Tampilkan postingan dengan label SOSIAL DAN BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SOSIAL DAN BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Maret 2012

GEJOLAK SOSIAL DIVERSIFIKASI BAHAN BAKAR


Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Pemicu perubahan adalah adanya perubahan yang lain. Implikasi yang selalu muncul dalam setiap perubahan struktur masyarakat adalah gejolak sosial.

Dalam kasus diversifikasi bahan bakar, salah satu pemicunya adalah perubahan lingkungan. Isu pemanasan global, polusi, semakin terbatasnya cadangan minyak bumi dunia, harga minyak yang semakin melambung, di satu sisi mengakibatkan munculnya isu-isu penghematan energi. Di sisi lain, hal ini menimbulkan upaya-upaya pemanfaatan sumber energi baru. Dalam bahasa lainnya ini berarti terdapat upaya pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Selama ini, penggunaan bahan bakar minyak telah menjadi sumber energi utama semenjak sekitar 1 abad lalu. Perubahan mengenai hal ini tentunya menimbulkan respon yang berbeda-beda pada masyarakat Indonesia yang heterogen. Kemajemukan latar belakang budaya, pendidikan, lingkungan, kondisi ekonomi, dan orientasi kehidupan juga merupakan salah satu persoalan bahwa proses perubahan mempunyai banyak konsekuensi terhadap munculnya berbagai macam pandangan. Korten (1993) menyebutkan bahwa perbedaan pandangan atau visi dalam proses perubahan, berpotensi besar menimbulkan gejolak sosial.

Sebagaimana dianalisis Korten (1993), prioritas pembangunan utama tahun 1990-an adalah mentransformasikan cara-cara orang memandang dunia, memanfaatakan sumber daya bumi dan saling berhubungan sebagai individu dan bangsa. Soetjipto (1993:503) menyebutkan bahwa pembangunan yang bersifat material, secara sosial haruslah bertujuan untuk mencapai suatu sistem dimana masyarakat masuk dalam kondisi distribusi pendapatan yang adil, terjamin hak – hak hidupnya, dan mampu mentransformasikan lapis masyarakat marginal ke sistem kehidupan modern. Perubahan budaya yang akan terjadi secara substansial harus mampu melahirkan satu kesadaran baru akan peradaban, kemandirian, kesediaan, untuk berkorban, demi tegaknya martabat kemanusiaan, self respect.

Akan tetapi, dalam kasus perubahan budaya penggunaan sumber energi di Indonesia, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan BBM, tidaklah akan semudah seperti yang dibayangkan. Sebagai antisipasi, tentunya harus bisa dirumuskan strategi secara tepat dan bijak, guna menanggulangi munculnya gejolak sosial di kalangan masyarakat. Apalagi jika gejolak sosial yang terjadi berpotensi menimbulkan aksi-aksi anarkis.

Akibat globalisasi dan informasi yang sangat cepat, seringkali elit kekuasaan dan pelaku ekonomi berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan dan mewacanakan perubahan pembangunan dan modernisasi demi mencapai suatu kesetaraan kesejahteraan dengan negara-negara maju. Para elitis ini tentunya juga mempunyai bermacam-macam pandangan mengenai hal ini. Sementara itu, kondisi masyarakat yang heterogen sebenarnya belum semuanya siap menghadapi perubahan yang radikal. Bahkan tidak jarang ketakberdayaan masyarakat justru dieksploitasi dan ditempatkan sebagai potensi. Karena itu sebagian masyarakat akan menganggap pembaruan atau perubahan sebagai bagian yang memberatkan dan menyengsarakan masyarakat banyak.

Untuk itulah, di sini diperlukan peranan sentral kepemimpinan dalam memberikan arahan yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Peran pemimpin sebagai katalisator perubahan sangatlah penting dalam hal merumuskan masalah, menciptakan kesadaran global baru, mempermudah komunikasi, membela perubahan kebijakan, membangun kemauan politik, dan melaksanakan parakarsa percobaan (David. C. Korten, 1993:302). Melalui arahan dari kepemimpinan, tentunya perbedaan pandangan di dalam kehidupan sosial dalam proses perubahan bisa diminimalkan, sehingga secara otomatis gejolak sosial dalam skala besar bisa ditekan pada taraf yang dapat dikendalikan.

Jika dalam proses transformasi yang berlangsung kemudian muncul gejolak atau konflik sosial pastilah telah terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pelaksanaannya. Ketimpangan yang umumnya dilandasi kepada kepentingan elitis tertentu. Ini merupakan tugas yang lain dari kepemimpinan, yaitu untuk melakukan monitoring dan menindak secara tegas segala bentuk penyimpangan kelompok elitis tertentu.

Dengan demikian, peranan kepemimpinan yang tegas dan tidak terikat oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan sangatlah penting untuk mencapai suatu tujuan. Hasilnya, kemandirian bangsa dan ketahanan energi nasional dapat terjaga dan terus ditingkatkan. Seperti yang dipaparkan oleh Wamen ESDM, Widjajono Partowidagdo, ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak dan luar negeri adalah ketidakmandirian. Tidak menggunakan energi yang kita miliki secara optimal adalah tidak bijaksana. Mengkonsumsi barang yang mahal tetapi tidak mengkonsumsi barang murah yang kita miliki adalah kebodohan. Cara meminimalkan subsidi BBM untuk transportasi dan listrik adalah dengan sesedikit mungkin memakai BBM. Akibatnya, Indonesia mempunyai dana lebih banyak untuk membuat Indonesia lebih cepat menjadi Negara Terpandang di Dunia. Dengan mengurangi ketergantungan kepada BBM maka Insya Allah Indonesia menjadi lebih baik.

REFERENSI:
Huntington, Samuel P, 1996, the clash of civilization and the remaking of world orde, new york:Simon and Schuster
Korten, David C, 1993, menuju abad 21: tindakan sukarela dan agenda global, Jakarta: Sinar Harapan
Schoorl, J.W., 1981. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negra sedang berkembang, terj. Soekadijo, Jakarta: Gramedia
Soetjipto Wirosardjono, 1993, “Perspektif social budaya pembangunan nasional kita”, dalam Yustiono (ed), Islam dan kebudayaan Indonesia : Dulu, kini, dan esok, Jakarta : yayasan Festival Istiqlal

MINYAK BUMI VS GAS ALAM


Minyak bumi dan gas alam adalah sama-sama merupakan sumber energi tidak terbarukan. Namun demikian, di sini akan dijelaskan tiga hal yang membedakan diantara keduanya:

Pertama, gas alam relatif lebih praktis penggunaanya karena dapat langsung digunakan setelah dieksplorasi dari dalam perut bumi. Tidak seperti halnya minyak bumi yang masih memerlukan sejumlah upaya pengolahan sebelum benar-benar dapat digunakan. Namun demikian ini berlaku hanya pada penggunaan lokal di sekitar daerah sumber gas alam. Apabila pengguna gas berada jauh dari sumber gas alam, maka gas alam akan memerlukan sejumlah treatment pemampatan volume gas, yaitu bisa melalui teknologi CNG atau LNG. Tentu saja harganya pun akan lebih mahal dari sebelumnya. Namun demikian akan tetap lebih murah dari minyak bumi yang telah diolah.

Kedua, perkembangan produksi dan cadangan gas alam di wilayah Indonesia lebih menjanjikan dibandingkan cadangan minyak bumi. Lihat saja perkembangan volume ekspor minyak mentah nasional dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2000, Indonesia mampu mengekspor minyak hingga 225 juta barrel. Namun, pada tahun 2009 volumenya hanya mencapai 117 juta barrel atau tergerus 48 persen. Turunnya volume ekspor minyak bumi ini berkaitan dengan melemahnya produksi minyak dalam negeri. Volume produksi minyak menurun dari 517 juta barrel (2000) menjadi 337 juta barrel (2009). Bersamaan dengan melemahnya volume produksi, cadangan minyak bumi di Indonesia pun terus menipis. Cadangan minyak Indonesia berdasarkan catatan tahun 2008 diperkirakan mencapai 3,7 miliar barrel atau 0,3 persen dari total cadangan dunia. Stok cadangan Indonesia ini terus turun dari 10 tahun silam, yang mencapai 5,1 miliar barrel. Dengan cadangan yang ada, ditambah asumsi tingkat produksi minyak konstan di level 357 juta barrel per tahun (produksi aktual tahun 2008) dan tanpa penemuan cadangan minyak baru, stok cadangan ini diperkirakan akan terkuras dalam tempo 10 tahun.

Seiring turunnya volume produksi dan ekspor minyak mentah serta terdongkraknya harga energi di pasar global, pamor gas alam mulai terangkat. Nilai ekspor komoditas ini bahkan melampaui ekspor minyak bumi sejak tahun 2005. Volume produksi gas alam cenderung stabil, yaitu dari 2,8 miliar MSCF (2000) menjadi 3,0 miliar MSCF (2009) atau naik 4,5 persen. Naiknya produksi gas alam diikuti kenaikan volume pemanfaatannya sebesar 4 persen. Cadangan gas alam kita pun relatif besar, yaitu mencapai 3,2 triliun meter kubik (2008) atau 1,7 persen dari cadangan gas alam di dunia. Rasio C/P gas alam bahkan menunjukkan cadangan ini mampu bertahan hingga 45 tahun.

