponen ini (air, pangan, dan energi) maka pemanfaatan energi terbarukan dapat mengambil peranan. Sejumlah bentuk energi terbarukan berpotensi dapat membantu mengurangi konsumsi air bersih dalam proses pembangkitan energi, misalkan dengan pemanfaatan energi matahari dan angin. (REN21, 2015).

Di sektor agrikultur bahan pangan, pemanfaatan energi terbarukan juga dapat membantu mengurangi ketergantungan harga bahan pangan terhadap harga bahan bakar fosil. Beberapa aktivitas pengolahan makanan seperti misalnya dalam proses pendinginan dan pengeringan, dan juga pendistribusian, energi terbarukan memiliki potensi untuk masuk dan mengurangi peranan energi fosil. Bahkan sampah bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi terbarukan sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian energi terbarukan dapat berperan cukup signifikan dalam peningkatan ketahanan energi, ketahanan pangan, dan sekaligus ketahanan air bersih. (REN21, 2015).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia


Kamis, 23 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (1)


Pemanfaatan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) untuk memproduksi energi merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total (WRI, 2005; dalam IEA, 2005a). Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen (IEA, 2005a).

Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Secara umum, gas rumah kaca terbentuk secara alami di lingkungan. Namun demikian, sejumlah aktivitas manusia di bidang industri telah berkontribusi menambah peningkatan produksi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan kadar gas rumah kaca ini semakin tinggi sehingga berada pada level yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan.

Uap air merupakan komponen gas rumah kaca terbesar. Namun demikian peningkatan uap air di udara dapat menjadi umpan balik positif (penyeimbang) terhadap peningkatan gas rumah kaca lain. Hal ini karena kadar uap air dapat meningkat seiring dengan peningkatan temperatur.

Berbeda halnya dengan uap air, CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua, dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

Peningkatan komposisi gas rumah kaca di atmosfer akan menyebabkan pemanasan temperatur bumi dan secara global akan menyebabkan perubahan iklim. Mencairnya es di daerah kutub, peningkatan level air laut, ditengarai menjadi indikasi telah naiknya temperatur bumi. Hal ini dinilai mengancam eksistensi manusia di masa depan. Dengan demikian, mencegah perubahan iklim tidak dapat secara sukses dilakukan tanpa melakukan perubahan secara radikal dalam cara kita memproduksi, mengolah, dan menggunakan energi. (IEA, 2007).

Dewasa ini, telah cukup populer upaya-upaya pakar lingkungan untuk menghubungkan isu perubahan iklim dengan energy security. Hal ini dinilai dapat meningkatkan perhatian politik mengenai pentingnya tindakan yang lebih serius dalam upaya mencegah perubahan iklim. Segala upaya yang mengarah kepada pengembangan sistem energi yang lebih handal juga diharapkan dapat mengurangi emisi yang dihasilkan. Sebagai contoh, semakin besar upaya-upaya efisiensi energi yang dilakukan, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan kedua program tersebut. (World Economic Forum, 2012).

Kebijakan yang ditujukan untuk energy security yang dihubungkan dengan konsentrasi sumber energi akan memberi dampak terhadap pengurangan perubahan iklim dan juga sebaliknya. Pada kedua kasus tersebut, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan secara tepat merupakan yang paling besar pengaruhnya terhadap pemilihan bahan bakar. Pada energy security, targetnya adalah untuk menjauhi sumber bahan bakar yang rentan terhadap gangguan, sedangkan pada isu perubahan iklim, targetnya adalah untuk mengurangi intensitas penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon. (IEA, 2007).

Secara teoritis, upaya untuk menghubungkan sasaran energy security dengan sasaran isu perubahan iklim dapat mendorong kemajuan yang lebih baik pada kedua sisi. Akan tetapi, dalam prakteknya, upaya menghubungkan energy security dengan perubahan iklim ini membuahkan hasil positif yang relatif kecil. Hal ini disebabkan upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan lebih dikendalikan oleh faktor kelayakan politik dibandingkan visi praktis mengenai apa yang secara realistis dapat dicapai dari kebijakan lingkungan. (World Economic Forum, 2012).

Para pembuat kebijakan cenderung untuk menentukan sasaran yang tidak dapat dicapai dalam upaya mengurangi emisi, sedangkan langkah nyata untuk mencapainya cenderung dilakukan dengan sangat lambat. Upaya-upaya yang mendorong terjadinya perubahan sistem energi yang mendukung tercapainya target perbaikan lingkungan tampak tidak dijalankan secara serius. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap program-program perbaikan lingkungan. Kurangnya kepercayaan publik, pada gilirannya, telah mengurangi minat pelaku industri untuk berinvestasi di teknologi baru yang dibutuhkan yang mendukung tercapainya target-target kebijakan lingkungan. Para pelaku industri semakin sadar bahwa sasaran kebijakan lingkungan yang dirumuskan pemerintah merupakan sasaran yang tidak akan mampu dicapai. (World Economic Forum, 2012).

