Selasa, 05 Agustus 2014

EKSTRAKSI SILICA (SiO2) DARI ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKU PENGUAT KOMPOSIT BERMATRIKS ALUMUNIUM (AMCs) UNTUK APLIKASI BAHAN KOMPONEN OTOMOTIF

Berikut adalah studi yang pernah saya lakukan bersama teman-teman ketika masih kuliah. Studinya mengenai penelitian terhadap sekam padi. Semoga bisa bermanfaat bagi Anda semua.

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya.

Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/).

Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya.

Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs.

Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur.

Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991).

Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit. Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada partikel komposit. Fraksi volume penguat SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.

I.2 Perumusan Masalah


Permasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
  2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
  3. Bagaimana pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.

I.3 Tujuan Program

Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Mengkaji pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
  2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
  3. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.

I.4 Luaran yang Diharapkan

Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.

I.5 Kegunaan Program

Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan solusi upaya peningkatan nilai fungsi serta nilai jual sekam padi yang selama ini kurang mampu dimanfaatkan secara maksimal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan taraf hidup petani.
  2. Memberikan bahan masukan dalam upaya pengembangan industri otomotif dalam negeri yang bertujuan meningkatkan kemampuan memproduksi komponen otomotif dan suku cadang secara mandiri.
  3. Dapat dijadikan referensi atau acuan pembuatan komposit bermatriks alumunium (Al) dengan penguat silika (SiO2) yang dapat diaplikasikan dalam bidang otomotif dengan metode metalurgi serbuk misalnya pada pembuatan automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
  4. Dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian – penelitian selanjutnya yang sejenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)

Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).

Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:


Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).

II.1 Metode Pembuatan MMCs

MMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.

Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu.

Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.


Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.


Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah.

Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994).

MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.

II.2 Sekam Padi Dan Silika

Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.


Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 – 80,2 persen.

Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat (Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).


Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2.

Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.


II.3 Penelitian Tentang AMCs Berpenguat SiO2

Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi :
4Al + 3SiO2 → 2Al2O3 + 3Si

Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks.

Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.


Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut.

Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.


Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.

III. METODE PENELITIAN

III.1 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.

III.1.1. Ekstraksi SiO2 Dari Sekam Padi

Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
  1. Pencucian, dilakukann dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran.
  2. Pengeringan, dilakukan di bawah sinar matahari
  3. Penimbangan, dilakukan untuk membagi sampel sekam padi menjadi dua bagian sama besar yaitu sampel A, B dan C dimana harus memenuhi berat sekam padi yang akan diproses yaitu masing – masing dengan berat 250 gram. Dengan asumsi persentase berat sekam yang hilang selama proses sebesar 80 persen, maka nantinya akan didapatkan abu sekam dari masing – masing sampel sebanyak 50 gram.
  4. Pengarangan dan Pengabuan, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan dimana masing – masing sampel dikenai variabel temperatur pengabuan seperti disajikan pada Tabel 3.1 berikut.

  5. Pemurnian, dilakukan setelah didapatkan abu sekam untuk memisahkan zat – zat pengotor dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksida – oksida logam dan non logam dari dalam abu sekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, lalu pada campuran ditambahkan 200 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 625 ml akuades dan 40 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 15 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci lima kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 oC selama 1 jam hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 oC selama 2 jam hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih.
  6. Pengujian XRD dan Gravimetri, ditujukan untuk identifikasi apakah fase SiO2 telah terbentuk dan jenis SiO2 apa yang terbentuk, kristalin atau amorf, serta zat pngotor apa yang terkandung. Selain itu juga dilakukan perhitungan kuantitas kandungan SiO2 dalam abu sekam tersebut dengan menggunakan analisa gravimetri.
  7. Penggerusan dan Pengayakan, dilakukan pada endapan silika pada sampel A, B dan C dimana masing – masing dihaluskan secara mekanik dengan menggunakan mortar lalu diayak hingga didapatkan partikel SiO2 dengan ukuran lebih besar dari 200 mesh.

III.1.2. Penentuan Banyaknya Spesimen Yang Akan Dibuat

Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.

III.1.3. Penentuan Dimensi Komposit Yang Akan Dibuat

Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.

III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen

Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.

Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.

