Minggu, 04 Januari 2015

MAULID NABI MUHAMMAD DAN IMPELEMENTASI SUNNAH DI TENGAH MASYARAKAT

Terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggal dan bulan lahir Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Sementara ini pendapat yang masyhur adalah tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada juga yang mengatakan, Beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir Beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal.

Mengenai perayaan maulid Nabi sendiri belum ada prakteknya baik pada zaman Nabi Muhammad masih hidup, pada era Sahabat Nabi, hingga generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah - Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)

Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali (bin Abi Thalib), maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126).

Satu hal yang dapat dicermati di sini, perayaan maulid bukanlah suatu amalan yang diajarkan oleh Nabi, dan maulid Nabi juga tidak dipraktekkan oleh para Sahabat, serta tidak dilakukan oleh generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Justru yang patut disayangkan adalah beredarnya sejumlah tuduhan keji yang disampaikan oleh sekelompok umat Islam pro maulid kepada mereka yang tidak pro maulid Nabi, dimana mereka yang tidak merayakan maulid dianggap tidak cinta Nabi. Hal ini merupakan tuduhan yang tidak bijak. Jika merayakan maulid merupakan standar ukuran bentuk cinta kepada Nabi, maka apakah kita berani mengatakan bahwa para Sahabat Nabi, generasi tabi'in, dan generasi tabiu'ut tabi'in tidak cinta kepada Nabi Muhammad karena mereka tidak merayakan maulid Nabi.

Seharusnya bentuk upaya menunjukkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad dilakukan dengan menegakkan sunnahnya, yaitu meneladani Nabi Muhammad baik cara berpenampilannya, cara berperilaku, dan juga cara memahami Al Quran dan As Sunnah. Selain itu juga berupaya mengamalkan anjuran-anjuran Nabi Muhammad dan menjauhi apa yang dilarang oleh Beliau. Hal inilah yang harus menjadi standar ukuran seberapa cinta seorang Muslim kepada Nabi Muhammad. Beberapa bentuk sunnah Nabi Muhammad, misalnya:

  1. Meniru cara Nabi berpenampilan seperti memelihara jenggot dan menipiskan kumis, memakai minyak wangi (bagi laki—laki), berpakaian tidak melebihi mata kaki (bagi laki-laki), rajin bersiwak, dll. Sedangkan adab berpenampilan bagi kaum wanita adalah sebagaimana diwajibkan berjilbab dalam Al Quran, dan juga sebagaimana dijelaskan secara rinci mengenai jilbab syar'i yang diperintahkan Nabi Muhammad yang tercatat dalam kitab-kitab hadis.
  2. Meneladani cara nabi berperilaku (berakhlak baik) misalnya berbuat baik terhadap orang tua, istri, anak-anak, sahabat, tetangga, non muslim yang tidak memerangi Islam, serta berbuat adil kepada kelompok-kelompok yang memusuhi Islam, dll. Selain itu juga disunnahkan mencintai para Sahabat Nabi, berupaya meneladani mereka dan tidak mencela seorangpun dari mereka. Di sisi lain juga disunnahkan mencintai para ulama yang berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah (terutama dari generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in) dan menghormati mereka.
  3. Melaksanakan amalan-amalan ibadah sunnah yang dianjurkan dan dicontohkan nabi, misalkan puasa sunnah, sholat jamaah di mesjid (bagi laki-laki), menegakkan sholat-sholat sunnah seperti tahajjud, dhuha, membaca dan memahami Al Quran, menghadiri majelis taklim, dll.

Beberapa bentuk sunnah yang disebutkan di atas merupakan renungan bagi kita semua sebagai umat Islam, dimana barangkali beberapa sunnah tersebut belum kita lakukan dan mungkin kita belum istiqomah di dalamnya. Atau bahkan mungkin beberapa sunnah tersebut sudah mulai kita tinggalkan dan terlebih lagi dikhawatirkan kita tergolong orang yang mencampakkan sunnah. Bukankah sering kita melihat para penegak sunnah malah menjadi bahan cemooh dan gunjingan. Tidak jarang kemudian sebagian umat Islam menyematkan  tuduhan teroris dan radikalis kepada penegak sunnah. Padahal permasalahan kelompok ekstrem (khawarij) adalah permasalahan yang perlu dibedakan dari penegakan sunnah.