Ketiga, gas alam lebih ramah lingkungan ketika digunakan karena kandungan metana (CH4) yang dominan dalam komposisi alaminya. Metana terbakar secara sempurna sehingga sangat minim menimbulkan residu selama proses pembakaran. Berbeda halnya dengan minyak bumi yang akan menghasilakn gas-gas tidak ramah lingkungan selama proses pembakaran, misalnya NOx, CO, CO2, sulfur, dan lain-lain.

Melalui ketiga hal di atas, sudah selayaknya bangsa Indonesia bisa memaksimalkan pemanfaatan gas alam, terutama untuk konsumsi dalam negeri. Perlu diketahui, penggunaan gas alam di Indonesia untuk konsumsi domestik masih sangat minim, padahal potensi kandungan gas alam di dalam negeri sangat besar. Sebagian besar gas alam dari bumi Indonesia justru diekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Taiwan, Korea, dan lain-lain. Hal ini patut disayangkan. Padahal gas alam merupakan sumber energi yang murah dan ramah lingkungan. Bisa untuk aplikasi rumah tangga dan industri baik sebagai gas alam maupun sebagai LPG, selain itu bisa digunakan untuk transportasi. Untuk itu, perlu kesadaran dan komitment bersama untuk mulai memanfaatkan gas alam Indonesia untuk pembangunan negeri sendiri dan mulai mengurangi penggunaan BBM.

Senin, 19 Desember 2011

DPD DALAM CITA-CITA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA


Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa dan budaya daerah. Membentang dari Sabang hingga Merauke, pulau-pulau besar dan kecil yang kemudian secara sosio geografis dikelompokkan menjadi 33 provinsi. Semenjak tahun 2004, aturan sistem politik ketatanegaraan Indonesia menentukan bahwa masing-masing provinsi harus mengirimkan 4 perwakilannya untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga ini merupakan lembaga legislatif setingkat DPR. DPD dipilih secara langsung dalam pemilu oleh masyarakat di daerah tanpa melalui sistem birokrasi partai politik. Dengan konsep bikameral (dua kamar) dalam MPR, yaitu DPR dan DPD, diharapakan keberadaan DPD dapat menjadi penyeimbang kekuatan.

Keberadaan DPD sampai sejauh ini memang belum mendapat tempat yang pas dalam sistem legislatif, karena hanya diberi wewenang untuk sekedar memberikan masukan, usulan, dan pertimbangan. Tidak mempunyai hak pengambilan keputusan dalam perumusan undang-undang seperti halnya anggota DPR. Hal inilah yang mengakibatkan peranannya belum maksimal dalam percaturan politik tanah air. Tentunya hal ini sedang menjadi bahan perjuangan para elit politik di Senayan dalam pembangunan sistem politik yang lebih mencerminkan dekmokrasi kerakyatan.

Terlepas dari proses perjuangan dalam upaya pemantapan wewenang DPD dalam peta politik nasional, sebenarnya sebagai anggota DPD tersirat sebuah misi yang mulia. Setiap anggota DPD bisa berperan aktif dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan antar daerah. DPD bisa menjadi role model perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, setiap anggota DPD mewakili daerah masing-masing dan di Senayan, mereka bertemu dengan perwakilan dari daerah-daerah lainnya. Ini merupakan sebuah kesempatan emas. Forum DPD dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas dan kualitas silaturrahmi antar anggota perwakilan daerah. Di dalam forum silaturahmi ini, mereka bisa saling berbagi pemikiran dan pengalaman, serta saling memberi masukan.

Cerita sukses dari suatu daerah dapat dibagi ke perwakilan daerah lainnya sehingga mereka bisa mendapatkan inspirasi dalam membuat program-program untuk memajukan daerah masing-masing. Pengalaman kegagalan program di daerah pun dapat dibagi dengan anggota DPD yang lain, sebagai bahan pembelajaran bersama, agar daerah lain tidak mengalami kegagalan serupa. Dengan saling terbuka, dan saling memberi masukan positif dalam pengembangan daerah masing-masing, maka akan tercipta hubungan yang erat antar sesama anggota DPD. Hubungan seperti ini sangat memungkinkan terbentuk, karena dalam tubuh DPD tidak ada kepentingan partai politik. Hubungan antar anggota DPD adalah murni hubungan antar perwakilan daerah, yang sama-sama ingin memajukan daerahnya masing-masing.

Jalinan hubungan yang telah dibina dengan baik ini, kemudian harus tersampaikan ke daerah masing-masing dan diketahui secara nasional. Hal ini agar rakyat di daerah mengetahui bahwasanya persatuan dan kesatuan bangsa telah terbangun di Senayan. Masyarakat tentunya akan melihat ini sebagai hal yang baik, dimana wakil-wakil daerah mereka yang ada di pusat dapat menjalin hubungan yang baik antar sesama mereka. Baiknya hubungan antar anggota DPD tentunya secara psikis juga akan dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan hubungan antar masyarakat daerah yang lebih baik. Ini merupakan pembentukan iklim "hubungan baik" dalam skala nasional yang dimulai dari gedung MPR di Senayan.

Selanjutnya, dalam upaya nyata, anggota DPD dapat menjembatani pengarahan hubungan kerjasama antar daerah yang lebih kondusif dan terarah. Dengan modal hubungan baik antar sesama mereka, Anggota DPD dapat berperan dalam perumusan program-program kerjasama antar daerah yang saling melengkapi. Kekurangan daerah yang satu dapat dilengkapi dengan kelebihan yang ada di daerah lain, begitu juga sebaliknya. Dengan konsep pembangunan daerah yang saling melengkapi ini, maka pemerataan pembangunan dapat segera terwujud. Selain itu, anggota DPD juga harus bisa menjembatani setiap permasalahan antar daerah yang terjadi menuju penyelesaiannya. DPD bisa menjadi penengah dalam penyelesaian konflik dan permasalahan antar daerah.

Minggu, 11 Desember 2011

ANDAI SAYA MENJADI ANGGOTA DPD RI


Sebagai lembaga yang mewakili daerah, tentunya setiap anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) mengemban amanah untuk memperjuangkan penyelesaian masalah daerah dan mensukseskan pembangunan di daerahnya masing-masing. Perlu diketahui pula, setiap anggota DPD tidak memiliki ketergantungan politik, karena tidak mewakili kepentingan Parpol tertentu. Hal ini merupakan suatu kesempatan yang baik, untuk berperan maksimal dalam upaya pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Selain itu, anggota DPD juga dapat berperan dalam menjembatani proses otonomi daerah yang terintegrasi dengan pemerintahan pusat.

Namun demikian, semenjak pertama kali dibentuk tahun 2004, DPD belum menunjukkan peranan yang sentral dalam pembangunan di daerah. Ini dikarenakan tugas dan wewenangnya yang seolah-olah hanya dijadikan pelengkap saja dalam badan legislatif. Masih kalah kekuatannya dengan DPR yang bersama Presiden bisa berperan dalam pengambilan keputusan mengenai undang-undang. DPD hanya memiliki kekuatan sampai pada taraf memberi usulan, masukan, dan pertimbangan. Jadinya, DPD hanya menjadi semacam lembaga penasehat. Padahal DPD memiliki legitimasi politik yang kuat, karena juga dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.

Dengan demikian, hal utama yang perlu diperjuangkan sebagai anggota DPD adalah membenahi tugas dan wewenang DPD, dan membakukannya dalam suatu aturan perundang-undangan. Hal ini penting, sebagai landasan pergerakan DPD untuk mengambil peranan yang lebih optimal dalam pembangunan dan penyelesaian masalah di daerah.

Anggota DPD seharusnya bisa memiliki wewenang lebih, terutama apabila menyangkut penyelesaian masalah atau pembangunan di daerahnya masing-masing. Anggota DPD harus memiliki inisiatif dan menjadi pemimpin dari setiap tim yang dibentuk, dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di daerah atau yang menyangkut proyek pembangunan di daerah.

Alasan ini sangat kuat, karena anggota DPD lah yang lebih berwenang menyelesaikan permasalahan di daerahnya dan membagun daerahnya masing-masing. Anggota DPD adalah representasi putra daerah, dimana ini adalah alasan dia dipilih oleh masyarakat di daerah, yaitu untuk mewakili aspirasi mereka. Dengan lebih mempercayakan penyelesaian masalah dan pembangunan daerah kepada putra daerah, tentunya akan tercipta sistem demokrasi antara pusat dan daerah yang sehat. Aspirasi rakyat di daerah, benar-benar akan tersampaikan melalui DPD. Selanjutnya DPD dapat mengkoordinasikan dengan DPR dan lembaga eksekutif (Presiden) di pusat untuk menindak lanjuti setiap aspirasi masyarakat yang ada di daerah.

