Kamis, 18 Desember 2014

FAKTOR PENENTU KEMAJUAN SUATU NEGERI


Kemandirian dan kekuatan suatu bangsa tidak tergantung dari sumber daya alamnya, tetapi tergantung dari kemampuan, kepercayaan diri, dan kerja keras sumber daya manusianya.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS Ar Ra'ad:11

Di sisi lain, agar setiap upaya dan kerja keras masyarakat mendapatkan kebarokahan dan rahmat dari Allah azza wa jalla maka masyarakat haruslah benar-benar memastikan kelestarian aspek keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan bermasyarakat.

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. " QS Al A'raf:96

Bisa jadi suatu negeri menjadi negeri yang digdaya karena usaha dan kerja keras mereka. Namun karena mereka meninggalkan aspek keimanan dan ketakwaan, maka hilanglah kebarokahan. Masyarakat hidup dalam  nilai-nilai kehidupan yang dangkal. Mereka tidak memiliki pegangan hidup yang kuat. Mudah stress dan mudah putus asa dan cepat mengambil jalan pintas menuju kebinasaan. Mereka selalu diliputi kecemasan demi kecemasan.

Sebaliknya, bisa jadi suatu masyarakat kurang cakap dalam urusan dunia. Tetapi mereka masih memperhatikan aspek keimanan dan ketakwaan dalam kehidupannya. Maka Allah memberikan ketentraman dalam hidup mereka. Mereka masih memiliki nilai-nilai kehidupan dan pegangan hidup yang cukup jelas.

Sekalipun cobaan dan musibah didatangkan kepada mereka dari segala penjuru, mereka tetap survive. Mudah-mudahan semua cobaan itu akan menjadi penghapus dosa-dosa mereka dan semakin membawa mereka ke jalan hidayah menuju nilai-nilai ketakwaan yang sebenarnya yang sesuai Al Quran dan As Sunnah. Sehingga Pada akhirnya nanti akan menyadarkan mereka mengenai pentingnya daya dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah nasib keduniaan mereka. Dimana hal ini cukup penting demi menegakkan nilai-nilai yang mereka anut dengan kokoh dan merdeka di tengah-tengah perang ideologis yang semakin intensif.

Maka dari itu, idealnya suatu negeri yang digdaya itu memiliki masyarakat yang beriman dan bertakwa, berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah, serta bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk urusan dunia sesuai profesinya dan menjunjung tinggi profesionalisme.

Bukankah seperti itu yang dicontohkan oleh generasi-generasi terdahulu dari umat ini. Terutama tiga generasi awal : generasi Nabi Muhammad dan para Sahabat, generasi setelahnya (tabi'in), dan generasi setelahnya lagi (tabi'ut tabi'in). Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bersungguh-sungguh pula dalam urusan dunia. Menjunjung tinggi profesionalisme dalam bingkai keimanan dan ketakwaan.

Dalam riwayat-riwayat, digambarkan para sahabat nabi Muhammad adalah seperti singa di siang hari, dan seperti rahib di malam hari. Di siang hari, mereka bekerja, berdagang, atau berperang di jalan Allah dengan sungguh-sungguh dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam. Mereka menepati janji, mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar dan menjunjung tinggi kejujuran dan amanah. Di malam hari mereka sedikit tidur dan bangun di pertengahan malam untuk menghiasinya dengan ibadah serta bermunajat kepada Allah.

Mengenai contoh kehidupan para Sahabat ini terdapat slogan yang terkenal yang sesuai dalam menggambarkan nilai-nilai yang diperjuangakan para Sahabat Nabi:

"Bekerjalah engkau untuk kepentingan duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah engkau untuk kepentingan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok".


Jumat, 05 Desember 2014

PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI SEBAGAI PENDUKUNG KELESTARIAN HUTAN

Indonesia dikaruniai sumber panas bumi yang berlimpah karena banyaknya gunung berapi di Indonesia. Energi panas bumi dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik atau untuk kegiatan non listrik antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas dan lain-lain.

Data terbaru pemetaan potensi panas bumi Indonesia menunjukkan telah terdapat 299 titik potensi lokasi. Potensi yang dimiliki Indonesia ini merupakan sekitar 40% dari potensi panas bumi dunia. Indonesia menempati posisi ketiga setelah Amerika dan Filipina dalam hal pemanfaatan panas bumi untuk sumber energi listrik. Jika potensi panas bumi ini dapat dimanfaatkan selama 30 tahun, maka hal ini setara dengan pemanfaatan 12 miliar bar¬rel minyak bumi untuk pembangkit listrik. Dari total potensi panas bumi di Indonesia sebesar 28.617 MW, sumber energi panas bumi yang saat ini sudah digunakan sebesar 1341 MW. Bisa dikatakan pemanfaatan potensi geothermal Indonesia baru sekitar 4,1 persen.

Tabel 1. Potensi Panas Bumi Indonesia
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012)

Salah satu kendala pengembangan energi panas bumi di Indonesia adalah masalah perizinan terkait lahan. Mayoritas potensi panas bumi di Indonesia berada di kawasan hutan konservasi dan juga hutan lindung yang terlarang untuk kegiatan eksplorasi pertambangan. Potensi panas bumi yang berada dalam kawasan hutan konservasi sebanyak 29 lokasi dengan potensi sebesar 3.428 MW (10,9%) sedangkan yang berada dalam kawasan hutan lindung sebanyak 52 lokasi dengan potensi sebesar 8.41 MW (19,6%). (http://www.esdm.go.id/)

Menurut Pasal 1 UU No.27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, disebutkan bahwa Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Perlu dicatat bahwa dalam UU No. 27 tahun 2003 ini, kegiatan eksplorasi panas bumi dimasukkan dalam kategori pertambangan.

