Tampilkan postingan dengan label LINGKUNGAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LINGKUNGAN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Desember 2019

BUKU MEMBANGUN ENERGY SECURITY INDONESIA

Boleh kakak, diborong bukunya. Judulnya "Membangun Energy Security Indonesia" karya saya sendiri. ☺️☺️.  Last stock. Tersedia sekitar 120 eks. Murah, 80 ribu aja, 500-an halaman. Selain buat dibaca untuk menambah pengetahuan tentang pentingnya energi, bukunya bisa juga buat ganjal pintu/lemari/meja. Bisa dibuat bantal. Bisa juga buat nimpukin mas/mbak jahat pemberi harapan palsu. Xixixi. 😅🙈🙏🙏

Yang berminat bisa langsung japri atau bisa kunjungi lapak saya :
 https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/kedokteran/2ap7434-jual-membangun-energy-security-indonesia?utm_source=apps

Judul : Membangun Energy Security Indonesia
Penulis : Alek Kurniawan Apriyanto
Penerbit : Pustaka Muda, Jakarta, 2015
ISBN 978-602-6850-02-7
Jumlah Halaman : 500

Testimoni : Satya Widya Yudha, Novian Moezahar Thaib, S. Herry Putranto, Muhammad Sarmuji, Achsanul Qosasi, Dr. Agung Purniawan, Dr. Abu Bakar Eby Hara, Dr. Ir. Mawardi, ME

Daftar Isi :
1. Pendahuluan
2. Sejarah Energy Security Dunia
3. Definisi Energy Security
4. Hubungan Energy Security Dengan Bidang Lain
5. Cara Mengukur Energy Security
6. Karakteristik Setiap Sumber Energi
7. Overview Kondisi Energi Dunia
8. Proyeksi Energi Dunia
9. Kondisi Pengelolaan Energi Dunia
10. Proyeksi Energi Dunia
11. Penilaian Lembaga-Lembaga Internasional Terhadap Pengelolaan Energi Indonesia
12. Catatan Sejarah Pengelolaan Energi di Indonesia
13. Kebijakan-Kebijakan Terkait Energi
14. Tantangan Kemanan Energi Nasional
15. Energi Alternatif Untuk BBM
16. Memacu Infrastruktur Gas
17. Memaksimalkan Pemanfaatan Batubara
18. Inisiasi PLTN
19. Menyambut Energi Terbarukan
20. Cadangan Penyangga Energi Nasional
21. Belajar Dari China
22. Parameter Kuantitatif Dalam Kebijakan Energi Indonesia
23. Penutup

Sabtu, 30 Juni 2018

DAERAH ALIRAN SUNGAI


Menurut Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, disebutkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang terpengaruh aktivitas daratan. DAS juga diartikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung dan air akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama.

Perubahan/konversi lahan hutan dan lahan pertanian untuk keperluan industri, permukiman, dan perkebunan telah menyebabkan kondisi lingkungan semakin tidak baik, sehingga mampu mempercepat kelangkaan air, dan daerah aliran sungai (DAS) menjadi kritis. Pada tahun 1984 tercatat 22 buah DAS kritis, meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998.

Fenomena ini telah menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS dalam menyimpan air, sehingga terjadi kekurangan air di musim kemarau, dan meningkatnya frekuensi dan besaran volume air sungai di musim hujan. Demikian juga, akibat erosi yang besar yang terjadi di bagian hulu DAS, menghasilkan jumlah sedimen yang tinggi dan terangkut oleh aliran permukaan, sehingga terjadi pengendapan sedimen tersebut (sedimentasi) di dalam badan air seperti sungai, danau, waduk, dan embung.

Pada tahun 1999 di Indonesia tercatat terdapat 470 buah DAS, 62 diantaranya dalam kondisi kritis, yang dicirikan oleh rasio debit sungai maksimum dan minimum yang cukup besar. Tingkat kekritisan DAS diindikasikan dengan rasio debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin) dari suatu sungai. Biasanya angka rasio Qmaks dan Qmin yang lebih besar dari 10 sudah menunjukkan bahwa DAS tersebut tergolong kritis .

Pada musim hujan terjadi peningkatan volume air sungai yang sangat besar, dan kemungkinan besar sungai tersebut meluap, serta penurunan volume air sungai pada musim kemarau yang juga sangat besar menyebabkan sungai tersebut mengalami kekeringan. Perbedaan debit yang sangat besar tersebut disebabkan karena sifat tanahnya, terutama sifat fisik tanah sudah sangat buruk akibat pengelolaan lahan yang berlebihan dan erosi yang hebat .

Seperti sudah disebutkan, curah hujan yang tinggi dan intensitas penggunaan lahan yang juga tinggi, telah menyebabkan hilangnya bahan organik tanah, rusaknya struktur tanah, dan meningkatnya kepadatan tanah. Akibatnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi) ke dalam penampang tanah menjadi berkurang. Pada musim hujan, sebagian besar air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah mengalir sebagai aliran permukaan karena tanahnya tidak mampu lagi meresapkan air. Apabila hujan terjadi dalam frekuensi yang tinggi dapat menyebabkan tanah selalu jenuh air, sehingga seluruh air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan, dan masuk ke dalam badan air/sungai. Dalam kondisi ekstrim, dapat menyebabkan banjir akibat terjadi peningkatan volume air sungai dan meluap ke wilayah sekitar atau bagian hilirnya .

Demikian juga, pada musim kemarau hampir tidak ada hujan yang jatuh di DAS tersebut, atau kalaupun ada hujan, air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah tidak sempat masuk ke dalam tanah karena tanah dalam keadaan kering, atau menguap kembali ke atmosfer (evaporasi dan transpirasi). Itu sebabnya, debit air yang tercatat di berbagai sungai khususnya di P. Jawa sangat rendah, sehingga kemungkinan terjadinya kekeringan sangat besar .

Upaya penanganan kerusakan lingkungan daerah aliran sungai dapat dilakukan secara intensif baik melalui pendekatan struktural maupun fungsional. Upaya-upaya tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui penerapan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, pencegahan alih fungsi lahan, rehabilitasi hutan dan lahan, dan pengaturan kelembagaan pengelolaan daerah aliran sungai. Berkurangnya areal hutan dan alih fungsi lahan mengharuskan perlunya rehabilitasi hutan di hulu DAS kritis, terutama pada areal yang sensitif terhadap terjadinya aliran permukaan. Demikian juga program penghijauan lahan masyarakat perlu digalakkan dengan memberi insentif terhadap masyarakat berupa penyediaan bibit unggul dan cepat tumbuh. Insentif lain adalah perlunya pemerintah menyediakan skema pendanaan melalui kredit penghijauan .

REFERENSI :
  1. Budi Hadi dan Andi Gustaini S, 2002, Kesesuaian Jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan kritis bekas penambangan Batu Apung di Sub Das Serdang, DAS Menanga, Lombok Timur, Buletin Teknologi Pengelolaan DAS No.10/2002, 2002
  2. Suradisastra, Kedi dkk (ed). 2010. Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. PT Penerbit IPB Press : Bogor dalam www.litbang.pertanian.go.id/buku/membalik-kecenderungan-degrad/
  3. Mawardi, 2010, J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No. 2, Jakarta, Agustus 2010, ISSN 1907-1043, hal. 10

Rabu, 17 Januari 2018

KETAHANAN LINGKUNGAN


Ketahanan Lingkungan merupakan upaya menjamin keamanan publik secara proporsional dari bahaya-bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh proses-proses alamiah atau buatan-manusia, karena keteledoran, kecelakaan, salah-kelola, atau kesengajaan. Ketahanan lingkungan merupakan bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan lingkungan mengkaji ancaman akibat kejadian lingkungan, kecenderungan ketahanan nasional dan unsur-unsur kekuatan nasional .

Hubungan antara lingkungan dan keamanan telah dipertimbangkan sejak tahun 1980-an oleh dua kelompok: (1) komunitas kebijakan lingkungan, yang mengajukan implikasi-implikasi keamanan dari perubahan dan keamanan lingkungan, dan (2) komunitas keamanan, yang melihat definisi baru keamanan nasional (national security) khususnya pada era setelah perang dingin .

Selanjutnya isu-isu ini diakui sebagai elemen yang memberi dampak secara global, sebagai contoh perubahan lingkungan, menipisnya lapisan ozon dan polusi, yang kesemuanya memiliki implikasi-implikasi terhadap keamanan. Hal ini juga mengubah paradigma otoritas militer untuk mengevaluasi kembali dimensi keamanan dari isu-isu lingkungan.

Keamanan, secara tradisional dilihat sebagai sinonim dari keamanan nasional dengan dua tujuan utama : (1) untuk menjaga integritas teritorial dari negara dan (2) untuk memelihara bentuk pemerintahan yang dipilih, melalui alat-alat politik maupun militer.

Ketika ilmuwan politik mengambil aspek lingkungan sebagai bagian dari keamanan, maka dampak-dampak lingkungan didefinisikan sebagai bagian dari isu keamanan nasional. Pendekatan ini mencoba mendefinisikan ulang konsep keamanan nasional secara menyeluruh. Di awal tahun 1980-an Independent Commission on Security and Disarmament Issues (ICSDI) mengembangkan dan memperkenalkan konsep keamanan nasional secara lazim, yang memberikan pandangan yang lebih luas kepada keamanan nasional.

The World Commission on Environment and Development menghubungkan secara jelas keamanan nasional dan lingkungan pada Brundtland Report tahun 1987 : “Umat manusia menghadapi dua ancaman besar. Pertama adalah perang nuklir. Marilah berharap bahwa hal ini akan tetap memiliki harapan berhasil yang semakin menurun di masa mendatang. Kedua adalah runtuhnya aspek lingkungan di seluruh dunia dan jauh dari menjadi harapan berhasil di masa mendatang, ini adalah fakta saat ini.”

Mengikuti hal yang dilakukan The World Commission on Environment and Development – PBB, the General Assembly (Majelis Umum) PBB secara resmi juga memperkenalkan konsep keamanan nasional dan lingkungan pada Sesi ke-42. Dewasa ini, keamanan lingkungan telah dipahami secara ekstensif (luas), termasuk aspek manusia, fisik, sosial, dan kesejahteraan/kesehatan ekonomi. Hal ini menyebabkan intepretasi dan menentukan batasan terhadap keamanan lingkungan semakin sulit. (Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy). Saat ini, belum ada persetujuan umum pada kejelasan definisi keamanan lingkungan. Jangkauan isu ini dibatasi pada bagaimana dampak-dampak lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya konflik, dibandingkan keamanan itu sendiri.