III.1.5. Pencampuran Material Matriks Dan Penguatnya (Mixing)

Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit.

III.1.6. Kompaksi

Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit.

III.1.7. Sintering

Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam.

III.1.8. Pengujian Tekan dan SEM

Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk.

III.1.9. Pengukuran Densitas Setelah Sinter dan Fraksi Porositas

Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2.

Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.


Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.

Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:

Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.

III.2 Variabel Penelitian

Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.

III.3. Flow Chart Penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.

Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.

Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.

Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.



Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak.

Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.


IV.1 Karakteristik Silika Yang Dihasilkan

Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam.

IV.1.1 Analisa Kualitatif

Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan.

Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.


Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit.

V.1.2 Analisa Kuantitatif

Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.1. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.


Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.

V.2 Karakteristik Ikatan Antar Muka Partikel Alumunium Dan Silika

Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.




Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur co-continuous AlSi/Al2O3 terbentuk.

V.3 Karakteristik Mekanik Komposit

Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik kekuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.4 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.5 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.


Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.


Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar. Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi, namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter.

Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
  1. Variasi temperatur pengabuan sekam dalam furnace sebesar 600oC, 750oC dan 900oC ternyata mampu menghasilkan produk silika dengan struktur kristal yang sebagian amorf dan sebagian lagi kristalin dengan persentase kandungan silika paling tinggi didapatkan dengan perlakuan temperatur pengabuan 750oC yaitu sebesar 91 persen.
  2. Dari pengujian SEM diketahui bahwa antara partikel alumunium dan silika terbentuk ikatan antar muka
  3. Untuk karakteristik kekuatan tekan diketahui bahwa yang paling baik adalah spesimen dengan temperatur pengabuan silika sebesar 900oC dan fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen.
VI. 2 Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
  1. Beberapa perhitungan, pengamatan dan pengujian perlu dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendetail hasil percobaan ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya yang diberikan kurang mendukung. Untuk itu pada penelitian selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah dari hasil penelitian ini yaitu perbandingan jumlah silika kristalin dan amorf yang dihasilkan dalam abu sekam, karakteristik thermal, perilaku korosi, serta karakteristik mekanik yang meliputi karakteristik impak, kekerasan dan abrasivitas komposit.
  2. Penelitian pendukung sebaiknya dilakukan dengan variasi perlakuan yang lain dimana nantinya dapat dijadikan sebagai pendukung dari penelitian ini mengingat penelitian ini merupakan penelitian awalan dari penelitian besar yang masih memiliki banyak varibel yang perlu diteliti untuk bisa mengetahui variabel – variable terbaik yang dapat dijadikan sebagai refrensi dalam produksi komponen otomotif berbasis komposit alumunium – silika.
  3. Mengingat potensi pemanfaatan dari silika yang luas dimana tidak hanya seperti yang ditujukan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan penguat dari komposit bermatriks alumunium, tetapi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kaca, dan bahan baku peralatan – peralatan elektronik, maka perlu diadakan suatu sistem industrialisasi ekstraksi silika dari sekam padi, agar nantinya dapat menambah stok silika dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
  • _________, 1998. ASM Handbook Vol. 7, Powder Metal Technologies and Aplications. ASM International
  • Chawla, K. K. 1987. Composite Material: Science and Engineering. London Paris Tokyo : Springer-Verlag New York Berlin Heidelberg.
  • Fogagnolo, J.B., 2004. Aluminium Matrix Composites Reinforced with Si3N4, AIN and ZrB2, Produced by conventional powder Metallurgy and Mechanical Alloying. Avenide de la Universid, 30-28911
  • Froyen, L., dan Verlinden, B., 1994. Aluminium Matrix Composites Materials. Talat 1402. Belgium : European Aluminium Associations (EAA)
  • Gregolin, E. N., 2002. Alumunium Matrix Composites Reinforced With Co – Continuous Interlaced Phases Alumunium – Alumina Needles. Materials Research, vol.5, no.3 São Carlos July/Sept. 2002
  • Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf Dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu dasar Vol. 3, No. 2, 2002 : 98 – 103
  • Hirschhorn. Joel. S., 1976. Introduction to Powder Metallurgy. New Jersey : American Powder Metallurgy Institute.
  • Hwang, C.L. and Wu, D.S., 1989. Properties of Cement Paste Containing Rice Husk Ash. ACI Third International Conference Proceedings, pg. 738.
  • Jones, R. M. 1975. Mechanics Of Composite Material. Washington, DC : Scripta Book Company
  • Kang Suk – Joong., 2005. Sintering : Densifikation, Grain Growth and Microstructures. Elseviere - Butterworth. Heinemenn
  • Mantell, C. L., 1958. Engineering Material Handbook. New York : McGraw – Hill Book Company.
  • Mittal, D. 1997. Silica From Ash, A Valuable Produst From Waste Material. Resonance, July
  • Nursuhud, D., dan Basuki, T. (1989). Suatu Studi Kemungkinan Pemakaian Bahan Bakar Sekam Padi untuk Pusat Listrik Tenaga Uap Sistem Gasifikasi. Laporan Penelitian Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri. Surabaya : Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
  • Pakpahan, A. 2006. Padi Lebih Bernilai dari Emas. Suara Pembaharuan, 20 November 2006.
  • PM2 Industry, 2001. Vision And Technology Roadmap, Powder Metallurgy And Particulate Materials. Metal Powder Industries Federation (MPIF), September, 2001.
    Schumacher C.,1991, SAE Technology, paper No.892495
  • Workshop Roadmap Industri Komponen Otomotif. 13 Oktober 2004. dalam http://www.bppt.go.id/. dikunjungi : 8 September 2007 pukul 07.15 WIB