Sedangkan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 38, khususnya butir ke-4 disebutkan: Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Pengkategorian kegiatan pemanfaatan panas bumi sebagai kegiatan pertambangan dalam UU No. 27 tahun 2003 bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999 dimana terdapat larangan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung. Ketidak sinkronan kedua UU tersebut merupakan kendala dalam memaksimalkan pemanfaatan panas bumi di areal hutan lindung dan hutan konservasi.

Pada 26 Agustus 2014, DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-undang Panas Bumi. RUU ini merupakaan revisi dari UU No.27 tahun 2003 Panas Bumi. Perbedaan utama aturan baru ini dengan UU yang lama (UU No. 27 tahun 2003) terletak pada pengkategorian eksplorasi panas bumi. Eksplorasi panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Melalui UU baru ini dimungkinkan eksplorasi panas bumi dilakukan di area hutan lindung dan hutan konservasi.

Walaupun demikian, keberadaan UU Panas Bumi yang baru ini nantinya tidak boleh dijadikan landasan eksplorasi panas bumi di hutan lindung dan hutan konservasi secara semena-mena. Badan usaha pengelola panas bumi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung harus senantiasa tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Termasuk juga mendukung program-program Kementerian Kehutanan seperti pemberdayaan masyarakat sekitar dan menjaga kelestarian habitat dan populasi fauna dan satwa langka di sekitar areal pengelolaan panas bumi.

Pada dasarnya kegiatan eksplorasi dan pengelolaan energi panas bumi di areal hutan konservasi dan hutan lindung tidak akan merusak keseimbangan alam karena energi panas bumi merupakan energi yang ramah lingkungan. Setelah energi panas diubah menjadi energi listrik, fluida dikembalikan ke dalam bumi. Penginjeksian air ke dalam reservoir merupakan suatu keharusan. Hal ini untuk menjaga keseimbangan masa sehingga terjadi perlambatan penurunan tekanan uap dan juga mencegah terjadinya penurunan tanah. Sistem yang demikian, serta adanya rembesan air permukaan, menjadikan energi panas bumi termasuk salah satu bentuk energi yang berkelanjutan (sustainable energy). Emisi dari aktivitas pembangkit listrik panas bumi sangat rendah bila dibandingkan dengan minyak dan batubara.

Namun demikian, hal yang patut dicermati adalah pada tahapan konstruksi dan operasional. Pada tahapan ini tentunya mau tidak mau akan dilakukan aktivitas yang berpotensi merusak hutan seperti pembukaan lahan dan pembangunan fasilitas akses ke lokasi. Karena itulah perlu ada komitmen dan jaminan pelestarian hutan dari badan usaha pengelola panas bumi.

RUU Panas Bumi yang baru yang telah disahkan DPR dan telah menghapus pengkategorian eksplorasi panas bumi sebagai kegiatan pertambangan. Namun demikian perlu diyakinkan bahwa setiap aktivitas pengelolaan panas bumi nantinya harus selalu menjaga kelestarian hutan, khususnya hutan konservasi dan hutan lindung. Untuk itu dirasa perlu dibuat sebuah peraturan khusus yang mengatur kewajiban setiap pengelola pabrik panas bumi (geothermal plant) untuk menjaga kelestarian hutan lindung dan hutan konservasi. Peraturan ini berisi hal-hal umum dan spesifik yang harus dipenuhi oleh badan usaha pengelola energi panas bumi dalam setiap tahapan proyek pembangunan pabrik panas bumi. Mulai dari tahapan survei, eksplorasi, konstruksi, operasional, hingga pembongkaran pabrik (plant demolishing).

Implementasi dari peraturan ini haruslah berupa upaya nyata yang mendukung kelestarian hutan lindung dan hutan konservasi serta ikut mensukseskan program Kementerian Kehutanan. Beberapa contoh konsep aktivitas adalah sebagai berikut:
  1. Pemilihan metode survei, eksplorasi, dan konstruksi yang meminimalkan aktivitas pengrusakan hutan.
  2. Adanya kewajiban bagi pengelola pabrik panas bumi untuk melakukan reklamasi atau penggantian luas areal hutan yang dipakai sebagai lokasi pabrik panas bumi beserta fasilitas pendukungnya. Rekalamasi ini harus dilakukan pada area baru di sekitar hutan konservasi dan hutan lindung. Tujuannya adalah agar luas areal hutan selalu tetap.
  3. Pemilihan teknologi, metode konstruksi dan operasi yang paling ramah lingkungan dan mampu harmosnis dengan alam sekitar. Salah satu contoh implementasinya adalah dalam konstruksi jalan akses menuju lokasi geothermal plant dimana dapat dipasang jembatan penyeberangan hewan (animal bridge). Aplikasi jembatan penyeberangan hewan telah banyak contohnya di dunia seperti beberapa yang dapat ditampilkan di bawah ini pada jalan tol yang melintasi kawasan hutan.
  4. Gambar 1. Highway A50 in The Netherlands
    Gambar 2. Banff National Park, Alberta, Canada
  5. Penyelenggaraan program corporate social responsibilities (CSR) yang berkelanjutan dan dapat dipertanggung jawabkan dari badan usaha pengelola pabrik panas bumi, baik yang berupa program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, dan atau berupa upaya pelestarian satwa dan fauna spesifik yang ada di sekitar lokasi. Perusahaan operator geothermal plant dapat berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan setempat mengenai hal-hal apa yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Atau dapat juga langsung mengajukan usulan program-program yang telah direncakan sesuai studi ilmiah yang pernah dilakukan sebelumnya.