Ketahanan lingkungan (environmental sustainability) semakin menjadi isu yang penting di tengah semakin menurunnya kualitas lingkungan. Polusi dan pencemaran lingkungan, pembangunan perkotaan dan industrialisasi, limbah, penggundulan hutan, dan beberapa aktivitas manusia lainnya terhadap lingkungan semakin membuat ketidakseimbangan alam yang memicu munculnya potensi yang menggangu kehidupan manusia dan lingkungan hidup.

Hal ini juga dikaitkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Pemanasan global diakibatkan emisi gas rumah kaca yang dapat membuat suhu permukaan bumi semakin hangat. Semakin hangatnya suhu permukaan bumi menyebabkan sejumlah stok es di kutub mencair, lalu dapat meningkatkan tinggi permukaan air laut.

Hal ini berpotensi menenggelamkan sejumlah wilayah padat penduduk di permukaan bumi. Pemanasan global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang mendorong semakin sering terjadinya bencana alam seperti badai dan tsunami, banjir, dan kekeringan. Hal ini berarti dapat mengancam eksistensi mahluk hidup, termasuk manusia, sehingga isu ini semakin menjadi isu di tingkat global.

Salah satu ancaman ketahanan lingkungan adalah semakin berkurangnya luas hutan dan wilayah tutupan hijau vegetasi tanaman. Hal ini diakibatkan oleh meluasnya pembukaan lahan pertanian, peningkatan aktivitas pertambangan dan industri, serta semakin meningkatnya populasi manusia yang mendorong perluasan wilayah perkotaan dan pemukiman penduduk. Padahal seperti telah dipahami bersama bahwa hutan atau tutupan hijau vegetasi tanaman merupakan paru-paru alami dunia. Emisi dari pembakaran fosil dan aktivitas industri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipadukan dengan penggundulan hutan (deforestation) yang juga semakin meningkat. Perpaduan hal ini memicu perubahan iklim dunia menjadi lebih panas.

Keberadaan vegetasi tanaman merupakan indikasi tanah yang subur dan menyimpan sumber air tanah. Melalui proses fotosintesis, tamanan menyerap CO2 yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca, dan kemudian dari proses tersebut tumbuhan memproduksi oksigen yang dibutuhkan oleh hewan dan manusia. Dengan demikian semakin berkurangnya wilayah vegetasi tanaman berarti semakin mengurangi sarana alami penyerap CO2 dan penyimpanan air tanah. Ini berarti upaya menjaga kelestarian vegetasi tanaman merupakan upaya yang secara langsung menjaga ketahanan lingkungan, selain upaya mengendalikan dan mengurangi emisi.

REFERENSI :
  1. USLegal.com, “Environemtnal Security Law & Legal Definition”, dalam http://definitions.uslegal.com/e/environmental-security/ dikunjungi 9 Mei 2016
  2. Andree Kirchner, 1999, “Environmental Security”, Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy hal. 1


Senin, 08 Januari 2018

KONSEP REDD+ DI INDONESIA


Salah satu wujud komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) adalah penandatanganan letter of intent (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) pada tanggal 26 Mei 2010. Mekanisme REDD+ merupakan pengembangan dari mekanisme REDD yang tidak hanya berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas yakni sustainable forest management (SFM), carbon stock enhancement, dan forest restoration & rehabilitation.

Ada tiga tahap kerja sama dalam kerangka LoI tersebut (DNPI 2010), yaitu :
  1. Tahap Persiapan (Juli – Desember 2010) yang meliputi :
    • a. Penyusunan Strategi Nasional REDD+
    • b. Pembentukan Lembaga REDD+
    • c. Penetapan Lembaga Independen MRV
    • d. Penetapan instrumen pembiayaan
    • e. Penetapan provinsi percontohan
  2. Tahap Transformasi (2011-2013) yang meliputi :
    • a. Operasionalisasi instrumen pembiayaan
    • b. MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3
    • c. Moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut
    • d. Pengembangan basis data hutan yang terdegradasi untuk investasi
    • e. Penegakan hukum pembalakan, perdagangan kayu dan pembentukan satuan Tindak Kriminal Kehutanan
    • f. Penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial
    • Tahap Pembayaran Kontribusi (mulai 2014).
Sejak penyelenggaraan COP13 di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Kementerian Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD. Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu :
  1. Permenhut No. P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08pdf). Permenhut No.68/2008 pada dasarnya menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.
  2. Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Sementara itu, Permenhut No.30/2009 mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan.
  3. Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Permenhut No.36/2009 mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha.

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait. Tantangan besar yang dihadapi adalah, bagaimana mengintegrasikan peraturan-peraturan baru ini ke dalam peraturan yang sudah ada baik di sektor kehutanan maupun sektor lain dan Perda terkait?

Sebenarnya aturan-aturan khusus di bidang kehutanan terkait REDD telah jelas, hanya saja perlu dituangkan dalam petunjuk teknis dan pelaksanaan yang akan menjadi acuan bagi daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) provinsi maupun kabupaten yang lebih seragam, sehingga dalam menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait perdagangan karbon menjadi lebih jelas, misalnya ketetapan harga jual karbon dan lain-lain.

REFERENSI :
  1. NRDC, 2013, hal. 32
  2. NRDC, 2013, hal. 32


Sabtu, 06 Januari 2018

KETAHANAN PANGAN


Ketahanan pangan merujuk pada suatu kondisi ketersediaan pangan dan adanya akses terhadapnya. Perhatian terhadap ketahanan pangan telah muncul semenjak dahulu kala. Terdapat bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa lumbung bahan pangan telah dikembangkan semenjak 10 ribu tahun lalu yang pengelolaannya dilakukan melalui kewenangan terpusat pada sejumlah peradaban kuno, misalnya pada peradaban China kuno dan Mesir kuno. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui hak asasi terhadap pangan (food rights) dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang kemudian mensejajarkannya dengan hak asasi manusia lainnya.

Dalam laporan final World Food Summit 1996 disebutkan bahwa ketahanan pangan terjadi ketika semua orang, di setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan bernutrisi, aman, dan berkecukupan, untuk memenuhi kebutuhan aturan makan dan pilihan makanan guna menjalani kehidupan yang aktif dan sehat. Food and Agricultural Organization (FAO) – PBB mengidentifikasi empat pilar ketahanan pangan yakni ketersediaan (availability), akses (access), utilisasi (utilization), dan stabilitas (stability).
  1. Food availability berarti ketersediaan makanan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang sesuai, yang dipasok (disuplai) melalui produksi domestik atau impor (termasuk bantuan makanan).
  2. Food access berarti adanya akses individu pada sumber daya yang memadai untuk mendapatkan makanan-makanan yang sesuai kebutuhan dan bernutirisi. Sumber daya didefinisikan sebagai seperangkat dari semua kelompok komoditas yang mana atasnya seseorang dapat membentuk perintah melalui pengaturan aspek legal, politik, ekonomi, dan sosial pada komunitas dimana dia tinggal (termasuk hak tradisional seperti akses kepada sumber daya umum lainnya).
  3. Utilization berarti pemanfaatan bahan makanan melalui pengaturan pola makan yang memadai, air bersih, sanitasi dan perawatan kesehatan, untuk mencapai suatu kondisi kesejahteraan/kesehatan nutrisi dimana semua kebutuhan fisiologis dipertemukan. Hal ini mengangkat isu pentingnya input non-pangan pada food security.
  4. Stability, berarti untuk mencapai keamanan/ketahanan pangan, sebuah populasi, rumah tangga, atau individu harus memiliki akses terhadap bahan makanan yang memadai setiap saat. Mereka seharusnya tidak mengkondisikan diri pada posisi yang beresiko terhadap hilangnya akses pada bahan pangan ketika terjadi konsekuensi akibat goncangan tiba-tiba (misalnya krisis ekonomi dan iklim) atau akibat peristiwa bersiklus (seperti peristiwa ketidakamanan pangan musiman). Konsep stabilitas ini dapat merujuk kepada dimensi availability dan accses dalam ketahanan pangan.
Ketahanan pangan berbeda dengan produksi pangan. Produksi pangan (tidak harus produksi domestik) merupakan elemen penting dari ketersediaan pangan (food-availability). Ini berarti, produksi pangan merupakan salah satu komponen ketahanan pangan. Akan tetapi komponen ini tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin ketahanan pangan. Oleh karena itu, ketahanan pangan dapat dicapai bahkan oleh suatu negara yang tidak memiliki sistem produksi bahan makanan pokok secara domestik. Perdagangan dapat secara efektif menggantikan ketiadaan sistem produksi bahan pangan domestik, selama terdapat akses ekonomi cukup ke pasar pangan internasional.

Ketahanan pangan tidak hanya tergantung pada panen (produksi) bahan makanan dan perdagangannya, tetapi juga tergantung pada perubahan-perubahan yang mempengaruhi pemprosesan makanan, penyimpanan, transportasi, penjualan retail, kemampuan konsumen membeli makanan, pola konsumsi makanan, dan termasuk pengolahan sampah sisa bahan makanan. Dengan demikian, ketahanan pangan (food security) sebenarnya merupakan hasil (output) penting dari sistem pangan (food system) yang berfungsi dengan baik.

Ketahanan pangan dan sistem pangan digerakkan oleh sejumlah faktor. Beberapa faktor tersebut diantaranya perubahan iklim, perubahan teknologi dan struktur pada sistem pangan (termasuk di dalamnya produksi, pemprosesan, distribusi, dan pasar), meningkatnya populasi, perubahan kekayaan, perubahan demografi, urbanisasi, respon terhadap bencana, dan perubahan pada ketersediaan dan penggunaan energi.

Secara global, sekitar 805 juta manusia berada dalam ketidakamanan pangan , dan setidaknya 2 miliar manusia hidup dalam kekurangan nutrisi . Bertentangan dengan hal ini, sekitar 2,5 miliar manusia justru mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Definisi FAO (Food and Agricultural Organization) – PBB menyebutkan bahwa “berkecukupan, aman, dan bernutrisi” adalah tujuan ketahanan pangan, sehingga kelebihan berat badan atau obesitas merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut karena berdampak buruk pada kesehatan.