TIM PENELITI
  1. Alek Kurniawan Apriyanto
  2. Moch. Zaenal Arifin
  3. Huda Istikha Lubis
  4. Rahmatillah Isra

Minggu, 27 Juli 2014

PENETAPAN AWAL RAMADHAN (PUASA) DAN AWAL SYAWAL (IDUL FITRI)


Penepatan awal Ramadhan dan awal syawal hampir selalu menjadi polemik rutin setiap tahun di negeri ini. Ada yang mengikuti pemerintah, ada yang berpendapat tidak harus mengikuti pemerintah karena pemerintah bukan ulil amri, ada yang menggunakan ru'yah, ada yang menggunakan hisab. Saya mencoba mengumpulkan sejumlah referensi mengenai hal ini. Semoga hal ini bisa bermanfaat dalam upaya untuk menegakkan ukhuwah dan kebersamaan diantara kaum Muslimin di negeri ini.

DASAR PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN MELIHAT HILAL
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

HISAB
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

PERBEDAAN PENGLIHATAN HILAL
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau.

Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang di suatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa.

Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
  1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
  2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Imam Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
  1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
  2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
  3. Dengan perbedaan iklim.
  4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
  5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengambil dari praktek Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

PEMBERLAKUAN RUKYAH SECARA GLOBAL
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya …” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 …(Tamamul Minnah, hal. 397)

DIUTAMAKAN MENGIKUTI KETETAPAN PEMERINTAH
“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

BOLEHNYA MENUNDA PELAKSANAAN SHALAT IDUL FITRI
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata; telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar -mereka adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. mereka berkata, “Kami tidak dapat melihat hilal bulan Syawal, maka pada pagi harinya kami masih berpuasa, lalu datanglah kafilah di penghujung siang, mereka bersaksi di sisi Nabi s.a.w. bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah s.a.w. pun memerintahkan mereka berbuka, dan keluar untuk merayakan hari rayanya pada hari esok. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1643 Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadist ini shahih.

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ali dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya, bahwa ada suatu kaum yang melihat hilal (bulan Sabit, masuknya bulan Syawal), lalu mereka datang kepada Rasulullah s.a.w.. Kemudian beliau s.a.w. memerintahkan mereka untuk berbuka puasa setelah hari agak siang dan keluar ke tempat shalat Id (hari raya) besoknya. (H.R. Nasa’i No. 1539)

