Sabtu, 03 Februari 2018

BIG DATA MANAGEMENT


Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, data-data digital semakin menggantikan data-data konvensional. Lebih jauh lagi, perkembangan peragkat-perangkat elektronik, aplikasi-aplikasi dan internet juga semakin menambah kecepatan terciptanya data-data digital. Dipadukan dengan teknologi storage data yang juga berkembang pesat. Belum lagi hadirnya aplikasi-aplikasi media sosial dan search engine yang juga meng-generate data-data digital dalam jumlah besar setiap menitnya. Hal ini semua menjadi sebuah fenomena baru di bidang teknologi yang sekaligus juga menjadi salah satu pertanda umat manusia telah memasuki era revolusi industri ke-4.

Data-data digital tercipta sangat cepat dan disimpan secara masif. Dalam data-data digital ini tersimpan informasi yang sebenarnya mungkin sangat bermanfaat dan dibutuhkan bagi manusia, organisasi, atau bagi negara. Namun karena begitu masifnya dan cepatnya data-data yang masuk dan kita tidak memiliki kemampuan me-manage data-data tersebut dengan baik, maka bisa saja kita akhirnya tak mendapatkan manfaat apapun.

Data-data bisa saja tersimpan dalam suatu sumber tapi bisa juga tersimpan dalam banyak sumber data. Data-data ada yang sifatnya telah terstruktur dengan baik, ada juga yang semi-structured dan unstructured. Data-data ada yang telah tervalidasi ada juga yang belum tervalidasi. Kualitas data dan juga formatnya beragam. Dan bahkan mungkin ada juga data-data yang masih berupa data konvensional berbasis kertas atau sample/spesimen. Beberapa pakar menggambarkan karakteristik data sebagai 5V yakni Volume (kuantitas data yang digenerate dan disimpan), Variety (tipe dan sifat data), Velocity (kecepatan data digenerated dan diproses), Variability (seberapa konsisten data), Veracity (kualitas data).

Oleh karena itu bermunculanlah berbagai teknologi dengan istilah dan konsep beragam yang bertujuan mengolah data-data dalam jumlah besar dan cepat tersebut. Ada yang disebut sebagai datawarehousing, big data, relational database management system (RDBMS), data mining, machine learning, dan sebagainya. Banyak provider teknologi digital menawarkan jasa teknologi untuk mengolah data-data. Tahapannya meliputi capturing data (pemrolehan data), data storage (penyimpanan data), data analysis (analisis), search (pencarian), sharing, transfer, visualization, querying, updating and information privacy.

Mungkin dalam beberapa saat lagi kita bisa melihat kemampuan me-manage data-data digital akan dijadikan suatu indikator dalam mengukur keunggulan suatu organisasi, perusahaan atau suatu negara. Bahkan seseorang mungkin akan juga akan dinilai dari seberapa banyak data yang masuk padanya dan di-generate-nya setiap hari. Beberapa contoh parameter pengukuran misalkan berapa zettabyte yang di-generated setiap hari oleh suatu organisasi, perusahaan atau suatu negara. Seberapa akurat hasil pengolahan datanya dalam membantu penyusunan strategi dan pengambilan keputusan.

Rabu, 24 Januari 2018

KELAPA SAWIT BAHAN BAKU BIODIESEL


Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Berikut disajikan beberapa info umum mengenai kelapa sawit yang diambil dari beberapa sumber.

Kelapa sawit merupakan jenis tanaman palem (palma) yang tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.

Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.

Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan:
  1. Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
  2. Mesoskarp, serabut buah.
  3. Endoskarp, cangkang pelindung inti.
Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2.000-2.500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" . Kini, produk kelapa sawit Indonesia menguasai pasar dunia. Dari 59,6 juta ton produksi minyak sawit dunia pada 2014, sekitar 31,3 juta ton atau 52% dihasilkan dari Indonesia .

Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Minyak sawit merupakan salah satu jenis minyak nabati yang mengandung asam lemak dengan rantai karbon C14-C20, sehingga mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel. Di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), biodiesel dibuat melalui proses transesterifikasi dua tahap, dilanjutkan dengan pencucian, pengeringan dan terakhir filtrasi, tetapi jika bahan baku dari CPO maka sebelumnya perlu dilakukan esterifikasi .

Dalam skala ekonomi, kelapa sawit adalah bahan baku biodiesel yang sangat ekonomis. Tanaman ini banyak dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia. Namun demikian, kelapa sawit ini juga merupakan bahan baku minyak makan, yang merupakan salah satu komoditas sembilan bahan pokok (sembako) masyarakat Indonesia. Ini berarti kelapa sawit termasuk ke bahan biofuel yang menggunakan bahan pangan sebagai bahan baku. Penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel akan mengganggu stabilitas harga dan ketersediaan minyak makan di pasaran. Atau dengan kata lain dapat menimbulkan polemik dan kompetisi pemanfaatan, apakah sebagai bahan pangan atau bahan baku energi, yang pada akhirnya akan memunculkan isu ketahanan pangan versus ketahanan energi.

REFERENSI
  1. Raksodewanto, Alfonsus Agus, 2010, hal. 20
  2. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit dikunjungi 13 Maret 2016
  3. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit dikunjungi 13 Maret 2016
  4. Dalam http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160218_majalah_sertifikasi_kelapasawit





Selasa, 23 Januari 2018

PENGELOLAAN ENERGI CHINA


Periode pengelolaan energi China dapat dibagi ke dalam empat periode, yakni periode 1978-1992, periode 1993-1999, periode 2000-2008, peride 2008-saat ini. (Zhang Jian, 2011).

Pada Periode 1978-1992, swasembada energi menjadi tujuan utama dari kebijakan pengelolaan energi China. Kebijakan energi lebih dititik beratkan pada pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri secara mandiri melalui produksi dalam negeri, dan dengan sedikit peranan pihak luar. Pada masa ini dibentuk National Development and Reform Commission (NDRC) yang menjadi lembaga pengatur sektor energi. Perusahaan-perusahaan milik negara (state owned enterprises) memiliki akses yang terbatas pada pasar luar negeri.

Walaupun telah dilaksanakan reformasi ekonomi sejak 1978, pasar China masih cukup terisolasi dari pasar luar negeri. Kebijakan “reformasi dan keterbukaan” kemudian mulai menarik minat investor luar negeri untuk berinvestasi di China. Hal ini mampu menyerap banyak tenaga kerja yang berasal dari pedesaan China untuk bekerja di sektor manufaktur yang banyak berkembang di wilayah pantai China. Produk domestik bruto China kemudian mulai tumbuh pesat sejak 1990-an. (Zhang Jian, 2011).

Pelaksanaan reformasi ekonomi dan penerapan kebijakan pintu terbuka pada tahun 1978 mendorong kemajuan pesat perindustrian China. Hal ini berakibat pada kenaikan konsumsi minyak bumi China. (Wang, Haibo, dalam Radityas, 2014). Namun demikian, sejak tahun 1988, produksi minyak bumi dalam negeri China mulai mengalami penurunan karena ladang-ladang minyak besar China mencapai puncak produksi sehingga kemudian produksinya cenderung semakin mengalami penurunan. (Hook. M, et al. 2010; dalam Radityas, 2014). Pada tahun 1993, China yang sebelumnya merupakan negara pengekspor minyak bumi resmi menjadi negara net importer minyak bumi. (Daojiong, Zha,.loc.cit, dalam Radityas, 2014).

Pada Periode 1993-1999, produksi minyak dalam negeri China tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 1993, China mulai mengimpor minyak dari luar negeri. Pemerintah China mulai melakukan reformasi untuk meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan milik negara yang kemudian secara aktif mencari minyak di pasar luar negeri. Perusahaan minyak nasional mulai belajar bagaimana bermain di pasar energi global melalui penanaman modal asing (foreign direct investment).