Upaya perbaikan terhadap sistem kebijakan yang bermasalah seperti ini membutuhkan upaya-upaya perbaikan pada tiga bidang. Pertama, adalah menyusun sasaran yang lebih realistis. Kedua, adalah fokus pada mekanisme pasar yang dapat menumbuhkan kompetisi yang sehat dari semua teknologi energi. Ketiga, adalah merangkul dampak-dampak dari globalisasi. Kebangkitan pasar global untuk teknologi energi dan bahan bakar merupakan potensi yang besar dalam perjuangan untuk menjamin energy security, sementara di sisi lain melakukan upaya mengurangi produk emisi karbon pada pemanfaatan energi (decarbonizing). Pasar global akan mengembangkan pasokan dan mendiversifikasi sistem energi. (World Economic Forum, 2012).

To Be Continued..............

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Minggu, 29 Oktober 2017

MENGAPA NYINYIR PADA WANITA BERJILBAB DAN BERCADAR


Jika selama ini banyak orang tidak masalah dengan mbak perawat/dokter/guru/karyawati/siswi yang mengenakan rok (bahkan rok mini) dan pakaian ketat, seharusnya mereka juga tidak akan mempermasalahkan wanita yang berjilbab, berjilbab lebar dan bahkan yang bercadar.

Kemungkinan pertama, mereka yang berkeberatan terhadap jilbab, jilbab lebar dan bahkan jilbab bercadar adalah orang-orang yang pikirannya senang mesum, sehingga terhalangilah kemesumannya tersebut oleh pakaian serba tertutup yang dikenakan seorang wanita muslimah. Kemungkinan kedua, karena mereka sedang terjangkit virus islamphobia. Pokoknya mereka akan selalu berpikiran negatif atau berprasangka buruk terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Termasuk cara berpakaiannya. Kemungkinan lainnya adalah karena kurang pahamnya mereka terhadap syariat berjilbab/berhijab bagi wanita muslimah termasuk detail-detail syarat dan ketentuan berlakunya. Sehingga ketika mereka menemui suatu praktek yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan, mereka langsung menolak dan menutup diri serta tidak berupaya terbuka pada doalog dan diskusi untuk memahami.

Padahal Fashion berjilbab dan bercadar untuk wanita sempat nge-trend di era Nabi Muhammad, para Sahabat, dan generasi-generasi setelahnya sampai ke-khalifa'an Islam terakhir, Turki Ustmani. Ini bukanlah upaya mengekang kebebasan kaum wanita seperti diserukan para pendukung feminisme. Akan tetapi, ini adalah upaya seorang wanita muslimah yang beriman dan bertakwa untuk menjalankan perintah agama. Sekaligus, ini adalah hak setiap wanita untuk mengenakan apa yang ingin mereka kenakan sesuai keyakinan agamanya. Fashion Islami serba tertutup ini adalah untuk memuliakan wanita muslimah dan melindunginya dari pandangan/gangguan laki-laki buaya dan berbagai bentuk eksploitasi wanita.

Coba kita bandingkan dengan fashion wanita zaman sekarang yang tampak semakin terbuka dan semakin bebas (tapi laki-laki suka 😝). Sebenarnya ini menunjukkan bahwa trend fashion terbuka ini semakin mengarah kembali ke fashion era jahiliyah. Justru inilah yang menandakan kemunduran peradaban umat manusia. Manusia beradab akan senantiasa menutupi tubuhnya secara layak.

Maka dari itu, hal ini perlu dicermati dan direnungi bersama. Mengapa seorang wanita yang hendak menutup auratnya justru dinyinyirin, diprasangkai buruk, dianggap berlebihan dan bahkan dilarang. Sementara itu, wanita-wanita lainnya yang membuka auratnya dengan alasan berkesenian dan kebebasan berekspresi justru dipuja-puji dan dibayar mahal. Tanya kenapa?

Sabtu, 28 Oktober 2017

MENGAPA NEGERI MUSLIM KALAH MAJU DENGAN NEGERI NON MUSLIM


Sering orang bertanya kenapa kini negeri-negeri muslim kalah maju dengan negeri-negeri kafir/non muslim di semua bidang. Baik di bidang ilmu pengetahuan & teknologi, politik, ekonomi, sosial & budaya, pertahanan & keamanan, dll. Jawabannya yang saya tahu ada dua.

Pertama, karena istidraj terhadap negeri-negeri non muslim tersebut sehingga mereka cenderung semakin tenggelam dalam urusan dunia dan semakin jauh dari hidayah Islam. Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada seseorang/kaum padahal seseorang/kaum tersebut jauh dari petunjuk-Nya, dimana hal ini sebenarnya merupakan penundaan azab bagi mereka. Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah (QS. Al-An’am : 44) yang artinya, “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad, no. 17349, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

Kedua, Umat Islam mengalami kemunduran karena kini kaum muslimin belum menerapkan Al Quran dan Sunnah secara kaffah (total) seperti di era terdahulu. Kaum muslimin kemudian lebih memilih untuk mengikuti/meniru jalannya orang-orang non muslim yang dianggap lebih modern dan lebih keren serta secara bersamaan cenderung meninggalkan syariat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan diangkatlah kedigdayaan dan keberkahan dari negeri-negeri kaum muslimin oleh Allah Azza Wa Jalla.