Peraturan mengenai kewajiban pengelola geothermal plant ini nantinya harus dijadikan dasar kegiatan pengelolaan potensi panas bumi di area hutan. Hal ini demi mendukung program-program Kementerian Kehutanan untuk menjaga fungsi hutan lindung dan hutan konservasi. Harapannya adalah setiap aktivitas pengelolaan panas bumi harus mampu menambah atau setidaknya menjaga fungsi hutan.

Lebih jauh lagi, kesuksesan implementasi geothermal di wilayah hutan, bisa juga menjadi percontohan untuk hal serupa bagi implementasi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Selaras dengan teknologi geothermal, PLTMH juga merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Pembangkitan tenaga listrik dilakukan dengan memanfaatakan daya alir sungai untuk menggerakkan turbin air. Air sungai yang digunakan untuk menggerakkan turbin kemudian dikembalikan lagi ke sungai. Dalam rangka mendukung perkembangan PLTMH, khususnya pada titik potensi yang terletak di areal hutan lindung, maka diperlukan juga UU sebagai payung hukum. Dengan demikian, sungai-sungai di areal hutan lindung yang memiliki potensi pemanfaatan PLTMH dapat segera diakses.


Referensi:
  1. Bambang Dahono Adji. Kebijakan Penyelesaian Tumpang Tindih Kepentingan Di Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Konservasi Secara Lestari Untuk Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan (Panas Bumi/Geothermal). Program Diklat Kepemimpinan Tingkat I Angkatan XXVII. dalam http://pimnas.lan.go.id/index.php?module=detailproduk&jns=&id=9
  2. Rina Wahyuningsih. 2005. POTENSI DAN WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN PANAS BUMI DI INDONESIA. SUBDIT PANAS BUMI. Kolokium Hasil Lapangan – DIM, 2005
  3. Administrator. 18 Mei 2010. Hambatan Pengembangan Panas Bumi Harus Dihilangkan. Dalam http://www.esdm.go.id/berita/panas-bumi/45-panasbumi/3405-hambatan-pengembangan-panas-bumi-harus-dihilangkan.html
  4. Administrator. 26 AGUSTUS 2014. Dua Hambatan Terbesar Pengembangan Panasbumi. Dalam http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-dan-terbarukan/6904-dua-hambatan-terbesar-pengembangan-panasbumi.html
  5. Administrator. 13 Juni 2014. Pemerintah Targetkan 300 MW Per Tahun Listrik Dari Panas Bumi. Dalam http://www.esdm.go.id/berita/panas-bumi/45-panasbumi/6844-pemerintah-targetkan-300-mw-per-tahun-listrik-dari-panas-bumi.html
  6. UU No. 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi
  7. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
  8. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.192/IV-Set/HO/2006 Tentang Izin Masuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor: P. 7/IV-SET/2011 Tentang Tata Cara Masuk Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru
  10. Rancangan Undang Undang (RUU) Panas Bumi 24 Agustus 2014
  11. Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
  12. Peraturan Menteri ESDM No. 17 Tahun 2014 Tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP dan Uap Panas Bumi Untuk PLTP Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
  13. PP No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
  14. PP No. 59 Tahun 2007 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi



Kamis, 13 November 2014

PERMASALAHAN DAN SOLUSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL INDONESIA


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu pemain utama dalam perekonomian energi dunia. Hal ini dapat dilihat dari peranan Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara dan LNG terbesar di dunia. Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu Negara dengan penduduk terbesar di dunia dengan pertumbungan ekonomi pertahun yang cenderung stabil di angka 5-6%. Selama beberapa tahun terakhir, kebutuhan energi semakin meningkat. Pertumbuhan kebutuhan energi dalam negeri Indonesia telah mencapai angka 7 – 8 persen per tahun. Bahan bakar berbasis minyak masih menjadi sumber energi utama Indonesia hingga tahun 2011.

Gambar 1. Kondisi Bauran Energi Indonesia Tahun 2011
Sumber : (Pusdatin, KESDM, 2012)

Ketergantungan kepada sumber energi berbasis minyak bisa dilihat dari peningkatan subsidi untuk BBM yang semakin menyedot anggaran Negara dari tahun ke tahun. Ketergantungan kepada BBM mengakibatkan ketahan energi nasional yang rendah. Azmi dan Amir (2014) menyebutkan bahwa stok minyak mentah Indonesia hanya cukup untuk persediaan 3-4 hari, sedangkan stok bahan bakar minyak (BBM) di stasiun penyedia bahan bakar umum (SPBU) PT Pertamina hanya mampu melayani kebutuhan konsumsi kendaraan bermotor selama 21 hari. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik atas kehandalan pasokan bahan bakar dalam memenuhi permintaan masyarakat.

Ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor diperkirakan semakin meningkat, khususnya dari kilang minyak Singapura. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh ketersediaan energi bisa menjamin terpenuhinya permintaan energi sebagai komponen utama kegiatan ekonomi. Di sisi lain, pemanfaatan energi terbarukan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki. Hal ini juga masih menjadi tantangan tersendiri di sektor energi. Keterbatasan infrastruktur energi merupakan permasalahan serius dimana membatasi akses masyarakat terhadap energi. Karenanya penggunaan energi menjadi belum efisien.