Pada tahun 2006, MSNBC (salah satu saluran berita televisi kabel Amerika Serikat) melaporkan bahwa secara global, jumlah manusia yang mengalami kelebihan berat badan telah melebihi jumlah manusia yang kekurangan nutrisi. Dunia memiliki lebih dari 1 miliar manusia yang kelebihan berat badan dan diperkirakan terdapat sekitar 800 juta manusia yang kekurangan nutrisi. Menurut artikel BBC tahun 2004, China yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar sedang mengalami gejala epidemic obesitas (kelebihan berat badan). Di India, negara kedua terpadat dunia, sebanyak 30 juta penduduknya dimasukkan ke dalam peringkat penduduk yang mengalami kelaparan sejak pertengahan tahun 1990-an dan 46% anak-anak di India mengalami masalah kekurangan berat badan .

Pada tahun 2014, sebanyak sekitar 805 juta manusia hidup dalam ketidakamanan pangan. Angka ini merepresentasikan 11% populasi global. Angka ini turun dari sekitar 1,01 miliar (atau 19% dari populasi global) pada tahun 1990-1992 yang berarti telah terjadi perbaikan dalam ketahanan pangan dunia.

Sebagai informasi tambahan, dalam rentang waktu 2011-2013 diperkirakan sekitar 842 juta manusia menderita kelaparan kronis. FAO melaporkan bahwa hampir sekitar 870 juta orang kekurangan bahan pangan selama tahun 2010-2012. Ini merepresentasikan 12,5% populasi global, atau setiap 1 dari 8 orang mengalami kekurangan makanan. Sebanyak 6 juta anak-anak mati kelaparan setiap tahun setara dengan sebanyak 17 ribu per hari. Sebagian besar kelaparan terjadi di negara-negara berkembang. Menurut World Resources Institute, produksi makanan global per kapita telah meningkat selama beberapa dekade terakhir.

Pada akhir 2007, larangan ekspor dan terjadinya kepanikan dalam pembelian, depresiasi dolar US, meningkatnya lahan pertanian yang digunakan untuk memproduksi biofuel, harga minyak dunia yang tinggi, pertumbuhan populasi global, perubahan iklim, hilangnya lahan pertanian dan meningkatnya lahan perumahan dan industri, meningkatnya permintaan konsumen di China dan India, kesemuanya diklaim sebagai penyebab semakin meningkatnya harga bahan makanan pokok.

Namun demikian, peranan beberapa faktor tersebut masih dalam perdebatan. Meskipun demikian, huru hara pangan akhir-akhir ini terjadi di banyak negara di dunia. Terjadinya krisis kredit global telah mempengaruhi kredit pertanian, di samping terjadinya lonjakan harga komoditas. Ketahanan pangan merupakan topik yang kompleks, berdiri di titik potong dari banyak disiplin keilmuwan .


REFERENSI :
  1. Dalam FAO, 2006, Food Security, Policy Brief, Issue 2, June 2006, FAO’s Agriculture and Development Economics Division (ESA) with support from the FAO Netherlands Partnership Programme (FNPP) and the EC-FAO Food Security Programme
  2. Vermeulen and Campbell et al. 2012, dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 23
  3. Diffenbaugh et al. 2012, Hazell 2013, dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 23
  4. FAO et all. 2014, dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 13
  5. Pinstrup-Andersen, 2009, Barrett and Bevis 2015 dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 111
  6. Ng et al. 2014 dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 111
  7. Wikipedia, “Food Security”, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Food_security dikunjungi 9 Mei 2016
  8. Brown, M.E., et al. 2015, hal. 111
  9. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Food_security dikunjungi 9 Mei 2016
  10. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Food_security dikunjungi 9 Mei 2016
  11. Catatan : Satuan EJ = Exa Joule. Exa merupakan notasi angka senilai 1018, sementara Joule merupakan satuan energi.
  12. BP Technology Outlook, 2015, hal. 31


Jumat, 05 Januari 2018

KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI


Energi merupakan penggerak utama sistem ekonomi, sosial, dan produksi pangan. Produksi pertanian, penyimpanan makanan, dan elemen lainnya dari sistem pangan merupakan kegiatan yang membutuhkan energi. Oleh karena itu, harga energi direfleksikan pada setiap tahapan sistem pangan.

Hal ini kemudian mempengaruhi kemampuan akses konsumen terhadap pangan dengan pendapatan yang terbatas. Harga energi yang tinggi dapat juga mempengaruhi pasar komoditas, mendorong peningkatan produksi biofuel dan konversi penggunaan lahan yang semakin menjauhi kegiatan produksi pangan.

Namun demikian, Peneliti Massachutes Institute of Technology (MIT), didukung BP, menunjukkan bahwa pengaruh bisnis bioenergy skala besar secara global terhadap harga bahan makanan relatif rendah. Pemanfaatan bioenergy sebesar 150 EJ/tahun pada tahun 2050 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sekitar 3% jika dibandingkan dengan upaya bisnis as usual.

Hal ini disebabkan adanya peningkatan dan pengembangan teknologi, pemilihan benih, dan efisiensi pada kegiatan konversi bahan bakar dan produksi bahan pangan dimana selanjutnya dapat mengurangi kompetisi bisnis bioenergy dengan bisnis makanan dan lahan pertanian.

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi juga akan mempengaruhi volume konsumsi pangan dan juga energi. Sebagaimana kita ketahui, Thomas R. Malthus mengemukakan teori bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung belum dapat berlaku. Dari sini muncullah kekawatiran bahwa laju pertumbuhan penduduk akan lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan pangan. Dalam jangka panjang, manusia akan mengalami krisis sumber daya pangan. Maka dari itu laju pertumbuhan penduduk perlu ditekan.

Di sisi lain pertumbuhan penduduk yang tinggi juga akan mendorong meningkatnya kebutuhan energi. Sumber-sumber energi yang cukup dan handal semakin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dunia yang bahkan kini telah mencapai lebih dari 7 milyar jiwa.

Akan tetapi perlu kita yakini bersama bahwa para ilmuwan dan ahli teknologi akan terus mengupayakan lahirnya teknologi-teknologi baru. Melalui teknologi-teknologi baru inilah diharapkan nantinya kebutuhan manusia akan terus terpenuhi dengan cukup di masa akan mendatang, baik terhadap pangan maupun energi.

REFERENSI :
  1. Diffenbaugh et al. 2012, Hazell 2013, dalam Brown, M.E., et al. 2015, hal. 23
  2. Catatan : Satuan EJ = Exa Joule. Exa merupakan notasi angka senilai 1018, sementara Joule merupakan satuan energi.
  3. BP Technology Outlook, 2015, hal. 31

Rabu, 03 Januari 2018

PERDAGANGAN KARBON SEKTOR KEHUTANAN


Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar .

Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM).

Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan (dalam hal ini ditetapkan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan berupa hutan termasuk kategori ini). Namun demikian, proyek-proyek A/R CDM sampai saat ini hanya sebesar 0.29% dari total proyek CDM yang ditransaksikan (data Juli 2009).

Pasar CDM didominasi oleh proyek-proyek industri energi 56%, disusul oleh proyek-proyek dibidang penanganan limbah/sampah 17%, fugitive emission of fuels (6%), pertanian (5%), dan industri manufaktur (4,8%). Dalam skema voluntary, prosentase proyek sektor kehutanan lebih besar yaitu sekitar 14.5% dari total nilai transaksi perdagangan karbon voluntary. Proyek kehutanan dalam skema voluntary diantaranya juga berupa proyek-proyek yang bersifat avoided deforestation.

Pasar karbon sektor Kehutanan kemungkinan besar akan bertambah besar terkait dengan isu REDD. Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang kemungkinan besar akan diadopsi dalam COP di Kopenhagen Denmark tahun 2012 mendatang, akan memperluas prospek sektor kehutanan dalam perdagangan karbon. Deforestasi sebagian besar disumbang oleh negara-negara berkembang dan setengahnya dilakukan oleh 2 negara yaitu Brasil dan Indonesia. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan berarti mengurangi emisi.

Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD+.

Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air .

Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED (satu D), yang berkembang menjadi REDD (dua D) di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+ (dengan Plus, masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007.

Pada prinsipnya konsep REDD+ mengacu kepada dua aspek kegiatan yaitu :
  1. Pengembangan mekanisme memberi imbalan pada negara berkembang yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi;
  2. Kegiatan persiapan yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme REDD+.

REFERENSI :
  1. McKinsey Company, 2009; dalam Kardono, 2010, hal. 4
  2. NRDC, 2013, Modul Konsep REDD+ dan Implementasinya, Natural Resources Development Center, The Nature Conservancy Program Terestrial Indonesia, Jakarta November 2013, hal. 11
  3. NRDC, 2013, hal. 13

Selasa, 02 Januari 2018

PROTOKOL KYOTO


Masyarakat internasional mulai melakukan upaya-upaya untuk menghadapi fenomena perubahan iklim. Hal ini dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties (COP) pertama di Berlin, Jerman.

Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990. Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri. Ketiga mekanisme tersebut adalah:
  1. Clean Development Mechanism (CDM)
  2. Joint Implementation (JI)
  3. Emission Trading

CDM memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi sesuai komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Untuk dapat “menjual” karbonnya suatu negara harus mendapat Certified Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk pasar karbon.

Joint Inplementation (JI) memberi keleluasaan bagi negara-negara yang ditarget penurunan emisi (negara-negara industri) untuk mendapatkan Emission reduction Unit (ERU) dari proyek penurunan/penyerapan emisi di negara yang ditarget penurunan emisi lainnya. Cara kerja JI sama dengan CDM. Hanya saja negara inang (host country) proyek ini bukanlah negara berkembang, melainkan sesama negara maju yang masuk dalam kelompok annex I country.

Emission trading pada prinsipnya adalah perdagangan karbon dengan cap-and-trade system di bawah Protokol Kyoto. Negara yang telah dibatasi emisinya diperbolehkan memperdagangkan karbon dengan satuan yang disebut AAUs (Assigned Amount Units) .

REFERENSI :
Kardono, 2010, Info PUSTANLING, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, Vol. 12, No. 1. September 2010, hal. 2

Senin, 01 Januari 2018

GAS RUMAH KACA


Perubahan iklim menunjukkan suatu kondisi perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu .

Penyebab utama fenomena perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer bumi. GRK merupakan kelompok zat, yang terdiri dari sekitar 30 senyawa (gas), yang dapat memicu terjadinya perubahan iklim.

Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total . Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen . Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain.

CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua (setelah uap air), dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

GRK ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Selain itu GRK juga dihasilkan dari kegiatan pertanian, peternakan maupun aktifitas manusia lainnya. Aktivitas-aktivitas manusia mengeluarkan GRK dalam jumlah yang bervariasi.