Kamis, 02 Juni 2011

ANAK JALANAN DAN HAK ASASI MANUSIA : PELANGGARAN ATAU PILIHAN?


Pendahuluan
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan permasalahan yang marak dibicarakan di negara kita akhir-akhir ini. Berbagai kasus yang terjadi di negara ini seringkali dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu hak asasi manusia yang sedang marak diperjuangkan adalah hak anak. Termasuk didalamnya adalah masalah mengenai anak jalanan.

Jumlah anak jalanan akhir-akhir ini meningkat dengan pesat. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat ini merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.

Hampir di setiap perempatan-perempatan jalan di kota-kota besar telah menjadi basis kegiatan anak jalanan. Anak-anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar tetapi mereka sudah mencari nafkah dengan melakukan kegiatan-kegiatan di perempatan jalan yang penuh resiko. Mereka yang seharusnya masih mengenyam masa indah di bawah kasih sayang dan bimbingan orang tua sudah harus menjalani kehidupan dunia jalanan yang penuh kekerasan dan eksploitasi tanpa mengenyam pendidikan moral maupun agama. Padahal anak-anak itu adalah aset pembangunan bangsa yang sangat berharga untuk masa depan. Akankah kita berdiam diri melihat fenomena anak jalanan yang melanda bangsa kita ini?

Mengkaji fenomena diatas, saya ingin membuka kesadaran kita untuk menyimak sisi lain dari kehidupan kita, dimana masih banyak sekali anak yang tidak mampu menikmati kehidupan yang layak seperti kita. Permasalahan anak jalanan tersebut membutuhkan solusi yang terbaik karena membawa pengaruh besar yang menyangkut masalah sosial, moral dan terlebih lagi hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara untuk menegakkannya. Dengan penulisan paper ini diharapkan kita mampu memikirkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji mengenai anak jalanan. Paper ini akan berusaha mengungkap bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada anak jalanan. Pembahasan dalam paper ini akan dimulai dengan pengertian anak jalanan, pelanggaran hak asasi yang terjadi pada anak jalanan, dan beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menagani hal tersebut.

Definisi Anak Jalanan
Untuk memberikan pengertian dan memperjelas permasalahan, maka perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian anak jalanan. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh kalangan akademisi atau peneliti maupun kalangan aparat pemerintah yang terkait dengan lembaga swadaya masyarakat. Adapun beberapa definisi anak jalanan dikemukakan sebagai berikut.

Menurut Ilsa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7 – 15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta mebahayakan dirinya sendiri. Sementara itu, Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja. Panti Asuhan klender mengatakana bahwa anak jalanan adalah anak yang sudah biasa hidup sangat tidak teratur di jalan raya, bisa diambil bekerja tetapi dapat juga hanya menggelandang sepanjang hari (Kirik Ertanto dalam www.humana.20m.com/babI/htm).

Hasil temuan lapangan yang diperoleh panji Putranto menunjukkan bahwa ada dua tipe anak jalanan, yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan antara kedua kategori ini adalah kontak dengan orang tua. Mereka yang bekerja masih memiliki kontak dengan orang tua sedang yang hidup di jalanan sudah putus hubungan dengan keluarga. Hal ini sejalan dengan kategori anak jalanan menurut Azas Tigor Nainggolan menunjukkan ada tiga kategori anak-anak yang bekerja di jalanan. Pertama, anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu anak-anak kaum urban yang tinggal bersama orang tuanya di kampung-kampung yang tumbuh secara liar di perkotaan. Kedua, pekerja anak perkotaan yaitu mereka yang hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. Kategori ketiga, adalah anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga (Kirik Ertanto & Siti Rohana dalam www.humana.20m.com/babII/htm).

Dari berbagai definisi diatas, setidaknya menunjukkan adanya perbedaaan mengenai usia dan batas pengertian. Mengenai usia, sesungguhnya PBB sudah menetapkan angka 18 tahun, meski masing-masing negara masih berhak menentukan berdasarkan undang-undang masing-masing. Sementara itu, dari berbagai definisi yang ada, secara kasar menunjukkan tiga ciri yaitu, memandang anak-anak jalanan sebagai gejala bagian dari gejala dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam bidang ini, gejala anak jalanan sering dikaitkan dengan alasan ekonomikeluarga dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan anak-anak. Ciri kedua, memandang gejala anak jalanan sebagai permasalhan sosial. Anak-anak jalanan dipandang merupakan bukti dari para deviant yang mengancam ketentraman para penghuni kota lainnya. Ciri ketiga, adalah menempatkan anak jalanan sebagai anak-anak yang diperlakukan sebagai orang dewasa. Akibatnya ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau menghadapi masa depan yang suram. Ciri ketiga ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan hak anak (Kirik Ertanto dalam www.humana.20m.com/bab1/htm)

Perlu ditegaskan disini, pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam paper ini adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.

Anak Jalanan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Pada tahun 1998, menrut Kementrian Sosial menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Dan pada tahun 1999 diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.

Anak jalanan seharusnya masih berada di sekolah tetapi mereka telah menjalani kehidupan jalanan untuk mencari nafkah. Anak-anak ini tidak dapat mengakses pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal dalam hal ini termasuk pendidikan keluarga. Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan pendidikan dan perlindungan kepada orang tua. Tetapi jika menilik latar belakang kepergian anak-anak tersebut meninggalkan rumah orang tuanya karena kekecewaan terhadap pendidikan sekolah atau kekerasan yang dilakukan orang tua.

Menurut Kirik Ertanto, latar belakang anak menjadi anak jalanan dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, kekecewaan mereka atas pendidikan di sekolah. Di sekolah ia dicap sebagai anak nakal dan bodoh sehingga sering dimarahi oleh guru. Kedua, permasalahan yang dihadapinya di sekolah biasanya dilaporkan kepada orang tua murid. Laporan ini biasanya menjadi penyulut kemarahan orang tua bahkan seringkali diikuti dengan kekerasan (Kirik Ertanto dalam www.kunci.or.id/htm). Sedangkan penelitian tim peneliti dari Universitas Diponegoro menyatakan bahwa alasan utama untuk menjadi anak jalanan disebabkan oleh ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya perhatian orang tua (66,7%), kemiskinan keluarga dan dorongan teman (22,4%) dan lain-lain (10,9%) (Nur Rochaeti dkk dalam www.undip.ac.id/riset/htm).

Kedua hal tersebut menimbulkan kekecewaan pada diri mereka atas perlakuan yang ia terima dari dunia pendidikan. Akibatnya hal itu mendorong mereka untuk pergi ke jalanan mencari kebebasan tanpa beban “pendidikan”. Padahal pendidikan merupakan salah satu hak asasi mereka tetapi justru dianggap sebagai beban yang harus dihindari. Tetapi bagaimanapun juga hak asasi mereka itu harus tetap ditegakkan. Mengenai hak asasi memperoleh pendidikan ini termuat dalam konvensi hak-hak anak 1989 PBB pasal 28 disebutkan “mengakui hak anak atas pendidikan dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama”. Selain itu juga dikuatkan oleh hukum di negara kita yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 dinyatakan “ Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dann memperoleh manfaat iptek”. Selain itu juga termuat dalam UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Di dalamnya termuat hak anak yang meliputi hak perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diridan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

Bila dikaji berdasarkan dasar hukum diatas, pelanggaran yang terjadi terhadap anak jalanan diantaranya hak memperoleh perlindungan orang tua dan masyarakat serta hak memperoleh pendidikan. Didasari alasan tersebut, sangat perlu dirancang sebuah sistem pendidikan yang khusus diberikan kepada anak jalanan sesuai dengan minat mereka, minimal pendidikan mengenai moral, agama, dan keahlian khusus sebagai bekal bagi masa depan mereka.

Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengn kekerasan dan eksploitasi. Pertarungan demi pertarungan selalu berakhir dengn kekalahan tanpa ada kemenangan dari pihak manapun. Berbagai penelitian mengungkapkan situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Lebih tragis lagi kekerasan oleh anak jalanan justru dilakukan oleh petugas keamanan yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Menurut penelitian YDA menyatakan bahwa bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi dimana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan. Selain kasus kekerangan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi (Odi Shalahudin dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm)

Yang lebih parah lagi anak-anak jalanan juga mengalami siksaan atau kekerasan dari pihak sindikat yang secara terselubung mengkoordinasi kerja mereka. Sindikat tersebut memanfaatkan atau mengeksploitasi anak jalanan untuk menjadi pengemis, pengamen, pencopet atau bahkan eksploitasi seksual. Fenomena ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang pemanfaatan atau eksploitasi masyarakat yang termarjinalkan demi pencapaian maksud untuk meraup keuntungan diatas penderitaan orang lain. Hal ini merujuk kepada Konvensi Hak Anak 1989 PBB pasal 36 menyatakan “ akan melindungi anak terhadap semua bentuk lain dari eksploitasi yang merugikan tiap aspek dan kesejahteraan anak.”

Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan yang terungkap ke publik hanya sebagian kecil saja dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi dalam kehidupan anak jalanan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi terus menerus dalam perjalanan hidupnya, akan membentuk nilai-nilai baru dalam dan tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki usia dewasa, besar kemungkinan bagi mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksplotasi terhadap anak-anak jalanan.

Berkenaan dengan kekerasan terhadap anak jalanan, hukum nasional kita telah mengaturnya dalam UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 yang menyatakan bahwa hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian tindak kekerasan terhadap anak jalanan dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Lebih lanjut, kita juga dapat merujuk pada Konvensi Hak-hak Anak PBB pasal 37 menyatakan “ menjamin anak tidak menjalani siksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan tidak bermanfaat; menjamin untuk tidak dirampas kemerdekaannya secara sewenang-wenang.”

Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalannya, misalnya digerayangi tubuh atau alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan dan sodomi. Menurut laporan Setara (1999)_ menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau jepeng baris. Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan telah dikemukakan oleh Setara (1999). Hasil monitoring Yayasan Setara dalam periode Januari-Juni 2000 mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan di daerah Batam dan Riau (Odi Shalahuddin dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm)

Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Setara di Semarang menemukan bahwa 46,4% anak jalanan perempuan berada dalam prostitusi. Menyangkut anak laki-laki, informasi mengenai hal tersebut masih sangat terbatas. Pada pertengahan tahun 1990-an pernah dikenal suatu kelompok yang menamakan diri “Balola” yang kepanjangannya adalah bajingan lonthe lanang, yang mangkal di depan sebuah hotel dekat Simpang Lima, Semarang. Berdasarkan informasi dari anggota komunitas jalanan dan pendamping anak jalanan, pada pertengahan tahun 1990-an di seputar Simpang Lima ada komunitas anak laki-laki yang dilacurkan dan digunakan oleh para lelaki dewasa yang disebut Meong. Meskipun berbeda komunitas, pada saat ini di beberapa tempat juga dijadikan sebagai tempat berkumpul anak laki-laki yang dilacurkan. (Odi Shalahuddin dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm)

Di Indonesia, berdasarkan perkiraan seorang aktivis hak anak, diperkirakan ada 30% anak dari jumlah keseluruhan pekerja seksual komersial yang ada atau berkisar antara 40.000 – 150.000 anak. Berkenaan dengan prostitusi anak, peraturan mengenai hal ini dalam hukum nasional kita belum diatur. Untuk mensikapi hal ini kita bisa merujuk pada Konvensi Hak-Hak Anak pasal 34 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No 36 tahun 1990 yang menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi seksual dan penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan pornografi. Konggres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial yang berlangsung di Stockholm- Swedia pada tahun 1996 telah mengidentifikasikn prostitusi sebagai salah satu bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak selain perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pornografi anak. Kongres ini dapat dikatakan merupakan dasar bagi perjuangan bersama di tingkat internasional untuk menghentikan eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Konvensi ILO No. 182 yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000, menyatakan bahwa prostitusi merupakan salah satu pekerjaan terburuk untuk anak yang perlu dihapuskan. Dari ketiga dasar ini, kita bisa secara tegas menyatakan bahwa prostitusi anak adalah tindakan integral dengan menempatkan anak sebagai korban eksploitasi seksual. Dengan demikian, maka pihak-pihak yang memanfaatkan atau memberikan kesempatan bagi terjadinya prostitusi anak merupakan kejahatan ( Odi Shalahudin dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm.).

Berkaitan dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terhadap fenomena anak jalanan, tentu perlu kiranya dipikirkan cara pemecahan yang tepat untuk menangani masalah ini. Selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk menengani masalah tersebut. Diantaranya adalah dengan upaya pembimbingan anak-anak jalanan oleh organisasi kemasyarakatan (LSM). Program pembimbingan ini bertujuan untuk meningkatkan martabat anak jalanan dalam aspek kemandirian, literasi, enumerasi, dan keterampilan kerja.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan selama ini adala pendekatan “penjaringan” atau razia oleh polisi untuk dikirim ke panti-panti rehabilitasi dan memberikan keterampilan untuk anak jalanan. Namun sepertinya upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini kurang efektif. Untuk mengatasi masalah anak jalanan memang sangat sulit karena persoalan ini sangat kompleks. Perlu adanya kerjasama yang baik dari berbagai pihak untuk menangani masalah ini seperti pemerintah, Organisasi Non-pemerintah (NGO), organisasi sosial kemasyarakatan, akademisi, dan masyarakat umum.

Kesimpulan
Anak jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Berdasarkan hubungnnya dengan orang tua, anak jalanan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu, anak yang bekerja di jalanan dan anak yang tinggal di jalanan.

Anak jalanan mengalami kehidupan yang keras dalam kondisi dan situasi yang buruk bahkan hak-haknya banyak terlanggar. Sebagai anak, mereka tidak lagi mampu menikmati hak-haknya yang tercakup sebagai hak anak yang telah diatur dalam perundang-undangan di negara kita. Adapun hak-hak asasi anak yang sering terlanggar dalam kehidupan anak jalanan diantaranya hak mendapat perlindungan dari orang tua dan masyarakat, meperoleh pengajaran, dan hak perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak perlindungan anak dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual. Bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi dalam kehidupan anak jalanan diantaranya eksploitasi oleh oknum-oknum tertentu untuk menjadi pengemis, pengamen, pencopet bahkan pelacur oleh sindikat tertentu, penyalahgunaan seksual baik sodomi maupun perkosaan, tidak adanya akses pendidikan dan siksaan dan kekerasan dari berbagai pihak.

Masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam kehidupan anak jalanan ini menuntut serangkaian upaya untuk memperjuangkannya agar tidak semakin memperpanjang daftar pelanggaran hak asasi manusia di negara kita. Akan tetapi menangani masalah anak jalanan bukanlah hal yang mudah karena kekomplekan masalahnya. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah, lembaga kemasyarakatan maupun kalangan akademisi.

Referensi
Kirik Ernanto, “ Anak Jalanan dan Subkultural: Sebuah Pemikiran Awal”, dalam www.kunci.or.id/htm., 30 Maret 2005.
Kirik Ernanto, “Peta Jaring-Jaring Persoalan Anak di Perkotaan Bab I”, dalam www.humana.20m.com/bab1/htm., 31 Maret 2005.
Kirik Ernanto dan Siti Rohana, “Peta Jaring-Jaring Persoalan Anak di Perkotaan Bab II”, dalam www.humana.20m.com/bab II/htm., 31 Maret 2005.
Nur Rochaeti,dkk, “Penanganan Anak Jalanan di Kotamadya Dati II Semarang”, dalam www.undip.ac.id/riset/htm., 30 maret 2005.
Odi Shalahudin, “Kekerasan terhadap Anak Jalanan, dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm., 30 Maret 2005.
Odi Shalahudin, “Prostitusi Anak Jalanan Semarang (1)”, dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm., 30 Maret 2005.
Odi Shalahudin, “Prostitusi Anak Jalanan Semarang (2)”, dalam www.anjal.blogdrive.com/archive/htm., 30 Maret 2005.

Senin, 23 Mei 2011

MENERTAWAKAN MASA LALU


Suatu ketika, saya berbincang-bincang dengan seseorang. Dia menuturkan pengalaman masa lalunya, mulai dari masa kecil yang tidak mudah hingga sekarang telah menjadi seorang yang mapan. Dia juga menyebutkan bahwa di masa lalu dia sempat melakukan kebodohan-kebodohan. Beberapa kebodohan dia sesali dan beberapa dia tertawakan kebodohannya itu. Di sisi lain, ada juga yang menjadi suatu kenangan jenaka yang tidak pernah terlupa baginya.

Ternyata memang benar, pada suatu saat nanti kita bisa saja menertawakan diri kita sendiri di masa lalu. Dari suatu kebodohan yang pernah kita lakukan, suatu saat nanti, ketika kita telah menemukan hikmahnya, tentulah kita baru akan sadar bahwa apa yang kita lakukan di masa lalu itu adalah suatu kebodohan.

Namun, sayangnya apa yang terjadi di masa lalu tentulah tidak bisa kita perbaiki. Sikap yang bisa kita lakukan adalah untuk belajar agar apa yang akan kita lakukan di masa akan datang adalah yang lebih baik.

Kamis, 17 Maret 2011

KAPAN MENIKAH?


Terdapat sebuah anekdot lucu yang pernah disampaikan oleh salah seorang rekan kerja di kantor. Anekdotnya adalah sebagai berikut.

Pada suatu ketika, seorang pemuda lajang bertemu dengan seorang yang dituakan (Orang Tua) di suatu pesta pernikahan. Si Orang Tua, yang mengetahui bahwa si Pemuda belum kunjung menikah, kemudian berkata kepada pemuda tersebut, "Kapan nyusul?".