Memang benar ada dari kalangan umat Islam yang terjebak dalam paham ekstremis (khawarij) dan kebetulan mereka konsisten dalam menunjukkan simbol-simbol Islam melalui penampilan mereka. Akan tetapi merupakan kesalahan fatal jika menyamaratakan semua umat Islam yang berpenampilan sunnah adalah berpaham teroris. Justru ini yang perlu kita renungkan bersama, teroris (khawarij) yang berpaham sesat saja sangat konsisten berpenampilan sunnah, masak umat Islam  yang mengaku cinta Nabi tidak mau dan enggan berpenampilan sunnah. Tentu saja mengenai permasalahan penegakan sunnah ini bukan hanya terbatas pada masalah sunnah berpenampilan saja, tetapi juga sunnah-sunnah yang lain. Inilah yang perlu menjadi bahan intropeksi bersama.

Kembali kepada permasalahan maulid, kaum muslimin yang merayakan maulid Nabi tentunya menyadari bahwa praktek maulid ini tidak ada anjurannya oleh Nabi Muhammad, tidak dipraktekkan para Sahabat Nabi, dan juga tidak dilakukan generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Kaum muslimin pendukung perayaan Maulid juga telah menyatakan bahwa merayakan Maulid Nabi itu adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) sehingga walaupun tidak dicontohkan Nabi Muhammad, tidak dipraktekkan para Sahabat Nabi, dan juga tidak dilakukan generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in, tetapi maulid ini tidak apa-apa dilakukan.

Namun demikian, apapun alasannya, baik bagi yang pro maulid Nabi maupun yang tidak pro maulid, kita sebagai umat Islam harus senantiasa introspeksi diri setiap saat, bukan hanya pada momen perayaan maulid Nabi saja. Kita harus selalu introspeksi dan terus berupaya sekuat tenaga untuk menegakkan sunnah. Karena inilah yang paling penting. Dengan menegakkan sunah secara istiqomah maka Allah akan memberikan limpahan rahmat dan barokahnya kepada kita serta mudah-mudahan Allah memberikan kejayaan kepada kita. Dengan menegakkan sunnah, berarti kita telah menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Rasulullah dan dengan demikian kita juga berarti mencintai Allah. Karena Allah berfirman:

Katakanlah (Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al imron [3] : 31)


Karena itu, perayaan maulid Nabi janganlah membelenggu umat Islam pada sisi ritualitas semata yang cenderung mengarah kepada sebatas rutinitas seremonial. Seharusnya, jika memang hal itu merupakan bid'ah hasanah maka seharusnya maulid Nabi semakin mengarahkan umat Islam yang merayakannya kepada kecintaan dan komitmen terhadap penegakan sunnah-sunnah Nabi, dimana beberapa bentuk sunnah telah disebutkan di atas. Namun kenyatannya bisa dilihat sendiri di sekitar kita. Sungguh ironis, beberapa dari mereka yang merayakan maulid tidak jarang kemudian berkata-kata dan bertindak keji kepada mereka yang tidak pro maulid. Dan yang tidak pro maulid juga berkata-kata dan bertindak keji kepada saudara-saudaranya yang melakukan maulid. Akhirnya timbullah debat destruktif dan jauhlah ukhuwah. Padahal saling ber-amar makruf nahi munkar seharusnya dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Berupaya menghindari perdebatan dan membangun diskusi keilmuwan berdasarkan adab keIslaman. Dalam berdiskusi, kita harus melepaskan ego kelompok dan kembali berpegang dan rujuk kepada Al Aquran dan As Sunnah. Karena hanya dengan berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah dengan semurni-murninya saja maka ukhuwah akan kembali tegak.


Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Al Imron [3] : 103)

Sebagai pesan penutup dan bahan masukan untuk kita semua, jangan sampai kita termasuk umat Islam yang begitu bersemangat dalam merayakan maulid Nabi, namun nyatanya malas dan enggan dalam menegakkan dan mengamalkan sunnah. Bahkan mungkin malah mengejek-ngejek saudaranya sesama muslim yang mengamalkan sunnah. Justru seharusnya mulailah dengan terus intropeksi dan meyakinkan diri kita masing-masing bahwa kita telah benar-benar secara konsisten menegakkan dan mengimplementasikan sunnah, baru rayakanlah maulid Nabi. Di sisi lain, bagi kaum muslimin yang tidak merayakan maulid juga lakukanlah diskusi amar makruf nahi mungkar dengan cara sebaik-baiknya. Janganlah terjebak pada perdebatan yang malah menjauhkan umat Islam dari hidayah dan ukhuwah, tetapi bangunlah diskusi yang konstruktif dengan adab keilmuwan Islam yang sebaik-baiknya.

Selebihnya teruslah waspada terhadap upaya-upaya musuh Islam yang terus berusaha menimbulkan kebencian dan perpecahan diantara umat Islam. Mereka juga terus berupaya menjauhkan umat Islam dari Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Bisa saja mereka berupaya melakukan makar tersebut dengan mengirim atau mendanai utusan-utusan yang menjelma menjadi tokoh-tokoh populer di kalangan umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam yang kurang kuat dasar keilmuwannya akan begitu mudah terpengaruh dan bahkan menjadi fanatik sempit kepada tokoh-tokoh tersebut. Atau bisa juga upaya makar dilakukan melalui propaganda-propaganda dan provokasi-provokasi secara intensif di media cetak, eletronik, dan media sosial. Dimana propaganda dan provokasi ini didesain secara sistematis dan ditujukan untuk menimbulkan fitnah di internal umat Islam. Mengenai upaya-upaya makar tersebut kita harus terus waspada dan terus berupaya meningkatkan pengetahuan agama kita yang benar-benar bersumber dari Al Quran dan Al Hadis sesuai jalan pemahaman Rasulullah, para Sahabat Nabi, generasi Tabi'in, generasi Tabi'ut Tabi'in, serta ulama-ulama setelahnya, hingga masa kini dan masa mendatang yang paling konsisten mengikuti jalan pemahaman mereka.

Jumat, 26 Desember 2014

DIMANAKAH DZAT ALLAH?


Seringkali kita mendengar pertanyaan yang menggelitik akal dan rasio.

"Dimanakah Allah?"
"Apakah Allah ada di Ka'bah di Mekkah?"
"Masjid adalah rumah Allah, apakah Allah ada di setiap Mesjid?"

Ada juga yang bertanya:
"Kalau Arasy diciptakan Allah, dimanakah Allah tinggal sebelum Arasy ada?"

Mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, Allah telah menjelaskan secukupnya melalui Al Quran dan Al Hadis sebatas apa yang kita perlukan, yang kemudian para ulama terdahulu telah memfinalkan pemahaman diantara mereka mengenai hal ini.

Allah telah mengabarkan mengenai persemayaman-NYA kepada kita di beberapa ayat Al Quran:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al A'raf [7]:54)

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus [10]:3)

Mengenai seperti apa visualisasi mengenai Arasy Allah, Allah bersabda:

"Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. At-Taubah: 119)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Maksudnya (QS. At-Taubah: 119) adalah bahwa Dia adalah pemilik segala sesuatu yang Penciptanya. Karena Dia pemilik Arasy yang agung yang menaungi seluruh makhluk. Seluruh makhluk di langit dan di bumi serta apa yang terdapat di dalamnya dan di antara keduanya berada di bawah Arasy dan berada di bawah kekuasaan Allah Ta'ala. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan kekuasaan-Nya terlaksana terhadap segala sesuatu, Dia adalah pelindung atas segala sesuatu." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/405)

Arasy dipikul oleh Malaikat-Malaikat dan Arasy juga dikelilingi Malaikat-Malaikat lainnya. Malaikat-Malaikat pemikul Arasy dan Malaikat-Malaikat di sekelilingnya senantiasa bertasbih kepada Allah.

Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".(QS. Az Zumar[39]:75)

(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,(QS. Al Mu'min [40]:7)

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. (QS. Al Haqqoh [69]:17)

"Aku telah diizinkan untuk menyampaikan tentang para malaikat Allah pembawa Arasy. Sesungguhnya antara daun telinga dan lehernya berjarak tujuh ratus tahun." (HR. Abu Daud, no. 4727)

Mengenai seperti apakah gambaran Arasy secara lebih detail tidaklah pantas bagi kita untuk mempertanyakannya. Hal ini berkenaan dengan kondisi akal dan nalar kita yang sangatlah terbatas dalam mempelajari yang ghaib. Termasuk bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy-NYA, apakah duduk, berdiri, mengambang, atau menempel, semua ini bukanlah sesuatu yang esensial untuk didiskusikan. Yang perlu kita lakukan adalah mengimani bahwa Allah bersemayam di atas Arasy-NYA yang sungguh sangat besar dan jauhnya tak terkira. Kemudian perlu kita renungkan betapa kecilnya kita yang tinggal di bumi ini. Sehingga tidaklah pantas kita menyombongkan diri sedikitpun dihadapan Allah.

Selanjutnya mengenai pertanyaan mengenai "Dimanakah Allah sebelum Arasy diciptakan?" adalah juga termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalaupun dipikirkan apa perlunya? Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelusuri masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti. Tentunya dengan syarat, kita harus masuk syurga dulu.

Selain permasalahan di atas sesuatu yang wajib juga kita imani adalah aktivitas Allah yang senantiasa turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah:

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.

Mengenai pertanyaan di bagian bumi manakah Allah turun pada malam hari berhubung adanya perbedaan waktu, hal ini juga adalah sesuatu yang Ghaib yang upaya mengetahuinya bukan sesuatu yang esensial dalam kegiatan ibadah kita. Yang penting kita mengetahui dan meyakini Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan kemudian memperbanyak ibadah pada waktu-waktu mustajab ini.

Jadi tidaklah benar jika ada orang yang mengatakan Allah ada dimana-mana. Sebagai orang yang beriman kita wajib mengimani bahwa Allah bersemayam di Arasy dan kemudian mengatur segala urusan-urusan mahluk-mahluk-Nya dan dibantu Malaikat-MalaikatNya yang senantiasa patuh kepada Allah. Allah juga turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir untuk menunjukkan betapa mustajabnya waktu-waktu ini bagi manusia beriman yang sedang beribadah. Selebihnya adalah hak prerogatif Allah untuk melakukan apa yang dikehendaki-NYA, karena bagi Allah segala sesuatunya sangatlah mudah dilakukan melalui kehendak-NYA, "Kun fayakun" (jadilah maka jadilah).

Suatu yang patut kita renungkan bersama mengenai masalah ini, mengapa tidak kita gunakan saja daya pikir kita tersebut untuk mempelajari Al Quran dan As Sunnah serta mengamalkannya. Bukankah masih banyak kitab tafsir, kitab fiqih, kitab hadis, kitab sejarah Para Nabi dan Rasul, kitab sejarah Para Sahabat dimana semuanya perlu kita pelajari. Kita bisa gunakan juga daya pikir kita untuk menghafalkan Al Quran dan Al Hadis atau setidaknya kita habiskan tenaga dan waktu kita untuk sekedar membaca Al Quran. Pada kesempatan lain kita bisa juga memberdayakan akal dan pikiran kita untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka membuka jalan-jalan hikmah sehingga kemudian dapat memperkuat keimanan kita. Dan masih banyak lagi bentuk amalan-amalan lain yang telah jelas dan nyata tuntunannya dari Nabi Muhammad.

Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Janganlah kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dapat merusak keimanan kita. Dampak paling fatal kita akan terjebak dalam pemikiran liberal yang mengandalkan rasio semata. Agama Islam ini adalah agama wahyu, bukanlah agama yang diciptakan oleh akal dan pemikiran manusia.

