Minggu, 28 Januari 2024

Penerapan Teknologi Dan Bid'ah Dalam Agama


Masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan bid'ah dalam pengertian bahasa dengan bid'ah dalam agama. Secara pengertian bahasa (secara umum), bid'ah berarti segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Ini berarti juga mencakup misalkan inovasi-inovasi teknologi. 

Sementara bid'ah dalam agama berarti cara baru dalam perkara agama (pemikiran dan tata cara ibadah) yang diserupakan syariat yang dikerjakan masyarakat dengan maksud mengharap pahala tanpa adanya dalil dalam syariat atau contoh dari Rasulullah. 

Namun sayangnya banyak orang yang memutar balikkan pengertian tersebut. Hal ini menimbulkan kesan bahwa mereka yang selalu menyerukan/mendakwahkan agar kaum muslimin menjauhi bid'ah kemudian dicap anti kemajuan, tidak konsisten dan lain sebagainya. 

Misalkan mereka menyatakan bahwa orang-orang yang suka menyerukan bid'ah, kalau mau konsisten agar tidak pakai speaker mesjid saat adzan. Pergi haji ke Mekkah & Madinah naik onta, jangan naik pesawat, dan lain sebagainya yang sejenis itu. Ini menunjukkan bahwa mereka belum bisa membedakan bid'ah menurut pengertian bahasa dengan bid'ah dalam agama menurut pengertian syariat.   

Penggunaan speaker Masjid tidak merubah pelafalan bacaan adzan atau tata cara ibadah pelaksanaan adzan. Justru membantu memperluas jangkauan suara adzan. Sehingga tidak bisa dikatakan penggunaan speaker masjid adalah bid'ah dalam agama. 

Akan berbeda kasusnya jika misal ada suatu masjid menyatakan bahwa masjid tersebut sudah menggunakan teknologi AI (Artificial Intelligence) yang terkoneksi dengan speaker masjid sehinggga tidak butuh lagi muadzin saat mengkumandangkan adzan. Bahkan misal mesjid tersebut juga sudah menggunakan robot humanoid untuk menjadi imam shalat, sehingga tidak butuh lagi imam manusia. Ini baru bisa menjadi bahasan lebih lanjut. 

Dalam syarat & rukun ibadah haji juga tidak ada ketentuan bahwa semua jamaah haji harus datang ke Mekkah dan Madinah naik onta. Jadi, jamaah haji, ya mau naik kapal laut, kendaraan darat, pesawat, bahkan mau pakai teknologi teleportasi untuk sampai di Mekkah dan Madinah, tentu tidak masalah, karena hal-hal tersebut tidak mengubah syarat dan rukun ibadah haji. 

Lain ceritanya jika kemudian ada seseorang sedang berhaji lalu saat masanya/waktunya wukuf di arafah, dia justru ada di kota lain/area lain. Dia tidak hadir secara fisik saat wukuf di arafah, karena dia meyakini bahwa hadir di Arafah dapat digantikan dengan implementasi teknologi Virtual Reality yang terkoneksi dengan drone berkamera yang terbang di wilayah padang arafah. Ini baru beda ini. Hehe..hehe.

Minggu, 21 Januari 2024

Sejarah Agama Berdasarkan Kajian Para Sejarawan Dan Arkeolog


Seringkali kita dengar dan baca dalam pelajaran sejarah, dan berdasarkan penemuan-penemuan para arkeolog, telah terdapat agama-agama tertua di dunia yang dianut peradaban manusia kuno pada masa lampau. Misalkan pada peradaban Mesir kuno. Disebutkan mereka menganut politesime atau menyembah banyak dewa. Mereka menyembah dewa bulan (Amun) dan dewa matahari (Ra) serta dewa-dewa lainnya. Sama halnya dengan peradaban mesopotamia yang menurut pada sejarawan dan arkeolog juga menganut politeisme, menyembah banyak dewa. 

Teori ini didasarkan pada hasil penemuan para sejarawan dan arkeolog, melalui penggalian situs-situs kuno, bangunan kuno, prasasti-prasasti, artefak-artefak dan lain sebagainya. Mereka kemudian mencoba mengintepretasikan tulisan-tulisan kuno tersebut sehingga muncullah kesimpulan demikian. Hal tersebut kemudian dituliskan dalam buku-buku sejarah dan diajarkan kepada para siswa.

Namun demikian, implikasi dari hal ini adalah munculnya kesan bahwa agama samawi (termasuk Islam) baru muncul kemudian setelah peradaban-peradaban kuno menganut agama-agama tertua tersebut yang barangkali sekarang sudah tidak ada penganutnya lagi. Muncul kesan seolah agama itu adalah produk dari perjalanan peradaban manusia. Seolah agama itu berevolusi mengikuti perkembangan peradaban manusia.