Mendengar sapaan si Orang Tua tersebut, si Pemuda pun senyum-senyum tersipu malu tidak menjawab, lalu diapun menghilang dari jangkauan pandangan si Orang Tua.

Maklum, si Pemuda memang merupakan lajang tulen di kampung. Bukan karena dia tidak mau menikah atau karena kurang usahanya, tetapi karena memang belum ada wanita yang merespon i'tikad baiknya.

Pada kesempatan yang lain, kedua orang ini bertemu kembali, namun kali ini mereka bertemu dalam suatu acara pemakaman seorang warga kampung yang meninggal dunia. Kemudian si Pemuda pun tanpa basa-basi menyapa si Orang Tua dan berkata, "Kapan nyusul, Pak?".


Anekdot di atas, dapat dikategorikan sebagai ungkapan sinisme dan sentimentil. Dimana seorang pemuda melakukan suatu sindiran serangan balik kepada si Orang Tua dengan menyampaikan suatu ungkapan yang sama, namun dalam kondisi berbeda.

Akan tetapi, di dalam anakedot tersebut, apabila bisa kita renungkan lebih jauh, sebenarnya terkadung suatu pesan. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut.

Seseorang bisa saja telah melakukan usaha-usaha sebatas apa yang bisa dia lakukan untuk melakukan suatu kebaikan. Kebaikan ini bisa berupa apa saja sesuai dengan norma yang berlaku di tengah masyarakat, misalnya seperti yang diceritakan dalam anekdot di atas, kebaikan itu adalah menikah.

Namun, bisa saja Allah SWT belum menghendaki orang tersebut untuk berhasil melakukan kebaikan yang diinginkannya tersebut. Bentuk dari hal ini bisa berupa terdapat suatu halangan (udzur) misalnya karena belum punya penghasilan, belum mendapat restu orang tua, ada permasalahan keluarga, dan yang semacamnya. Atau bisa juga karena ada kebaikan lainnya yang lebih prioritas bagi dirinya untuk dilakukan.

Akan tetapi, seringkali masyarakat sekitar memberikan penilaian secara sepihak, tanpa adanya kemauan untuk menelusuri lebih jauh mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri seseorang.

Masyarakat telah kehilangan society wisdom (kebijaksanan sosial), dimana yang sering ditampilkan oleh masyarakat kita saat ini adalah lebih merupakan bentuk dari pandangan-pandangan sentimentil mereka terhadap lingkungan sekitarnya.

Seringkali masyarakat memaksakan suatu kebaikan pada seseorang dari sudut pandang mereka sendiri. Padahal, apabila kita bisa memahami kondisi orang lain, barangkali kita bisa mengetahui sebenarnya kebaikan apa yang terbaik untuk diri seseorang dalam suatu kondisi yang sedang dia hadapi sekarang.

Dengan cara berpikir yang seperti ini, maka akan terbentuk suatu masyarakat yang berbudayakan cara berpikir solutif atau mampu memberikan solusi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah mereka, bukan masyarakat yang gemar mengomentari tanpa adanya solusi.

Informasi-informasi yang didapat akan ditelusuri lebih jauh sehingga mendekati pada fakta, menganalisanya sesuai tingkat pemahamannya, sehingga akan dapat dirumuskan suatu solusi.

Sedangkan yang terjadi pada masyarakat saat ini adalah mereka mendapat informasi, lalu sesegera itu juga mereka menyampaikannya kepada orang lain, maka hal inilah yang kemudian membentuk social judgment (penilaian soial) yang dangkal terhadap seseorang. Padahal informasi itu belum tentu informasi yang benar, atau informasinya benar tetapi kurang lengkap.

QS. Al Hujurat ayat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Dalam kasus anekdot di atas, si Orang Tua mendapatkan informasi bahwa si Pemuda lajang belum menikah, maka dia pun langsung memberikan komentarnya yang menyuruh si Pemuda lajang untuk segera menikah. Padahal barangkali ada informasi lainnya mengenai si Pemuda tersebut, yang belum diketahui oleh si Orang Tua, misalkan: orang tua atau saudara si Pemuda sedang manghadapi masalah, si Pemuda belum mempunyai penghasilan yang memadai untuk menikah, si Pemuda sedang memprioritaskan untuk melanjutkan sekolah, dan lain sebagainya.

Apabila si Orang Tua mau untuk menelusuri lebih lanjut informasi mengenai si Pemuda tersebut, lalu dia menganalisanya berdasarkan tingkat kebijaksanaan yang dia miliki, tentu si Orang Tua akan mengeluarkan komentar-komentar yang lebih konstruktif atau motifatif.

Kamis, 10 Maret 2011

HANA TAJIMA, JAPANESE GIRL MUSLIMAH


Seorang wanita cantik blasteran Jepang-Ingris memperkenalkan suatu mode berbusana muslimah yang trendi tanpa harus meninggalkan kaidah-kaidah syariah Islam. Dia adalah Hana Tajima Simpson.

Hana Tajima memulai profesi sebagai desaigner semenjak berumur 5 tahun. Kedua orang tuanya adalah seniman. Kondisi ini merupakan potensi yang baik bagi Hana kecil untuk mengembangkan bakat seninya.

Pada saat Hana berumur 17 tahun, sekitar 6 tahun lalu, dia memeluk islam. Sebelum mengucap dua kalimat syahadat, Hana adalah seorang pemeluk Kristen. Ia tumbuh di daerah pedesaan di pinggiran Devon yang terletak di sebelah barat daya Inggris. Di tempat tinggalnya itu tidak ada seorang pun warga yang memeluk Islam.Persentuhannya dengan Islam terjadi ketika Hana melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Dalam pandangan Hana saat itu, teman-temannya yang beragama Islam terlihat berbeda. bagi Hana, mereka terlihat menjaga jarak dengan beberapa mahasiswa tertentu. Mereka juga menolak ketika diajak untuk pergi ke pesta malam di sebuah klub. Hana memandang hal itu justru sangat menarik. Terlebih, teman-temannya yang Muslim dianggap sangat menyenangkan saat diajak berdiskusi membahas materi kuliah. Menurut dia, mahasiswa Muslim lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan ataupun berdiskusi.

Dari teman-teman Muslim itulah, secara perlahan Hana mulai tertarik dengan Islam. Sejak saat itu pula, Hana mulai mempelajari Islam dari sumbernya langsung, yakni Alquran. Dalam Alquran yang dipelajarinya, ia menemukan fakta bahwa ternyata kitab suci umat Islam ini lebih sesuai dengan kondisi saat ini.

“Di dalamnya saya menemukan berbagai referensi seputar isu-isu hak perempuan. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menemukan diriku setuju dengan ide-ide yang tertulis di belakangnya dan aku bisa melihat mengapa Islam mewarnai kehidupan mereka,” ungkapnya.

Rasa kagumnya terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran pada akhirnya membuat Hana memutuskan untuk memeluk Islam.

Tak semua Muslimah tergerak untuk menutup auratnya dengan mengenakan jilbab. Namun bagi Hana Tajima, jilbab adalah identitas seorang Muslimah. “Saya mulai mengenakan jilbab pada hari yang sama di saat saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini merupakan cara yang terbaik untuk membedakan kehidupan saya di masa lalu dengan kehidupan di masa depan,” paparnya seperti dikutip dari hijabscarf.blogspot.com.

Keputusannya untuk mengenakan jilbab kontan memancing reaksi beragam dari orang-orang di sekitarnya, terutama teman dekatnya. Sebelum mengenakan jilbab, Hana paham betul dengan semua konotasi negatif yang disematkan kepada orang-orang berjilbab.

Dalam blog pribadinya Hana mengakui bahwa menjadi seorang Muslimah di sebuah negara Barat dapat sedikit menakutkan, terutama ketika para mata di sekitarnya menatap dengan tatapan aneh.

"Being a Muslimah in a western country can be a bit daunting especially when it comes to the stares!" Ungkap dia. (-Menjadi Muslimah di negara barat cukup menakutkan terutama ketika kita terlihat di muka umum)

Maklum saja, di negara-negara Barat, sebagian penduduknya telah terjangkit Islamofobia. Tak sedikit, Muslimah yang mengalami diskriminasi dan pelecehan saat mengenakan jilbab. Bahkan, di Jerman beberapa waktu lalu, seorang Muslimah dibunuh di pengadilan karena mempertahankan jilbab yang dikenakannya. (Berita mengenai ini salah satunya bisa dilihat di sini)

Peristiwa-peristiwa semacam ini tentunya menjadi teror bagi setiap kaum muslimah yang ingin mengenakan jilbab. Hal inilah yang menjadi salah satu motivasi bagi Hana Tajima untuk bisa memberikan kontribusi demi memotivasi kaum muslimah.

“I wanted to create something that would help Muslimah’s everywhere keep motivated.” ujar Hana. - (Saya ingin membuat sesuatu yang akan membantu setiap muslimah dimanapun termotivasi)

Kini, label "Maysaa" yang dibawanya telah dilepas ke pasar dunia dan mendapat apresiasi positif. Bukan hanya dari kalangan Muslimah sendiri, namun juga dari kalangan di luar Islam. Hana dan "Maysaa"-nya telah menjadi ikon busana muslimah di seluruh dunia.

