Jumat, 19 Januari 2018

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN EKONOMI


Xavier Labandeira dan Baltasar Manzano (2012) menyebutkan bahwa energy security merupakan isu yang sukar dipahami berhubung belum terdapatnya definisi energy security yang tepat, terutama ketika dihubungkan dengan perspektif ekonomi. Telah terdapat kesadaran global bahwa energi akan selalu menjadi permasalahan yang krusial bagi perkembangan ekonomi dari masyarakat. Pentingnya peranan energi ini dipandang mulai semakin meluas secara signifikan setelah era revolusi industri. Penggunaan bahan bakar fosil secara intensif di era tersebut merupakan pijakan dasar mulai tergantungnya masyarakat modern terhadap sumber energi.

Di dalam hukum termodinamik telah dinyatakan bahwa energi itu merupakan elemen penting bagi kegiatan manusia sehari-hari. Pada kuantitas yang minimum saja, energi sangat diperlukan dalam kegiatan transformasi material atau bahan baku menjadi produk yang berdaya guna dimana berhubungan dengan kebanyakan proses-proses produktif. Bahan-bahan energi itu sendiri juga memiliki peranan yang sangat penting, baik sebagai input untuk produksi dan transportasi maupun sebagai produk final yang seringkali penting bagi kesejahteraan dasar manusia seperti misalnya listrik.

Dengan demikian, isu-isu terkait energi memiliki relevansi yang tinggi terhadap sistem ekonomi. Isu investasi dan permodalan merupakan salah satu contoh dimana setiap keputusan kegiatan perekonomian akan selalu mempertimbangkan jenis dan level konsumsi energi. Jadi, fakta utama yang mendasar adalah : pasokan energi pada level yang minimum sangat penting untuk membuat sistem ekonomi berfungsi.

Dari perspektif ekonomi, Bohi dan Toman (1996) dalam Xavier Labandeira dan Baltasar Manzano (2012), mendefinisikan ketidakamanan energi sebagai hilangnya kesejahteraan yang disebabkan oleh suatu perubahan dalam harga atau ketersediaan fisik energi. Dalam pemikiran ini, Bohi dan Toman (1993) dalam Xavier Labandeira dan Baltasar Manzano (2012), mendiskusikan biaya-biaya energy security, dengan mempertimbangkan dua potensi eksternal yakni hal-hal eksternal yang berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam volume impor minyak, dan hal-hal eksternal yang berkenaan dengan harga yang tak terprediksi.

Hal-hal eksternal yang terkait dengan impor minyak muncul dari kekuatan pasar dari eksportir karena organisasi-organisasi seperti OPEC mungkin dapat mempertahankan harga pasar minyak di atas level yang kompetitif. Jika negara-negara eksportir energi memiliki perilaku pasar yang tidak kompetitif, negara-negara importir akan terancam menghadapi sebuah kegagalan pasar yang mendorong mereka untuk memiliki alasan-alasan untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan energi.

Kelompok faktor eksternal kedua yang berhubungan dengan energi selalu dihubungkan kepada dampak dari fluktuasi harga energi dalam ekonomi. Penyesuaian yang lambat terhadap faktor-faktor dan pasar-pasar produksi dapat menyebabkan biaya ekonomi yang lebih tinggi. Pada kasus pasar tenaga kerja, misalnya, kenaikan harga energi dapat meningkatkan angka pengangguran karena semakin tingginya beban biaya gaji karyawan bagi perusahaan. Selaras dengan hal ini, kenaikan harga energi dapat mempengaruhi pasar modal melalui semakin banyaknya kemacetan modal produktif, khususnya pada modal intensif sektor energi. (Markandya and Hunt, 2004; dalam Xavier Labandeira and Baltasar Manzano, 2012).

