Minggu, 04 Januari 2015

MAULID NABI MUHAMMAD DAN IMPELEMENTASI SUNNAH DI TENGAH MASYARAKAT

Terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggal dan bulan lahir Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Beliau lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal, seperti pendapat Ibnu Hazm. Ada pula yang mengatakan tanggal 10 Rabi’ul Awwal. Sementara ini pendapat yang masyhur adalah tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Selain itu ada juga yang mengatakan, Beliau dilahirkan pada bulan Ramadhan, ada pula yang mengatakan pada bulan Shafar. Sedangkan ahli hisab dan falak meneliti bahwa hari Senin, hari lahir Beliau bertepatan dengan 9 Rabi’ul Awwal.

Mengenai perayaan maulid Nabi sendiri belum ada prakteknya baik pada zaman Nabi Muhammad masih hidup, pada era Sahabat Nabi, hingga generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah - Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)

Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali (bin Abi Thalib), maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126).

Satu hal yang dapat dicermati di sini, perayaan maulid bukanlah suatu amalan yang diajarkan oleh Nabi, dan maulid Nabi juga tidak dipraktekkan oleh para Sahabat, serta tidak dilakukan oleh generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Justru yang patut disayangkan adalah beredarnya sejumlah tuduhan keji yang disampaikan oleh sekelompok umat Islam pro maulid kepada mereka yang tidak pro maulid Nabi, dimana mereka yang tidak merayakan maulid dianggap tidak cinta Nabi. Hal ini merupakan tuduhan yang tidak bijak. Jika merayakan maulid merupakan standar ukuran bentuk cinta kepada Nabi, maka apakah kita berani mengatakan bahwa para Sahabat Nabi, generasi tabi'in, dan generasi tabiu'ut tabi'in tidak cinta kepada Nabi Muhammad karena mereka tidak merayakan maulid Nabi.

Seharusnya bentuk upaya menunjukkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad dilakukan dengan menegakkan sunnahnya, yaitu meneladani Nabi Muhammad baik cara berpenampilannya, cara berperilaku, dan juga cara memahami Al Quran dan As Sunnah. Selain itu juga berupaya mengamalkan anjuran-anjuran Nabi Muhammad dan menjauhi apa yang dilarang oleh Beliau. Hal inilah yang harus menjadi standar ukuran seberapa cinta seorang Muslim kepada Nabi Muhammad. Beberapa bentuk sunnah Nabi Muhammad, misalnya:

  1. Meniru cara Nabi berpenampilan seperti memelihara jenggot dan menipiskan kumis, memakai minyak wangi (bagi laki—laki), berpakaian tidak melebihi mata kaki (bagi laki-laki), rajin bersiwak, dll. Sedangkan adab berpenampilan bagi kaum wanita adalah sebagaimana diwajibkan berjilbab dalam Al Quran, dan juga sebagaimana dijelaskan secara rinci mengenai jilbab syar'i yang diperintahkan Nabi Muhammad yang tercatat dalam kitab-kitab hadis.
  2. Meneladani cara nabi berperilaku (berakhlak baik) misalnya berbuat baik terhadap orang tua, istri, anak-anak, sahabat, tetangga, non muslim yang tidak memerangi Islam, serta berbuat adil kepada kelompok-kelompok yang memusuhi Islam, dll. Selain itu juga disunnahkan mencintai para Sahabat Nabi, berupaya meneladani mereka dan tidak mencela seorangpun dari mereka. Di sisi lain juga disunnahkan mencintai para ulama yang berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah (terutama dari generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in) dan menghormati mereka.
  3. Melaksanakan amalan-amalan ibadah sunnah yang dianjurkan dan dicontohkan nabi, misalkan puasa sunnah, sholat jamaah di mesjid (bagi laki-laki), menegakkan sholat-sholat sunnah seperti tahajjud, dhuha, membaca dan memahami Al Quran, menghadiri majelis taklim, dll.

Beberapa bentuk sunnah yang disebutkan di atas merupakan renungan bagi kita semua sebagai umat Islam, dimana barangkali beberapa sunnah tersebut belum kita lakukan dan mungkin kita belum istiqomah di dalamnya. Atau bahkan mungkin beberapa sunnah tersebut sudah mulai kita tinggalkan dan terlebih lagi dikhawatirkan kita tergolong orang yang mencampakkan sunnah. Bukankah sering kita melihat para penegak sunnah malah menjadi bahan cemooh dan gunjingan. Tidak jarang kemudian sebagian umat Islam menyematkan  tuduhan teroris dan radikalis kepada penegak sunnah. Padahal permasalahan kelompok ekstrem (khawarij) adalah permasalahan yang perlu dibedakan dari penegakan sunnah.

Memang benar ada dari kalangan umat Islam yang terjebak dalam paham ekstremis (khawarij) dan kebetulan mereka konsisten dalam menunjukkan simbol-simbol Islam melalui penampilan mereka. Akan tetapi merupakan kesalahan fatal jika menyamaratakan semua umat Islam yang berpenampilan sunnah adalah berpaham teroris. Justru ini yang perlu kita renungkan bersama, teroris (khawarij) yang berpaham sesat saja sangat konsisten berpenampilan sunnah, masak umat Islam  yang mengaku cinta Nabi tidak mau dan enggan berpenampilan sunnah. Tentu saja mengenai permasalahan penegakan sunnah ini bukan hanya terbatas pada masalah sunnah berpenampilan saja, tetapi juga sunnah-sunnah yang lain. Inilah yang perlu menjadi bahan intropeksi bersama.