Pada tonguechic.com Hana berpesan kepada seluruh kaum muslimah, "Don't get caught up in what looks good on other people, just to fit in. You have to find something you're comfortable with, a look that expresses your personality."
(-jangan terjebak pada apa yang menurut pandangan orang bagus, dan kemudian menyusuaikan dirimu terhadap pandangan tersebut. Kamu harus menemukan suatu cara berpenampilan yang membuatmu nyaman, yang mengekspresikan kepribadianmu).

Kepribadian seorang Muslimah dapat dilihat dari cara dia berbusana yang sesuai dengan syariah Islam, yaitu dengan mengenakan jilbab. Seorang Muslimah yang beriman tentunya akan merasa nyaman apabila dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.


REFERENSI

Rabu, 15 Juli 2009

HAMIL DI LUAR NIKAH? BIASA!


Suatu waktu, saya pernah makan di sebuah warung sederhana. Warung itu terletak di suatu sudut pasar sebuah kampung. Ya sekedar cari makan yang murah dan halal gitu. Ketika saya sedang dengan lahapnya makan, tak sengaja saya mendengar pembicaraan dua orang laki – laki. Salah satunya seorang pemuda, dan yang satunya lagi seorang bapak – bapak yang tidak terlalu tua umurnya. Sebenarnya bukan maksud saya untuk mencuri dengar. Tetapi hanya saja karena warung itu tidak terlalu besar, tentu saja pembicaraan antara dua orang lelaki itu, yang juga nongkrong di warung tempat saya makan, terdengar secara otomatis.

Setelah beberapa pembicaraan berlalu, maka sampailah pembicaraan kedua orang itu kepada masalah keluarga.

“Oh ya! Gimana kabar adik perempuanmu itu?,” Tanya si bapak – bapak kepada pemuda itu, “udah lama gak ketemu, tentunya sekarang dia sudah besar.”

Si pemuda itu menjawab, “Wah iya Pak…anu…,” pemuda itu garuk – garuk kepala, “Adik saya itu kecelakaan.”

Sejenak si bapak – bapak itu nampak terkejut mendengar itu. Tetapi dari raut muka si pemuda itu, si bapak – bapak tersebut kemudian mengetahui bahwa yang dimaksud oleh si pemuda itu “kecelakaan” bukanlah “kecelakaan” yang dia maksud.

“Ooo…kecelakaan!,” bapak itu manggut –manggut sebagai tanda mengerti, “sekarang kalo seperti itu sih sudah biasa dik.”

Spontan sebenarnya aku terkejut mendengar komentar si bapak – bapak tersebut. Seolah – olah, beliau dengan begitu entengnya memberi komentar yang serupa itu. Padahal kalo menurutku suatu “kecelakaan” seperti itu janganlah dianggap “biasa”. Tentunya nantinya hal – hal demikian akan dianggap sebagai kebiasaan pula oleh masyarakat. Apabila sudah menjadi kebiasaan tentu saja pada masa – masa yang akan datang, tidak akan ada rasa bersalah lagi bagi mereka yang melakukannya.

Pergaulan bebas memang saat ini sudah mulai menjadi tren. Suatu hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 6 – 20% anak SMU dan mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan suami-istri pranikah. Lebih mengagetkan lagi, survei yang dilakukan terhadap mahasiswa – mahasiswa kedokteran di sebuah universitas swasta menyatakan bahwa 35% dari mereka sepakat tehadap adanya hubungan terlarang pranikah. (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/08/ nas11.html).

Bukankah hal ini sudah mulai kelewatan. Legalisasinya sudah mulai muncul dengan adanya anggapan di kalangan muda – mudi sekarang yang menyatakan kalau tidak melakukannya berarti gak mengikuti jaman. Lebih jauh lagi, orang yang tidak mau melakukannya seringkali akan disebut kuno, ketinggalan jaman, homo, lesbi, lemah syahwat, dan apalah. Persepsi yang demikian tentunya sangat merusak moral.

Padahal kita tahu bahwa zinah adalah merupakan salah satu dosa besar. Kepada perempuan besuami yang berzinah saja hukumannya adalah dirajam sampai mati menurut syaria’at islam. Bagi pezinah yang tidak demikian tentunya hukumannya juga berat kan?. Seharusnya!

Kita juga tahu, kalo kita dengar cerita orang – orang tua dahulu, misalnya kakek – kakek dan nenek – nenek kita dalam mengarungi masa mudanya, tentulah tidak akan pernah mendengar ada cerita demikian dalam hidup mereka. Karena orang – orang jaman dahulu masih kental budaya ketimurannya. Karena belum adanya pengaruh budaya barat, maka hubungan antara pria dan wanita dalam persepsi mereka adalah sesuatu yang sakral. Tidak boleh dilanggar. Mereka menjadi serba sungkan kalau berada di dekat wanita yang bukan muhrimnya. Tentu saja dengan demikian mereka bisa menjaga dirinya dari zina. Mereka menganggap bahwa zina ini adalah tindakan yang tidak terpuji, tercela, kotor, sesat, tidak sesuai dengan budaya, tidak sesuai dengan agama. Dengan anggapan demikian kita bisa lihat orang – orang jaman dahululah yang labih kuat dalam menjaga bahtera rumah tangga mereka. Sulit sekali dijumpai kawin cerai pada masa dahulu.

Tapi sekarang, bukankah persepsi demikian sudah mulai berbalik 180 derajat? Kalaupun tidak terlalu besar saat ini, tetapi bisa diramalkan bahwa persepsi itu akan semakin meluas di masyaratakat dan dalam beberapa jangka waktu ke depan semua masyarakat akan memberikan persetujuan sosialnya terhadap masalah ini. Kalau hal pembiasaan semacam ini terus terjadi, dan persepsi positif mengenai pergaulan bebas pra nikah terus meluas hingga menimbulkan persetujuan sosial terhadapnya, bisa saja suatu saat nanti, kondisinya akan semakin parah. Pergeseran nilai – nilai luhur akan semakin mengarah pada budaya jahiliyah.

Dengan deikian, secara otomatis, selanjutnya, pikiran saya jadi melayang jauh. Misalnya saja sebuah contoh mengenai pergeseran persepsi ini dapat dilihat dalam kisah imajinasi saya berikut. Sekitar 40 tahun lagi dari sekarang, ketika saya sudah menjadi “orang”, saya kembali makan di warung tersebut. Warungnya bukan lagi warung yang sederhana seperti 40 tahun yang lalu, tetapi sekarang sudah bekelas restoran. Dan di warung tersebut saya kembali secara tak sengaja mendengar perbincangan antara dua orang yang mirip – mirip dengan perbincangan di atas. Misalnya perbincangan kali ini adalah antara dua orang, yang satu seorang tante – tante dan seorang lagi seorang wanita muda. Berikut perbincangan di antara keduanya.

“Oh ya! Gimana kabar adik perempuanmu itu?” Tanya si tante – tante kepada si wanita muda itu, “udah lama gak ketemu, tentunya sekarang dia sudah besar.”

Si wanita muda itu menjawab, “Wah iya Tante…anu…” wanita itu senyam – senyum, “Adik perempuan saya itu hamil setelah diperkosa orang banyak.”

“O…begitu!,” tante itu manggut –manggut, namun tidak nampak sekali bahwa dirinya terkejut mendengar itu, tidak seperti empat puluh tahun yang lalu. Lalu dia melanjutkan, “Wah, sekarang kalo seperti itu sih sudah biasa dik.”

Boleh saja ini hanyalah sebuah imajinasi. Tapi hal ini tentunya memungkinkan apabila suatu saat nanti akan terjadi demikian. Seperti kita ketahui apabila tidak ada suatu system yang revolusioner, budaya itu semakin lama akan semakin bergeser menuju budaya jahiliyah kembali, apabila semakin banyak manusia yang meninggalkan agamanya. Kalau memang nantinya benar – benar menjadi seperti itu, wah…Apa Kata Dunia?

Senin, 25 Mei 2009

MENYIKAPI BUDAYA CAROK DALAM MASYARAKAT MADURA


PENDAHULUAN

Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan terbayang alam yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri.

Untuk itu, dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan masyarakat mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan. Upaya tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam ungkapan-ungkapan Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’. (nasehat-nasehat baik).

Dalam tulisan kali ini saya akan memabagi pembahasan ke dalam 5 kelompok. Pertama, mengaenai Budaya Carok Dalam Mastyarakat Madura, Kedua mengenai Celurit Sebagai Simbol Carok, ketiga mengenai Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit Dalam Budaya Madura, keempat mengenai bagaimana Menyikapi Nila – Nilai Negatif Budaya Madura.


