Jumat, 26 Desember 2014

DIMANAKAH DZAT ALLAH?


Seringkali kita mendengar pertanyaan yang menggelitik akal dan rasio.

"Dimanakah Allah?"
"Apakah Allah ada di Ka'bah di Mekkah?"
"Masjid adalah rumah Allah, apakah Allah ada di setiap Mesjid?"

Ada juga yang bertanya:
"Kalau Arasy diciptakan Allah, dimanakah Allah tinggal sebelum Arasy ada?"

Mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, Allah telah menjelaskan secukupnya melalui Al Quran dan Al Hadis sebatas apa yang kita perlukan, yang kemudian para ulama terdahulu telah memfinalkan pemahaman diantara mereka mengenai hal ini.

Allah telah mengabarkan mengenai persemayaman-NYA kepada kita di beberapa ayat Al Quran:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al A'raf [7]:54)

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus [10]:3)

Mengenai seperti apa visualisasi mengenai Arasy Allah, Allah bersabda:

"Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. At-Taubah: 119)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Maksudnya (QS. At-Taubah: 119) adalah bahwa Dia adalah pemilik segala sesuatu yang Penciptanya. Karena Dia pemilik Arasy yang agung yang menaungi seluruh makhluk. Seluruh makhluk di langit dan di bumi serta apa yang terdapat di dalamnya dan di antara keduanya berada di bawah Arasy dan berada di bawah kekuasaan Allah Ta'ala. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan kekuasaan-Nya terlaksana terhadap segala sesuatu, Dia adalah pelindung atas segala sesuatu." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/405)

Arasy dipikul oleh Malaikat-Malaikat dan Arasy juga dikelilingi Malaikat-Malaikat lainnya. Malaikat-Malaikat pemikul Arasy dan Malaikat-Malaikat di sekelilingnya senantiasa bertasbih kepada Allah.

Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".(QS. Az Zumar[39]:75)

(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,(QS. Al Mu'min [40]:7)

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. (QS. Al Haqqoh [69]:17)

"Aku telah diizinkan untuk menyampaikan tentang para malaikat Allah pembawa Arasy. Sesungguhnya antara daun telinga dan lehernya berjarak tujuh ratus tahun." (HR. Abu Daud, no. 4727)

Mengenai seperti apakah gambaran Arasy secara lebih detail tidaklah pantas bagi kita untuk mempertanyakannya. Hal ini berkenaan dengan kondisi akal dan nalar kita yang sangatlah terbatas dalam mempelajari yang ghaib. Termasuk bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy-NYA, apakah duduk, berdiri, mengambang, atau menempel, semua ini bukanlah sesuatu yang esensial untuk didiskusikan. Yang perlu kita lakukan adalah mengimani bahwa Allah bersemayam di atas Arasy-NYA yang sungguh sangat besar dan jauhnya tak terkira. Kemudian perlu kita renungkan betapa kecilnya kita yang tinggal di bumi ini. Sehingga tidaklah pantas kita menyombongkan diri sedikitpun dihadapan Allah.

Selanjutnya mengenai pertanyaan mengenai "Dimanakah Allah sebelum Arasy diciptakan?" adalah juga termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalaupun dipikirkan apa perlunya? Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelusuri masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti. Tentunya dengan syarat, kita harus masuk syurga dulu.

Selain permasalahan di atas sesuatu yang wajib juga kita imani adalah aktivitas Allah yang senantiasa turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah:

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.

Mengenai pertanyaan di bagian bumi manakah Allah turun pada malam hari berhubung adanya perbedaan waktu, hal ini juga adalah sesuatu yang Ghaib yang upaya mengetahuinya bukan sesuatu yang esensial dalam kegiatan ibadah kita. Yang penting kita mengetahui dan meyakini Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan kemudian memperbanyak ibadah pada waktu-waktu mustajab ini.

Jadi tidaklah benar jika ada orang yang mengatakan Allah ada dimana-mana. Sebagai orang yang beriman kita wajib mengimani bahwa Allah bersemayam di Arasy dan kemudian mengatur segala urusan-urusan mahluk-mahluk-Nya dan dibantu Malaikat-MalaikatNya yang senantiasa patuh kepada Allah. Allah juga turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir untuk menunjukkan betapa mustajabnya waktu-waktu ini bagi manusia beriman yang sedang beribadah. Selebihnya adalah hak prerogatif Allah untuk melakukan apa yang dikehendaki-NYA, karena bagi Allah segala sesuatunya sangatlah mudah dilakukan melalui kehendak-NYA, "Kun fayakun" (jadilah maka jadilah).

