Sabtu, 21 Januari 2012

BEKERJA KERAS VS BEKERJA CERDAS


Pola pikir dan budaya kerja yang sepertinya harus mulai direview atau di-redefinisi adalah pola pikir "bekerja keras". Dalam banyak korporasi, perusahaan, lembaga pemerintahan, dan lain sebagainya, selalu didoktrinkan untuk bekerja keras agar profit perusahaan meningkat, karir segera melesat, dan bisa lebih cepat dipromosikan naik jabatan atau golongan. Kenyataannya, sistem seperti ini tidak berhasil membawa kemajuan berarti, karena permasalahan sosial malah semakin banyak bermunculan. Hasil dari kerja keras pun akhirnya banyak tersedot dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial tersebut.

Kebanyakan kaum muslimin berpikir bahwa kerja keras itu adalah ibadah. Sehingga perlu dimaksimalkan. Jadi kemudian banyaklah orang-orang bekerja dengan begitu giatnya. Berangkat sebelum subuh, dan pulang hingga larut malam, untuk mendapat predikat: "Pekerja Keras".

Namun, ada satu hal yang dilupakan dalam konsep berpikir yang demikian. Memang benar bahwa bekerja adalah ibadah. Tetapi perlu diingat pula bahwa sebenarnya ibadah yang lain juga banyak, dimana masing-masing ibadah harus juga dipenuhi haknya. Jadi tidak hanya "ibadah bekerja" saja yang selalu dipenuhi, sementara ibadah yang lain ditinggalkan. Misalnya sholat jama'ah di masjid, meluangkan waktu untuk membaca ayat-ayat suci Al-Quran, manghadiri majellis ta'lim, memberikan perhatian secara langsung kepada anak dan istri di rumah, bersilaturrahmi dengan keluarga dan tetangga, dan lain sebagainya.

Apabila ditinjau ulang, apakah memang benar dengan bekerja keras, rezeki seseorang akan bertambah atau profit suatu korporasi secara keseluruhan bisa meningkat? Ini memang benar. Seperti janji Allah dalam surat Huud ayat 15:

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. (QS. Huud : 15)

Akan tetapi, mengingat orang-orang yang berlomba-lomba mengejar dunia memiliki kecenderungan menjadi lalai atau mengentengkan pada urusan-urusan ibadah yang lain, maka akibatnya fatal. Apa yang mereka usahakan selama di dunia akan menjadi sia-sia di akhirat kelak. Padahal dunia ini adalah kehidupan sementara sedangkan akhirat adalah tempat kehidupan yang kekal dan abadi.

Selain itu, karena kelalaian pada ibadah yang lain, akhirnya kesibukan bekerja hingga lupa waktu bisa memicu timbulnya permasalahan-permasalahan sosial. Baik dalam lingkungan keluarga, atau masyarakat secara luas. Kasus "broken home", kesenjangan sosial, penurunan moralitas, kriminalitas yang meningkat, dan lain sebagainya adalah beberapa bentuk akibat yang dapat ditimbulkan.

Karenanya, mereka yang hanya menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya akan mengalami seperti yang difirmankan Allah dalam kelanjutan surat Huud ayat 16:

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (QS. Huud : 16)

Jadi, jangan sampai terpaku dalam konsep "bekerja keras" untuk sukses. Kita harus mulai mengusung slogan "bekerja cerdas". Seseorang yang bekerja secara cerdas akan selalu menyeimbangkan usaha untuk dunia dengan usaha untuk akhirat. Mereka mengusahakan urusan dunia, tetapi tetap tidak lalai dalam perkara akhirat. Mereka tidak terlena pada upaya bekerja keras untuk meningkatkan taraf hidup, karena mereka meyakini bahwa rezeki mereka telah ditentukan oleh Allah. Mereka bekerja sesuai dengan kewajibannya, lalu bersegera untuk memenuhi hak dari ibadah-ibadah yang lainnya.

Orang yang bekerja cerdas ada dua tingkatan atau dua level. Level pertama adalah mereka yang selalu bersyukur. Tanda-tanda orang yang seperti ini adalah gemar bersedekah dan berinfaq. Mereka yang gemar menafkahkan hartanya di jalan Allah, Allah SWT akan membalas dengan sepuluh kali lipat, bahkan bisa 700 kali lipat atau bahkan tidak terhingga.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah : 261)

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. (QS. Al Hadid : 18)

Pada level selanjutnya dimiliki oleh mereka yang bertakwa. Mereka sangat meyakini bahwa Allah akan selalu menunjukkan jalan-jalan kemudahan dalam urusan-urusannya. Mereka tidak pernah ada rasa takut dan khawatir akan rezeki yang akan mereka terima. Mereka selalu istiqomah. Kedekatannya dengan Allah SWT membuat masalahnya banyak yang dimudahkan untuk diselesaikan. Rezeki orang yang berada pada level ini adalah rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Orang yang berada pada level ini adalah orang yang hati, pikiran, ucapan dan tindakannya sangat terjaga.

Akhir kata, ada satu hal yang perlu kita ingat. Bekerja secara cerdas tidaklah semudah yang dibayangkan, karena tentunya godaan dan cobaan akan selalu datang menerpa untuk menguji konsistensi kita. Apapun yang terjadi kita harus selalu istiqomah di jalan Allah. Yakinlah bahwa Allah akan selalu menunjukkan jalan-jalan kemudahan bagi hamba-hambanya yang bersyukur dan bertawakkal.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (QS. Al Lail : 5-7)