Sejumlah literatur yang ada, umumnya merespon perhatian-perhatian terhadap negara-negara yang sangat tergantung pada stok energi asing. Ini berarti sejumlah literatur lebih memfokuskan dirinya pada sisi pasokan dalam energy security. Namun demikian, ketidakamanan energi dapat juga disebabkan dari sisi permintaan. Misalnya ketika negara-negara importir mempromosikan pengurangan pada impor energi melalui subsidi untuk meningkatkan investasi sumber energi alternatif, efisiensi energi, dll., yang kemudian mempengaruhi produser-produser energi untuk menawarkan harga yang lebih kompetitif guna mengamankan dominasi penjualan energinya dalam jangka panjang.

Dalam pengertian ini, OPEC secara resmi telah menekankan bahwa energy security harus dipertimbangkan dari perspektif global, sebagai sebuah konsep berulang di antara eksportir dan importir energi. Pada tahun 2008, Sekretaris Umum OPEC menyatakan bahwa isu energy security tidak hanya berhubungan dengan tingkat ketidakterjangkauan harga energi. Isu energy security juga berhubungan dengan ketidakpastian harga energi yang mempengaruhi keputusan-keputusan investasi. Hal ini terjadi tidak hanya pada perusahaan-perusahaan dan konsumen-konsumen di negara-negara importir, tetapi juga di negara-negara produsen energi. Permintaan energi menjadi lebih tidak dapat diprediksi sehingga meningkatkan ketidakpastian untuk investasi.

Sebenarnya, Van der Ploeg dan Poelhekke (2009) dalam Xavier Labandeira dan Baltasar Manzano (2012) memperkuat pandangan ini. Mereka menunjukkan adanya dampak-dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh hubungan positif yang terjadi secara umum antara tingkat ketergantungan sumber daya alam dan ketidakpastian makroekonomi.

Secara umum, ada kecenderungan negara-negara maju yang memiliki perekonomian yang kuat ternyata tidak memiliki sumber daya energi yang cukup untuk menjamin keberlangsungan kegiatan ekonominya, dimana semakin membutuhkan pasokan energi yang besar. Hal ini mendorong mereka untuk memaksimalkan investasi kepada negara-negara penghasil energi. Negara-negara maju akan menggunakan kekuatan ekonomi yang mereka miliki untuk mengamankan penyediaan energi. Sebaliknya, negara penghasil energi yang menjadi sasaran investasi negara maju seringkali mempunyai posisi yang lemah karena tersandera kepentingan ekonomi negara maju. Dari sini dapat dijelaskan bahwa kemampuan ekonomi suatu negara sangat menentukan ketahanan energi nasional. (Agus Nurrohim, 2012).


Kamis, 18 Januari 2018

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PENGUASAAN IPTEK DAN KUALITAS SDM


Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan salah satu modal utama dalam membangun sistem perekonomian yang kuat yang menjamin kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Di sisi lain, penguasaan IPTEK tidak lepas dari tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang dimiliki suatu negara. Karenanya, upaya menumbuh-kembangkan kedua hal tersebut dalam suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting untuk membangun pondasi yang kokoh yang menjamin kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan.

Agus Nurrohim (2012) menyebutkan bahwa telah terjadi proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy). Pada era Knowledge Based Economy, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan penguasaan IPTEK sebagai faktor primer penguasaan ekonomi. Termasuk juga di dalam penguasaan IPTEK ini tentunya keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan handal.
Peranan penguasaan IPTEK dan keberadaan SDM yang handal menggantikan peranan modal, lahan dan energi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa. Melalui penguasaan IPTEK dan SDM yang unggul, suatu negara akan mampu meningkatkan produktivitas perekonomian dan daya saingnya di kancah dunia.

Salah satu indikator kemampuan penguasaan IPTEK suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar perbandingan angka ekspor dan impor sektor industri. Untuk Indonesia, nilai ekspor antara tahun 1996 sampai 2009 didominasi oleh produk-produk yang kandungan teknologinya rendah. Sementara impor Indonesia didominasi oleh produk industri, tambang, dan produk industri makanan dengan kandungan teknologi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memperoleh manfaat dan nilai tambah yang maksimal melalui pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya.