Suatu yang patut kita renungkan bersama mengenai masalah ini, mengapa tidak kita gunakan saja daya pikir kita tersebut untuk mempelajari Al Quran dan As Sunnah serta mengamalkannya. Bukankah masih banyak kitab tafsir, kitab fiqih, kitab hadis, kitab sejarah Para Nabi dan Rasul, kitab sejarah Para Sahabat dimana semuanya perlu kita pelajari. Kita bisa gunakan juga daya pikir kita untuk menghafalkan Al Quran dan Al Hadis atau setidaknya kita habiskan tenaga dan waktu kita untuk sekedar membaca Al Quran. Pada kesempatan lain kita bisa juga memberdayakan akal dan pikiran kita untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka membuka jalan-jalan hikmah sehingga kemudian dapat memperkuat keimanan kita. Dan masih banyak lagi bentuk amalan-amalan lain yang telah jelas dan nyata tuntunannya dari Nabi Muhammad.

Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Janganlah kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dapat merusak keimanan kita. Dampak paling fatal kita akan terjebak dalam pemikiran liberal yang mengandalkan rasio semata. Agama Islam ini adalah agama wahyu, bukanlah agama yang diciptakan oleh akal dan pemikiran manusia.

Rasullulah berpesan:
Wahai kaum muslim. cukupkanlah diri kalian dengan apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kalian mendapat binasa karena mereka banyak bertanya dan suka menyalahi para Nabi mereka. Karena itu, bila aku perintahkan kalian mengerjakan sesuatu, laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku larang kalian mengerjakan sesuatu, maka tinggalkanlah. (HR. Muslim)

SEJARAH AGAMA-AGAMA



Semenjak awal, agama umat manusia ini adalah satu, yakni Islam. Kisah sejarah mengenai agama yang satu ini dapat dimulai semenjak penciptaan manusia pertama kali, yaitu penciptaan Nabi Adam ‘Alaihissalam. Allah mengajarkan kepada Nabi Adam berbagai ilmu pengetahuan termasuk konsep dan tata cara peribadatan kepada Allah.

Setelah terjebak dalam perangkap Iblis, Nabi Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke dunia. Di Dunia, Nabi Adam dan Hawa kemudian memiliki sejumlah keturunan. Nabi Adam mengajarkan konsep agama kepada anak-cucunya tersebut, yaitu agar hanya menyembah kepada Allah, dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.

Sepeninggal Nabi Adam, berlalu beberapa generasi yang masih memegang erat ajaran Nabi Adam. Namun seiring dengan wafatnya orang-orang saleh diatara umat keturunan Nabi Adam, mulailah terjadi penyimpangan-penyimpangan dan perselisihan-perselisihan mengenai agama mereka. Perlahan-lahan, godaan setan dan dorongan hawa nafsu mengakibatkan umat manusia mulai meninggalkan ajaran Nabi Adam, dan mulai beralih kepada kemusyirikan. Mulai muncul ajaran-ajaran baru berupa penyembahan kepada patung-patung, gambar-gambar, atau lainnya serta munculnya cara-cara peribadatan lainnya yang tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi Adam.

Sebelum Nabi Nuh diutus (diangkat) sebagai Nabi setelah Nabi Adam, terdapat beberapa orang saleh bernama Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang dicintai oleh masyarakat keturunan Nabi Adam.

Mengenai nama-nama tersebut Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. [QS Nuh : 23].

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, dan ilmu telah tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.” Demikianlah yang diriwayatkan Imam Bukhari dari jalan Ibnu Juraij, dari Atha’. [HR Bukhari no. 4566, Kitab Tafsir, Bab Tafsir Surat Nuh : 23]

Imam Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa ia berkata, “Wadd, Yaghuts, Ya’uq, Suwa’ dan Nasr adalah keturunan Nabi Adam. Wadd adalah orang yang paling tua dan yang paling ta’at kepada Allah Ta’ala. [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18996)].