Rasullulah berpesan:
Wahai kaum muslim. cukupkanlah diri kalian dengan apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kalian mendapat binasa karena mereka banyak bertanya dan suka menyalahi para Nabi mereka. Karena itu, bila aku perintahkan kalian mengerjakan sesuatu, laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku larang kalian mengerjakan sesuatu, maka tinggalkanlah. (HR. Muslim)

SEJARAH AGAMA-AGAMA



Semenjak awal, agama umat manusia ini adalah satu, yakni Islam. Kisah sejarah mengenai agama yang satu ini dapat dimulai semenjak penciptaan manusia pertama kali, yaitu penciptaan Nabi Adam ‘Alaihissalam. Allah mengajarkan kepada Nabi Adam berbagai ilmu pengetahuan termasuk konsep dan tata cara peribadatan kepada Allah.

Setelah terjebak dalam perangkap Iblis, Nabi Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke dunia. Di Dunia, Nabi Adam dan Hawa kemudian memiliki sejumlah keturunan. Nabi Adam mengajarkan konsep agama kepada anak-cucunya tersebut, yaitu agar hanya menyembah kepada Allah, dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.

Sepeninggal Nabi Adam, berlalu beberapa generasi yang masih memegang erat ajaran Nabi Adam. Namun seiring dengan wafatnya orang-orang saleh diatara umat keturunan Nabi Adam, mulailah terjadi penyimpangan-penyimpangan dan perselisihan-perselisihan mengenai agama mereka. Perlahan-lahan, godaan setan dan dorongan hawa nafsu mengakibatkan umat manusia mulai meninggalkan ajaran Nabi Adam, dan mulai beralih kepada kemusyirikan. Mulai muncul ajaran-ajaran baru berupa penyembahan kepada patung-patung, gambar-gambar, atau lainnya serta munculnya cara-cara peribadatan lainnya yang tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi Adam.

Sebelum Nabi Nuh diutus (diangkat) sebagai Nabi setelah Nabi Adam, terdapat beberapa orang saleh bernama Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang dicintai oleh masyarakat keturunan Nabi Adam.

Mengenai nama-nama tersebut Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. [QS Nuh : 23].

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, dan ilmu telah tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.” Demikianlah yang diriwayatkan Imam Bukhari dari jalan Ibnu Juraij, dari Atha’. [HR Bukhari no. 4566, Kitab Tafsir, Bab Tafsir Surat Nuh : 23]

Imam Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa ia berkata, “Wadd, Yaghuts, Ya’uq, Suwa’ dan Nasr adalah keturunan Nabi Adam. Wadd adalah orang yang paling tua dan yang paling ta’at kepada Allah Ta’ala. [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18996)].

Ibnu Abu Hatim berkata, disebutkan Yazid bin Al-Muhallab di hadapan Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir. Al-Baqir berkata, “Sesungguhnya dia mati terbunuh di sebuah daerah yang di dalamnya terjadi penyembahan selain Allah untuk pertama kali.” Kemudian ditanyakan padanya tentang Waddan, Al-Baqir menjawab, “Dia seorang lelaki muslim, sangat dicintai kaumnya. Ketika ia wafat, mereka mengelilingi kuburannya dan meratap disana. Lalu datanglah iblis melihat kesempatan ini dengan berwujud sebagai manusia, ia berkata kepada mereka, ‘Aku mendengar ratapan kalian, apakah kalian mau aku gambarkan wajahnya sehingga bisa kalian kenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Kemudian iblis pun menggambarkannya. Mereka pun meletakkan gambar tersebut di majelis agar mereka mudah mengingatnya. Iblis pun melanjutkan tipuannya, ‘Apakah kalian mau aku buatkan patung hingga bisa kalian letakkan di rumah-rumah kalian untuk dikenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Maka Iblis pun membuatkannya untuk setiap pemilik rumah satu berhala.” [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18997), didalam perawinya ada Abu Al-Muthahhir. Syaikh Al-Albani berkata bahwa dia tidak dikenal dan Ad-Daulabi tidak mencantumkannya dalam Al-Kuna wa Al-Asma'].

Dari sini dapat diketahui bahwa setelah orang-orang saleh di kalangan keturunan Nabi Adam wafat, maka masyarakat merasa sedih. Saat itulah setan memanfaatkan kesedihan itu dengan membisikkan mereka agar membuatkan gambar-gambar lalu patung-patung dengan nama-nama mereka untuk mengenang mereka. Akhirnya, masyarakat pun melakukannya.