Kompleksitas permasalahan sektor energi di Indonesia memerlukan suatu pengelolaan energi nasional yang komprehensif melalui Kebijakan Energi Nasional yang jelas dan terukur. Atas dasar itulah, Undang Undang (UU) No. 30 tahun 2007 tentang Energi mengamanatkan penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional. Kebijakan ini dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR-RI.

UU tersebut juga mengamanatkan penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk mendukung implementasi KEN. Sehubungan dengan hal tersebut, maka KEN yang dihasilkan harus benar-benar didukung dan selaras dengan RUEN dan RUED agar mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan.

B. Sejarah Perkembangan Kebijkan Energi Nasional
Kebijakan energi nasional Indonesia telah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah perumusan kebijakan energi yang dapat dibagi berdasarkan urutan waktu sebagai berikut:
  1. Hingga tahun 1970-an
  2. Belum ada kebijakan energi. Sumber energi di Indonesia dianggap masih melimpah. Fokus kebijakan pada masa ini adalah mengoptimalkan produksi minyak bumi melalui kontrak bagi hasil untuk meningkatkan pendapatan negara.
  3. Tahun 1976 :
  4. Pembentukan Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren). Badan ini setingkat dengan departemen dan bertanggung jawab memformulasikan kebijakan energi serta mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini. Tujuan kebijakan di era ini adalah memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi.
  5. Tahun 1981
  6. BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE).
  7. Tahun 1987, dan 1991
  8. Selama selang waktu ini dilakukan revisi KUBE 1981 untuk disesuaikan dengan perkembangan strategis lingkungan yang mempengaruhi pembangunan energi di Indonesia pada masa itu. Fokus KUBE adalah pada intensifikasi, diversifikasi dan konservasi energi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui peningkatan kegiatan survei dan eksplorasi sumber daya energi untuk mengetahui potensinya secara ekonomis. Diversifikasi merupakan upaya penganekaragaman penggunaan energi non-minyak bumi melalui pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan industri semen. Konservasi dilakukan melalui penggunaan peralatan pembangkit maupun peralatan pengguna energi yang lebih efisien.
  9. Tahun 1998
  10. BAKOREN menyusun KUBE baru menggantikan KUBE 1991. KUBE ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendukung terlaksananya strategi pembangunan bidang energi dan memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi. Dalam KUBE ini mulai diindikasikan adanya keterbatasan sumber daya energi, terutama minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara bertahap untuk digunakan di dalam negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi. Kebijakan energi yang perlu ditempuh mencakup lima kebijakan utama dan sembilan kebijakan pendukung. Kebijakan utama meliputi diversifikasi, intensifikasi, konservasi, penetapan harga rata-rata energi yang secara bertahap diarahkan mengikuti mekanisme pasar, memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan di sektor energi termasuk didalamnya memberikan prioritas dalam pemanfaatan energi bersih. Sementara itu kebijakan pendukung meliputi: meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsentif, standardisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengelolaan sistem infomasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan kelembagaan dan pengaturan.
  11. Akhir tahun 2003
  12. DESDM mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hijau). Kebijakan ini merupakan pembaruan dari KUBE tahun 1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan stakeholders di bidang energi. Selain itu, kebijakan ini juga menjadi acuan utama dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang energi yang saat itu sedang dipersiapkan. Kebijakan yang ditempuh masih serupa dengan KUBE sebelumnya yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen legislasi dan kelembagaan.
  13. Tahun 2006
  14. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditetapkan sebagai pedoman dalam pengelolaan KEN. Di dalamnya berisi blue print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 yang mencakup aspek-aspek peningkatan produksi, diversifikasi, permintaan, maupun kebijakan harga, yang realistis dan bersifat lintas sektor sehingga berbagai sumber energi yang ada diharapkan dapat dikelola secara optimal. Target yang dicanangkan dalam Perpres ini adalah sebagai berikut:
    1. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari satu pada tahun 2025.
    2. Terwujudnya bauran energi primer dengan peranan masing-masing jenis energi pada tahun 2025 sesuai Gambar 2 berikut.
    Gambar 2. Energi Mix yang diharapkan terjadi pada tahun 2025 sesuai amanah Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006
  15. Tahun 2007
  16. Pemerintah menerbitkan Undang-undang No.30 tahun 2007 tentang Energi. UU ini secara umum berisi:
    1. Pembentukan Dewan Energi Nasional (DEN) yang diketuai Presiden RI
    2. Prosedur elaborasi master plan energi nasional dan master plan energi daerah
    3. Aturan-aturan untuk management sumber energi, termasuk konservasi energi.
    4. Klarifikasi kewenangan pemerintahan pusat dan daerah dalam pengelolaan energi.
    Penetapan UU Energi No. 30 tahun 2007 ini tidak hanya bertujuan untuk mengamankan pasokan energi seperti di Perpres No. 5 tahun 2006 tetapi juga mencakup kebijakan pemanfaatan energi. Sedangkan DEN yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 ini memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
    1. Merancang dan Merumuskan Kebijakan Energi Nasional (KEN)
    2. Menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)
    3. Menetapkan Langkah-langkah Penanggulangan Kondisi Krisis dan Darurat Energi
    4. Mengawasi Pelaksanaan Kebijakan Bidang Energi yang Bersifat Lintas Sektor
    Gambar 3. Skema Penysunan KEN di Era UU No. 30 Tahun 2007
    Gambar 4. Alur Penysunan KEN, RUEN, dan RUED
    Sumber: Bapenas 2012
  17. Tahun 2008-sekarang
  18. Dewan Energi Nasional (DEN) mulai menyusun KEN yang baru. Dalam draft KEN yang sedang disusun, tahun 2008 dijadikan sebagai tahun dasar dan tahun 2050 dijadikan sebagai tahun target implementasi akhir kebijakan. Ruang lingkup dan fokus kebijakan KEN yang baru sangat berbeda dengan kebijakan energi yang sudah dikeluarkan sebelumnya seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut.
    Gambar 5. Perkembangan kebijakan energi semenjak tahun 1981 hingga 2012
    Prinsip lain yang dijadikan acuan untuk penyusunan KEN adalah sasaran bauran energi nasional sampai dengan tahun 2050 seperti dapat dilihat pada Gambar 6.
    Gambar 6. Sasaran Bauran Energi (Energy Mix) Dalam Draft Kebijakan Energi Nasional Dalam Presentase (DEN 2012)
    Target bauran energi pada tahun 2025 yang sedang disusun DEN, sedikit berbeda dengan bauran energi tahun 2025 yang ditetapkan pada Perpres 5 tahun 2006
    Gambar 7. Perbedaan bauran energi yang ditetapkan pada Perpres No. 5 tahun 2006 dengan yang direncakan dalam draft kebijakan energi nasional oleh DEN
    Draft Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014 telah disetujui DPR pada bulan Januari 2014 dan kini sedang menunggu tanda tangan Presiden untuk bisa disahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yang nantinya akan menjadi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).


