Selasa, 27 Maret 2012

GEJOLAK SOSIAL DIVERSIFIKASI BAHAN BAKAR


Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Pemicu perubahan adalah adanya perubahan yang lain. Implikasi yang selalu muncul dalam setiap perubahan struktur masyarakat adalah gejolak sosial.

Dalam kasus diversifikasi bahan bakar, salah satu pemicunya adalah perubahan lingkungan. Isu pemanasan global, polusi, semakin terbatasnya cadangan minyak bumi dunia, harga minyak yang semakin melambung, di satu sisi mengakibatkan munculnya isu-isu penghematan energi. Di sisi lain, hal ini menimbulkan upaya-upaya pemanfaatan sumber energi baru. Dalam bahasa lainnya ini berarti terdapat upaya pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Selama ini, penggunaan bahan bakar minyak telah menjadi sumber energi utama semenjak sekitar 1 abad lalu. Perubahan mengenai hal ini tentunya menimbulkan respon yang berbeda-beda pada masyarakat Indonesia yang heterogen. Kemajemukan latar belakang budaya, pendidikan, lingkungan, kondisi ekonomi, dan orientasi kehidupan juga merupakan salah satu persoalan bahwa proses perubahan mempunyai banyak konsekuensi terhadap munculnya berbagai macam pandangan. Korten (1993) menyebutkan bahwa perbedaan pandangan atau visi dalam proses perubahan, berpotensi besar menimbulkan gejolak sosial.

Sebagaimana dianalisis Korten (1993), prioritas pembangunan utama tahun 1990-an adalah mentransformasikan cara-cara orang memandang dunia, memanfaatakan sumber daya bumi dan saling berhubungan sebagai individu dan bangsa. Soetjipto (1993:503) menyebutkan bahwa pembangunan yang bersifat material, secara sosial haruslah bertujuan untuk mencapai suatu sistem dimana masyarakat masuk dalam kondisi distribusi pendapatan yang adil, terjamin hak – hak hidupnya, dan mampu mentransformasikan lapis masyarakat marginal ke sistem kehidupan modern. Perubahan budaya yang akan terjadi secara substansial harus mampu melahirkan satu kesadaran baru akan peradaban, kemandirian, kesediaan, untuk berkorban, demi tegaknya martabat kemanusiaan, self respect.

Akan tetapi, dalam kasus perubahan budaya penggunaan sumber energi di Indonesia, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan BBM, tidaklah akan semudah seperti yang dibayangkan. Sebagai antisipasi, tentunya harus bisa dirumuskan strategi secara tepat dan bijak, guna menanggulangi munculnya gejolak sosial di kalangan masyarakat. Apalagi jika gejolak sosial yang terjadi berpotensi menimbulkan aksi-aksi anarkis.

Akibat globalisasi dan informasi yang sangat cepat, seringkali elit kekuasaan dan pelaku ekonomi berusaha semaksimal mungkin untuk memperjuangkan dan mewacanakan perubahan pembangunan dan modernisasi demi mencapai suatu kesetaraan kesejahteraan dengan negara-negara maju. Para elitis ini tentunya juga mempunyai bermacam-macam pandangan mengenai hal ini. Sementara itu, kondisi masyarakat yang heterogen sebenarnya belum semuanya siap menghadapi perubahan yang radikal. Bahkan tidak jarang ketakberdayaan masyarakat justru dieksploitasi dan ditempatkan sebagai potensi. Karena itu sebagian masyarakat akan menganggap pembaruan atau perubahan sebagai bagian yang memberatkan dan menyengsarakan masyarakat banyak.

Untuk itulah, di sini diperlukan peranan sentral kepemimpinan dalam memberikan arahan yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Peran pemimpin sebagai katalisator perubahan sangatlah penting dalam hal merumuskan masalah, menciptakan kesadaran global baru, mempermudah komunikasi, membela perubahan kebijakan, membangun kemauan politik, dan melaksanakan parakarsa percobaan (David. C. Korten, 1993:302). Melalui arahan dari kepemimpinan, tentunya perbedaan pandangan di dalam kehidupan sosial dalam proses perubahan bisa diminimalkan, sehingga secara otomatis gejolak sosial dalam skala besar bisa ditekan pada taraf yang dapat dikendalikan.

Jika dalam proses transformasi yang berlangsung kemudian muncul gejolak atau konflik sosial pastilah telah terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pelaksanaannya. Ketimpangan yang umumnya dilandasi kepada kepentingan elitis tertentu. Ini merupakan tugas yang lain dari kepemimpinan, yaitu untuk melakukan monitoring dan menindak secara tegas segala bentuk penyimpangan kelompok elitis tertentu.

Dengan demikian, peranan kepemimpinan yang tegas dan tidak terikat oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan sangatlah penting untuk mencapai suatu tujuan. Hasilnya, kemandirian bangsa dan ketahanan energi nasional dapat terjaga dan terus ditingkatkan. Seperti yang dipaparkan oleh Wamen ESDM, Widjajono Partowidagdo, ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak dan luar negeri adalah ketidakmandirian. Tidak menggunakan energi yang kita miliki secara optimal adalah tidak bijaksana. Mengkonsumsi barang yang mahal tetapi tidak mengkonsumsi barang murah yang kita miliki adalah kebodohan. Cara meminimalkan subsidi BBM untuk transportasi dan listrik adalah dengan sesedikit mungkin memakai BBM. Akibatnya, Indonesia mempunyai dana lebih banyak untuk membuat Indonesia lebih cepat menjadi Negara Terpandang di Dunia. Dengan mengurangi ketergantungan kepada BBM maka Insya Allah Indonesia menjadi lebih baik.

REFERENSI:
Huntington, Samuel P, 1996, the clash of civilization and the remaking of world orde, new york:Simon and Schuster
Korten, David C, 1993, menuju abad 21: tindakan sukarela dan agenda global, Jakarta: Sinar Harapan
Schoorl, J.W., 1981. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negra sedang berkembang, terj. Soekadijo, Jakarta: Gramedia
Soetjipto Wirosardjono, 1993, “Perspektif social budaya pembangunan nasional kita”, dalam Yustiono (ed), Islam dan kebudayaan Indonesia : Dulu, kini, dan esok, Jakarta : yayasan Festival Istiqlal