Pada Periode 2000-2008, “Go Global” menjadi slogan utama pemerintah China. Pemerintah China mendorong perusahaan-perusahaan China di dalam negeri untuk melakukan ekspansi ke luar China. Masuknya China ke WTO (World Trade Organization) semakin meningkatkan kompetisi bisnis domestik. Perusahaan-perusahaan milik negara dan swasta semakin gencar melakukan ekspansi ke luar negeri.

Pada masa ini, perkembangan di sektor industri, transportasi dan rumah tangga terus membutuhkan pasokan minyak bumi dalam jumlah besar. Sementara itu produksi dalam negeri China semakin tidak mampu mengimbangi kenaikan kebutuhan konsumsinya. Akhirnya pada tahun 2006, China harus mengimpor sebesar 50% dari kebutuhan konsumsinya. (Brasholt, David. 2010, dalam Radityas, 2014).

China mampu meningkatkan produksi energinya, termasuk produksi energi dari sumber energi terbarukan dan nuklir. National Bureuau of Statistic melaporkan bahwa penggunaan energi hidro, angin, solar (matahari), dan nuklir meningkat 9,5% dari total penggunaan energi pada tahun 2008. Target peningkatan pangsa (bauran) penggunaan energi terbarukan China sebesar 15% pada tahun 2020 tampaknya dapat tercapai. (World Development Report 2010 dalam Zhang Jian, 2011).

Pangsa konsumsi energi hidropower meningkat dari 1% pada 1949 menjadi 7,4% pada 2008. Pada tahun 2008 ini kapasitas hidropower China mencapai 170 juta KW, membuat China menjadi konsumen hidropower terbesar dunia. Produksi energi angin China meningkat dua kali lipat setiap tahun selama tiga tahun terakhir. Kapasitas energi angin saat ini mencapai 12,21 juta KW, menjadikan China peringkat ke-4 dunia pengguna energi angin. (Xinhua News Agency, China Daily, October 3, 2009, dalam Zhang Jian, 2011).

Pada 2008, sektor energi matahari memproduksi sekitar 6000 ton polycrystalline silicon dan 2 juta KW solar PV dan juga pembangkit tenaga nuklir dengan total kapasitas mencapai 8,85 juta KW. (China Daily, October 3, 2009 dalam Zhang Jian, 2011).

Masuknya China menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001 mengakselerasi konsumsi sumber energi dalam negeri. Salah satu kebijakan energi utama China pada periode ini adalah mendorong perusahaan-perusahaan energi China untuk mencari minyak dan sumber energi lainnya di luar negeri. Pemerintah memberikan dukungan berupa pengetahuan-pengetahuan tentang investasi, informasi-informasi dan panduan-panduan, serta dukungan finansial seperti kredit pajak khususnya kepada Perusahaan-Perusahaan Milik Negara. Kebijakan energy security dan kebijakan luar negeri menjadi lebih terintegrasi demi melayani tujuan keamanan nasional (national security).

Sejak tahun 2006 dicanangkan program “outward investment” (investasi keluar). Pada periode sebelumnya dapat dikatakan China awalnya memulai tahapan pembentukan, kemudian mulai masuk ke pasar global. Pada periode “outward investment” ini China secara intens belajar mengenai bagaimana memainkan peranan dalam perdagangan energi global.

Sejak tahun 2005 keamanan energi (energy security) telah diprioritaskan dalam rencana 5 tahunan ke-11 (11th Five-Year Plan) dimana ditekankan pada konservasi energi, lingkungan, perubahan iklim, dan energi hijau. Regulasi terkait corporate social responsibilities (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan direvisi dan diperkenalkan di bawah regulasi perusahaan. Kebijakan CSR diimplementasikan pertama kali oleh perusahaan multinasional pada tahun 1960-an dan 1970-an sebagai cara untuk menghasilkan dampak positif dan publisitas positif.