C. Permasalahan Implementasi Kebijkan Energi
Meskipun proses pembuatan kebijakan energi dari waktu ke waktu mengalami perbaikan tetapi masih banyak terjadi kontradiksi materi kebijakan. (Sugiyono, 2004). Strategi pengembangan energi baik jangka pendek maupun jangka panjang belum tersusun dengan jelas. Kebijakan-kebijakan yang ada masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak memiliki aliran strategis dalam rangka mencapai target program jangka panjang.

Dengan kondisi ini maka perlu kebijakan yang berlandaskan paradigma baru. Paradigma baru tersebut adalah:
  1. Proses pembuatan kebijakan harus transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi untuk menyempurnakan kebijakan itu sendiri.
  2. Kebijakan sebaiknya tidak hanya bersifat kualitatif tetapi bersifat kuantitatif sehingga dampaknya dapat dengan mudah dievaluasi.
  3. Makin langkanya sumber minyak bumi dan kemungkinan Indonesia menjadi Negara pengimpor minyak maka sebaiknya mulai dipikirkan adanya kebijakan tentang keamanan energi (energy security).
Secara umum sasaran dari kebijakan energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumber daya energi. Hal ini dapat dikatakan sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan energi melalui strategi konservasi dapat dikatakan gagal. Hal ini disebabkan adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM.

Tumiran (2014) menyebutkan terdapat beberapa hambatan penerapan Kebijakan Energi Nasional (KEN) di Indonesia yaitu sebagai berikut:
  1. Masih bergantungnya sumber pendapatan negara pada hasil sumber daya energi.
  2. Tumpah tindih peraturan serta ketidakpastian hukum dan perizinan terutama di sektor energi.
  3. Masih kurangnya koordinasi yang terpadu antara sektor energi dengan sektor lain seperti sektor industri, sektor perdagangan dan sektor teknologi.
  4. Ketidakjelasan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam hal pengelolaan energi mengakibatkan sering terhambatnya penerapan kebijakan energi.
  5. Lemahnya Koordinasi lintas sektor yang berdampak pada keterlambatan dan biaya
  6. Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak terutama di sektor transportasi.
  7. Masih tingginya subsidi terhadap harga energi fosil sehingga kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan menjadi terhambat karena kalah bersaing dengan harga energi fosil.
  8. Sektor energi memerlukan biaya investasi yang cukup besar, sehingga diperlukan dukungan finansial terutama dari sektor perbankan nasional dalam mendukung kebijakan di sektor energi.
  9. Lemahnya penguasaan teknologi dan lemahnya industri pendukung.
  10. Kurang berpihaknya sektor terhadap produk di dalam negeri.
Salah satu permasalahan yang dirasa perlu menjadi fokus terget penyelesaian masalah kebijakan energi adalah perlunya solusi praktis pengimplementasian kebijakan energi yang telah di susun secara nyata di lapangan. Hal ini dalam rangka untuk mencapai target bauran energi yang telah ditetapkan. Angka-angka persentase bauran energi yang ditetapkan dalam draft kebijakan energi nasional 2014 memang merupakan sebuah tantangan yang besar apabila kita melihat bauran energi yang aktual terjadi sekarang.

Gambar 8. Target Bauran energi Indonesia tahun 2025 dilihat dari kondisi aktual tahun 2011
Sumber : (Pusdatin, KESDM, 2012)


Pengurangan penggunaan minyak bumi dari 49,5 persen (2011) menjadi 25 persen (2025) bukanlah sesuatu yang mudah. Begitu pula halnya dengan upaya memacu pertumbuhan energi terbarukan dari yang awalnya hanya 4,2 persen di tahun 2011 menjadi 25 persen di tahun 2025. Semua ini harus tercapai dalam kurun waktu yang singkat dimana hanya tersisa yakni sekitar 10 tahun.