Bagi Umat Islam yang benar-benar beriman, maka mereka akan percaya bahwa umat Islam dapat mencapai kejayaannya kembali cukup dengan bermodalkan Iman yang benar kepada Allah yakni yang sesuai pedoman sunnah Nabi dan sunnah khulafaur Rasyidin. Karena kalau iman sudah benar dan berjaya di tubuh kaum muslimin maka hal ini secara otomatis akan menarik kejayaan di bidang-bidang lain seperti kejayaan di bidang sains, teknologi, ekonomi, militer, politik, sosial, budaya, dll. Dan ini sudah terbukti pada masyarakat Arab di era Nabi dan Para Sahabat dimana dengan kondisi masyarakat arab di masa itu yang terbelakang di bidang sains, teknologi, politik, militer, dll dibandingkan peradaban Romawi dan Persia, namun mereka dengan semangat iman dan Islam ternyata bisa menjadi peradaban unggulan hingga ribuan tahun berikutnya, mengungguli peradaban super power saat itu yakni Romawi dan Persia.

Insya Allah kalau mayoritas umat Islam sudah kembali berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah sesuai pemahaman dan prakteknya generasi salafus saleh, semakin semangat beramar makruf nahi mungkar, maka akan dihadirkan kembali ditengah kaum muslimin, ilmuan-ilmuan muslim yang berpartner dengan para ulama dan pemimpin-pemimpin yang soleh dalam membangun peradaban Islam yang unggul dan Rahmatan Lil Alamin. Termasuk juga hadirnya sistem yang mendukung ilmuan-ilmuan muslim tersebut berkembang dan berkontribusi maksimal. Sesuai dengan janji Allah : 

“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa (kepada Allah) sesungguhnya Kami (Allah) bukakan kepada mereka (pintu-pintu) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjakan.” [Qs. Al-A’raf: 96]

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS Âli ‘Imrân, 3: 110]

Seandainya umat Islam kembali secara kaffah kepada Al Quran dan Hadis sesuai Standar Pemahaman dan Prakteknya generasi Salafus Sholeh (generasi awal ke-Islaman : Para Shabat Nabi, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in) maka niscaya tidak akan ada perdebatan dan keributan yang tidak perlu dalam pembahasan syariat-syariat Agama Islam yang sudah sempurna seiring berakhirnya era kenabian, sehingga waktu, tenaga dan pikiran umat Islam bisa difokuskan untuk membangun peradaban dunia. 

Namun sayangnya sebagian umat Islam justru menggunakan standar-standar selain standar salafus shaleh dalam memahami syariat agamanya sendiri. Ada yang lebih memilih mengedepankan menggunakan Standar akal, Standar rasio, Standar perasaan, Standar Selera, Standar Ormas, atau malah pakai Standar-Standar kaum di luar Islam. Padahal para Salafus Sholehlah yang paling memahami intepretasi Al Quran dan Hadis karena mereka hidup di era awal ke-Islaman yang dibawa Nabi Muhammad dan telah banyak kitab yang mereka tinggalkan untuk generasi selanjutnya. Ulama-ulama berikutnya hingga saat ini pun sebenarnya masih banyak yang berpegang teguh Al Quran dan Sunnah sesuai pada standar pemahaman & praktek salafus saleh. Walaupun dalam kenyataannya bagi sejumlah kaum muslimin, ulama-ulama tersebut sering dijadikan sasaran fitnah oleh mereka yang tidak suka.  

Jadi seharusnya tidak perlu lagi aqidah-aqidah, praktek-praktek, dan pokok-pokok dalam agama Islam diotak-atik, dimodifikasi, dikreasikan baru, atau justru diakal-akalin dimana hal ini akan menimbulkan polemik berkepanjangan di internal umat Islam. Tinggal laksanakan saja sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi salafus sholeh, dan apa yang tidak dicontohkan jangan dikerjakan. Jika menemukan ada perselisihan pendapat ambil mana yang telah menjadi kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama dan yang paling kuat referensi dalilnya. Mungkin tinggal pembahasan permasalahan-permasalahan kontemporer saja yang akan terus berlangsung. 

Apabila demikian adanya, maka semua potensi tenaga, akal dan rasio, dan waktu berharga umat Islam akan dapat banyak difokuskan untuk pengembangan keilmuan dunia seperti sains & teknologi, politik, ekonomi, sosial & budaya, pertahanan & keamanan global, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Bukan malah justru seperti selama ini dimana energi umat Islam banyak dihabiskan dalam debat kusir tak berujung, perselisihan, perpecahan, mengenai masalah-masalah syariat Islam yang sebenarnya telah jelas tuntunannya, yakni sesuai Al Quran dan Sunnah sesuai Standar Pemahaman dan Prakteknya generasi Salafus Sholeh.