Kembali kepada permasalahan maulid, kaum muslimin yang merayakan maulid Nabi tentunya menyadari bahwa praktek maulid ini tidak ada anjurannya oleh Nabi Muhammad, tidak dipraktekkan para Sahabat Nabi, dan juga tidak dilakukan generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Kaum muslimin pendukung perayaan Maulid juga telah menyatakan bahwa merayakan Maulid Nabi itu adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) sehingga walaupun tidak dicontohkan Nabi Muhammad, tidak dipraktekkan para Sahabat Nabi, dan juga tidak dilakukan generasi tabi'in dan tabi'ut tabi'in, tetapi maulid ini tidak apa-apa dilakukan.

Namun demikian, apapun alasannya, baik bagi yang pro maulid Nabi maupun yang tidak pro maulid, kita sebagai umat Islam harus senantiasa introspeksi diri setiap saat, bukan hanya pada momen perayaan maulid Nabi saja. Kita harus selalu introspeksi dan terus berupaya sekuat tenaga untuk menegakkan sunnah. Karena inilah yang paling penting. Dengan menegakkan sunah secara istiqomah maka Allah akan memberikan limpahan rahmat dan barokahnya kepada kita serta mudah-mudahan Allah memberikan kejayaan kepada kita. Dengan menegakkan sunnah, berarti kita telah menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Rasulullah dan dengan demikian kita juga berarti mencintai Allah. Karena Allah berfirman:

Katakanlah (Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al imron [3] : 31)


Karena itu, perayaan maulid Nabi janganlah membelenggu umat Islam pada sisi ritualitas semata yang cenderung mengarah kepada sebatas rutinitas seremonial. Seharusnya, jika memang hal itu merupakan bid'ah hasanah maka seharusnya maulid Nabi semakin mengarahkan umat Islam yang merayakannya kepada kecintaan dan komitmen terhadap penegakan sunnah-sunnah Nabi, dimana beberapa bentuk sunnah telah disebutkan di atas. Namun kenyatannya bisa dilihat sendiri di sekitar kita. Sungguh ironis, beberapa dari mereka yang merayakan maulid tidak jarang kemudian berkata-kata dan bertindak keji kepada mereka yang tidak pro maulid. Dan yang tidak pro maulid juga berkata-kata dan bertindak keji kepada saudara-saudaranya yang melakukan maulid. Akhirnya timbullah debat destruktif dan jauhlah ukhuwah. Padahal saling ber-amar makruf nahi munkar seharusnya dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Berupaya menghindari perdebatan dan membangun diskusi keilmuwan berdasarkan adab keIslaman. Dalam berdiskusi, kita harus melepaskan ego kelompok dan kembali berpegang dan rujuk kepada Al Aquran dan As Sunnah. Karena hanya dengan berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah dengan semurni-murninya saja maka ukhuwah akan kembali tegak.


Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Al Imron [3] : 103)

Sebagai pesan penutup dan bahan masukan untuk kita semua, jangan sampai kita termasuk umat Islam yang begitu bersemangat dalam merayakan maulid Nabi, namun nyatanya malas dan enggan dalam menegakkan dan mengamalkan sunnah. Bahkan mungkin malah mengejek-ngejek saudaranya sesama muslim yang mengamalkan sunnah. Justru seharusnya mulailah dengan terus intropeksi dan meyakinkan diri kita masing-masing bahwa kita telah benar-benar secara konsisten menegakkan dan mengimplementasikan sunnah, baru rayakanlah maulid Nabi. Di sisi lain, bagi kaum muslimin yang tidak merayakan maulid juga lakukanlah diskusi amar makruf nahi mungkar dengan cara sebaik-baiknya. Janganlah terjebak pada perdebatan yang malah menjauhkan umat Islam dari hidayah dan ukhuwah, tetapi bangunlah diskusi yang konstruktif dengan adab keilmuwan Islam yang sebaik-baiknya.

Selebihnya teruslah waspada terhadap upaya-upaya musuh Islam yang terus berusaha menimbulkan kebencian dan perpecahan diantara umat Islam. Mereka juga terus berupaya menjauhkan umat Islam dari Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Bisa saja mereka berupaya melakukan makar tersebut dengan mengirim atau mendanai utusan-utusan yang menjelma menjadi tokoh-tokoh populer di kalangan umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam yang kurang kuat dasar keilmuwannya akan begitu mudah terpengaruh dan bahkan menjadi fanatik sempit kepada tokoh-tokoh tersebut. Atau bisa juga upaya makar dilakukan melalui propaganda-propaganda dan provokasi-provokasi secara intensif di media cetak, eletronik, dan media sosial. Dimana propaganda dan provokasi ini didesain secara sistematis dan ditujukan untuk menimbulkan fitnah di internal umat Islam. Mengenai upaya-upaya makar tersebut kita harus terus waspada dan terus berupaya meningkatkan pengetahuan agama kita yang benar-benar bersumber dari Al Quran dan Al Hadis sesuai jalan pemahaman Rasulullah, para Sahabat Nabi, generasi Tabi'in, generasi Tabi'ut Tabi'in, serta ulama-ulama setelahnya, hingga masa kini dan masa mendatang yang paling konsisten mengikuti jalan pemahaman mereka.