Ibnu Abu Hatim berkata, disebutkan Yazid bin Al-Muhallab di hadapan Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir. Al-Baqir berkata, “Sesungguhnya dia mati terbunuh di sebuah daerah yang di dalamnya terjadi penyembahan selain Allah untuk pertama kali.” Kemudian ditanyakan padanya tentang Waddan, Al-Baqir menjawab, “Dia seorang lelaki muslim, sangat dicintai kaumnya. Ketika ia wafat, mereka mengelilingi kuburannya dan meratap disana. Lalu datanglah iblis melihat kesempatan ini dengan berwujud sebagai manusia, ia berkata kepada mereka, ‘Aku mendengar ratapan kalian, apakah kalian mau aku gambarkan wajahnya sehingga bisa kalian kenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Kemudian iblis pun menggambarkannya. Mereka pun meletakkan gambar tersebut di majelis agar mereka mudah mengingatnya. Iblis pun melanjutkan tipuannya, ‘Apakah kalian mau aku buatkan patung hingga bisa kalian letakkan di rumah-rumah kalian untuk dikenang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami mau.’ Maka Iblis pun membuatkannya untuk setiap pemilik rumah satu berhala.” [HR Ibnu Abu Hatim (At-Tafsir no. 18997), didalam perawinya ada Abu Al-Muthahhir. Syaikh Al-Albani berkata bahwa dia tidak dikenal dan Ad-Daulabi tidak mencantumkannya dalam Al-Kuna wa Al-Asma'].

Dari sini dapat diketahui bahwa setelah orang-orang saleh di kalangan keturunan Nabi Adam wafat, maka masyarakat merasa sedih. Saat itulah setan memanfaatkan kesedihan itu dengan membisikkan mereka agar membuatkan gambar-gambar lalu patung-patung dengan nama-nama mereka untuk mengenang mereka. Akhirnya, masyarakat pun melakukannya.

Waktu pun berlalu, namun patung-patung itu belum disembah sampai mereka yang membuat patung-patung itu meninggal dan datanglah anak cucu mereka yang kemudian disesatkan oleh setan. Setan menjadikan mereka menganggap bahwa patung-patung itu adalah sesembahan mereka.

Mereka pun menyembah patung-patung itu dan mulai saat itu tersebarlah kesyirikkan di tengah-tengah mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat seorang laki-laki di kalangan mereka sebagai Nabi dan Rasul-Nya, yaitu Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya di antara sekian makhluk-Nya, Dia mewahyukan kepadanya agar mengajak kaumnya menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain-Nya.

Allah kemudian mengutus Nabi Nuh kepada mereka. Tujuannya adalah untuk memperbaiki akidah umat manusia yang tersesat tersebut agar kembali pada ketauhidan yaitu penghambaan hanya kepada Allah. Termasuk kemudian diutus juga Nabi-Nabi dan para Rasul setelah Nabi Nuh untuk memperbaiki akidah yang semakin lama semakin rusak semenjak Nabi Nuh meninggal.

Setiap seorang Nabi dan Rasul diutus kepada mereka, sebagian besar umat manusia menolak ajakan-ajakan para Nabi atau Rasul tersebut. Hanya sebagai kecil saja yang mengikutinya. Allah pun membinasakan dan mengadzab mereka yang durhaka, dan menyelamatkan para Nabi dan Rasul beserta pengikutnya yang beriman. Sebagain kecil manusia manusia yang beriman akhirnya terselamatkan dari kemusyrikan dan adzab Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (agar mereka menyerukan): “Sembahlah Alloh semata dan jauhilah thaghut (setan dan apa yang disembah selain Alloh Ta’ala).” (QS. an-Nahl [16]: 36)

Di dalam surat yang lain Allah Aza Wa Jalla berfirman:

....Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Al Fathir : 34)

Seiring berjalannya waktu, setelah nabi dan Rasul mereka wafat, berlalu beberapa generasi. Semakin terpaut jauh generasinya, muncul kembali penyimpangan-penyimpangan dalam ajaran agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul. Maka diutuslah kembali Nabi dan Rasul dari kalangan mereka sendiri untuk kembali memperbaiki akidah yang mulai rusak. Sejarah kemudian terulang terus menerus. Pengutusan Nabi dan Rasul terus terjadi kepada masing-masing kaum hingga diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan sekaligus Rasul penutup.

Allah Ta’ala berfirman:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan memberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.. an-Nisa’ [4]: 165)

Melalui Nabi dan Rasul penutup inilah kemudian ajaran Islam disempurnakan dan menjadi agama Islam yang diridhoi oleh Allah hingga akhir zaman. Agama Islam yang disempurnakan melalui Nabi Muhammad menjadi agama yang universal untuk dianut oleh semua kaum, suku, bangsa hingga hari kiamat nanti. Tidak terbatas hanya untuk keturunan Arab saja.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. AL Maidah [5] : 3)

Para pengikut ajaran Nabi sebelumnya juga diwajibkan untuk beriman dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad sebagaimana telah dipesankan oleh Nabi-Nabi mereka dan tertulis dalam kitab-kitab mereka. Namun kenyataannya sebagian mereka menolak Kenabian Nabi Muhammad dan melakukan perubahan pada kitab-kitab mereka.