BUDAYA CAROK DALAM MASYARAKAT MADURA

Di Indonesia, carok telah dianggap sebagai ciri khas kelompok etnik Madura. Hanya di dalam etnis Bugis saja yang dianggap mempunyai pola perilaku yang hampir menyerupai carok, yaitu fenomena yang disebut sebagai siri’ (Pelras 1996). A. Latief Wiyata menyatakan bahwa pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenangnya.

Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh, terbanyak (60,4%) berlatar belakang gangguan terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham (16,9%); masalah tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%); dan masalah lain di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya (6,8%).

  1. Tujuan Carok

    Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam.

    Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.
  2. Penyebab Eksistensi Carok

    • Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).
    • Persetujuan sosial melalui ungkapan – ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).
    • Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.
    • Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.
    • Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya. (Wiyata, 2002)
    • Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.
    • Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.

  3. Prasyarat Carok

    Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002).
    • Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.
    • Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.
    • Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.
  4. Tata Cara Pelaksanaan Carok

    Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme.

    Meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.


CELURIT SEBAGAI SIMBOL CAROK

Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005).

Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil usaha kerajinan tersebut. Setiap pedagang senjata tajam selain menggelar berbagai jenis peralatan yang biasa digunakan untuk kegiatan pertanian dan rumah tangga, juga menyediakan sekitar 10–15 celurit. Celurit untuk carok, selalu ditaruh secara tersembunyi di balik tempat penjualan. Hal ini dimaksudkan agar mereka terhindar dari operasi yang biasa dilakukan oleh aparat kepolisian. Meskipun demikian, orang yang memerlukan clurit itu dengan mudah membelinya setelah berbisik-bisik dengan pihak pedagang.

Jika pada satu pasar desa, setiap hari pasaran, terdapat 10 orang pedagang senjata tajam, maka berarti pada saat itu tersedia 100-150 celurit kusus untuk kepentingan carok. Oleh karena hari pasaran berlangsung dua hari dalam seminggu, berarti selama seminggu akan tersedia 200-300 celurit. Di seluruh Kabupaten Bangkalan, terdapat 18 wilayah kecamatan. Berarti, dalam satu minggu terdapat sekitar 3.600 – 5.400 celurit.

Menurut pengakuan beberapa pedagang, mereka setiap hari pasaran, dapat menjual rata-rata antara dua atau tiga celurit. Sehingga, setiap minggunya akan terjual sekitar 40–60 celurit untuk satu pasar, atau 720–1040 celurit untuk se-Kabupaten Bangkalan. Ini mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan carok di Madura, bukan lagi suatu kemungkinan tetapi dapat dikatakan sebagai keniscayaan. (Wiyata, 2002).

  1. Celurit dan Kriminalitas

    Karena sangat erat hubungannya dengan praktek carok, celurit kemudian memiliki kesan sebagai senjata yang menakutkan. Hal tersebut mengakibatkan senjata ini kerapkali dilibatkan pada banyak tindakan kriminalitas yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus perampokan, penodongan, ataupun kerusuhan massa, celurit seringkali ikut dilibatkan di dalamnya.
  2. Karakteistik Dan Ragam Bentuk Celurit

    Celurit merupakan senjata favorit dalam tindakan carok. Celurit sangat efektif untuk membunuh mengingat bentuknya yang melengkung laksana tubuh manusia. Jika celurit diayunkan maka seluruh bagian permukaannya yang tajam bisa memperparah efek sabetan pada bagian tubuh yang rentan kematian seperti perut, leher, dan kepala.

    Celurit yang kita kenal umumnya memiliki bentuk seperti arit yaitu seperti bulan sabit. Sebenarnya celurit memiliki bentuk yang bermacam-macam. Jenis celurit yang paling popular adalah are’ takabuwan. Senjata ini merupakan jenis celurit yang sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya kawasan Madura Barat. Nama takabuwan diambil dari desa tempat dibuatnya yaitu Desa Takabu. Celurit jenis ini selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya bisa diandalkan karena bahannya terbuat dari baja berkualitas baik. Badan celurit berbentuk melengkung mulai dari batas pegangan hingga ujung.

    Yang menjadi tampak menarik, lengkunagn celurit ini sangat serasi dengan panjangnya yang hanya sekitar 35 - 40 sentimeter. Pegangannya terbuat dari bahan kayu yang biasanya dicat warna hitam atau coklat tua yag panjangnya sekitar 7,5 - 10 sentimeter. Cukup pas untuk pegangan tangan orang dewasa. Biasanya orang memiliki celurit jenis ini bukan untuk tujuan dipakai sebagai alat rumah tangga atau penyabit rumput, melainkan sebagai sekep (senjata tajam yang selalu dibawa pergi untuk tujuan “menjaga segala kemungkinan” jika sewaktu-waktu terjadi carok). Harga senjata tajam ini di pasaran “gelap” berkisar antara 150 ribu - 200 ribu rupiah



    Selain itu, ada pula yang disebut dangosok. Nama dangosok diambil dari nama salah satu jenis buah pisang yang ukuranya lebih pajang dari ukuran rata-rata pisang biasa. Kata dang meupakan singkatan pengucapan dari kata geddang (Indonesia : pisang), sedangkan osok menunjukkan jenis pisang tersebut. Oleh karena itu senjata tajam jenis ini memiliki bentuk seperti layaknya buah pisang yang banyak ditemukan di Madura dan panjangnya melebihi ukuran rata-rata celurit. Badan senjata agak melengkung, panjang sekitar 60 sentimeter dan mempunyai pegangan dari bahan kayu dengan panjang 40 sentimeter.

    Karena bentuknya yang melebihi ukuran rata-rata celurit pada umumnya, jenis senjata tajam ini tidak bisa dibawa bepergian, melainkan ditaruh di dalam rumah yang sewaktu-waktu dapat diambil dengan cepat jika diperlukan. Celurit jenis ini memiliki efektifitas yang lebih baik terutama dalam hal jangkauan terhadap sasaran. Oleh karena itu harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga celurit biasa. Harganya di pasaran sekitar 300 ribu rupiah. Harganya yang mahal juga dikarenakan bahannya yang menggunakan baja bekas rel kereta api. (Wiyata, 2002).

    Celurit jenis lainnya : tekos bu-ambu (bentuknya seperti seekor tikus sedang diam), lancor (sejenis celurit yang mempunyai variasi lengkungan yang terdapat di antara tempat pegangan tangan dengan ujung senjata tajam), bulu ajam (mirip bulu ayam), kembang turi, monteng, calo’ (sejenis celurit tetapi mempunyai lekukan di bagian tengah batang tubuh).



  3. Proses Pembuatan Clurit

    Pembuatan celurit dilakukan oleh para pengrajin Madura secara tradisional dan melibatkan ritual-ritual khusus, sesuai dengan yang diajarkan oleh leluhur mereka secara turun-temurun. Salah satu basis pengrajin celurit yang terkenal di Pulau Madura yaitu di Desa Paterongan, Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kota Bangkalan. Di daerah ini sebagaian besar masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Celurit hasil buatan para pengrajin di Desa Paterongan terkenal akan kekuatan dan kehalusan pengerjaannya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005).

    Bahan dasar celurit yaitu baja bekas, dimana biasanya yang sering digunakan baja bekas rel kereta api atau baja per mobil bekas. Pembuatannya boleh dibilang sederhana. Batangan-batangan baja atau bahan baku celurit ditempa berkali-kali di atas tombuk (bantalan besi) hingga didapatkan bentuk lempengan yang diinginkan. Setelah itu lempengan tersebut dipanaskan pada temperatur tertentu sambil ditempa kembali di atas tombuk berulang-ulang sampai terbentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Ketika bentuk lengkungan celurit telah didapatkan, maka dilakukan pengerjaan akhir yang meliputi penajaman mata celurit, penghalusan permukaan, pembuatan gagang dan sarung celurit. Pembuatan celurit ukuran besar biasanya memakan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga yang dipatok para pengrajin untuk sebuah celurit tergantung dari bahan, ukuran dan motifnya. Celurit paling murah harganya sekitar seratus ribu rupiah.

    Dalam mengerjakan sebuah celurit, para pengrajin selalu melakukannya dengan penuh ketelitian. Sebuah celurit tidak bisa dipandang hanya sebagai sepotong besi yang ditempa berkali-kali, tetapi harus mencirikan sebuah karya seni serta memiiki arti dan makna khusus bagi pemiliknya. Karena itu dalam pembuatan celurit, biasanya para pegrajin berpuasa terlebih dahulu. Bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid, para pengrajin melakukan ritual khusus. Ritual khusus ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga, yang kemudian didoakan di musholla. Setelah didoakan, air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa besi. Karena itulah tombuk ini kemudian dianggap keramat yaitu pantang untuk dilangkahi oleh orang. Para pandai besi di paterongan meyakini apabila ritual ini tidak dilakukan (dilanggar), maka akan dapat mendatangakan musibah bagi mereka.