Pada level tertentu, keberadaan GRK membuat bumi tetap hangat dan nyaman untuk ditinggali. Namun, sejak revolusi industri 250 tahun yang lalu, konsentrasi GRK di atmosfer telah meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan. Pada masa pra industri, konsentrasi kabon dioksida di atmosfer adalah 278 ppm. Pada tahun 2005 angka ini meningkat tajam menjadi 379 ppm.

Tumpukan GRK menyelubungi atmosfer bumi. Sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi tidak dapat dipantukkan kembali ke amgkasa karena terhalang oleh selubung GRK di atmosfer. Hal ini kemudian menyebabkan temperatur di permukaan bumi meningkat yang selanjutnya menyebabkan perubahan iklim secara global melalui pemanasan global pada permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. Pemanasan global yang tak terkendali menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan kehidupan di permukaan bumi.

REFERENSI :
  1. UNFCCC, dalam Kardono, 2010, Info PUSTANLING, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, Vol. 12, No. 1. September 2010, hal. 2
  2. WRI, 2005; dalam IEA, 2005a, dalam Alek Kurniawan, 2015, hal. 29
  3. IEA, 2005 dalam ibid

Minggu, 31 Desember 2017

LAHAN KRITIS


Lahan kritis adalah suatu lahan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau yang diharapkan. Lahan kritis dapat juga disebut sebagai lahan yang tidak produktif. Meskipun dikelola, produktivitas lahan kritis sangat rendah. Bahkan hasil produksi yang didapatkan jauh lebih rendah daripada biaya produksinya. Lahan kritis bersifat tandus, gundul, dan tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburuannya sangat rendah.

Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang karena tidak sesuai dengan penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Sedangkan Departemen Kehutanan (1985) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang sudah tidak dapat berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25 persen, topografi dengan kemiringan lebih dari 15 persen, dan/atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet erosion), dan erosi parit (gully erosion). Kedua definisi lahan kritis tersebut jelas menunjukkan sesuai mandat dari masing-masing institusinya.

Lahan kritis merupakan “bentuk” atau “keragaan” (performance) sumber daya lahan yang mengalami kemunduran produktivitas (degradasi) akibat proses kerusakan yang disebabkan oleh berbagai sumber penyebab.

UNEP (1992) mendefinisikan degradasi lahan (land degradation) sebagai proses kemunduran produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik sementara maupun tetap, yang meliputi berbagai bentuk penurunan produktivitas tanah (soil degradation), pengaruh manusia terhadap sumber daya air, penggundulan hutan (deforestation), dan penurunan produktivitas padang penggembalaan.

Degradasi tanah (soil degradation) adalah proses kemunduran produktivitas tanah, yang disebabkan oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan produktivitasnya pada saat ini dan/atau di masa yang akan datang dalam mendukung kehidupan mahluk hidup. Salah satu contoh bentuk degradasi tanah adalah berkurang/hilangnya sebagian atau seluruh tanah lapisan atas (top soil), berkurangnya kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta berubahnya beberapa sifat fisik tanah, seperti struktur tanah, pori aerasi atau pori drainase cepat menjadi lebih buruk. Akibat degradasi tanah adalah hasil tanaman mengalami penurunan drastis, kualitas fisik dan kimia tanah juga menurun, dan pada akhirnya tanah tersebut menjadi kritis.

Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan erosi yang dipercepat (accelerated) oleh aktivitas manusia. Erosi tersebut mengakibatkan turunnya kualitas sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Hal ini menyebabkan berkurangnya hasil tanaman, serta hilangnya bahan organik dan unsur-unsur hara tanah karena hanyut terbawa oleh aliran permukaan. Erosi karena hujan menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas yang relatif lebih subur dibandingkan dengan tanah lapisan di bawahnya. Apabila terjadi hujan, tanah lapisan atas akan kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah dalam jumlah besar bersama-sama dengan tanah yang tererosi dan hanyut terbawa oleh aliran permukaan.

Kehilangan hara dan bahan organik tanah yang besar juga dapat terjadi pada areal hutan yang baru dibuka untuk pertanian, perkebunan, pemukiman/transmigrasi. Selain terjadi kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah, erosi yang disebabkan oleh hujan dapat menyebabkan memadatnya permukaan tanah dan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, sehingga volume aliran permukaan meningkat, dan berdampak pada meningkatnya debit sungai dan banjir.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Adanya genangan air pada lahan secara terus-menerus, seperti yang terjadi di daerah pantai dan rawa-rawa.
  2. Terjadinya kekeringan dalam waktu lama yang biasanya terjadi di daerah bayangan hujan.
  3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah miring lainnya.
  4. Pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi di dataran tinggi, pegunungan. Daerah yang miring maupun di dataran rendah.
  5. Masuknya material yang dapat bertahan lama dan tidak teruraikan di lahan pertanian, misalnya plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian lahan pertanian.
  6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi.
  7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah sehingga mengganggu kesuburan tanah.

Lahan kritis di Indonesia pada awal tahun 2000 mencapai 23,25 juta hektar. Pada tahun 2007, luas lahan kritis bertambah menjadi 77,8 juta hektar. Sebanyak 26,77 juta ha berada di luar kawasan hutan, dan 51,03 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Apabila diperhatikan, ternyata total kerusakan lahan di dalam kawasan hutan lebih luas dibandingkan yang di luar kawasan hutan. Dalam kurun waktu yang relatif pendek, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan bertambah hampir 2 kali di luar kawasan hutan, dan lebih dari 8 kali di dalam kawasan hutan. Peningkatan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan yang sangat besar diperkirakan karena terjadi peningkatan laju deforestasi yang sangat cepat .

Deforestasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya lahan kritis. Deforestasi (penggundulan hutan/deforestation) adalah istilah untuk menyebutkan perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi) .

Data Kementerian Kehutanan melaporkan angka deforestasi rata-rata tahunan periode 2006-2009 mencapai 0,83 juta ha per tahun. Deforestasi terbesar terjadi di dalam kawasan hutan mencapai 73,4% sedangkan diluar kawasan hutan, sebesar 26,6% . Menurut data statistik Kementerian Kehutanan tahun 2011, laju deforestasi di Indonesia pada periode 2000-2010 melesat hingga 1,2 juta hektar hutan alam setiap tahun .

REFERENSI :
  1. dalam Suradisastra, Kedi dkk (ed). 2010, Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air, PT Penerbit IPB Press : Bogor, hal. 145
  2. dalam Suradisastra, Kedi dkk (ed), 2010, hal. 145
  3. Suradisastra, Kedi dkk (ed), 2010, hal. 147
  4. Kemenhut, 2012, Pidato Kemenhut : Bahan Wawancara Menteri Kehutanan Dengan Cnn Mengenai Deforestasi (2), Jakarta, Februari 2012 Pusat Hubungan Masyarakat, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, dalam http://ppid.menlhk.go.id/pidato_kemenlhk/browse/4
  5. Maman Herman dkk, 2013, hal. 59
  6. WWF-Indonesia/Mubariq Ahmad, “Kehutanan”, dalam www.wwf.or.id/program/ reduksi_dampak_lingkungan/kehutanan/

Sabtu, 30 Desember 2017

POTENSI KEMIRI SUNAN SEBAGAI SALAH SATU BAHAN BAKU BIODIESEL


Kemiri Sunan memiliki nama latin Reutealis trisperma / Blanco Airy Shaw. Nama lokal atau nama lainnya dari kemiri sunan adalah kemiri cina, kemiri racun, muncang leuweung, jarak bandung, jarak kebo, kaliki banten, kemiri minyak, kemiri laki.

Disebut kemiri cina karena pada awalnya tanaman ini dikembangkan secara besar-besaran dalam area perkebunan di daerah Karawaci dan Cilongok (Tanggerang) sebagai tanaman penghasil minyak yang dimanfaatkan untuk pengawet kayu pada perahu oleh pedagang yang berasal dari Cina .

Sebutan Kemiri Cina ini menjadi lebih populer di Jawa. Sedangkan di Majalengka, Sumedang, dan Garut, kemiri sunan dikenal sebagai Jarak Bandung, Kaliki Banten, atau Kemiri Racun. Penamaan Kemiri Sunan baru muncul sekitar tahun 2007 yakni ketika Pesantren Sunan di Jawa Timur berupaya mengembangkannya .

Kemiri sunan merupakan tanaman non pangan sehingga pemanfaatannya sebagai bahan baku biodiesel tidak akan berkompetisi kebutuhan pangan. Di Indonesia, banyak tanaman penghasil minyak yang dapat dikategorikan sebagai minyak nonpangan antara lain, kepuh (Sterculia foetida L.), kipahang laut (Pongamia pinnata), kesambi (Schleichera oleosa), bintaro (Cerbera manghas), jarak pagar (Jatropha curcas) dan kemiri sunan (Reutalis trisperma).

Ditinjau dari potensi biji, produktivitas biji kemiri sunan dapat mencapai 12 ton biji/ha/tahun bila dibandingkan dengan jarak pagar yang hanya mencapai 10 ton/ha/tahun. Rendemen minyaknya mencapai 50% . Kandungan minyak yang relatif tinggi merupakan potensi utama karena dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati (BBN). Rendemen minyak tertinggi tanaman kemiri sunan berada di bagian kernel. Cara yang dapat digunakan untuk mengekstrak minyak dari kernel kemiri sunan dapat dilakukan dengan pelarut (kimiawi) maupun dengan pengepresan (mekanis) .

Hingga kini, telah terdapat dua varietas unggulan kemiri sunan, yakni yang disebut Kemiri Sunan-1 dan Kemiri Sunan-2. Apabila dimaksudkan untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel, maka disarankan untuk menggunakan Kemiri Sunan-2. Hal ini karena terdapat beberapa kelebihan, seperti nilai rendemen yang lebih tinggi dan asam lemak bebas yang lebih rendah. Kemiri Sunan-2 memiliki rendemen sebesar 47,21 – 56% sedangkan Kemiri Sunan-1 hanya sebesar 38,10 – 42%. Dapat dikatakan, Kemiri Sunan-1 lebih sesuai untuk digunakan sebagai tanaman konservasi lahan, sedangkan Kemiri Sunan-2, selain untuk konservasi lahan, juga lebih sesuai dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel .

Dari sisi produktivitas minyak kasar, Balitbang Pertanian Kementan menyebutkan bahwa kemiri sunan memiliki produktivitas lebih baik dibandingkan sumber biodiesel lainnya seperti jarak pagar, kesambi, nyamlung. Akan tetapi produktivitas kemiri sunan masih sedikit lebih rendah dibandingkan kelapa sawit. Kemiri sunan dapat memproduksi minyak kasar sebesar 6 – 7 ton minyak per hektar per tahun, sedangkan minyak kelapa sawit memproduksi 5 – 8 ton minyak per hektar per tahun. Populasi kemiri sunan per hektarnya dapat mencapai 150 pohon.

