Kamis, 04 Januari 2018

MINYAK BUMI DAN ENERGY SECURITY


Minyak bumi merupakan jenis energi yang hingga sejauh ini dipandang memiliki peranan paling tinggi dan berdampak langsung terhadap energy security suatu negara. Pertimbangan ini muncul dari beberapa faktor : Karateristik minyak bumi, ketersediaan infrastruktur, karakteristik pasar minyak, dan juga peta kondisi konsumsi energi global.

Minyak bumi, baik berupa minyak mentah (crude oil) dan bahan bakar minyak (BBM), merupakan komoditas energi yang secara karakteristik fisik dan kimia memiliki cara penanganan dan cara pendistribusian yang relatif mudah bila dibandingkan jenis energi lain. Minyak mudah disimpan dan memiliki fleksibilitas pendistribusian yang tinggi. Minyak dapat ditransportasikan dengan mudah, baik menggunakan kapal tanker, truk tangki, pipa, dari belahan bumi manapun.

Pendistribusian minyak yang relatif mudah secara global didorong juga karena telah tersedianya infratruktur yang melimpah di seluruh belahan dunia. Infrastruktur-infrastuktur minyak di dunia, baik infrastruktur di sektor hulu, pengolahan, pendistribusian, hingga retail tersebar secara luas. Dunia engineering dan science pun telah sangat familiar dengan kebutuhan-kebutuhan infrastruktur industri minyak. Banyak juga tersedia tenaga-tenaga profesional yang sudah sangat familiar dengan infrastruktur minyak, baik dalam mendesain maupun dalam mengoperasikan.

Karakteritik minyak dan ketersediaan infrastrukturnya kemudian berpadu dengan liberalisasi industri minyak dan semakin berkembangnya pasar minyak spot. Perpaduan ini menjadi pendorong pasar minyak dunia yang semakin terintegrasi secara global dan fleksibel. Integrasi secara global pasar minyak direfleksikan dalam harga minyak mentah (crude) dan BBM di pasar minyak internasional. Terdapat jenis-jenis minyak yang digunakan sebagai acuan standar kualitas dan harga minyak dunia. Misalnya West Texas Intermediate (WTI), Brent, atau Oman.

Harga minyak dunia bekerja dalam kerangka keseimbangan pasokan dan permintaan. Di sisi lain harga minyak juga tergantung pada ekspektasi pelaku pasar. Pengurangan pasokan dan produksi akan menyebabkan harga minyak meningkat dengan cepat. Harga minyak yang tinggi ini akan mendorong permintaan minyak yang lebih rendah. Para pengguna minyak dapat melakukan pengurangan konsumsi minyak saat harga minyak tinggi atau beralih menggunakan sumber energi lain. Pada akhirnya, pengurangan konsumsi minyak mendorong pasar minyak kembali menyeimbangkan diri sendiri pada harga kesetimbagan baru. Dan begitu seterusnya. Harga kesetimbangan baru terus berubah sesuai kondisi pasokan dan permintaan minyak.

Akan tetapi, minyak juga dapat menjadi sebuah komoditas politik. Politik mempengaruhi pasokan dan permintaan, aturan keuangan, keputusan investasi, keuntungan dan kerugian. Hal tersebut membangkitkan dan mengubah dugaan-dugaan terhadap pergerakan harga minyak dalam pasar yang mudah menguap dan meragukan. Suatu peristiwa yang terjadi di suatu belahan bumi dapat dengan cepat mempengaruhi kondisi pasar minyak secara keseluruhan. Harga minyak dapat turun dan naik secara global sesuai dengan situasi dan kondisi di suatu wilayah spesifik di dunia.

Dari mekanisme pasar minyak seperti ini kemudian muncullah beberapa lembaga internasional yang menyediakan informasi perkembangan harga minyak seperti Platts (penyedia jasa informasi energi) dan RIM (badan independen penyedia data harga minyak untuk area pasar Asia Pasifik dan Timur Tengah). Harga minyak dunia seringkali menjadi salah satu pertimbangan keekonomian suatu proyek atau usaha-usaha ekonomi lainnya. Juga dalam penentuan kebijakan sosial dan politik bahkan militer.