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ja’far bin Abu wahsyiyah dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah s.a.w. bahwa suatu rombongan datang kepada Nabi s.a.w., mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri).” (H.R. Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Maka berdasarkan hadits di atas mayoritas ulama berpendapat boleh menunda melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya lagi (2 hari sejak terlihatnya hilal) (Lihat Ad-Durr Al Mukhtar Jilid 1 hal 782, Tabyiin Al Haqaa’iq Jilid 1 Hal 226), Al Fatawa Al Hindiyah Jilid 1 Hal. 142, Al Muhadzdzab Jilid 1 Hal. 131, Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal 215, Al Mughni Jilid 2 Hal. 291 dan Kasysyaf Al-Qinaa’ Jilid 2 Hal 56)

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa:
  1. Penetapan waktu puasa dan lebaran diutamakan untuk mengikuti ketetapan pemerintah demi terciptanya ukhuwah. Bagaimanapun pemerintahlah yang mengemban amanah kepemimpinan yang akan mempertanggung jawabkannya kelak di hadapan Allah.
  2. Metode rukyah lebih diutamakan untuk dijadikan referensi dibandingkan hisab karena dicontohkan Rasulullah dan dipraktekkan para sahabat.
  3. Metode rukyah dapat diterapkan secara umum atau global. Apabila hilal telah dapat terlihat di suatu negeri maka hal itu sudah cukup untuk dijadikan referensi bagi negeri lainnya untuk mengikuti.
  4. Apabila memang benar-benar belum bisa dicapai kata sepakat untuk menyatukan pelaksanaan Idul Fitri diantara ormas-ormas Islam di negeri ini, maka menunda pelaksanaan idul fitri adalah solusi terbaik yang bisa dilakukan. Penundaan shalat Ied dilakukan sehingga semua ormas Islam dapat melaksanakan shalat Ied bersama-sama dalam satu waktu yang disepakati bersama. Upaya menegakkan ukhuwah dan kebersamaan merupakan perkara yang harus lebih diutamakan.

Sabtu, 21 Juni 2014

MENYIKAPI PENUTUPAN LOKALISASI SECARA BIJAK


Lokalisasi bisa diartikan sebagai suatu upaya untuk mensentralisasi dan melegalkan tempat pelacuran dalam satu lokasi. Tujuannya untuk memudahkan proses monitoring dan kontrol terhadap aktivitas prostitusi dan dampak negatifnya. Pendukung program lokalisasi beranggapan dengan adanya lokalisasi para PSK dapat didata dan dimonitoring, termasuk pengunjung lokalisasi. Hal ini untuk menghindari anak di bawah umur menggunakan jasa prostitusi. Penyebaran penyakit kelamin juga dapat diminimalkan karena petugas medis resmi akan rutin memeriksa para PSK. Sambil lalu, upaya pembinaan PSK dan germonya juga dapat dilakukan secara lebih terorganisir dan rutin, dengan harapan mereka dapat keluar dari lingkaran bisnis prostistusi.

Berbeda halnya jika praktek prostitusi tidak dilokalisasi dimana dianggap dapat memberikan dampak lebih buruk. Tidak adanya lokalisasi dianggap akan memicu para PSK untuk beroperasi secara liar. Hal ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk mengontrol mereka dan mempersulit kontrol akibat yang ditimbulkannya seperti menyebarnya penyakit menular seksual misalnya sipilis, HIV-AIDS dll. Termasuk juga kemungkinan sulitnya mencegah anak-anak dibawah umur terlibat dalam bisnis prostitusi, baik sebagai PSK maupun pengguna.

Sekilas, program lokalisasi tampak sebagai suatu solusi yang bagus dan tepat.

Bahkan demi mendukung program ini secara masif, beberapa orang membawa dalil agama sebagai upaya menghalalkan program lokalisasi dari sisi agama. Beberapa dalil yang dijadikan referensi diantaranya:

“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” (Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)

“Inkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya (yang baik atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram”. (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbi al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40)

Mereka beranggapan bahwa lokalisasi merupakan upaya yang memang tidak dibenarkan oleh agama. Namun demi mencegah kemudhorotan (keburukan) yang lebih besar maka hal tersebut boleh dilakukan.

Hal ini sangat disayangkan karena menyandarkan suatu dalil agama dalam konteks yang tidak tepat. Bahkan dipaksakan.