Investasi industri untuk penelitian dan pengembangan teknologi masih sangat terbatas, sehingga kemampuan industri dalam menghasilkan teknologi masih rendah. Di samping itu, beberapa industri besar dan industri yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai ketergantungan yang besar pada teknologi yang berasal dari industri induknya atau dari negara asing. Akibatnya ketergantungan semakin besar pada negara asing penghasil teknologi dan kurangnya pemanfaatan teknologi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri. Ketergantungan industri pada teknologi impor antara lain disebabkan oleh lemahnya lembaga penelitian dan pengembangan nasional dalam menyediakan teknologi yang siap pakai. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas penelitian dan pengembangan yang disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan, sumber daya, dan jaringan IPTEK.

Termasuk di sektor energi, ketahanan IPTEK bidang energi Indonesia masih rendah. Penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas saat ini masih belum memadai dimana masih banyak tergantung pada teknologi impor dan juga sumber daya asing. Akibatnya, Indonesia belum dapat dipandang sebagai negara yang memiliki ketahanan energi tinggi dan berdaulat energi, walaupun sumber daya energi yang dimiliki sangat melimpah. Bahkan mungkin sebenarnya SDM Indonesia di bidang energi sudah sangat kompeten. Namun karena kurangnya insentif dalam negeri banyak tenaga-tenaga profesional Indonesia yang lebih memilih bekerja di luar negeri.
Fakta yang ada hampir semua kontraktor-kontraktor migas menggunakan teknologi asing. Perusahaan-perusahaan migas bahkan masih banyak yang menggunakan tenaga ahli asing dan konsultan asing. Kandungan lokal (local content) industri migas dalam negeri juga masih rendah, baik untuk barang dan jasa. (Agus Nurrohim, 2012).

Rabu, 17 Januari 2018

KETAHANAN LINGKUNGAN


Ketahanan Lingkungan merupakan upaya menjamin keamanan publik secara proporsional dari bahaya-bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh proses-proses alamiah atau buatan-manusia, karena keteledoran, kecelakaan, salah-kelola, atau kesengajaan. Ketahanan lingkungan merupakan bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan lingkungan mengkaji ancaman akibat kejadian lingkungan, kecenderungan ketahanan nasional dan unsur-unsur kekuatan nasional .

Hubungan antara lingkungan dan keamanan telah dipertimbangkan sejak tahun 1980-an oleh dua kelompok: (1) komunitas kebijakan lingkungan, yang mengajukan implikasi-implikasi keamanan dari perubahan dan keamanan lingkungan, dan (2) komunitas keamanan, yang melihat definisi baru keamanan nasional (national security) khususnya pada era setelah perang dingin .

Selanjutnya isu-isu ini diakui sebagai elemen yang memberi dampak secara global, sebagai contoh perubahan lingkungan, menipisnya lapisan ozon dan polusi, yang kesemuanya memiliki implikasi-implikasi terhadap keamanan. Hal ini juga mengubah paradigma otoritas militer untuk mengevaluasi kembali dimensi keamanan dari isu-isu lingkungan.

Keamanan, secara tradisional dilihat sebagai sinonim dari keamanan nasional dengan dua tujuan utama : (1) untuk menjaga integritas teritorial dari negara dan (2) untuk memelihara bentuk pemerintahan yang dipilih, melalui alat-alat politik maupun militer.

Ketika ilmuwan politik mengambil aspek lingkungan sebagai bagian dari keamanan, maka dampak-dampak lingkungan didefinisikan sebagai bagian dari isu keamanan nasional. Pendekatan ini mencoba mendefinisikan ulang konsep keamanan nasional secara menyeluruh. Di awal tahun 1980-an Independent Commission on Security and Disarmament Issues (ICSDI) mengembangkan dan memperkenalkan konsep keamanan nasional secara lazim, yang memberikan pandangan yang lebih luas kepada keamanan nasional.