D. Pemetaan Potensi Pengembangan Energi di Indonesia
Selama ini telah cukup banyak dilakukan kajian dan studi terkait potensi, sumber daya dan cadangan sejumlah sumber energi di Indonesia. Termasuk juga pemetaan potensi pemanfaatan energi terbarukan. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kekayaan minyak bumi, gas alam, batu bara, geothermal, dan energi terbarukan di Indonesia. Dari hal ini kemudian muncullah istilah sumber daya (resource) dan cadangan (reserve) energi.

Sumber daya (resource) adalah bagian dari potensi energi yang diharapkan dapat dimanfaatkan.

Cadangan (reserve) energi adalah bagian dari sumber daya energi yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang telah dikaji dan dinyatakan layak untuk dieksplorasi.

Berdasarkan data-data yang berhasil dihimpun, didapatkanlah data-data cadangan dan potensi sumber energi yang terkandung di setiap wilayah Indonesia sebagai berikut:
  1. Cadangan (reserve) minyak bumi Indonesia
  2. Gambar 9. Cadangan Minyak Bumi 2010 dalam satuan MMSTB (juta stock tank barrel)
    Sumber : Ditjen Migas
  3. Cadangan (reserve) gas alam Indonesia
  4. Gambar 10. Cadangan Gas Bumi 2012 dalam TSCF (trillion square cubic feet) Sumber: Ditjen Migas
  5. Resource dan reserve batu bara Inodonesia
  6. Tabel 1. Sumber daya (resources) dan cadangan (reserve) batu bara Indonesia dalam satuan juta ton
    Sumber: Pusdatin ESDM
  7. Potensi Geothermal
  8. Tabel 2. Sumber daya (resources) dan cadangan (reserves) energi geothermal Indonesia tahun 2012 dalam MW
    Sumber : Pusdatin ESDM
  9. Potensi Tenaga Air
  10. Tabel 3. Potensi tenaga air berdasarkan data tahun 2009
    Sumber: Statistik EBTKE, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
  11. Potensi Tenaga Surya
  12. Tabel 4. Intensitas radiasi matahari Indonesia
    Sumber: BPPT, BMG
    Pada Tabel 4 terlihat bahwa Nusa Tenggara Barat dan Papua mempunyai intensitas radiasi matahari paling tinggi di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan Bogor mempunyai intensitas radiasi matahari paling rendah di seluruh wilayah Indonesia. Rahardjo dan Fitriana (2005) melakukan simulasi permodelam Markal mengenai potensi pemanfaatan tenaga Surya di Indonesia. Didapatkan potensi pemanfaatan meliputi kapasitas dan produksi listrik sebagai berikut.
    Tabel 5. Kapasitas Dan Produksi Listrik PLTS pada Kasus Dasar (BASE)* dan PVCOST**
    *BASE: kasus dimana semua kondisi diambil berdasarkan kondisi tahun 2000 **PVCOST: biaya investasi PLTS diasumsikan berdasarkan pada penelitian Amerika Serikat, dimana pada penelitian tersebut biaya investasi PLTS dimasa mendatang diperkirakan akan terus menurun.
    Sumber: Keluaran Model Markal
  13. Potensi Tenaga Angin
  14. Tabel 6. Perkiraan potensi energi angin di beberapa pulau di Indonesia
    Sumber: Majalah LAPAN No. 16 Tahun ke-4 Keterangan : WPEA = Wilayah Produksi Energi Angin
  15. Potensi Biofuels (Biodiesel dan Ethanol)
  16. Tabel 7. Luas Lahan Bahan Baku dan Potensi Produksi Bio-diesel menurut wilayah di Indonesia 2004
    Catatan: Setiap hektar pertanaman kedelai dapat menghasilkan rata-rata 4,5 kl Bio-diesel. Setiap hektar perkebunan kelapa sawit dapatmenghasilkan rata-rata 6,1 kl Bio-diesel
    Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit 2004. Ditjen Bina Produksi Perkebunan. Buku Statistik Indonesia 2004. BPS
    Tabel 8. Luas Lahan Bahan Baku dan Potensi Produksi BioEthanol menurut Wilayah di Indonesia 2004.
    Catatan: Kebutuhan bahan baku jagung 5 kg/liter ethanol, ubi jalar 8 kg/liter ethanol, dan ubi kayu 6,5 kg/liter ethanol.
    Sumber: * Diolah berdasarkan data BPS, 2004 dan BBTP-BPPT, 2005
  17. Potensi Biogas
  18. Tabel 9. Potensi pemanfaatan energi biogas di setiap provinsi di Indonesia
    Sumber: Indonesia Energy Outlook & Statistic 2006
  19. Potensi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa)


    Tabel 10. Potensi sampah kota VS kapasitas pembangkitan listrik
    Sumber: Statistik EBTKE 2013