Semenjak negara-negara semakin tergantung kepada energi minyak, maka negara-negara semakin sensitif pada perubahan harga minyak dunia. Harga minyak yang terlalu tinggi atau terlalu rendah cenderung menimbulkan polemik dan konflik. Tak jarang juga dalam sejarah kita bisa melihat aksi-aksi agresi militer yang dilatar belakangi upaya penguasaan sumber minyak dan infrastruktur minyak. Minyak juga dapat digunakan oleh produsen minyak sebagai senjata untuk menekan negara-negara konsumen minyak. Konsumen minyak yang memiliki kekuatan ekonomi juga akan berupaya melakukan penguasaan ekonomi terhadap negara-negara penghasil minyak untuk manjamin kelancaran pasokan minyak.

Dari sejumlah peristiwa goncangan pasokan dan goncangan harga minyak yang telah terjadi, langkah-langkah telah dilakukan. Misalnya menganekaragamkan sumber pasokan minyak dan mempersiapkan diri terhadap terjadinya goncangan jangka pendek.

Negara-negara konsumen minyak akan mengupayakan memvariasikan asal pasokan minyak agar tidak terfokus hanya pada satu produsen minyak saja pada suatu negara atau region yang biasanya rentan mengalami konflik. Penggunaan energi alternatif (selain minyak) merupakan upaya mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi minyak yang juga berarti meningkatkan energy security.

Upaya antisipasi jangka pendek terhadap goncangan harga dan pasokan minyak salah satunya dilakukan melalui penimbunan stok minyak atau disebut juga cadangan minyak strategik (strategic petroleum reserve) atau stockpile (penimbunan) minyak. Negara-negara anggota Uni Eropa diharuskan untuk melakukan penimbunan stok minyak yang banyaknya setara dengan 90 hari impor bersih minyak atau setara 61 hari konsumsi, dipilih mana dari keduanya yang lebih tinggi. (European Commission, 2014). Penimbunan minyak ini adalah upaya mempersiapkan diri terhadap goncangan harga dan pasokan minyak jangka pendek.

Negara-ngera produsen minyak mulai memvariasikan sumber pendapatan negara agar tidak terlalu tergantung pada minyak. Pertimbangan ini muncul terutama ketika harga minyak berada pada level terendah. Namun dengan semakin bermunculannya produsen-produsen minyak baru di dunia, hal ini juga semakin mendorong upaya diversifikasi pendapatan negara dari negara-negara yang selama ini menggantungkan pendapatan negara dari ekspor minyak.

Secara global, minyak bumi masih merupakan jenis energi yang paling banyak dikonsumsi dunia. Hal ini kemungkinan masih akan tetap bertahan hingga beberapa dekade ke depan, selama belum adanya revolousi teknologi yang mendorong peta penggunaan energi. Di tengah masih tergantungnya dunia terhadap minyak, kerentanan energy security dunia terhadap gangguan-gangguan masih cukup tinggi. Jika dunia bisa mengurangi ketergantungannya terhadap minyak maka hal ini akan membantu meningkatkan energy security dunia.

Maka dari itu, upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakamanan pasar minyak seharusnya menjadi sebuah upaya atau agenda di level global secara bersama-sama, bukan hanya upaya negara per negara atau kelompok negara saja. Agenda peningkatan energy security dunia secara global dan secara bersama-sama berarti juga merupakan upaya menjamin keamanan dan kedamaian dunia.

Rabu, 03 Januari 2018

PERDAGANGAN KARBON SEKTOR KEHUTANAN


Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar .

Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM).

Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan (dalam hal ini ditetapkan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan berupa hutan termasuk kategori ini). Namun demikian, proyek-proyek A/R CDM sampai saat ini hanya sebesar 0.29% dari total proyek CDM yang ditransaksikan (data Juli 2009).

Pasar CDM didominasi oleh proyek-proyek industri energi 56%, disusul oleh proyek-proyek dibidang penanganan limbah/sampah 17%, fugitive emission of fuels (6%), pertanian (5%), dan industri manufaktur (4,8%). Dalam skema voluntary, prosentase proyek sektor kehutanan lebih besar yaitu sekitar 14.5% dari total nilai transaksi perdagangan karbon voluntary. Proyek kehutanan dalam skema voluntary diantaranya juga berupa proyek-proyek yang bersifat avoided deforestation.