Kemiri sunan sudah mulai berbuah pada umur tanam 4 tahun dan mulai mencapai puncaknya pada umur 8 tahun. Produktivitas biji mencapai 50-300 kilogram biji per pohon per tahun. Rendemen minyak kasar sekitar 52% dari kernel biji. Rendemen biodiesel sekitar 88% dari minyak kasar, dan sisanya adalah gliserol .

Kemiri sunan merupakan tanaman yang multifungsi. Selain minyak dari inti bijinya (kernel) dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel, ternyata kemiri sunan dapat juga diekstrak lebih lanjut sebagai bahan baku cat, tinta, pernis, pengawet kayu, kosmetik dan farmasi. Kulit buah, bungkil dan gliserol dapat digunakan sebagai penghasil pupuk organik, biopestisida, produk kesehatan dan kosmetik, serta produk bahan bakar lain berupa briket dan biogas.

Tidak hanya itu, banyak keuntungan lainnya dari pembudidayaan dan penanamannya. Kemiri sunan dapat dimanfaatkan sebagai tanaman konservasi di lahan kritis, reboisasi hutan, reklamasi lahan bekas pertambangan, penghijauan, dan revegetasi. Kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air dapat membantu penyuburan tanah dan sekaligus menjadi sumber-sumber resapan air serta mencegah erosi, kekeringan, dan banjir. Penanaman pohon kemiri sunan juga akan dapat membantu memperbanyak sumber penyerapan emisi CO2 sehingga dapat membantu mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Pembudidayaan kemiri sunan, selain bermanfaat untuk lingkungan hidup, juga dapat memiliki dampak sosial yang positif. Program pembudidayaan kemiri sunan dapat membantu program peningkatan taraf perekonomian masyarakat. Dengan demikian, memacu pembudidayaan dan penanaman kemiri sunan sesegera mungkin merupakan upaya yang cukup layak dilakukan.

Pembudidayaan kemiri sunan tidak serta merta harus tergantung pada naik-turunnya harga minyak dunia. Memang ada kecenderungan bahwa bisnis biofuel seperti biodiesel akan semakin kompetitif ketika harga minyak dunia tinggi. Akan tetapi pengembangan kemiri sunan dapat dilakukan semenjak dini yaitu pertama-tama dapat ditujukan sebagai tanaman konservasi. Di masa mendatang, ketika minyak bumi semakin langka dan mahal karena sifatnya yang tidak renewable, maka diharapkan kemiri sunan yang sudah banyak tertanam dan menyebar, siap digunakan secara masif sebagai bahan baku biodiesel.

Pemanfaatan kemiri sunan sebagai bahan baku biodiesel berarti juga upaya meningkatkan ketahanan energi nasional. Selama ini, bahan baku biodiesel Indonesia didominasi minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit sebenarnya juga merupakan bahan baku pangan. Oleh karena itu, penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel menyebabkan timbulnya kompetisi dan mengganggu ketahanan pangan. Kemiri sunan dapat menjadi alternatif bahan baku biodiesel yang tidak berkompetisi dengan bahan pangan. Dengan semakin bervariasinya sumber bahan baku biodiesel, dan tidak tergantung pada kelapa sawit, maka ketahanan pasokan biodiesel semakin terjamin. Sedangkan biodiesel dapat menjadi alternatif bahan bakar minyak diesel, yang berarti menambah pilihan bagi pengguna energi, terutama yang menginginkan bahan bakar yang ramah lingkungan.

Dalam upaya merealisasikan hal ini tentunya dibutuhkan komitmen bersama. Tidak hanya dibutuhkan koordinasi di lingkungan Kementerian terkait, tetapi juga perlu dukungan penuh pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, lembaga penelitian dan akademisi serta pihak swasta dan swadaya masyarakat.


REFERENSI :
  1. Kementan, 2011a; 2011b, dalam Asif Aunillah dan Dibyo Pranowo, 2012, hal. 194
  2. Herman dan Pranowo, 2011, dalam ibid
  3. Pranowo, Dibyo dkk. 2014, hal. 6
  4. dalam http://m.liputan6.com/bisnis/read/821947/tanaman-kemiri-sunan-dikembangkan-untuk-bisa-kurangi-impor-bbm#, dikunjungi 8
  5. Februari 2016

  6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2014

  7. Maman Herman dkk, 2013, hal. 3

  8. Hadad, 2010, loc. cit.

Sabtu, 25 November 2017

PERILAKU KONSUMEN MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ENERGI MASA DEPAN


Telah berlalu sekitar 1 abad sejak umat manusia mengeksploitasi sumber-sumber energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) secara masif. Penemuan mesin uap mendorong penggunaan batu bara secara besar-besaran. Hal ini mendorong revolusi industri. Terjadi urbanisasi dari desa ke kota. Tak lama kemudian, setelah kendaraan berbahan bakar minyak (bensin dan diesel) dapat diproduksi secara massal dan semakin ekonomis, maka eksploitasi terhadap sumber-sumber minyak bumi semakin gencar. Gas bumi/alam baru termanfaatkan belakangan dalam jumlah besar, seiring dengan perkembangan teknologi pemprosesan dan transportasi gas alam yang semakin canggih dan ekonomis.

Selanjutnya, di era kini, mulai muncul isu-isu terkait lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini CO2, ditengarai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Indikator-indikator yang biasanya diangkat adalah kualitas udara yang semakin menurun di perkotaan dan daerah industri, mencairnya es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan air laut, terbentuknya lubang pada lapisan ozon, bencana alam yang semakin sering terjadi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, penggunaan energi fosil dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian lingkungan di masa depan.

Isu-isu tersebut memberi dorongan untuk beralih ke energi terbarukan. Maka teknologi energi terbarukan diperkenalkan, walau harganya masih relatif jauh lebih tinggi dari energi fosil. Pemerintah-pemerintah dunia semakin marak berpartisipasi dalam program-program berkenaan dengan perlindungan lingkungan. Perusahaan-perusahaan migas didorong untuk semakin menurunkan tingkat emisinya dan semakin efisien. Manufaktur-manufaktur kendaraan dan mesin didorong untuk mengeluarkan varian kendaraan dan alat yang menggunakan energi non fosil. Proyek-proyek energi terbarukan diberi insentif-insentif untuk semakin menarik minat investor.

Walaupun demikian, dalam praktek dan kenyataannya, upaya-upaya beralih ke penggunaan energi terbarukan ini dinilai masih sangat lambat. Mahalnya biaya teknologi energi terbarukan dan kurangnya fleksibilitas (karena sangat tergantung pada kondisi alam dan mahalnya investasi untuk penyimapan energi) seringkali menjadi alasan keengganan perubahan perilaku di sisi pengusaha energi dan manufaktur dan termasuk juga para pengambil kebijakan. Pada akhirnya, target-target kebijakan lingkungan dan komitmen-komitmen lingkungan tidak mampu tercapai dan terkesan hanya menjadi komoditas politik belaka.

Namun berbeda halnya pada sektor end user (pengguna akhir) energi. Kita bisa melihat akhir-akhir ini semakin banyak muncul tokoh-tokoh futuris yang menyuarakan perubahan. Mereka memperkenalkan teknologi-teknologi masa depan yang terlihat keren, membuat hidup semakin praktis, dengan harga semakin terjangkau. Seolah membuat nyata teknologi-teknologi yang selama ini hanya ada di kisah science fiction (fiksi ilmiah). Mereka terus berinovasi tiada henti. Di satu sisi membuat orang-orang tercengang. Di sisi lain membuat deg-degan para pelaku industri & bisnis eksisting karena adanya kemungkinan perubahan radikal dalam proses bisnis eksisiting sebagai akibat masuknya teknologi-teknologi baru yang mereka perkenalkan.

Ada kendaraan listrik, kendaraan tanpa pengemudi, robot, kecerdasan buatan (artificial intelligence), virtual & augmented reality, internet of things, cloud & big data, dll. Pengenalan teknologi-teknologi tersebut menuntut semua aktivitas manusia untuk berubah mengikuti tren teknologi yang digandrungi masyarakat.

Tenaga-tenaga manusia/manual ssuatu saat mungkin dapat digantikan oleh tenaga robot dan artificial intelligence. Tuntutan proses produksi agar semakin efisien akan menyebabkan perusahaan dan pabrik semakin gencar memanfaatkan teknologi-teknologi canggih dan otomatisasi. Hal ini mendorong pengurangan peranan dan jumlah tenaga manusia yang dipekerjakan. Akan tetapi ruang-ruang lapangan kerja baru mungkin juga dapat tercipta dan secara perlahan memaksa masyarakat masa depan beralih ke bidang-bidang pekerjaan baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya.

Perkembangan teknologi-teknologi baru tersebut, sangat memungkinkan mendorong terjadinya perubahan perilaku konsumen (end user). Dan perubahan prilaku konsumen inilah yang nantinya mendorong secara masif para produsen dan pelaku bisnis untuk mengikuti dan menyesuaikan kebutuhan konsumen dengan paradigma baru tersebut. Contohnya saja pada pengenalan smartphone layar sentuh. Para produsen awalnya belum ada yang berani mengeluarkan produk smartphone dengan layar sentuh. Namun ketika ada salah satu produsen mengeluarkan produk handphone layar sentuh dan sukses di pasaran, maka kemudian hampir semua produsen smartphone langsung mengeluarkan produk-produk smarphone layar sentuh.

Sementara itu, dalam komunitas konsumen energi, juga sangat memungkinkan mengalami perubahan. Mungkin saja, konsumen di masa depan akan lebih memilih penggunaan kendaraan listrik untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil, karena dianggap lebih keren, lebih murah, lebih sehat, tidak berisik, lebih murah ongkos perawatan, dan pertimbangan lainnya. Ibu rumah tangga juga mungkin akan lebih memilih kompor listrik ketika kompor listrik harganya lebih murah, dan biaya bulanannya lebih murah, dan mungkin juga dianggap lebih keren dari kompor gas LPG, lebih prestisius. Industri pengguna energi mungkin saja juga akan lebih banyak menggunakan alat-alat canggih yang menggunakan teknologi komputer cerdas. Misalkan sistem otomatisasi pabrik, robot, artificial intelligent, 3D printer, dan lain-lain. Hal ini karena tuntutan pasar yang memaksa mereka untuk beroperasi secara lebih praktis, efisien, aman (safe), memenuhi regulasi lingkungan, dan alasan lainnya. Bisa saja dorongan perubahan perilaku konsumen bukan lagi disebabkan oleh faktor harga yang lebih murah. Konsumen masa depan bisa saja bersedia membayar lebih mahal demi memenuhi tuntutan paradigma masyarakat baru. Semuanya serba memungkinkan terjadi di masa depan.