Untuk itu, mari kita pikirkan ulang bersama program lokalisasi ini melalui tinjauan kritis terhadap program lokalisasi itu sendiri. Apakah benar lokalisasi merupakan solusi? Apakah benar ada dalil-dalil agama yang melegalkan praktek lokalisasi?

Satu fakta yang tidak bisa dipungkiri, lokalisasi justru merupakan tempat dimana angka kriminalitas cukup tinggi. Praktek prostitusi akan selalu dibarengi dengan praktek minum-minuman keras. Hal ini tentu menjadi perpadauan yang kuat yang berpotensi menimbulkan praktek-praktek kejahatan dan pelanggaran lainnya. Misalnya perkelahian, kerusuhan, pencurian, tindakan asusila, perampokan, pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, dll.

Mengenai hal tersebut kita bisa lihat contohnya dari praktek yang pernah dilakukan di Jakarta dimana sempat dibuka lokalisasi Kramat Tunggak pada masa Gubernur Ali Sadikin. Namun kemudian ditutup pada tahun 1999 dengan alasan tingginya tingkat kejahatan di sekitar area lokalisasi. Ini menunjukkan bahwa program lokalisasi bukanlah solusi, tetapi membuat masalah sosial baru. Yaitu meningkatnya angka kejahatan di daerah sekitar lokalisasi. Adapun contoh peningkatan angka kriminilitas di lokalisasi lain yang masih beroperasi bisa ditelusuri lebih lanjut.

Selain itu keberadaan lokalisasi juga berpotensi menimbulkan degradasi moral generasi muda. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sempat melakukan tanya jawab dengan seorang nenek yang masih menjajakan dirinya di tempat lokalisasi. Nenek tersebut mengakui bahwa dia masih banyak mendapat pelanggan anak-anak dan remaja. Hal ini sungguh menyedihkan. Inilah salah satu alasan yang kemudian memacu Risma bertekad menutup lokalisasi Dolly.

Degradasi moral generasi muda ini merupakan efek jangka panjang yang perlu dipikirkan bersama. Permasalahannya, anak-anak bukan lagi menjadi PSK, tetapi telah menjadi pengguna PSK. Dengan berbagai macam tontonan pornografi yang semakin mudah didapat, ditambah dengan fasilitas lokalisasi yang dekat dan tersedia PSK murah meriah, maka ini berpotensi memberikan peluang anak-anak untuk ikut terlibat dalam aktivitas prostitusi. Karena itu, anak-anak yang tinggal di daerah lokalisasi juga perlu diteliti dan dimonitoring, bagaimakah perkembangan mereka. Bagaimana perbedaannya dengan anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang baik, yang jauh dari lokalisasi. Jika memang telah terdapat gejala-gejala penurunan moral, maka perlu pembinaan yang intensif sesegera mungkin.

Jadi dari sini sudah jelas, upaya melegalkan suatu maksiat hanya akan berpotensi melahirkan maksiat-maksiat lainnya. Baik secara jangka panjang maupun jangka pendek.

Selanjutnya, kita bisa lihat juga dari tinjauan agama. Di dalam Al Quran telah disebutkan:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Isra' [17] : 32)

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan zina, bahkan mendekatinya saja dilarang. Termasuk dalam hal ini segala bentuk aktivitas yang berpotensi mengarah pada perzinahan. Agama Islam memerintahkan umatnya agar menjauhi perzinahan dalam segala macam bentuknya. Sedangkan lokalisasi merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap praktek perzinahan. Bahkan praktek lokalisasi sampai dilegalkan dengan alasan demi mencegah kemudhoratan yang lebih besar. Ini sangat tidak bisa diterima dari sisi agama. Sekali kita diperintahkan untuk menjauhinya, maka segala bentuk praktek yang mengarahkan kita pada perzinahan harus dijauhi. Sungguh merupakan pembodohan umat jika membolehkan program lokalisasi dengan mendasarkan kepada dalil-dalil ulama yang tidak ditujukan untuk itu.

Dari Abdullah bin Umar dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajah ke kami dan bersabda: “Wahai golongan Muhajirin, lima perkara apabila kalian mendapat cobaan dengannya, dan aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mengalaminya; Tidaklah kekejian (mesum) menyebar di suatu kaum, kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka penyakit Tha’un (wabah pes) dan penyakit-penyakit yang belum pernah terjadi terhadap para pendahulu mereka. ...........". (HR Ibnu Majah nomor 4009, lafal baginya, dan riwayat Al-Bazar dan Al-Baihaqi, shahih lighoirihi menurutSyaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib hadits nomor 1761).