Pasar karbon sektor Kehutanan kemungkinan besar akan bertambah besar terkait dengan isu REDD. Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang kemungkinan besar akan diadopsi dalam COP di Kopenhagen Denmark tahun 2012 mendatang, akan memperluas prospek sektor kehutanan dalam perdagangan karbon. Deforestasi sebagian besar disumbang oleh negara-negara berkembang dan setengahnya dilakukan oleh 2 negara yaitu Brasil dan Indonesia. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan berarti mengurangi emisi.

Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD+.

Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air .

Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED (satu D), yang berkembang menjadi REDD (dua D) di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+ (dengan Plus, masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007.

Pada prinsipnya konsep REDD+ mengacu kepada dua aspek kegiatan yaitu :
  1. Pengembangan mekanisme memberi imbalan pada negara berkembang yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi;
  2. Kegiatan persiapan yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme REDD+.

REFERENSI :
  1. McKinsey Company, 2009; dalam Kardono, 2010, hal. 4
  2. NRDC, 2013, Modul Konsep REDD+ dan Implementasinya, Natural Resources Development Center, The Nature Conservancy Program Terestrial Indonesia, Jakarta November 2013, hal. 11
  3. NRDC, 2013, hal. 13

Selasa, 02 Januari 2018

PROTOKOL KYOTO


Masyarakat internasional mulai melakukan upaya-upaya untuk menghadapi fenomena perubahan iklim. Hal ini dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties (COP) pertama di Berlin, Jerman.

Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990. Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri. Ketiga mekanisme tersebut adalah:
  1. Clean Development Mechanism (CDM)
  2. Joint Implementation (JI)
  3. Emission Trading

CDM memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi sesuai komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Untuk dapat “menjual” karbonnya suatu negara harus mendapat Certified Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk pasar karbon.

Joint Inplementation (JI) memberi keleluasaan bagi negara-negara yang ditarget penurunan emisi (negara-negara industri) untuk mendapatkan Emission reduction Unit (ERU) dari proyek penurunan/penyerapan emisi di negara yang ditarget penurunan emisi lainnya. Cara kerja JI sama dengan CDM. Hanya saja negara inang (host country) proyek ini bukanlah negara berkembang, melainkan sesama negara maju yang masuk dalam kelompok annex I country.

Emission trading pada prinsipnya adalah perdagangan karbon dengan cap-and-trade system di bawah Protokol Kyoto. Negara yang telah dibatasi emisinya diperbolehkan memperdagangkan karbon dengan satuan yang disebut AAUs (Assigned Amount Units) .

REFERENSI :
Kardono, 2010, Info PUSTANLING, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, Vol. 12, No. 1. September 2010, hal. 2

Senin, 01 Januari 2018

GAS RUMAH KACA


Perubahan iklim menunjukkan suatu kondisi perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu .

Penyebab utama fenomena perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer bumi. GRK merupakan kelompok zat, yang terdiri dari sekitar 30 senyawa (gas), yang dapat memicu terjadinya perubahan iklim.

Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total . Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen . Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain.

CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua (setelah uap air), dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

GRK ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Selain itu GRK juga dihasilkan dari kegiatan pertanian, peternakan maupun aktifitas manusia lainnya. Aktivitas-aktivitas manusia mengeluarkan GRK dalam jumlah yang bervariasi.

Pada level tertentu, keberadaan GRK membuat bumi tetap hangat dan nyaman untuk ditinggali. Namun, sejak revolusi industri 250 tahun yang lalu, konsentrasi GRK di atmosfer telah meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan. Pada masa pra industri, konsentrasi kabon dioksida di atmosfer adalah 278 ppm. Pada tahun 2005 angka ini meningkat tajam menjadi 379 ppm.

Tumpukan GRK menyelubungi atmosfer bumi. Sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi tidak dapat dipantukkan kembali ke amgkasa karena terhalang oleh selubung GRK di atmosfer. Hal ini kemudian menyebabkan temperatur di permukaan bumi meningkat yang selanjutnya menyebabkan perubahan iklim secara global melalui pemanasan global pada permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. Pemanasan global yang tak terkendali menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan kehidupan di permukaan bumi.

REFERENSI :
  1. UNFCCC, dalam Kardono, 2010, Info PUSTANLING, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, Vol. 12, No. 1. September 2010, hal. 2
  2. WRI, 2005; dalam IEA, 2005a, dalam Alek Kurniawan, 2015, hal. 29
  3. IEA, 2005 dalam ibid