E. Pendelegasian Target Energy Mix Nasional ke Masing-Masing Daerah Yang Potensial Melalui data pemetaan kekayaan sumber energi Indonesia seperti disebutkan pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa masing-masing wilayah/daerah memiliki potensi pemanfaatan sumber energi yang spesifik. Baik itu berupa kandungan minyak bumi, gas alam, geothermal, hingga potensi pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Suatu daerah dapat memiliki potensi salah satu dari jenis sumber energi atau berupa beberapa jenis sumber energi sekaligus. Bagi pemerintah pusat pengelolaan pemanfaatan cadangan dan potensi energi skala nasional tampaknya akan menjadi beban yang berat. Luasnya area dan keterbatasan jumlah tenaga ahli di pusat seringkali menjadi kendala. Selain itu, target periode waktu pengimplementasian yang semakin sempit serta kesibukan tenaga ahli pusat pada bidang pekerjaan lain juga menjadi tantangan tersendiri. Situasi politik di pusat juga sangat berpengaruh yang seringkali menghambat akselerasi perkembangan pemanfaatan potensi energi di daerah. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian target bauran energi nasional yang telah ditetapkan. Padahal sumber energi yang akan dieksplorasi ada di daerah. Sebenarnya pengelolaan potensi energi yang ada di setiap daerah dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan mengkoordinasikannya bersama Pemerintah Daerah. Karena itulah Rencana Umum Energi Daerah (RUED) menjadi sangat penting. RUED harus senantiasa selaras dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam koridor Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah ditetapkan. Namun demikian, penyusunan RUED yang ideal akan menghadapi kendala yang selama ini telah dianggap umum, yaitu kurangnya kompetensi dan knowledge yang cukup yang dimiliki personil di daerah. Ini adalah akibat kebijakan pengelolaan energi selama ini yang cenderung terpusat. Aliran knowledge dan kompetensi hanya berpusat di Ibu Kota. Jarang teralirkan hingga ke daerah. Mengenai permasalahan minimnya tenaga daerah yang dinilai kompeten tersebut sebenarnya terdapat solusi yang dapat ditawarkan. Pemerintah Pusat dapat merinci lebih lanjut dan lebih detail target bauran energi nasional hingga ke level daerah melalui RUEN yang akan disusun. Selanjutnya angka-angka inilah yang harus dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam memacu kegiatan eksplorasi dan pengembangan pemanfaatan sumber energi yang terkandung di daerahnya. Setiap daerah yang memiliki potensi cadangan sumber energi atau potensi pemanfaatan energi baru dan terbarukan harus mampu memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pencapaian target bauran energi nasional. Angka persentase masing-masing sumber energi dalam target bauran energi nasional dapat dirinci berdasarkan persentase jumlah reserve masing-masing energi yang dimiliki setiap daerah. Sehubungan dengan hal tersebut dirasa perlu untuk mengutamakan menggunakan data reserve energi daripada data sumber daya/resource. Hal ini untuk meyakinkan bahwa potensi yang dimilki suatu daerah benar-benar telah siap dimanfaatkan dan dieksplorasi. Kita dapat melihat sejumlah contoh aplikasi perincian target bauran energi nasional hingga ke level daerah yaitu sebagai berikut.
Gambar 11. Pembagian kontribusi per wilayah terhadap pencapaian target energy mix tahun 2025 untuk setiap komponen
Melalui upaya pembagian perwilayah seperti ini diharapkan Pemerintah Daerah dapat memiliki peranan lebih besar dalam mengeksplorasi reserve atau potensi energi yang dimiliki daerahnya. Misalkan berdasarkan arahan Pemerintah Pusat, suatu daerah diketahui memiliki reserve suatu jenis enegi dalam jumlah tertentu. Pemerintah Daerah yang bersangkutan kemudian dapat mengambil peranan dalam pencapaian target bauran energi nasional melalui penentuan strategi dan target ekplorasi terhadap reserve energi di daerahnya tersebut yang dituangkan dalam RUED. Selanjutnya dapat dituangkan melalu penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Dengan demikian, Pemerintah Daerah akan menjadi agen eksekutor proyek eksplorasi energi dan pengembangan energi terbarukan di daerahnya sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama investasi dengan pihak BUMN atau pihak swasta. Sedangkan Pemerintah Pusat dapat lebih berperan sebagai pemberi arahan dan pemberi approval. Baik approval menyangkut aspek legalitas, komersialisasi dan juga teknis. Untuk memacu peranan aktif pemerintah daerah, maka Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah atau personil daerah yang berhasil berperan secara nyata dalam menyumbang pemenuhan target energy mix nasional. Penganugerahan yang dimaksud dapat berupa duta energi daerah dan nasional. Dapat pula berupa penghargaan terhadap daerah terbaik dalam pencapaian target eksplorasi cadangan energi dan pengembangan energi terbarukan. Selain itu, juga dapat diberikan penghargaan daerah terbaik pencapaian konversi dan konservasi energi. Insentif ini dapat berupa acara ceremonial yang dilakukan secara rutin, atau insentif lainnya berupa peningkatan alokasi APBN untuk daerah. Dalam setiap kegiatan kajian, eksplorasi, hingga operasional pengelolaan sumber energi di daerah harus selalu diupayakan juga untuk melibatkan personil atau lembaga dan institusi setempat. Misalanya BUMD dapat bekerjsama dengan BUMN atau swasta dalam hal eksekusi proyek dan operasional. Kajian-kajian komersial dan teknis juga diutamakan untuk melibatkan tenaga ahli dan akademisi di daerah. Melalui upaya-upaya ini diharapakan terjadi transfer knowledge dari Pusat ke Daerah. F. Kesimpulan dan