Padahal kita sebagai umat Islam, harus meyakini dan mengimani bahwa di masa lampau telah diutus para Nabi dan Rasul untuk mengajarkan agama Islam. Yakni agama yang mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah, dan para Nabi dan Rasul tersebut adalah utusan Allah. Termasuk, yang kita yakini, manusia pertama yakni Nabi Adam tentunya menganut agama Islam. Begitu pula halnya para Nabi dan Rasul setelahnya hingga sampai pada era Nabi dan sekaligus Rasul terakhir yakni Nabi Muhammad. 

Berdasarkan info dari Nabi Muhammad bahwa sebelum Beliau, telah diutus banyak Nabi dan Rasul. 

Disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar : “Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Nabi? Rasulullah menjawab: Nabi ada 120.000 orang. Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Rasul? Rasulullah menjawab: Rasul ada 313 orang, mereka sangat banyak” (HR. Ibnu Hibban no.361, didhaifkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Shahih Ibnu Hibban [2/79])

Adapun lahirnya agama-agama baru di masa lampau, harus diyakini dan diimani oleh kaumm muslimin bahwa hal tersebut adalah bentuk penyimpangan dari ajaran para Nabi dan Rasul. Penyimpangan terjadi karena mulai munculnya pemikiran atau aktivitas baru dalam agama setelah para Nabi dan Rasul atau ahli-ahli ilmu agama meninggal. Lambat laun hal-hal baru tersebut dimasukkan dalam syariat, menjadi suatu ketetapan, dan kebiasaan di tengah masyarakat, secara turun-temurun dan terus bertambah hal-hal baru. Sehingga setelah berlalu beberapa generasi, hal-hal tersebut benar-benar mengubah ajaran Islam para Nabi dan Rasul yang murni dan menjadi suatu ajaran agama baru yang mungkin masih ada kemiripan dengan Islam atau benar-benar berbeda jauh dari ajaran Islam.  

Sebagai gambaran, contoh kasus yakni di era Nabi Muhammad, ketika Beliau mendakwahkan ajaran Islam yang murni di tengah kaum Quraish Mekkah. Sebenarnya kaum Quraish Mekkah telah mengimani bahwa nenek moyang mereka adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta Tuhan mereka adalah Allah. Mereka meyakini bahwa Ka'bah adalah bangunan peninggalan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang harus mereka jaga. Namun demikian, mereka juga menyembah berhala-berhala yang dijejer di sekitar Ka'bah bahkan ada yang ditempatkan di dalam Ka'bah. 

Ini berarti ajaran Islam asli dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, secara perlahan, mulai tergerus terus-menerus dari generasi ke generasi. Mulai dicampur adukkan dengan ketentuan-ketentuan baru, hingga pada akhirnya kaum Quraish Mekkah memiliki keyakinan bahwa mereka juga perlu menyembah berhala-berhala atau banyak dewa selain Allah. Mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain, yakni berhala-berhala. 

Alasan mereka melakukan hal ini karena mereka mengikuti nenek moyang mereka. Sehingga ketika Nabi Muhammad mendakwahkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yang notabene merupakan nenek moyang mereka, justru mereka menolak dengan tegas karena dianggap bertentangan dengan yang mereka lakukan selama ini secara turun temurun yang telah diyakini sebagai kebenaran.  

Hal ini menunjukkan bahwa di masa lampau pun telah terjadi penyimpangan terhadap ajaran Islam yang dibawa para Nabi dan Rasul sehingga muncullah agama-agama baru, yang bertentangan dengan ajaran Islam. 

Atau bisa saja, para arkeolog dan sejarawan lah yang melakukan kesalahan-kesalahan analisa dan evaluasi. Hal ini karena keterbatasan teknologi dan alat-alat modern, ketidak lengkapan fragmen-fragmen artefak yang ditemukan, inteprestasi yang salah terhadap tulisan-tulisan kuno, dan penarikan kesimpulan dan teori yang tidak tepat terhadap kemungkinan yang terjadi di masa lampau. Ini tentu bisa terjadi dalam ranah aktivitas ilmiah. Terkecuali memang telah ditemukan teknologi mesin waktu sehingga para sejarawan dan arkeolog tersebut benar-benar hadir di era itu, menyaksikan jalannya sejarah peradaban kuno, ini mungkin jadi lain ceritanya.   