Waktu pun berlalu, namun patung-patung itu belum disembah sampai mereka yang membuat patung-patung itu meninggal dan datanglah anak cucu mereka yang kemudian disesatkan oleh setan. Setan menjadikan mereka menganggap bahwa patung-patung itu adalah sesembahan mereka.

Mereka pun menyembah patung-patung itu dan mulai saat itu tersebarlah kesyirikkan di tengah-tengah mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat seorang laki-laki di kalangan mereka sebagai Nabi dan Rasul-Nya, yaitu Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya di antara sekian makhluk-Nya, Dia mewahyukan kepadanya agar mengajak kaumnya menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain-Nya.

Allah kemudian mengutus Nabi Nuh kepada mereka. Tujuannya adalah untuk memperbaiki akidah umat manusia yang tersesat tersebut agar kembali pada ketauhidan yaitu penghambaan hanya kepada Allah. Termasuk kemudian diutus juga Nabi-Nabi dan para Rasul setelah Nabi Nuh untuk memperbaiki akidah yang semakin lama semakin rusak semenjak Nabi Nuh meninggal.

Setiap seorang Nabi dan Rasul diutus kepada mereka, sebagian besar umat manusia menolak ajakan-ajakan para Nabi atau Rasul tersebut. Hanya sebagai kecil saja yang mengikutinya. Allah pun membinasakan dan mengadzab mereka yang durhaka, dan menyelamatkan para Nabi dan Rasul beserta pengikutnya yang beriman. Sebagain kecil manusia manusia yang beriman akhirnya terselamatkan dari kemusyrikan dan adzab Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (agar mereka menyerukan): “Sembahlah Alloh semata dan jauhilah thaghut (setan dan apa yang disembah selain Alloh Ta’ala).” (QS. an-Nahl [16]: 36)

Di dalam surat yang lain Allah Aza Wa Jalla berfirman:

....Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Al Fathir : 34)

Seiring berjalannya waktu, setelah nabi dan Rasul mereka wafat, berlalu beberapa generasi. Semakin terpaut jauh generasinya, muncul kembali penyimpangan-penyimpangan dalam ajaran agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul. Maka diutuslah kembali Nabi dan Rasul dari kalangan mereka sendiri untuk kembali memperbaiki akidah yang mulai rusak. Sejarah kemudian terulang terus menerus. Pengutusan Nabi dan Rasul terus terjadi kepada masing-masing kaum hingga diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan sekaligus Rasul penutup.

Allah Ta’ala berfirman:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan memberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.. an-Nisa’ [4]: 165)

Melalui Nabi dan Rasul penutup inilah kemudian ajaran Islam disempurnakan dan menjadi agama Islam yang diridhoi oleh Allah hingga akhir zaman. Agama Islam yang disempurnakan melalui Nabi Muhammad menjadi agama yang universal untuk dianut oleh semua kaum, suku, bangsa hingga hari kiamat nanti. Tidak terbatas hanya untuk keturunan Arab saja.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. AL Maidah [5] : 3)

Para pengikut ajaran Nabi sebelumnya juga diwajibkan untuk beriman dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad sebagaimana telah dipesankan oleh Nabi-Nabi mereka dan tertulis dalam kitab-kitab mereka. Namun kenyataannya sebagian mereka menolak Kenabian Nabi Muhammad dan melakukan perubahan pada kitab-kitab mereka.

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. (QS. Al Maidah [5] : 15)


Dalam kalangan internal umat Islam sendiri pun akan dihadapkan pada upaya-upaya penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan peribadatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad. Umat ini akan terus dihadapkan pada upaya penggelinciran pada pemikiran dan praktek peribadatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad, dipraktekkan Para Sahabat, generasi Tabi'in dan generasi Tabi'ut Tabi'in.

Namun demikian, walaupun tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad untuk mengembalikan umat ke jalan Islam yang sekaffah-kaffahnya sesuai Al Quran dan As Sunnah, kemurnian agama ini akan senantiasa selalu dijaga oleh Allah sesuai janji-NYA dalam surat Al Hijr.

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr [15] : 9)

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al An 'Aam [6] : 115)