Saran Kebijakan Energi Nasional (KEN) memilliki peranan yang signifikan dalam pengelolaan sumber energi nasional serta dalam menjamin ketahanan energi nasional. Kebijakan ini bukan hanya menjadi payung hukum pengelolaan energi, tetapi juga akan menjadi arahan praktis. Hal ini dapat dilihat pada pendefinisain target bauran energi nasional hingga tahun 2050. Untuk meningkatkan kemudahan dalam pengimplementasian pencapaian target bauran energi nasional, dirasa perlu untuk merinci angka bauran energi nasional dalam KEN ini hingga ke level daerah. Dengan demikian kebijakan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat tetapi juga menjadi target Pemerintah Daerah. Prakteknya adalah dengan menyesuaikan peta persebaran potensi energi yang ada di setiap daerah dengan angka target pencapaian energi mix nasional untuk setiap jenis sumber energi. Masing-masing daerah yang memiliki potensi cadangan energi dan potensi pengembangan energi terbarukan harus berperan serta dengan menetukan target daerahnya dalam hubungannya untuk berkontribusi terhadap pencapaian energi mix nasional. Untuk memacu peranan Pemerintah Daerah maka perlu ada insentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang mampu berperan signifikan dalam pencapaian energi mix. Hal ini misal dilakukan melalui pemberian penghargaan tahunan kepada Pemerintah Daerah yang berhasil memaksimalkan pemanfaatan potensi cadangan energi yang ada di daerahnya. Atau berupa peningkatan alokasi APBN untuk daerah yang berhasil melakukan pengelolaan energi dengan baik dan mampu memaksimalkan pemanfaatan potensi energi di daerahnya. Guna mendukung perincian target setiap daerah, perlu dilakukan studi yang lebih komprehensif dan rutin terhadap potensi sumber energi yang dimiliki setiap daerah. Hal ini untuk mendapatkan peta potensi cadangan sumber energi dan potensi pemanfaatan energi terbarukan setiap daerah yang lebih detail dan terpadu. Semakin detail cakupan peta potensi energi maka akan semakin baik. Hal ini agar memudahkan proses koordinasi Pemerintah Pusat hingga ke level Pemerintahan Daerah terkecil. Bagi daerah yang tidak memiliiki potensi cadangan sumber energi atau dinilai belum berpotensi dalam penerapan teknologi energi terbarukan, maka tidak akan dibebankan target kontribusi terhadap bauran energi nasional. Akan tetapi, daerah-daerah ini dapat menyelenggarakan program-program lainnya yang berhubungan dengan pengelolaan energi, misalkan penyelenggaraan program konservasi energi dan juga monitoring dan kontrol terhadap penggunaan energi di daerahnya yang misalnya berupa jaminan keseimbangan supply dan demand energi. Selain itu, daerah ini dapat juga berkontribusi dalam program-program di daerah lain yang terdekat yang memiliki cadangan sumber energi. Daerah yang minim cadangan sumber energinya dan sedang kekurangan pasokan energi, dapat memenuhi kekurangan kebutuhan energinya tersebut dengan bekerjasama dengan daerah-daerah lain yang terdekat yang kaya cadangan sumber energinya. Hal ini dapat menciptakan sinergi antar daerah yang solid. Masing-masing daerah atau daerah-daerah yang berdekatan akan mampu mandiri energi. Ketahanan daerah pada khususnya dan ketahanan nasional pada umumnya akan tercapai. Referensi
  1. ___________. 2012. Keselarasan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan Rencana Umum Energi nasional (RUEN) Dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
  2. Hanan Nugroho. 2009. Konservasi Energi Sebagai Keharusan Yang Terlupakan Dalam Manajemen Energi Nasional Indonesia: Belajar Dari Jepang dan Muangthai. http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-utama/makalah/artikel-majalah-perencanaan/april-tahun-2005/konservasi-energi-sebagai-keharusan-yang-terlupakan-dalam-manajemen-energi-nasional-indonesia-belajar-dari-jepang-dan-muangthai-oleh--hanan-nugroho/
  3. Agus Sugiyono. 2004. Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan. Dipresentasikan pada Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I Pascasarjana FEUI & ISEI, 8-9 Desember 2004, Hotel Nikko, Jakarta.
  4. Rasbin. 2014. Kebijakan Energi Dan Subsidi Energi: Tantangan Pemimpin Baru Indonesia. Info Singkat Ekonomi dan kebijakan public Vol. VI, No. 16/II/P3DI/Agustus/2014.
  5. Riza Azmi dan Hidayat Amir. 2014. Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia. Buletin Info Risiko Fiskal Edisi 1 Tahun 2014.
  6. Pusdatin ESDM. 2014. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2013. Ministry of Energy and Mineral Resources.
  7. Tumiran. 2014. Paradigma Baru Kebijakan Energi Nasional Menuju Ketahanan dan Kemandirian Energi. Dewan Energi Nasional. Dipresentasikan di Direktorat Jendeal Ketenaga Listrikan pada 21 Maret 2014
  8. Irawan Rahardjo dan Ira Fitriana. 2005. ANALISIS POTENSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA DI INDONESIA. Strategi Penyediaan Listrik Nasional dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, dan Pembangkit Energi Terbarukan. Dalam http://www.geocities.ws/markal_bppt/publish/pltkcl/plrahard.pdf
  9. Sahat Pakpahan. 2003. Pemetaan Energi Angin Untuk Pemanfaatan dan Melengkapi Peta Potensi SDA Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Instrumentasi dan Pengolahan Data. Jakarta 10 Nevember 2003. Lembaga Penerapan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
  10. Statistik EBTKE 2013. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
  11. Hasan, Mahlia & Hadi Nur. 2011. A review on energy scenario and sustainable energy in Indonesia. Elsevier
  12. Indonesia Energy Outlook & Statistic 2006. Depok, Indonesia: Energy Reviewer, University of Indonesia; 2006.