Perubahan-perubahan yang dipacu penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut memang tidak menentu. Banyak prediksi, proyeksi, dan spekulasi. Namun satu hal yang kemungkinan pasti, bahwa penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut mengindikasikan kebutuhan energi listrik yang semakin besar di masa depan. Teknologi-teknologi masa depan semakin tergantung pada energi listrik untuk dapat beroperasi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah darimanakah umat manusia di masa depan menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar, stabil, dan murah. Seperti diketahui bersama, energi listrik harus dihasilkan/dibangkitkan dari sumber energi lain. Bisa dari energi fosil (minyak bumi, batubara, dan gas alam), bisa juga dari energi terbarukan, dan bisa dari energi baru (misal nuklir).

Konsumen energi yang semakin tergantung pada teknologi-teknologi bertenaga listrik tersebut, akan sangat berperan dalam pola penggunaan energi di masa depan. Tentu saja hal ini juga akan mendorong inovasi-inovasi teknologi pembangkitan energi listrik secara cepat. Teknologi batere bisa semakin murah dan canggih dan lifetime (umur pakai) lebih panjang. Teknologi energi terbarukan bisa saja semakin ekonomis dan fleksibel dan terintegrasi dengan teknologi penyimpanan energi yang murah dan canggih serta terhubung secara lancar dengan jaringan listrik pintar. Teknologi energi nuklir mungkin saja semakin aman dan murah. Dan mungkin juga, teknologi pembangkit listrik dari energi fosil juga akan ikut berbenah dan semakin mampu memenuhi tuntutan kebijakan lingkungan, semakin efisien dan semakin murah.

Semua sumber energi tersebut, baik energi fosil, energi terbarukan, dan energi baru, akan berkompetisi semakin ketat. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan energi di end user yang semakin banyak dimanjakan teknologi-teknologi baru yang semakin tergantung pada tenaga listrik. Perilaku konsumen dalam menyikapi kehadiran teknologi-teknologi baru tersebut akan mempengaruhi pola penggunaan energi di masa depan.

Jumat, 24 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (2)


Pendekatan “holistik” antara perubahan iklim dengan keamanan energi, secara narasi adalah: “Pertumbuhan penggunaan energi oleh manusia yang berasal dari bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global”. Oleh sebab itu perubahan iklim harus diakui sebagai sebuah masalah keamanan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Dengan demikian narasi holistik (menyeluruh) tadi menjadi berlanjut, yaitu bahwa perubahan iklim tidak hanya sekedar sebuah ancaman terhadap keamanan global melainkan juga sebuah “pelipat ganda” ancaman, dalam kaitannya dengan keamanan energi. Berangkat dari contoh kasus “migrasi masal pengungsi untuk berlindung dari bencana ekologi dapat mendestabilisasi wilayah-wilayah di dunia”, solusi terhadap perubahan iklim harus merupakan bagian dan paket dari strategi keamanan energi nasional dan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Jika ada ketidaknyamanan kebenaran yang terkait dengan sistem energi yang ada, hal itu disebabkan masyarakat tidak bisa menyuarakan perubahan iklim dan keamanan energi secara serentak. Sebaliknya, terlalu banyak memberikan penekanan terhadap salah satunya maka akan memperparah yang lain. Pernyataan ini tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada kebijakan maupun teknologi yang dapat menyatakan keduanya. Efisiensi, konservasi, dan pemanfaatan teknologi bersih secara umum bermanfaat untuk menurunkan emisi CO2 maupun meningkatkan keamanan energi secara serempak. (World Economic Forum, 2012).

Secara teknis, upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi perubahan iklim dapat dilakukan melalui pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, baik dengan penghematan dan konservasi energi yang ketat, serta beralih kepada sumber energi yang rendah karbon atau sumber energi non fosil. Di masa depan, saat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture & storage – CCS) semakin ekonomis, maka opsi ini juga merupakan upaya yang secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon. (World Economic Forum, 2012).

Kenyataannya, pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, dan urbanisasi, telah memicu peningkatan konsumsi energi, makanan, dan air bersih. Ketika permintaan masyarakat akan air bersih bertambah, maka sumber-sumber air bersih akan semakin langka. Karenanya akan dibutuhkan tambahan konsumsi energi untuk melakukan pemompaan, desalinasi, treatment dan distribusi air. Penarikan air tanah tahunan pada sektor energi seperti pada pertambangan, pemprosesan, pengolahan, dan pembangkitan listrik, terhitung sebanyak sekitar 15% dari pemanfatan air bersih total dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan dalam satu dekade ke depan. Sektor agrikultural bahan pangan juga tercatat mengkonsumsi sekitar 30% energi dunia dan mengkonsumsi 70% air bersih dunia. (REN21, 2015).

Ketika permintaan bahan pangan tumbuh, maka konsumsi energi dan air juga akan ikut tumbuh. Dalam rangka memutus keterkaitan yang selaras di antara ketiga komponen ini (air, pangan, dan energi) maka pemanfaatan energi terbarukan dapat mengambil peranan. Sejumlah bentuk energi terbarukan berpotensi dapat membantu mengurangi konsumsi air bersih dalam proses pembangkitan energi, misalkan dengan pemanfaatan energi matahari dan angin. (REN21, 2015).

Di sektor agrikultur bahan pangan, pemanfaatan energi terbarukan juga dapat membantu mengurangi ketergantungan harga bahan pangan terhadap harga bahan bakar fosil. Beberapa aktivitas pengolahan makanan seperti misalnya dalam proses pendinginan dan pengeringan, dan juga pendistribusian, energi terbarukan memiliki potensi untuk masuk dan mengurangi peranan energi fosil. Bahkan sampah bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi terbarukan sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian energi terbarukan dapat berperan cukup signifikan dalam peningkatan ketahanan energi, ketahanan pangan, dan sekaligus ketahanan air bersih. (REN21, 2015).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia


Kamis, 23 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (1)


Pemanfaatan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) untuk memproduksi energi merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total (WRI, 2005; dalam IEA, 2005a). Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen (IEA, 2005a).

Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Secara umum, gas rumah kaca terbentuk secara alami di lingkungan. Namun demikian, sejumlah aktivitas manusia di bidang industri telah berkontribusi menambah peningkatan produksi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan kadar gas rumah kaca ini semakin tinggi sehingga berada pada level yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan.

Uap air merupakan komponen gas rumah kaca terbesar. Namun demikian peningkatan uap air di udara dapat menjadi umpan balik positif (penyeimbang) terhadap peningkatan gas rumah kaca lain. Hal ini karena kadar uap air dapat meningkat seiring dengan peningkatan temperatur.

Berbeda halnya dengan uap air, CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua, dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

Peningkatan komposisi gas rumah kaca di atmosfer akan menyebabkan pemanasan temperatur bumi dan secara global akan menyebabkan perubahan iklim. Mencairnya es di daerah kutub, peningkatan level air laut, ditengarai menjadi indikasi telah naiknya temperatur bumi. Hal ini dinilai mengancam eksistensi manusia di masa depan. Dengan demikian, mencegah perubahan iklim tidak dapat secara sukses dilakukan tanpa melakukan perubahan secara radikal dalam cara kita memproduksi, mengolah, dan menggunakan energi. (IEA, 2007).

Dewasa ini, telah cukup populer upaya-upaya pakar lingkungan untuk menghubungkan isu perubahan iklim dengan energy security. Hal ini dinilai dapat meningkatkan perhatian politik mengenai pentingnya tindakan yang lebih serius dalam upaya mencegah perubahan iklim. Segala upaya yang mengarah kepada pengembangan sistem energi yang lebih handal juga diharapkan dapat mengurangi emisi yang dihasilkan. Sebagai contoh, semakin besar upaya-upaya efisiensi energi yang dilakukan, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan kedua program tersebut. (World Economic Forum, 2012).

Kebijakan yang ditujukan untuk energy security yang dihubungkan dengan konsentrasi sumber energi akan memberi dampak terhadap pengurangan perubahan iklim dan juga sebaliknya. Pada kedua kasus tersebut, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan secara tepat merupakan yang paling besar pengaruhnya terhadap pemilihan bahan bakar. Pada energy security, targetnya adalah untuk menjauhi sumber bahan bakar yang rentan terhadap gangguan, sedangkan pada isu perubahan iklim, targetnya adalah untuk mengurangi intensitas penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon. (IEA, 2007).

Secara teoritis, upaya untuk menghubungkan sasaran energy security dengan sasaran isu perubahan iklim dapat mendorong kemajuan yang lebih baik pada kedua sisi. Akan tetapi, dalam prakteknya, upaya menghubungkan energy security dengan perubahan iklim ini membuahkan hasil positif yang relatif kecil. Hal ini disebabkan upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan lebih dikendalikan oleh faktor kelayakan politik dibandingkan visi praktis mengenai apa yang secara realistis dapat dicapai dari kebijakan lingkungan. (World Economic Forum, 2012).

Para pembuat kebijakan cenderung untuk menentukan sasaran yang tidak dapat dicapai dalam upaya mengurangi emisi, sedangkan langkah nyata untuk mencapainya cenderung dilakukan dengan sangat lambat. Upaya-upaya yang mendorong terjadinya perubahan sistem energi yang mendukung tercapainya target perbaikan lingkungan tampak tidak dijalankan secara serius. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap program-program perbaikan lingkungan. Kurangnya kepercayaan publik, pada gilirannya, telah mengurangi minat pelaku industri untuk berinvestasi di teknologi baru yang dibutuhkan yang mendukung tercapainya target-target kebijakan lingkungan. Para pelaku industri semakin sadar bahwa sasaran kebijakan lingkungan yang dirumuskan pemerintah merupakan sasaran yang tidak akan mampu dicapai. (World Economic Forum, 2012).