Dari hadis di atas disebutkan bahwa jika perzinahan telah dilakukan secara terang-terangan dan dilegalkan, maka tinggal tunggu waktu tersebarnya penyakit di tengah masyarakat. Berdasarkan sabda Rasulullah ini, segala bentuk perzinahan baik yang dilegalkan sekalipun seperti lokalisasi tidak akan mampu berperan sebagai kontrol penyebaran penyakit seperti diduga sekelompok orang. Jika praktek perzinahan didukung apalagi dilegalkan maka tinggal tunggu waktu Allah akan menurunkan azabnya.

Mengenai ancaman azab Allah bagi kaum yang melegalkan zina, sudah sangat jelas diterangkan di beberapa Hadis Rasulullah, diantaranya:

Dari Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Umatku akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara mereka tidak bermunculan anak hasil zina, jika anak hasil zina telah bermunculan di antara mereka, maka dikawatirkan Allah akan menghukum mereka semua.” (HR Ahmad 25600 sanadnya hasan, menurut Al-Albani hasan lighairi dalam shahih At-Targhib wat-Tarhib no 2400).

Rasulullah saw bersabda: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim).

Sudah jelas mengenai ancaman Allah. Merajalelanya praktek perzinahan, apalagi dilegalkan, merupakan pemicu turunnya azab Allah.

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Yubus [10]:36).

Jadi tinggal dipilih, percaya kepada Allah dan RasulNya atau percaya kepada dugaan-dugaan sekelompok orang yang berlabel pakar, cendikiawan, atau ahli sosial.

Alasan ekonomi juga seringkali dijadikan alasan penutupan lokalisasi. Ini menunjukkan kurang percayanya umat kepada janji Allah. Padahal Allah telah berfirman:

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A'raf [7] : 96)

Yang patut kita tanamkan dalam-dalam pada diri kita adalah pentingnya percaya kepada janji Allah SWT. Jika Allah Azza Wa Jalla telah berfirman agar manusia menjauhi perbuatan zina, maka kewajiban kita adalah mengikuti perintah tersebut. Apabila telah demikian, maka Insha Allah, Allah akan menjauhkan kita dari azab dan akan menurunkan keberkahan melalui rejeki kita yang halal walaupun sedikit.

Dengan demikian, solusi penutupan lokalisasi adalah cara yang paling tepat. Begitu juga halnya dengan semua bentuk praktek prostitusi. Semuanya harus segera ditiadakan. Tidak ada alasan lain. Keberadaan lokalisasi cenderung hanya akan membuat para pelaku bisnis ini semakin nyaman dan aman karena bisnis mereka dilegalkan dan dilindungi oleh pemerintah. Tentu lain ceritanya jika lokalisasi, prostitusi, dan segala bentuk perzinahan dilarang secara tegas dan konsisten, serta para pelakukanya diburu, dan diberi hukuman atau pembianaan secara intensif. Hal ini akan memicu mereka untuk mencari alternatif pekerjaan lain.

Untuk itu konsistensi pemerintah dalam memberantas praktek prostitusi sangat diperlukan. Penutupan lokalisasi harus diikuti dengan program pemberantasan praktek prostitusi lainnya, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan. Baik yang berkelompok dan terorganisir maupun yang perorangan. Apabila telah demikian, dengan sendirinya para pelaku bisnis ini secara otomatis akan terdorong untuk meninggalkan bisnis haram ini.

Jika mereka tetap ngotot bertahan, maka mereka harus rela kejar-kejaran dengan aparat satpol PP dan dinas sosial, keluar masuk penjara, masuk panti rehabilitasi, atau menjalankan bisnis mereka secara nomaden dengan penuh harap-harap cemas. Jika masih ngotot juga, akhirnya segala bentuk bisnis ini akan keluar dari batas negara kita dengan sendirinya kerena tidak tersedianya lagi tempat aman dan nyaman bagi mereka.