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. (QS. Al Maidah [5] : 15)


Dalam kalangan internal umat Islam sendiri pun akan dihadapkan pada upaya-upaya penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan peribadatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad. Umat ini akan terus dihadapkan pada upaya penggelinciran pada pemikiran dan praktek peribadatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad, dipraktekkan Para Sahabat, generasi Tabi'in dan generasi Tabi'ut Tabi'in.

Namun demikian, walaupun tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad untuk mengembalikan umat ke jalan Islam yang sekaffah-kaffahnya sesuai Al Quran dan As Sunnah, kemurnian agama ini akan senantiasa selalu dijaga oleh Allah sesuai janji-NYA dalam surat Al Hijr.

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr [15] : 9)

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al An 'Aam [6] : 115)

Minggu, 21 Desember 2014

PRINSIP TOLERANSI ISLAM DALAM MENYIKAPI HARI RAYA NON-MUSLIM

Dalam agama Islam telah terdapat tuntunan-tuntunan dan batasan-batasan dalam kehidupan sosial termasuk mengenai tata cara hidup berdampingan dengan kaum non-muslim. Norma-norma ini tercermin dalam firman Allah:

Lakum dinukum wa liya diin (untukmu agamamu dan untukku agamaku).(QS Al Kafirun-109 : 6)

Dalam Tafsir Al Qurthubi disebutkan sebab musabab turunnya Surat Al Kafirun ini. Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan kerjasama toleransi yang kebablasan kepada Rasulullah. Mereka berkata:

“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”

Kemudian turunlah ayat-ayat Surat Al Kafirun berikut yang menolak keras tawaran toleransi kebablasan tersebut,

“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Untuk itu, toleransi seharusnya dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi keberagaman agama-agama dalam kehidupan sosial termasuk peribadatannya yang khusus. Bukan saling mengamalkan ajaran atau peribadatan antar agama. Selanjutnya, agama dan kaidah-kaidahnya harus menjadi hak pilihan masing-masing individu, dan tidak ada pemaksaan di dalamnya.

Bagi kaum Muslimin, memang diwajibkan untuk menghargai kelompok non-muslim dan agama yang dianutnya. Kaum Muslimin dilarang untuk memaksa kaum non-muslim untuk memeluk Islam sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 256 sebagai berikut:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (QS. AL Baqarah : 256)

Kaum Muslimin juga diperintahkan untuk memberi kebebasan kepada pemeluk agama non-muslim untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya dan tidak mengganggu dan mengusik ketenangan kegiatan peribadatan mereka. Bahkan kaum Muslimin diperintahkan bersikap adil serta melindungi kaum non-muslim yang tidak memerangi kaum muslimin (kafir dzimmi).

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

“Ketahuilah bahwa barangsiapa membunuh jiwa yang terikat dengan dzimmah (perlindungan) dari Allah dan Rasul-Nya berarti ia telah membatalkan dzimmah Allah, dan tidak akan mencium wangi surga. Dan sungguh harum wangi surga itu telah tercium dari jarak tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Tirmidzi no. 1403)


Salah satu contoh bentuk toleransi umat Islam adalah ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu dan pasukan Muslimin berhasil membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, menjamin warga Palestina untuk tetap bebas memeluk agama masing-masing. Umar tidak memaksakan mereka memeluk agama Islam dan juga tidak menghalangi mereka untuk beribadah, selama mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan yang adil kepada seluruh penduduk Yerussalem, baik yang Muslim maupun yang non-muslim.

Penting untuk dicermati, toleransi tidak boleh dimaknai sebagai upaya mencampuradukkan keyakinan, ritual ibadah, tradisi dan simbol-simbol antar agama-agama. Agama tidak boleh ditarik ke dalam rana universalitas dimana batasan-bataasan khusus masing-masing agama dihilangkan. Hal ini berarti menghancurkan sendi-sendi agama yang memang harus bersifat ekslusif untuk setiap pemeluknya.

Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas), bukan dibasiskan pada pengakuan ideologi semua agama adalah sama dan benar (pluralisme). Menganut suatu agama berarti mengakui dan memahami bahwa agama yang sedang dianutnya itulah yang benar dan agama-agama yang lain salah. Konsep ini kemudian harus dibingkai dalam kehidupan antar umat beragama yang saling bertoleransi, saling menghargai pilihan agama masing-masing, saling menghormati, saling berbuat baik, dan bersikap adil serta amanah.