Dengan demikian, seperti apapun penjelasan ilmiah para sejarawan dan arkeolog, perlu dibentengi dengan keimanan terhadap pemahaman dan keilmuan agama Islam yang benar. Hal ini agar kita sebagai umat Islam tidak mudah diombang-ambingkan, pemikiran kita, sehingga mengarah kepada keraguan-raguan atas agama Islam kita sendiri. 

Sabtu, 13 Januari 2024

Indonesia Seharusnya Lebih Ke-Arab-Araban Daripada Ke-Barat-Baratan & Ke-Jepang-Jepangan



Akhir-akhir ini banyak stigma negatif di tengah masyarakat, ketika melihat saudara/saudari menunjukkan atribut atau penampilan yang dinilai ke-Arab-Araban. Seperti misalnya jilbab lebar, cadar, jenggot, celana menggantung (cingkrang) dan lain sebagainya. 

Namun di sisi lain, sebagian masyarakat justru begitu berbangga-bangga ketika bisa tampil ke-Barat-Baratan dan ke-Jepang-Jepangan. Hal ini dinilai keren. 

Padahal kalau ditinjau dari salah satu sisi, yakni secara historis, justru yang membantu pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara-Negara Arab. Sedangkan negara yang jelas-jelas terekam secara historis pernah menjajah Indonesia yakni negara-negara Barat (Portugis, Inggris, Belanda) dan Jepang. Namun mengapa yang populer justru budaya-budaya bangsa penjajah. Bukan budaya bangsa-bangsa yang membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga diakui sebagai Negara di kancah Internasional.

Adapun yang dilakukan sebagian saudara/saudari kita tersebut (contoh seperti disebutkan di atas) adalah mengamalkan ajaran Islam bukan budaya Arab. Memang benar ada sebagian budaya Arab yang masih bersesuaian dengan ajaran Islam, masih dilakukan oleh orang arab hingga sekarang. Namun ada juga yang tidak sesuai, baik sudah ditinggalkan atau masih dilakukan. 

Akan tetapi sebagian para budayawan nusantara tetap ngotot menilai hal tersebut sebagai budaya arab dan akan membanding-bandingkannya dengan budaya Indonesia asli yang kemudian terkesan dinilai lebih agung dan luhur. 

Sebenarnya yang paling penting, bagi umat Islam di Indonesia, adalah perlu dikaji apakah budaya asli Indonesia tersebut masih sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalau sesuai terus laksanakan, kalau tidak sesuai maka tinggalkan. 

Atau barangkali perlu dikaji apakah yang dilakukan oleh saudara/saudari kita tersebut adalah budaya arab atau ajaran Islam. Kalau ajaran Islam, ya tentunya haruslah saling toleransi agama dan kepercayaan masing-masing-masing. Saling menghormati pilihan keyakinan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau misalkan budaya, ya juga haruslah saling menghormati karena mereka-mereka yang mempopulerkan budaya barat dan budaya jepang juga tidak dipermasalahkan.    

Sebenarnya Islam sendiri tidak mempermasalahkan budaya, selama hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalkan dalam hal berbusana, haruslah mengikuti ketentuan syariat untuk menutup aurat bagi muslim laki-laki dan perempuan. 

Masih menjadi pertanyaan, mengapa mereka yang ke-Arab-Araban mendapat stigma negatif sedangkan mereka yang ke-Barat-Baratan dan ke-Jepang-Jepangan mendapat stigma positif. Apakah bangsa ini masih belum lepas dari belenggu penjajahan (secara pemikiran)?

Sekali lagi, sebenarnya tidak masalah seorang muslim Indonesia suka budaya Barat atau Jepang selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak mengapa mempelajarinya, misal budayanya, cara berpakaiannya, bahasanya dan lain sebagianya dalam rangka menambah pengetahuan agar semakin bisa saling memahami ketika berinteraksi dengan mereka. Namun demikian, janganlah benci pada budaya Arab karena barangkali yang disangka budaya Arab sebenarnya itu adalah ajaran Islam yang kemungkinan belum diketahui/belum populer di tengah kaum muslimin Indonesia. 

Dan sekalipun misal itu budaya arab, perlu dingat kembali sejarah, bahwa yang membantu berdirinya negara Indonesia yakni negara-negara Arab. Sehingga selayaknya bangsa Indonesia lebih ke-Arab-Araban daripada ke-Barat-Baratan dan ke-Jepang-Jepangan. 

Atau sebenarnya terpikirkan juga, mungkinkah ada suatu gerakan/propaganda untuk menyerang pemikiran atau syariat Islam melalui budaya agar umat Islam menjauhi syariat agamanya sendiri.