Upaya perbaikan terhadap sistem kebijakan yang bermasalah seperti ini membutuhkan upaya-upaya perbaikan pada tiga bidang. Pertama, adalah menyusun sasaran yang lebih realistis. Kedua, adalah fokus pada mekanisme pasar yang dapat menumbuhkan kompetisi yang sehat dari semua teknologi energi. Ketiga, adalah merangkul dampak-dampak dari globalisasi. Kebangkitan pasar global untuk teknologi energi dan bahan bakar merupakan potensi yang besar dalam perjuangan untuk menjamin energy security, sementara di sisi lain melakukan upaya mengurangi produk emisi karbon pada pemanfaatan energi (decarbonizing). Pasar global akan mengembangkan pasokan dan mendiversifikasi sistem energi. (World Economic Forum, 2012).

To Be Continued..............

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia

Sabtu, 21 Oktober 2017

FENOMENA KIDS ZAMAN NOW


Akhir-akhir ini muncul istilah yang disebut sebagai fenomena Kids Jaman Now. Ini adalah istilah untuk menggambarkan aktivitas anak-anak/remaja era ini yang tampak aneh bagi generasi-generasi yang lebih tua.

Bagi generasi yang lebih tua, yakni mereka yang masa anak-anak/remajanya berada di tahun 80-an dan 90-an, masa anak-anak dan remaja mereka lebih banyak diisi dengan aktivitas permainan tradisional dan aktivitas di luar rumah. Misalnya seperti main petak umpet, main layang-layang, kelereng, menyaksikan film kartun, dll. Bagi mereka, aktivitas seperti inilah yang seharusnya dilakukan di masa anak-anak dan remaja.

Sedangkan anak-anak/remaja zaman sekarang, aktivitasnya cukup berbeda dengan anak-anak/remaja di generasi sebelumnya. Berhubung semakin tersedia koneksi internet dan gadget maka arus informasi semakin cepat dan dapat diakses siapa saja. Banyak anak-anak zaman sekarang yang telah terbiasa dengan aktivitas yang melibatkan teknologi. Misalkan berfoto selfie dengan pose-pose aneh, menghabiskan waktu main gadget dan seperti tidak memperdulikan lingkungan sekitar, update status dan curhat di media sosial, pacaran (cenderung tidak terkontrol dan mengarah ke pergaulan bebas karena dipengaruhi akses pornografi yang semakin mudah), menyaksikan sinetron yang barangkali sebenarnya tidak sesuai dengan umurnya, dan lain-lain. Aktivitas-aktivitas anak-anak/remaja zaman ini tentu tampak aneh bagi generasi sebelumnya. Aktivitas mereka sangat berbeda dengan apa yang dilakukan generasi sebelumnya saat mereka masih anak-anak/remaja dulu.

Anggap saja generasi anak-anak Indonesia dibagi menjadi beberapa era :
  • Generasi Kids Jaman Now
  • Generasi anak-anak/remaja era Reformasi
  • Generasi anak-anak/remaja era Orde baru
  • Generasi anak-anak/remaja era Revolusi/orde lama
  • Generasi anak-anak/remaja era Perjuangan Kemerdekaan.
  • Generasi anak-anak/remaja era Kolonial

Dari contoh pembagian era generasi anak-anak/remaja, maka kemudian dapat kita renungkan bersama. Barangkali apa yang dulu kita lakukan saat masih anak-anak / remaja juga sebenarnya tampak aneh bagi generasi-generasi sebelumnya.

Sebenarnya ini adalah hal yang wajar. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan anak-anak/remaja akan dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi (perkembangan teknologi), ketersediaan akses informasi, lingkungan dan budaya serta, serta keluasan interaksi dengan dunia luar.

Masa anak-anak adalah masa-masa belajar dan meniru. Mereka akan meniru apa saja yang dilakukan anak-anak lain dan bahkan yang dilakukan orang dewasa. Globalisasi teknologi dan informasi menyebabkan anak-anak dapat belajar dan meniru dengan cepat apa yang dilakukan orang lain di belahan dunia yang lain.

Masa remaja adalah masa pencarian jati diri (pra dewasa). Remaja akan cenderung melakukan hal-hal yang sesuai dengan dengan trend remaja kekinian. Mereka akan mengikuti suatu trend keremajaan atau suatu trend center populer yang mereka anggap keren dan mencerminkan pribadi mereka. Trend center dipopulerkan oleh berbagai jenis media informasi. Arus informasi semakin gencar, aksesnya semakin luas. Maka bukan suatu hal yang sulit untuk mengakses berbagai pilihan trend center di dunia ini. Mereka kemudian akan berkelompok-kelompok dengan sesama mereka yang memiliki minat terhadap trend yang sama.

Jadi karakter anak-anak dan remaja dari masa ke masa akan cenderung terus berubah. Dipengaruhi teknologi, sosial dan budaya, kondisi ekonomi dan mungkin juga politik yang sedang berkembang di sekitar mereka.

Namun demikian di era kini, proteksi terhadap perkembangan anak-anak dan remaja harus semakin intens. Sejalan dengan arus informasi positif yang semakin deras, maka arus informasi-informasi negatif juga semakin masif. Perlu upaya serius untuk membentuk karakter anak-anak dan remaja, agar ketika dewasa nanti mereka telah siap menerima tongkat estafet kepemimpinan kehidupan era berikutnya.

Sebagai seorang muslim, kita telah memiliki panduan-panduan dalam mendidik anak-anak dan remaja agar memiliki ahlak yang baik, cinta ilmu (terutama ilmu agama), paham aturan-aturan agama, tahu mana yang halal dan mana yang haram serta berkomitmen dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Tidak hanya itu saja, Islam juga telah memiliki trend center yang harus dijadikan panutan utama dalam segala aktivitas kehidupan, yakni Rasulullah sebagai suri teladan yang baik bagi seluruh umat manusia.

Sedangkan dalam bidang keilmuwan dunia, sejarah umat Islam juga telah menorehkan tinta emas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat di era keemasan Islam. Ini menunjukkan bahwa pemahaman ilmu agama yang benar yang berdasaarakn Al Quran dan Sunnah secara otomatis akan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan pemahan Islam, proteksi perkembangan anak-anak dan remaja haruslah dikontrol oleh keluarga. Seorang ayah akan mempertangungjawabkan kepemimpinannya dalam keluarga di akhirat kelak. Begitu pula seorang Ibu. Anak yang soleh juga akan manjadi amal jariyah yang tidak terputus-putus bagi orang tuanya yang telah meninggal. Seorang Ayah sebagai tulang punggung keluarga yang bertugas mencari nafkah haruslah berperan sebagai sosok teladan yang ada di depan anak-anak/remaja dan sebagai motivator dari belakang. Sedangkan seorang Ibu yang berdasarkan Islam adalah sekolah pertama bagi anak-anak haruslah senantiasa ada dan mendampingi anak-anak & para remaja dalam setiap aktivitas mereka. Seorang Ibu haruslah memiliki pengetahun dan pendidikan tinggi (terutama di bidang agama) agar bisa setiap saat mendampingi proses perkembangan anak-anak/remaja mereka.

Kedua orang tualah yang harus mengambil tanggung jawab penuh dalam mengawasi perkembangan anak-anak/remaja mereka. Sedangkan sekolah hanyalah sebagai sarana membantu orang tua dalam memberikan pendidikan dan memberi akses pada pergaulan yang lebih luas. Sekolah dan guru hanyalah kepanjangan tangan orang tua. Orang tualah yang bertanggung jawab memilihkan sekolah bagi anak-anak mereka. Pertimbangan sistem pengembangan karakter dan pemahaman nilai-nilai agama yang ditawarkan sekolah haruslah lebih diutamakan daripada pertimbangan keunggulan sekolah dalam mencetak murid-murid bernilai akademis iptek yang tinggi.

Dengan demikian, diharapkan generasi-generasi mendatang akan terus memiliki komitmen dalam mempertahankan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah Azza wa Jalla, dalam kondisi perubahan zaman seperti apapun juga. Baik dalam perubahan/perkembangan di bidang teknologi, sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebaginya. Trend aktivitas anak-anak & remaja boleh saja berubah-ubah dari masa ke masa, namun iman dan takwa di dada harus terus ada.

Jumat, 11 Agustus 2017

INDUSTRI ENERGI DI ERA REVOLUSI INDUSTRI KE-4


Kini kita memasuki era revolusi industri ke-4. Fokus industri pada era ini adalah teknologi IT, Robot, Artificial Intelligence, Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR), internet of things, automation, driverless vehicle, dan sejenisnya. Semua teknologi ini terus berkembang pesat dan terus masuk dalam kehidupan sehari-hari kita, baik di tempat kerja maupun di rumah maupun di sosial masyarakat secara umum.

Tidak hanya itu saja, semakin maraknya penggunaan teknologi-teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari, semakin tergantung pula manusia pada teknologi-teknologi tersebut. Lihat saja penggunaan komputer, laptop, smartphone dengan berbagai aplikasinya seolah membuat hidup kita semakin tergantung pada teknologi-teknologi tersebut. Pabrik-pabrik manufaktur banyak yang telah melibatkan robot dalam proses manufaktur. Bayangkan saja seandainya komputer, smartphone, atau teknologi-teknologi tersebut tidak berfungsi selama beberapa waktu saja, kita tentu akan kesulitan dalam beraktivitas.

Satu hal yang perlu dipikirkan bersama bahwa semua teknologi-teknologi tersebut membutuhkan energi untuk dapat bekerja. Semakin maraknya penggunaan teknologi-teknologi tersebut, dan semakin banyak tenaga manusia manual yang digantikan oleh tenaga automation, robot, AI, dll, maka semakin banyak juga kebutuhan energi. Jadi semakin berkembangnya teknologi-teknologi revolusi industri ke-4 tersebut seharusnya juga mendorong berkembangnya industri energi untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat. 

Walau misalkan teknologi-teknologi tersebut mampu menyediakan teknologi efisiensi yang semakin baik, sehingga mengurangi konsumsi energi, namun tetap saja kebutuhan energi terutama di negara-negara berkembang akan terus meningkat seiring semakin membengkaknya populasi dunia.

Hanya saja, juga ada tuntutan umat manusia untuk memanfaatkan energi yang ramah lingkungan. Hal ini bukan berarti hanya energi terbarukan saja yang memiliki masa depan cerah di masa depan. Tentu saja dengan catatan energi terbarukan secara konsisten terus berinovasi sehingga semakin ekonomis dan semakin mampu menyediakan energi yang stabil dan kontinyu. 

Namun demikian, bisa saja energi fosil-pun semakin berbenah sehingga pemanfaatannya semakin efisien dan semakin ramah lingkungan. Misalkan semakin berkembanganya teknologi pemanfaatan emisi fosil yang dihasilkan sehingga semakin memberi nilai tambah dan semakin sesuai dengan tujuan lingkungan.