Dengan demikian, seorang muslim tidak dibenarkan melakukan kegiatan toleransi secara kebablasan. Misalkan dengan meyakini hal-hal yang ada dalam keyakinan agama lain, melakukan ritual ibadah agama lain, ikut serta meramaikan tradisi agama lain, urun rembuk mensukseskan perayaan hari besar agama lain dan mengenakan simbol-simbol serta atribut-atribut agama lain. Sikap ini adalah kewajiban yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadis. Jika seorang Muslim melakukan hal-hal seperti itu, maka akan berdampak serius pada pengurangan kadar akidah seorang muslim.

Telah jelas hukumnya berdasarkan kesepakatan Ulama terdahulu mengenai sikap kaum Muslimin terhadap kegiatan-kegiatan agama kaum non-muslim dimana hal ini dirumuskan dari Al Quran dan As Sunnah. Misalnya dalam permasalahan ucapan selamat berhari raya kepada non-muslim. Ijma’ (kesepakatan Ulama) haramnya mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim terdapat dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini:

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang non-muslim (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”


Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1 : 441)

Asy-Syarbini (wafat 977 H) -rahimahullah-, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i mengatakan:

“Dan diberi hukuman ta’zir (ta'zir : hukuman yang diputuskan hakim untuk memberi efek jera bagi pelaku pelanggar syariat) seseorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya” (Mughnil Muhtaj, Asy-Syarbini, 5/526).

Hal senada juga disebutkan dalam banyak kitab syafi’iyyah lainnya, diantaranya: Al-Iqna’ fi halli Alfazhi Abi Syuja’ (2/526), Asnal Matholib (4/162), Tuhfatul Muhtaj (9/181), Hasyiata Qolyubi wa Amiroh (4/206), Annajmul Wahhaj (9/244).

Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:

“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka”.

Perkataan Umar bin Khattab ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam judul bab "Terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka" dengan sanadnya dari Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari, dengan jalur periwayatan sampai kepada Umar. Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim. Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.

Al Hafiz Ibnu Hajar merumuskan fatwanya setelah menyebutkan hadits dari Anas. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai bersikap keras dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari, 2: 442).

Terdapat juga Hadis dari periwayatan Adi bin Hatim.

Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Adi, lepaskanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melepaskannya”. (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).

‘Adi bin Hatim dulunya adalah seorang Nasrani yang kemudian memeluk Islam. Pada saat menghadap Rasulullah masih ada bekas-bekas kebiasaan mengenakan atribut agamanya yang lama dimana mengenai hal ini Beliau mungkin belum mendapatkan ilmu dari Rasulullah. Wajar ketika itu beliau masih menggunakan kalung salib. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya melepas simbol agama Nasrani tersebut.

Mengenai akidah umat Islam yang seperti ini, kaum non-muslim haruslah bisa memahaminya. Menjalankan ajaran dan perintah agama adalah hak setiap penganutnya. Kaum non-muslim harus menyikapinya dengan sikap toleransi, saling menghargai, dan saling menghormati, khususnya mengenai kekhususan tata cara Islam dalam berinteraksi sosial dengan non-muslim.

Begitu pula sebaliknya, kaum Muslimin juga haruslah tidak memaksa kaum non-muslim untuk ikut serta dalam peribadatan kaum Muslimin. Atau bahkan memaksa mereka untuk mengenakan simbol-simbol dan atribut-atribut Islam. Ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Sekalipun dewasa ini berseliweran pendapat dari sejumlah tokoh yang membolehkan ucapan selamat berhari raya kepada non-muslim, maka umat Islam harus selalu mampu menyikapi perselisihan ini dengan benar. Caranya adalah dengan mengembalikan setiap perselisihan kapada Al Quran dan As Sunnah untuk dicari pemecahannya. Tentunya di dalam Al Quran dan As Sunnah telah ada ketentuan mengenai hal ini dimana kemudian para Ulama terdahulu telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang bahkan telah menjadi ijma' (kesepakatan para ulama) seperti telah disebutkan beberapa fatwa di atas. Hal ini tentunya lebih wajib untuk diikuti.

Dr. Sholih Al Fauzan berkata dalam fatwanya, "Hal-hal yang sudah terdapat ijma’ para ulama terdahulu tidak boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah yang belum ada ijma’ sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat ber-ijtihad dalam hal tersebut."