Sebagai pendatang baru di pasar internasional, perusahaan milik negara mulai belajar peraturan-peraturan ini. Kerjasama internasional di sektor energi terus didorong. Pada periode ini ekonomi dan politik China semakin meningkat. Banyak perusahaan China lalu secara selektif meningkatkan investasi di luar negeri. Pada awalnya strategi investasi luar negeri dititikberatkan pada tujuan mencari keuntungan, tetapi kemudian semakin banyak difokuskan pada CSR, lingkungan, dan juga isu-isu pengembangan negara tujuan investasi. Perusahaan-perusahaan milik negara yang kecil dan medium juga semakin aktif berinvestasi di luar negeri. Investasi energi menjadi lebih terdiversifikasi (bervariasi) pada ukuran besaran investasi sesuai perusahaan dan juga sektor-sektor energi. Kebijakan luar negeri China mampu secara progresif berperan penting dalam mendukung energy security, khususnya pada kontrak-kontrak investasi besar.

Pada Periode 2008 – saat ini, slogan China berganti menjadi “Go Abbroad and Buy”. Hal ini merupakan respon terhadap terjadinya krisis finansial pada tahun 2008, dimana China memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan ekspansi investasi pada level global. Investasi China pada sumber daya dan sektor energi meningkat secara dramatis.

Krisis finansial global pada tahun 2008 berhasil dimanfaatkan China sebagai momentum meningkatkan cadangan mata uang asingnya serta lebih agresif dalam melakukan investasi di pasar global. Tak lama kemudian, China berhasil menyalip Jepang, dan menjadi produsen barang terbaik dunia di tahun 2010. Pencapaian ini menambah kepercayaan diri China dan meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan merger (penggabungan), akuisisi dan investasi finansial lainnya di luar negeri.

Ketidakpastian politik di Timur Tengah dan Afrika Utara semakin mendorong China untuk mendiversifikasi sumber-sumber energinya. Krisis nuklir Jepang pada tahun 2011 (bencana Fukushima) memaksa China untuk meninjau ulang rencana pembangunan pembangkit tenaga nuklirnya. Untuk sementara China sempat menunda pembangunan pembangkit tenaga nuklir baru dan mulai mempertimbangkan ulang rencana pengembangan tenaga nuklir dan standar safety (keamanan) nuklirnya.

Pada Januari 2010, China membentuk National Energy Commission (NEC) yang bertujuan meningkatkan strategi dan perencanaan pengembangan sektor energi China. Fungsi utama NEC adalah menyusun rencana pengembangan energi nasional, meninjau energy security, dan mengkoordinasikan kerjasama internasional. NEC terdiri dari 21 Menteri dan departemen-departemen lain termasuk National Development and Reform Commission (NDRC) serta People’s Bank of China. Pembentukan NEC menunjukkan bahwa China memahami kebutuhan mendesak terhadap integrasi kebijakan energi dan kebijakan ekonomi makro, khususnya pasar finansial. (Zhang Jian, 2011).

Seperti kebanyakan negara lain, China telah mengembangkan beberapa strategi utama yang diaplikasikan semenjak beberapa tahun sebelumnya dalam rangka mengamankan pasokan energi. Strategi-strategi yang dilakukan China dapat diringkas sebagai berikut:
  1. Mendiversifikasi sumber energi dengan meningkatkan produksi gas alam dan tenaga nuklir, mengembangkan teknologi energi bersih untuk memproduksi bensin dan minyak diesel dari batubara, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan lainnya seperti energi angin dan energi matahari.
  2. Meningkatkan pasokan minyak dan gas alam yang ada dan mengeksplorasi sumber-sumber energi baru secara global, mendiversifikasi jalur impor dengan mengurangi ketergantungan impor terhadap sumber minyak di wilayah timur tengah, dan meningkatkan impor dari Asia Tengah dan Rusia dalam rangka mengurangi resiko transportasi yang mungkin terjadi.
  3. Memperkuat eksplorasi dan produksi energi sumur-sumur minyak baru secara domestik dan mendorong kerjasama internasional pada eksplorasi dan produksi minyak lepas pantai (offshore).
  4. Meningkatkan jumlah dan volume cadangan minyak strategik (strategic petroleum reserve) dan meningkatkan syarat mandatory stockpile (penimbunan) minyak untuk perusahaan-perusahaan minyak utama.