TINJAUAN SEJARAH MENGENAI KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA

  1. Awal Kemunculan


    Pada saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12 M) dan di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ditemukan catatan sejarah yang menyebutkan istilah senjata celurit dan budaya carok. Senjata yang seringkali digunakan dalam perang dan duel satu lawan satu selalu pedang, keris atau tombak. (Zulakrnain, dkk. 2003). Pada masa-masa tersebut juga masih belum dikenal istilah carok.

    Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada masa ini, dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. (Abdurachman, 1979). Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.

    Pak Sakerah merupakan seorang mandor yang jujur dan taat menjalankan ibadah sehingga disukai oleh para buruh. Namun pada suatu ketika, dia dijebak dan difitnah oleh bos-nya sendiri. Untuk mengembalikan citra dirinya, Pak Sakerah kemudian membunuh bos beserta kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah, Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.: “Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah epate’e, saebu sakerah tombu pole” (Guperman keparat, jangan bersenang-senang, saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak Sakerah.

    Untuk mengatasi perlawanan rakyat Madura, Belanda kemudian berupaya untuk merusak citra Pak Sakerah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam sehingga banyak perlawanan rakyat Madura yang terispirasi oleh kisah kepahlawan beliau. Belanda kemudian sengaja mempersenjatai golongan blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan Belanda, dengan senjata celurit yang bertujuan merusak citra Pak Sakerah sebagai tokoh yang mempopulerkan senjata tersebut. Mereka kemudian diadu domba dengan sesama bangsanya sebagai perwujudan politik devide et impera.

    Karena provokasi Belanda itulah, seringkali terjadi pertarungan antara golongan blater yang merupakan kaki tangan belanda dengan golongan blater dari kalangan yang memberontak kepada Belanda. Pertarungan sampai mati inilah yang kemudian dikenal sebagai carok. Pada saat melakukan carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Celurit digunakan Pak Sakerah sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.

    Kemunculan celurit menurut kisah Pak Sakerah ini terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian De Jonge yang dikutip oleh A. Latief Wiyata. (Wiyata, 2002). De Jonge mengutip laporan seorang asisten residen di Bangkalan, Brest van Kempen, yang menyatakan bahwa antara tahun 1847 - 1849, keamanan di pulau Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus pembunuhan. Bandingkan dengan kisah Pak Sakerah dan peristiwa kekacauan yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut catatan sejarah juga terjadi pada awal abad 18. (Abdurachman, 1979).

    De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun 1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.

    Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok. Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura sangat memperihatinkan saat itu.
  2. Pergeseran Nilai

    Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan kembali persepsi yang salah ini.

    Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan celurit.

    Istilah yang sering dipakai adalah : “ango’an poteya tolang etembang poteya mata”, artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Istilah lainnya yang dipakai yaitu Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]), lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian mendukung eksistensi carok dimana senjata yang digunakan selalu celurit. (Wiyata, 2002).

    Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura terjebak pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan agresivitas semata-mata atas nama menjujunjung harga diri tanpa memandang nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan falsafah hidup mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.

    Dengan demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan disukai banyak orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak lagi melambangkan figur seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak Sakera ketika dengan gagah berani melawan Belanda dan kaki tangannya, tetapi lebih melambangkan figur premanisme dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk melakukan carok.

    Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan kebanggan sebagai keturunan blater.

    Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo.

    Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.

    Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan diri.


MENYIKAPI NILAI – NILAI NEGATIF BUDAYA MADURA

Dr. A. Latief Wiyata menyatakan bahwa budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.

Kenyataan ini tampaknya memang sulit dielakkan karena dua faktor yaitu geografis dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat dan berhadapan langsung dengan Pulau Jawa-tempat orang Jawa mengalami proses yang sama. Setiap bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant culture) maka dalam ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.

Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka akan selalu cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.

Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk melakukan upaya ini tentu tidak terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar budaya serta orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab, tidak mustahil banyak nilai-nilai budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai “terlupakan”.

Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura akan tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura dalam hal berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih ketika mereka harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di luar kebudayaan Madura.

Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus, sehingga masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi termarginalkan. Bahkan, ke depan tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru akan muncul sebagai salah satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.

  1. Mengangkat Nilai Positif Madura Melalui Nilai – Nilai Luhur Celurit

    Seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya dimana sesuai dengan julukan pulau Madura sebagai pulau seribu pesantren. Akan tetapi keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan celurit dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.

    Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semua pandangannya tentang orang Madura berubah 180 derajat. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Nilai-nilai positif ini perlu diangkat untuk dilestarikan dan dikembangkan guna memperbaiki citra Madura.
  2. Redefinisi, Reinterpretasi, dan Revisi Ungkapan - Ungkapan

    Mengangkat nilai-nilai positif celurit ini dapat juga dilakukan dengan meredefinisi atau mereinterpretasi ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan keberadaan celurit dimana selama ini berkonotasi kurang baik. Ungkapan ini contohnya yaitu Are’ kancana shalawat, dimana selama ini diartikan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan saja, sehingga membutuhkan senjata yaitu celurit untuk menjaga diri. Secara harfiah pengertian ini memang benar adanya, terutama menurut pandangan islam. Senjata memang merupakan alat pertahan diri untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal ini dicontohkan pada masa kepemimpinan rasul dan para sahabat (khalifah) dimana dilakakukan serangkaian peperangan terbuka dengan mengangkat senjata guna berjihad menegakkan syari’at islam.

    Sayangnya semangat jihad ini tidak masuk dalam persepsi masyarakat Madura terhadap ungkapan “are’ kancana shalawat”. Keberadaan celurit selalu dimaknai sebagai sarana melindungi diri secara horisontal yang kenyataanya cenderung anarkis, dan egois, bahkan brutal. Untuk itu ungkapan tersebut perlu mendapat tambahan “….gabay ajihad” menjadi “are’ kancana shalawat gabay ajihad”. (Celurit merupakan teman shalawat demi kepentingan jihad/berjuang di jalan Allah).

    Dengan ini tentu jelas bagi masyarakat Madura yang mayoritas penduduknya adalah muslim bahwa celurit tidak lagi dapat diartikan sebagai alat untuk menyabet orang secara sembarangan. Penggunaan celurit harus dilandasi oleh semangat keislaman yaitu untuk kepentingan dakwah dan demi menegakkan syariat islam.

    Contoh ungkapan lainnya yang perlu direvisi yaitu yang berhubungan dengan persetujuan sosial terhadap tindak kekerasan di Madura melalui carok. Misalnya : “Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. (Dibandingkan putih mata lebih baik putih tulang = dibanding menanggung malu lebih baik mati). Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid”.
  3. Perubahan Perilaku

    Upaya membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura di manapun berada). Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra. Diantara sikap-sikap dan kebiasaan yang perlu ditinggalkan adalah kebiasaan nyekep.

    Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu ulama dan para pemimpin formal.

    Hal tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan silat di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para muridnya juga diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah perguruan pencak silat yang cukup terkenal di Indonesia karena telah banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional berprestasi, perguruan Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki jiwa ksatria karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama seorang ksatria dari daerah Sumenep.

    Perguruan silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan clurit tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Karena itulah celurit harus dipandang sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak dilakukan untuk menyabet orang sembarangan.

    Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan lagi dilihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. (Kadarisman, 2006).

    "roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. celurit itu punya siapa? amin!"

    Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang mengerti bahasa madura).

    Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit Emas-nya:

    "Bila musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu".

REFERENSI

  • Anonim. 1993. Jawa Timur Membangun. Dokumentasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tingkat II se-Jawa Timur. Surabaya : Bappeda Provinsi Jawa Timur
  • Abdurachman, 1979, “Masalah Carok Di Madura”, dalam Madura III, Kumpulan Makalah-Makalah Seminar 1979 dalam rangka Kerjasama Indonesia-Belanda Untuk Pengembangan Studi Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
  • De Jonge. 1989. Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Pekembangan Ekonomi dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta : PT. Gramedia
  • Dinas Pariwisata, 1993. Jawa Timur, Madura Pulau Pesona. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur
  • Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi Dan Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung.
  • Kadarisman, “Rekonstruksi Citra Budaya Madura”, Jawa Pos, 24 Desember 2006
  • Maman Rachman, 2001, “Reposisi, Re-Evaluasi Dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa”, dalam www.depdiknas.go.id, dikunjungi : Maret 2007
  • Nurhajarini, dkk. 2005. Kerusuhan Sosial Di Madura, Kasus Waduk Nipah Dan Ladang Garam. Kementerian Kebudayan Dan Pariwisata.
  • Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford : Blackwell dalam Sukimi, M. F. 2004. Carok Sebagai Elemen Identiti Masyarakat Madura. Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia.
  • Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam www.liputan6.com
  • Subaharianto, A. 2004. Tantangan industrialisasi Madura : membentur kultur, menjunjung leluhur. Malang : Bayumedia.
  • Wiyata, A., Latief. 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. LKis : Yogyakarta.
  • Wiyata, A., Latief, 2005, “Budaya Madura Kian Termarjinalkan”, Fisip Universitas Jember.
    Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.