The World Commission on Environment and Development menghubungkan secara jelas keamanan nasional dan lingkungan pada Brundtland Report tahun 1987 : “Umat manusia menghadapi dua ancaman besar. Pertama adalah perang nuklir. Marilah berharap bahwa hal ini akan tetap memiliki harapan berhasil yang semakin menurun di masa mendatang. Kedua adalah runtuhnya aspek lingkungan di seluruh dunia dan jauh dari menjadi harapan berhasil di masa mendatang, ini adalah fakta saat ini.”

Mengikuti hal yang dilakukan The World Commission on Environment and Development – PBB, the General Assembly (Majelis Umum) PBB secara resmi juga memperkenalkan konsep keamanan nasional dan lingkungan pada Sesi ke-42. Dewasa ini, keamanan lingkungan telah dipahami secara ekstensif (luas), termasuk aspek manusia, fisik, sosial, dan kesejahteraan/kesehatan ekonomi. Hal ini menyebabkan intepretasi dan menentukan batasan terhadap keamanan lingkungan semakin sulit. (Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy). Saat ini, belum ada persetujuan umum pada kejelasan definisi keamanan lingkungan. Jangkauan isu ini dibatasi pada bagaimana dampak-dampak lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya konflik, dibandingkan keamanan itu sendiri.

Ketahanan lingkungan (environmental sustainability) semakin menjadi isu yang penting di tengah semakin menurunnya kualitas lingkungan. Polusi dan pencemaran lingkungan, pembangunan perkotaan dan industrialisasi, limbah, penggundulan hutan, dan beberapa aktivitas manusia lainnya terhadap lingkungan semakin membuat ketidakseimbangan alam yang memicu munculnya potensi yang menggangu kehidupan manusia dan lingkungan hidup.

Hal ini juga dikaitkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Pemanasan global diakibatkan emisi gas rumah kaca yang dapat membuat suhu permukaan bumi semakin hangat. Semakin hangatnya suhu permukaan bumi menyebabkan sejumlah stok es di kutub mencair, lalu dapat meningkatkan tinggi permukaan air laut.

Hal ini berpotensi menenggelamkan sejumlah wilayah padat penduduk di permukaan bumi. Pemanasan global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang mendorong semakin sering terjadinya bencana alam seperti badai dan tsunami, banjir, dan kekeringan. Hal ini berarti dapat mengancam eksistensi mahluk hidup, termasuk manusia, sehingga isu ini semakin menjadi isu di tingkat global.

Salah satu ancaman ketahanan lingkungan adalah semakin berkurangnya luas hutan dan wilayah tutupan hijau vegetasi tanaman. Hal ini diakibatkan oleh meluasnya pembukaan lahan pertanian, peningkatan aktivitas pertambangan dan industri, serta semakin meningkatnya populasi manusia yang mendorong perluasan wilayah perkotaan dan pemukiman penduduk. Padahal seperti telah dipahami bersama bahwa hutan atau tutupan hijau vegetasi tanaman merupakan paru-paru alami dunia. Emisi dari pembakaran fosil dan aktivitas industri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipadukan dengan penggundulan hutan (deforestation) yang juga semakin meningkat. Perpaduan hal ini memicu perubahan iklim dunia menjadi lebih panas.

Keberadaan vegetasi tanaman merupakan indikasi tanah yang subur dan menyimpan sumber air tanah. Melalui proses fotosintesis, tamanan menyerap CO2 yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca, dan kemudian dari proses tersebut tumbuhan memproduksi oksigen yang dibutuhkan oleh hewan dan manusia. Dengan demikian semakin berkurangnya wilayah vegetasi tanaman berarti semakin mengurangi sarana alami penyerap CO2 dan penyimpanan air tanah. Ini berarti upaya menjaga kelestarian vegetasi tanaman merupakan upaya yang secara langsung menjaga ketahanan lingkungan, selain upaya mengendalikan dan mengurangi emisi.

REFERENSI :
  1. USLegal.com, “Environemtnal Security Law & Legal Definition”, dalam http://definitions.uslegal.com/e/environmental-security/ dikunjungi 9 Mei 2016
  2. Andree Kirchner, 1999, “Environmental Security”, Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy hal. 1