Semua jenis energi yang digunakan sebagai penyokong teknologi-teknologi revolusi industri ke empat haruslah energi yang murah dan terjangkau (affordable), selalu tersedia (available), dapat diakses dengan mudah (accessable), dapat diterima masyarakat pengguna energi (acceptable), dan berwawasan lingkungan (environmental friendly). 

Di era revolusi industri ke-4 sektor energi kemungkinan tidak lagi difokuskan sebagai komoditas penghasil revenue secara langsung, tetapi harus difokuskan penggunaannnya untuk menyokong kegiatan sektor produktif yang bernilai jual tinggi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, industri kreatif, perdagangan dan jasa, manufaktur, pelayanan publik dan lain-lain yang mendorong masyarakat lebih produktif dan kreatif. Termasuk di dalamnya untuk mendorong dan mendukung pemanfaatan dan pengembangan teknologi-teknologi revolusi industri ke-4.

Rabu, 15 Februari 2017

TREND ENERGI DI MASA DEPAN



Seperti diketahui, hingga sejauh ini terjadi beberapa tren fenomena global, baik yang berhubungan langsung maupun yang tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dunia per-energian dunia di masa depan :
  1. Harga minyak dunia yang turun drastis. Secara umum hal ini disebabkan karena produksi minyak dunia naik sementara permintaan minyak dunia menurun. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia akhir-akhir ini ditengarai merupakan salah satu sebab perlambatan penyerapan minyak, sementara produksi terus bertambah. Belum bisa dipastikan gejala penurunan harga minyak ini akan menjadi fenomena sementara, atau akan berlangsung dalam waktu yang lama, atau justru akan bersifat fluktuatif dalam tempo cepat yang terus berulang. Hal ini berhubung banyak faktor yang mempengaruhi harga minyak, termasuk beberapa tren yang akan dijelaskan selanjutnya.
  2. Semakin ekonomisnya teknologi shale oil di Amerika Utara (USA dan Kanada) yang berpotensi menjadikan wilayah Amerika Utara bertranformasi dari sebelumnya sebagai wilayah pengimpor minyak menjadi wilayah yang berswasembada minyak bahkan juga bisa menjadi pengekspor minyak di masa depan. Berhubung saat ini shale oil ini baru bisa bersaing dengan minyak konvensional di pasar minyak global jika harga minyak konvensional di atas 60 USD/barel, maka ada upaya dari produser-produser minyak konvensional untuk mempertahankan harga minyak di bawah 60 USD/barel untuk menghambat/memperlambat perkembangan shale oil masuk ke pasar minyak global dan mempertahankan penguasaan pangsa pasar. Hal ini juga mendorong negara-negara yang selama ini menggantungkan sebagian besar devisa negaranya kepada penjualan minyak untuk mulai mengembangkan sektor-sektor penghasil devisa yang lain.
  3. Bangkitnya produser-produser minyak (konvensional) baru yang mengakibatkan terjadi perebutan pangsa pasar minyak, seperti Iran (pasca embargo), Rusia, Meksiko, dll. Tren ini menguatkan tren sebelumnya dalam mempengaruhi turunnya harga minyak karena semakin banyaknya penyedia minyak yang bersaing semakin ketat.
  4. Isu lingkungan yang didukung oleh target serta komitmen internasional terhadap penurunan emisi global. Hal ini mempengaruhi pengambil kebijakan di tiap negara untuk mengurangi pemanfaatan energi yang menghasilkan emisi besar seperti energi fosil dan mempertimbangkan penggunaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kesuksesan program ini akan tergantung dari komitmen negara-negara penghasil emisi besar dunia seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dll, dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai komitmen yang telah disepakati bersama.
  5. Isu energy security mulai menjadi pertimbangan negara-negara untuk memvariasikan jenis sumber energi yang digunakan. Perhatiannya juga untuk mengurangi penggunaan sumber energi dari luar yang rawan menjadi instrumen geopolitik dan rawan konflik, yakni minyak. Selain mevariasikan sumber pemasok minyak dari luar, negara-negara improtir minyak juga akan berupaya memvariasikan jenis energi yang digunakan.
  6. Revolusi industri ke-4. Dunia industri di era ke-4 ini akan berfokus pada pemgembangan sistem fisik cyber (cyber physical system) seperti smart robotics, artificial intelligent, internet of things, automation tingkat lanjut, driverless car, dll. Kegiatan industri ini dapat mempengaruhi pola penggunaan energi karena adanya tuntutan terhadap tambahan (peningkatan) permintaan energi karena semakin banyak tools-tools atau gadget-gadget yang bekerja dengan menggunakan energi. Ditambah lagi dengan adanya isu penggantian tenaga manusia dengan tenaga automasi dan robot pintar berbasis artificial intelligent (kecerdasan buatan) maka kebutuhan energi di masa mendatang kemungkinan akan semakin meningkat. Selain itu ada kecenderungan pada revolusi industri ke-4 ini akan lebih dipilih sumber energi yang handal, murah, dan bersih (ramah lingkungan). Dapat dikatakan semangat revolusi industri ke-4 ini cukup erat (berkolaborasi) dengan semangat isu lingkungan. Selain itu, banyak harapan bahwa kegiatan revolusi industri ke-4 juga sekaligus dapat merevolusi cara kita menggunakan energi melalui penemuan sumber energi baru maupun melalui peningkatan efisiensi yang signifikan terhadap sumber energi dan teknologi eksisting.

Proyeksi beberapa lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan British Petroleum menunjukkan bahwa peranan energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) masih akan cukup dominan dalam bauran energi dunia di masa depan, setidaknya hingga sekitar pertengahan abad ini. Pemanfaatan energi terbarukan memang akan mengalami peningkatan pesat, namun secara total masih lebih rendah dibandingkan peranan energi fosil. Penggunaan energi fosil sendiri kemungkinan akan mengalami perlambatan. Pengguna energi terbesar juga akan semakin bergeser, dari yang awalnya dikuasai oleh negara-negara industri maju, bergeser ke negara-negara ekonomi-ekonomi baru seperti China dan India

Energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin menunjukkan tren positif dari tahun ke tahun, baik dalam pertumbuhan pengembangan dan juga penurunan biaya investasi dan teknologi. Masih banyak pekerjaan rumah dalam upaya pengembangan energi terbarukan misalnya perlunya upaya peningkatan fleksibilitas energi terbarukan agar tetap mampu bekerja mensuplai energi walaupun kondisi alam sedang tidak memihak. Misalkan bagi energi surya, hambatannya adalah ketika intensitas cahaya matahari sedang rendah karena mendung atau karena musim dingin atau musim hujan. Teknologi batere diharapkan mampu mengatasi hal ini. Namun demikian, hingga sejauh ini teknologi batere yang ada masih menghadapi beberapa isu seperti isu biaya yang sangat mahal, intensitas penampungan energi yang masih rendah, dan juga isu safety.

Selama ini harga minyak yang tinggi merupakan salah satu instrumen pendorong kuat agar manusia segera beralih ke energi terbarukan. Namun setelah harga minyak turun drastis, maka faktor pendorong penggunaan energi terbarukan semakin berkurang, karena semakin lemahnya faktor pendorong di sisi keekonomian. Tinggal tersisa beberapa faktor pendorong lain seperti komitmen untuk memenuhi isu lingkungan dan energy security. Faktor-faktor lain yang bersifat sebatas komitmen tersebut mungkin tidak akan sekuat faktor ekonomi.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah budaya masyarakat dalam penggunaan energi. Perlu adanya upaya mempelajari apakah budaya penggunaan energi fosil di masyarakat dan industri yang telah dilakukan selama sekitar lebih dari 1 abad ini memang dapat diubah dengan cepat, menyongsong jenis energi baru yang menawarkan pengalaman baru. Misalnya saja di sektor transportasi, selama ini masyarakat dan industri otomotif telah terbiasa menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin atau minyak diesel. Bagaimanakah respon masyarakat dan industri ketika diperkenalkan kepada mereka jenis bahan bakar transportasi baru seperti bahan bakar gas, listrik, atau hidrogen. Apakah masyarakat dapat menerima pengalaman baru tersebut sebagai bagian dari budaya baru penggunaan energi di sektor transportasi. Atau justru ada keraguan, inkonsistensi, atau malah restriksi/penolakan karena masyarakat telah begitu terbiasa dan lebih senang menggunakan bahan bakar berbasis petroleum di sektor transportasi. Apalagi ketika harga energi alternatif tersebut masih relatif mahal dan tidak sepraktis bahan bakar petroleum.

Hal selanjutnya yang perlu kita tentukan adalah bagaimana peranan kita dalam menyikapi tren-tren di atas. Barangkali kita memiliki beberapa pilihan sikap:
  1. Sebatas sebagai pengamat. Layaknya seseorang yang menonton serial drama korea di televisi, mungkin kita dapat bersikap hanya menjadi penikmat jalannya cerita. Kita ikut bertepuk tangan ketika tokoh idola kita sukses, kita ikut merasa sedih ketika adegannya sedang mempertontonkan penderitaan. Melalui sikap ini kita sama sekali tidak bisa mempengaruhi jalannya cerita.
  2. Wait and see. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara pilihan bermain yang dipandang aman. Sambil mengamati secara cermat perkembangan dan situasi yang berkembang, kita dapat menyiapkan dan menumpuk sumber daya sebanyak-banyaknya. Ketika telah ada kejelasan tren energi akan mengarah kemana, maka "jebret", kita langsung masuk ke permainan dan langsung mengambil peranan signifikan. Namun yang menjadi masalah, belum adanya pengalaman terjun langsung dan bermain di lapangan menuntut proses adaptasi yang sangat cepat. Jika tidak mampu beradaptasi secara cepat dan segera mengambil peranan secara tepat, maka tetap saja kita akan dilibas oleh pemain lama yang lebih sarat pengalaman.
  3. Menjadi pemain. Sikap ini membutuhkan kelihaian dan kekuatan yang cukup serta komitmen dan determinasi yang tinggi dalam pergulatan energi dan teknologi global. Kita harus berani mengambil keputusan, belajar dari kegagalan dan berani bereksperimen, serta harus berjiwa ulet dan berani menghadapi tantangan dan rintangan. Dengan memilih sikap ini kita akan berpotensi menjadi pelopor dan pencetak sejarah dunia di bidang energi.

Demikian tulisan ini dibuat. Hanya sekedar kumpulan uneg-uneg. Mudah-mudahan bermanfaat.